Wednesday, August 17, 2022

Bab 76 - Persiapan Pernikahan

 



Nanda menggandeng tangan Ayu sembari melangkah memasuki Chel’s Modista. Salah satu butik yang paling terkenal di kota Surabaya. Hari ini, ia sengaja membawa Ayu untuk memilih sendiri gaun pengantin yang akan mereka kenakan untuk acara pernikahan.

“Ay, kamu suka yang mana?” tanya Nanda sambil mengedarkan pandangannya. Menatap gaun-gaun pengantin yang terpajang indah di sana.

“Selamat sore, Mbak, Mas ...!” sapa seorang pegawai sambil menghampiri Nanda dan Ayu. “Ada yang bisa kami bantu? Mau pilih gaun pengantin yang seperti apa?”

Ayu tersenyum saat pegawai butik itu menyambutnya dengan ramah. “Mmh ... saya mau gaun yang sederhana aja. Nggak terlalu ramai dan ... nuansa budaya jawanya tetap terlihat meski gaunnya modern,” jawabnya.

“Oh. Silakan lihat di lorong sebelah  sini, Mbak!” Pegawai itu langsung menunjuk lorong yang ada di sayap kanan bangunana tersebut.

Ayu mengangguk dan segera mengikuti langkah pegawai tersebut. Ia mengedarkan pandangannya dan tersenyum menatap design gaun pengantin bernuansa moden yang dipadukan dengan motif tradisional, tapi tetap terlihat cantik dan elegan.

“Suka yang mana?” tanya Nanda sambil menatap wajah Ayu.

“Suka semuanya,” jawab Ayu sambil menahan senyumannya.

Nanda langsung menatap serius ke arah Ayu. “Di sini ada puluhan gaun dan kamu mau pakai semuanya? Mau resepsi setiap hari selama setahun?”

Ayu tertawa kecil. “Kapan malam pertamanya kalau resepsi mulu?”

“Eh!? Barusan kamu ngomong apa?” tanya Nanda sambil merangkul tubuh Ayu dan mengendus telinga wanita itu. “Udah centil, ya?” bisiknya.

Ayu tertawa kecil sambil menatap wajah Nanda yang menempel tepat di pipinya. “Kamu suka sama yang centil-centil ‘kan?”

Nanda tersenyum sambil menarik dagu Ayu dan mengecup lembut bibirnya.

“Lihat tempat! Main cium-cium aja!” dengus Ayu sambil melepaskan tubuh Nanda dan kembali melihat-lihat gaun pengantin yang akan ia kenakan.

“Mbak, aku suka model yang ini. But, motifnya bisa diganti pakai motif batik Solo?” tanya Ayu sambil menunjuk salah satu gaun warna putih yang dihiasi motif batik Borneo yang dibordir dengan benang warna keemasan di bagian bawahnya.  Juga dihiasi oleh kristal swarovski di bagian dada dan pinggangnya.

“Bisa banget, Mbak. Ini salah satu model favorite beberapa pengantin. Terlihat lebih bersih dan elegan. Cocok untuk hari pernikahan yang sakral. Akan saya catat dan sampaikan ke designernya. Ada lagi yang diminati?”

Ayu menggeleng. “Satu aja, Mbak. Mmh, budgetnya kira-kira berapa, ya?”

“Nggak terlalu mahal, kok. Yang ini cuma sekitar delapan puluh jutaan aja,” jawab pegawai itu sambil tersenyum manis.

Ayu mengangguk dan tersenyum lega. Meski Nanda sanggup membayar gaun pengantin itu, tapi ia juga tidak ingin memberatkan pria itu karena ia tahu kalau kondisi keuangan Nanda tidak begitu baik. Hanya mengandalkan harta dari orang tua karena saat ini ia harus memulai semuanya dari nol. Jika ia memilih gaun yang lebih mahal lagi, Nanda mungkin akan membatalkan pernikahan mereka karena menganggap Ayu terlalu materialistis.

“Kamu mau pilih setelan jas yang mana?” tanya Ayu sambil menatap wajah Nanda.

“Apa pun yang kamu pilih, aku ikut aja,” jawab Nanda sambil memainkan ponselnya.

“Kamu ngapain, sih!?” Ayu langsung menyambar ponsel Nanda dan melihat game online yang sedang dimainkan oleh pria itu. “NANDA ...! Yang mau nikah itu kita berdua. Kenapa yang mikir cuma aku doang!?” serunya protes.

“Aku udah kasih modal, Ay. Kamu pilih aja mana yang kamu suka. Aku nggak ngerti beginian,” sahut Nanda sambil menarik kembali ponselnya dari tangan Ayu.

Ayu mendengus kesal sambil melipat kedua tangannya di depan dada. “Ya udah, nggak usah nikah. Kalau cuma aku yang mikir, mending aku nikah sama tiang listrik.”

Nanda langsung mematikan ponsel dan menyimpan di saku jasnya. “Jangan ngambek, dong!”

“Pulang aja, deh!” ucap Ayu menahan kesal sambil melangkahkan kakinya.

“Jangan, Ay! Belum selesai, kan?” Nanda langsung menghadang langkah kaki Ayu.

“Kalau udah tahu belum selesai, kamu jangan main game, dong! Apa susahnya sih diskusi bareng? Aku nggak suka kalau cowok itu ngomong ikut aja – ikut aja! Ngeselin tahu, nggak!?” sahut Ayu.

“Hehehe. Iya, iya.” Nanda langsung merangkul tubuh Ayu. “Pilih, deh! Kamu sukanya yang mana?”

“Aku udah pilih, Nanda! Tinggal cari baju untuk kamu. Kamu sukanya yang mana?” seru Ayu menahan kesal.

“Apa pun pilihan kamu, aku pasti suka, Ay. Kamu aja yang pilih, ya! Sesuaikan aja sama baju pengantin kamu,” jawab Nanda sambil menatap wajah Ayu.

“Ntar kamu nggak suka, Nan. Kalau warnanya putih juga, bagus atau nggak, sih? Kayak gimana gitu, ya?”

“Yang ini aja, deh!” Nanda menunjuk salah satu jas berwarna cream dengan lis cokelat keemasan.

Ayu mengangguk. “Oke. Ambil yang ini aja.”

Nanda tersenyum sambil menatap Ayu yang sedang berbincang dengan pegawai butik tersebut. Hal sederhana yang kerap dipermasalahkan oleh wanita hanyalah ketika pria mengalihkan perhatiannya pada hal lain. Meski jawaban sama dari pertanyaan sama, akan menjadi berbeda saat moment-nya pun berbeda. Mood wanita memang mudah berubah, bahkan hanya karena hal sepele saja.

 

 

Di saat bersamaan ...

Nia tersenyum lebar saat melihat kotak seserahan dan mahar pernikahan untuk puteranya sudah tersusun rapi dan cantik di ruang keluarga. Ia menoleh pada Yuna, Icha dan Mira, sahabat sejak masih muda dan kini ikut membantunya mempersiapkan pernikahan puteranya.

“Makasih ya, kalian udah repot-repot bantu aku mempersiapkan ini semua,” ucap Nia sambil tersenyum manis.

“Nggak papa, kami senang karena bisa membantumu. Pernikahan sebelumnya, kamu tidak melibatkan kami,” ucap Yuna sambil menatap wajah Nia.

“Tapi ... aku nggak bisa ikut ke Solo, Nia. Pernikahan Nanda dan Roro Ayu akan digelar di Solo? Beneran nggak bikin resepsi di Surabaya juga?” tanya Mira sambil menatap wajah Nia.

Nia menggelengkan kepala. “Cukup di sana aja, Mir. Kesehatanku juga nggak sebaik dulu. Kalau harus gelar resepsi lagi, aku nggak mampu.”

“Kamu beneran nggak dateng, Mir? Nggak penasaran sama pernikahan ala keraton?” tanya Icha.

“Lumayan penasaran. But, aku tetep nggak bisa datang karena bertepatan dengan upacara kematian suamiku, Cha,” jawab Mira. “Eh, si Ayu kenapa pesen gaun modern mix tradisional gitu? Di keraton, nggak harus pakai baju khas sana, ya?” tanya Mira.

“Pakai. Mungkin, ada beberapa yang sudah disiapkan sama keraton dan dia menginginkan gaun khusus untuk dia sendiri.”

“Oh. I see.” Mira mengangguk-anggukkan tanda mengerti.

Yuna tersenyum sambil duduk kembali di sisi Nia. “Kalau ada almarhumah Jenny, dia pasti yang paling bersemangat menyiapkan pernikahan anak-anak kita,” ucapnya. Ia selalu tersenyum sambil menitikan air mata saat teringat pada salah satu sahabat mereka yang harus pergi lebih dahulu.

Nia tersenyum sambil mengelus lembut pundak Yuna. Dari mereka semua, Yuna dan Jheni adalah sahabat yang berteman paling lama karena teman sejak kecil. Sedang ia adalah wanita paling terakhir yang dekat dengan mereka karena hubungannya dengan Andre. Ia merasa sangat bahagia karena mendapatkan dunia baru. Meski terkadang, Andre lebih banyak menghindari interaksinya dengan Yuna. Walau bagaimana pun, suaminya itu pernah menjadi pria yang begitu mencintai Yuna. Jika tidak ada Yeriko yang begitu kuat, mungkin Yuna akan bersanding dengan suaminya.

Nia kembali melanjutkan menyiapkan keperluan pernikahan Nanda bersama dengan teman-teman lamanya sambil bercanda tawa bahagia. Ia harap, pernikahan puteranya kali ini mendapat restu dari langit dan kehidupan rumah tangganya bisa bahagia.

 

 

((Bersambung...))

 

 

 

 

 


Bab 75 - Lamaran yang Kacau

 



Nanda menghampiri tubuh Nia yang masih duduk di kursi roda sambil menikmati pemandangan dari luar jendela kamar rawatnya. “Mama, I have something for you,” bisiknya sembari memeluk tubuh Nia dari belakang dan mengulurkan bucket bunga untuk wanita istimewa yang telah memberinya hidup dan menghidupkannya itu.

Nia langsung menengadahkan kepalanya menatap Nanda. Ia tersenyum saat puteranya itu begitu romantis. Membuatnya teringat akan masa-masa mudanya saat bersama Andre. “Kenapa tiba-tiba jadi romantis seperti ini ke Mama?” tanyanya.

“Nggak boleh?” tanya Nanda sambil tersenyum manis.

“Boleh banget. Kalau perlu, kamu setiap hari seperti ini. Mama pasti bahagia banget,” ucap Nia sambil menyentuh lembut pipi Nanda.

“Dalam satu bulan, Mama udah bisa buka toko bunga,” ucap Nanda sambil tertawa kecil.

Nia ikut tertawa menanggapi ucapan Nanda. “Boleh juga. Mama jualan bunga untuk ngisi waktu luang di hari tua biar nggak bosan.”

“Hmm ... katanya mau main sama cucu? Kalau sibuk sama bunga, ntar cucunya dicuekin.”

“Kalau kamu kasih mama cucu, mama pasti prioritaskan main sama cucu, dong. Kapan kamu menikahi Ayu?” tanya Nia.

Nanda tersenyum dan beringsut ke hadapan Nia. Ia berjongkok tepat di depan wanita itu dan menggenggam tangan Nia. “Ma, kalau aku menikahi Ayu ... apakah Mama akan menyayangi dia seperti anak Mama sendiri?”

Nia mengangguk sambil tersenyum manis. “Siapa pun wanita pilihanmu, Mama akan menyayangi dia seperti Mama menyayangi kamu.”

“”Makasih, Ma ...! Aku janji akan membuat istriku juga menyayangi Mama seperti mamanya sendiri.”

Nia mengangguk sambil tersenyum. “Mama harap, kamu bisa membawa istrimu menjadi anak mama yang baik. Yang sayang sama mama kamu dan tetap sayang sama ibunya sendiri.”

Nanda menganggukkan kepala dan mencium punggung tangan Nia. “Maafin Nanda karena selama ini sudah membuat Mama bersedih terus-menerus. Mama harus sehat, ya! Kalau Mama udah sehat, Nanda janji akan kasih cucu yang banyak supaya Mama nggak kesepian di rumah.”

Nia menganggukkan kepala. “Jadi, kapan kamu akan menikah dengan Ayu?”

“Setelah papa merestui kami,” jawab Nanda sambil melirik ke arah Ayu dan papanya yang sudah berdiri di belakang tubuh mamanya itu.

“Kapan papamu akan memberikan restu, Nan. Usiamu dan Ayu sudah semakin tua. Mau sampai kapan hubungan kalian seperti ini? Kalau nggak bisa punya keturunan, gimana? Mama yang punya anak satu aja, sekarang udah ngerasa kesepian karena anak Mama sudah dewasa dan punya kehidupan sendiri,” ucap Nia sambil menatap pilu ke arah Nanda.

Nanda tersenyum sambil menyentuh lembut pipi mamanya. “Mama nggak perlu khawatir! Nanda pasti akan kasih cucu yang banyak buat Mama. Supaya Mama nggak kesepian, supaya istriku juga nggak kesepian di hari tuanya.”

“Janji?”

Nanda mengangguk sambil tersenyum manis. Ia memutar kursi roda Nia. Menghadapkan wanita itu pada Andre dan Ayu yang sudah berdiri berdampingan di sana.

“Mas Andre? Ayu? Ka-kalian ...?”

Ayu tersenyum sambil merangkul lengan Andre. “Aku dan Nanda akan segera menikah. Papa Andre sudah merestui hubungan kami. Jadi, Mama Nia harus sehat supaya bisa menikahkan kami!” ucapnya.

Nia langsung tersenyum lebar sambil menutup mulutnya yang ternganga lebar. “Gimana ceritanya ... Mas Andre, kamu benar-benar merestui hubungan Ayu dan anak kita?”

Andre mengangguk sambil tersenyum manis. Ia melangkah perlahan menghampiri Nia. “Maafkan aku karena terlalu takut akan masa depan anak kita. Aku lupa bahwa sekarang dia sudah menjadi pria dewasa.”

Nia tersenyum manis. Ia bangkit dari kursi roda dan memeluk tubuh Andre. “Aku juga punya rasa takut yang sama. Tapi kita harus belajar bijak jadi orang tua. Nggak boleh egois. Saat anak udah dewasa, dia bukan milik kita lagi, Mas,” ucapnya sambil menitikan air mata.

Sungguh, hati Nia sangat berat ketika mendengar kata pernikahan. Sedih bercampur bahagia. Tidak ada orang tua yang tidak sedih ketika anak yang sudah ia rawat selama kurang lebih dua puluh tahun lamanya, harus ia serahkan untuk orang lain. Membiarkan anak-anak mereka itu menghabiskan waktunya lebih banyak bersama orang yang dicintai daripada dengan orang tuanya sendiri.

Andre memeluk erat tubuh Nia sambil menganggukkan kepala.

Nanda tersenyum sembari menghampiri Ayu yang berdiri di dekat ranjang tidur mamanya. “Ay, sudah tidak ada yang mengganjal dalam hubungan kita. Apa aku sudah boleh melamarmu di depan kedua orang tuaku?”

Ayu mengangguk sambil tersenyum manis.

Nanda merogoh cincin berlian yang ia selipkan di kantong celananya dan menekuk lututnya di hadapan Ay.

“Ay, maukah ...”

TING!

Cincin yang dipegang Nanda tiba-tiba merosot jatuh membentur lantai, kemudian menggelinding cepat tak tentu arah hingga berhenti di bawah lemari nakas yang sempit.

“Astaga ...!” seru Nanda kesal saat cincin itu tak mau bersahabat dengannya.

“Kamu gimana sih megangnya?” Ayu langsung membungkukkan tubuhnya, mencari di mana cincin berlian itu berada.

“Aku nervous, Ay! Aku nggak pernah ngelamar cewek. Tanganku gemetaran,” sahut Nanda sambil merayap di lantai, mencari cincin berlian yang masih belum tertangkap oleh matanya.

Nia dan Andre tertawa melihat kekacauan lamaran yang terjadi. Terlebih, Nanda masih terus merayap mencari keberadaan cincin berlian yang akan digunakan untuk melamar Ayu.

“Pa, jangan ketawa! Bantuin cari cincinnya!” pinta Nanda sambil menggeser sofa dan semua perabotan yang ada di dalam ruangan tersebut hingga menjadi kacau balau.

“Nan, kamu niat ngelamar aku atau nggak, sih? Kenapa cincinnya malah dihilangkan?” tanya Ayu sambil menahan kesal.

“Niat, Sayang! Ya Allah ...!” Nanda berlari menghampiri Ayu. Menangkup kepala wanita itu dan menciumi wajahnya. “Aku cari dulu cincinnya.”

Nia dan Andre terkekeh melihat sikap puteranya yang masih kebingungan mencari cincin itu. Meski mereka melihat ke mana arah cincin itu menggelinding, mereka sengaja tidak memberitahukan Nanda.

Nanda menggeser ranjang pasien yang ada di ruangan tersebut. Kemudian, menggeser lemari nakas yang menjadi target terakhirnya.

“AY, KETEMU ...!” seru Nanda sambil meraih cincin itu dari lantai dan meniupnya. Masih menggosoknya di kain celana  yang ia kenakan agar tidak kotor dan melompat ke atas tempat tidur. Kemudian, menarik lengan Ayu dengan cepat.

Ayu langsung mengerutkan bibir sambil menahan senyumnya.

“Kita jadi nikah ‘kan? Gimana kalau kamu yang lamar aku aja biar nggak salah-salah? Aku nervous,” ucap Nanda sambil menggenggam tangan Ayu.

Ayu langsung menoleh ke arah Andre dan Nia. “Oom, masa Ayu yang disuruh lamar dia? Dia nggak mau lamar aku, dong? Nggak jadi nikah, nih!”

“Hehehe. Jangan gitu dong, Ay! Iya, iya. Aku yang lamar kamu,” sambar Nanda sambil memperbaiki posisi duduknya. Ia duduk di tepi ranjang dengan dua kaki tergantung dan menarik tubuh Ayu agar merapat dengannya.

“Ay, apakah kamu mau menikah dengan lelaki brengsek ini?” tanya Nanda sambil menatap lekat wajah Ayu.

Ayu mengangguk sambil tersenyum manis. “Kamu sudah lima belas tahun jadi pria brengsek. Sudah waktunya pensiun. Harus berubah jadi pria baik, suami yang baik, ayah yang baik dan kakek yang baik di masa depan.”

Nanda mengangguk. “I promise. Aku akan menjadi apa pun yang kamu katakan dan kamu inginkan.”

Ayu tersenyum manis sambil mengulurkan jemari tangannya. “Jadi pasangin aku cincin, nggak?”

Nanda tertawa kecil. Ia segera memasangkan cincin itu ke jari manis Ayu dan mengecup lembut punggung tangan wanita itu. “I love you, Ay ...!”

“So am I,” sahut Ayu sambil tersenyum manis.

Nanda langsung memeluk erat tubuh Ayu dan mengulum bibir wanita itu penuh cinta. Ia merasa sangat bahagia karena akhirnya bisa menjalani setiap paginya bersama dengan wanita itu. Ia tahu, ada banyak hal buruk di dunia yang tidak bisa ia kendalikan dan membuatnya terjerumus.

Satu hal yang paling ia sesali ketika remaja adalah ia tidak mampu membatasi pergaulannya sendiri hingga pergaulan bebas adalah sebuah kebanggaan untuk dunianya. Hingga membuat masa depannya begitu suram. Ayu adalah satu-satunya wanita yang berani menghukumnya dengan kejam agar ia bisa menjadi pria yang baik di masa depan. Dan hari ini ia berjanji pada dirinya sendiri untuk menjadi pria baik dan melahirkan anak-anak yang baik pula untuk kehidupan-kehidupan berikutnya.

 

 

((Bersambung...))

 

Terima kasih sudah jadi sahabat setia bercerita!

Dukung terus supaya author makin semangat berkarya!

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 



 

 

 

 


Bab 74 - Kesalahanmu itu Rindu

 



Karina melangkan kaki memasuki lobi kantor Amora Internasional penuh percaya diri. Di belakangnya, sudah ada Enggar, Ayu dan Nanda.

“Saya mau ketemu sama Oom Andre ...!” ucap Karina pada petugas resepsionis. Ia hanya menepuk meja resepsionis itu sekilas, kemudian bergegas pergi menuju lift yang ada di sana.

“Pagi, Pak Nanda ...!” sapa seorang satpam dan beberapa karyawan yang sudah sangat mengenal Nanda.

“Pagi ...!” balas Nanda sambil tersenyum manis, kemudian ia masuk ke dalam lift bersama dengan yang lainnya.

Beberapa saat kemudian, empat orang itu sudah berada di depan pintu ruang Presdir Amora Internasional.

“Selamat pagi, Oom ...!” sapa Karina sambil tersenyum manis saat sekretaris membukakan pintu untuknya.

“Pagi ...! Karina? Tumben main ke sini?” balas Andre sambil bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri Karina. Belum sampai di hadapan Karina, langkahnya terhenti ketika melihat Nanda dan Ayu juga ada di sana. “Ada apa ini?”

Karina tersenyum sambil menatap wajah Andre. “Aku sengaja datang ke sini untuk berdiskusi dengan Oom Andre. Ada beberapa bisnis yang ingin aku diskusikan. Tapi sebelum itu, aku ingin memberitahukan satu hal pada Oom Andre.”

Karina merangkul lengan Enggar yang ada di sana. “Karena Nanda dan Roro Ayu akan menikah, aku mau perjodohan kami di batalkan. Aku juga sudah punya pria lain yang akan menggantikan posisi Nanda. Kenalin, ini Mas Enggar Prakasa Dierjaningrat. Aku lebih memilih dia menjadi suamiku, daripada Nanda,” ucapnya ceria.

“APA!? Kamu keluarga Dierja? Galaxy yang mengirimkanmu untuk menghancurkan perusahaanku, hah!?” seru Andre sambil menunjuk ke arah Enggar.

Enggar langsung menaikkan sebelah alisnya. “Apa hubungannya aku dengan Galaxy?”

“Galaxy didukung penuh bisnisnya oleh keluarga bangsawan kalian itu! Kamu sengaja ambil Karina dari saya supaya perusahaan saya jatuh lagi!? Kalian semua, KELUAR DARI SINI!” seru Andre.

“Oom Andre ini apa-apaan, sih!?” seru Karina. Amarahnya tiba-tiba meluap dan tidak mengerti dengan sikap pria ini. “Oom Andre main tuduh aja tanpa tahu kebenarannya seperti apa!?”

“Kebenaran apa? Kamu sudah memutuskan untuk menghentikan perjodohanmu dengan Nanda. Itu artinya, papamu akan segera menarik investasinya di perusahaan ini,” sahut Andre dengan perasaan tak karuan. Ia benar-benar trauma dengan jatuhnya perusahaan yang sudah ia rawat selama puluhan tahun.

Karina menghela napas dan memahami kegundahan yang terjadi pada pria paruh baya di hadapannya itu. Ia mengeluarkan dokumen dari dalam tas dan mengulurkan ke hadapan Andre. “Oom, ini surat pernyataan dari papaku. Papa sudah tanda tangani di atas materai sepuluh ribu. Dia tidak akan menarik investasinya di perusahaan ini meski aku dan Nanda tidak jadi menikah.”

“Serius?” Andre langsung menyambar dokumen dari tangan Karina dan memeriksanya. Ia menghela napas lega saat mengetahui kalau keluarga Karina tidak akan menarik investasi di perusahaannya yang baru saja bangkit dan stabil.

“Kalau Oom Andre mau, aku juga bisa berinvestasi di perusahaan ini,” ucap Enggar sambil tersenyum ke arah Andre.

Andre langsung memutar kepalanya menatap wajah Enggar. “Bukankah keluarga Dierja selalu mendukung bisnis Galaxy?”

“Tidak cuma Galaxy, semua bisnis yang punya potensi dan stabil, selalu kami dukung. Galaxy memang besar atas dukungan Oom Chandra. Tapi dukungan dari Oom Chandra juga tidak akan begitu berguna jika Tuan Ye tidak bisa membangun bisnisnya dengan baik,” jawab Enggar.

Andre mengangguk-anggukkan kepala. “Kamu cukup tahu juga?”

“Sangat tahu,” jawab Enggar sambil tersenyum.

Karina tersenyum lega saat Andre terlihat santai dan emosi yang tadi menguasainya, hilang secara perlahan. “Oom, jadi gimana? Nanda dan Roro Ayu sudah boleh menikah ‘kan?”

Andre langsung memutar kepalanya menatap Nanda dan Roro Ayu. Senyum di bibirnya tersungging saat melihat dua orang itu bergandengan tangan dengan erat. “Baiklah. Papa akan merestui kalian untuk menikah. Dengan syarat ...”

“Apa syaratnya, Pa?” tanya Nanda bersemangat.

“Kalian berdua harus mengurus Amora setelah menikah!” pinta Andre.

Nanda dan Ayu saling pandang sambil tersenyum. Kemudian, mereka mengangguk bersamaan.

Nanda langsung melompat ke arah Andre dan memeluknya. “Makasih ya, Pa!”

Andre tersenyum menanggapi sikap Nanda dan balas memeluknya. “Maafin Papa, ya! Papa terlalu takut untuk jatuh lagi. Takut kalau kamu tidak bisa hidup bahagia di masa depan,” ucapnya.

Nanda menganggukkan kepala dan menatap wajah papanya. “Iya, Pa. Aku ngerti. Tapi ... aku juga nggak akan bahagia di masa depan kalau hatiku selalu kosong. Dari sekian banyak wanita, hanya Ayu satu-satunya wanita yang berhasil membuat mengacaukan hidupku dan ... aku jatuh cinta sama wanita ini.”

Andre tersenyum sambil menatap wajah Ayu. “Ayu, maafkan Oom Andre, ya! Oom akan merestui hubungan kalian. Ayu janji satu hal sama Oom! Seburuk apa pun anak Oom, kesalahan apa pun yang dia lakukan di masa depan nanti. Tolong ... jangan penjarakan dia lagi!”

Ayu tersenyum sambil menganggukkan kepala. “Ayu janji, Oom ...! Ayu akan menerima dia apa adanya. Asalkan, dia mau menghargai keberadaanku.”

Nanda tersenyum lebar dan menghampur ke pelukan Ayu. “Aku menghargai kamu. Mahal banget!” ucapnya sembari mengecup kening Ayu.

Andre ikut tersenyum melihat putera kecilnya itu sudah tumbuh dewasa dan berani melawan keputusan orang tuanya sendiri demi wanita yang dia cintai.

“Ayu, kenapa kamu harus mati-matian berusaha mendapatkan restu dari Oom Andre? Padahal, laki-laki bisa menikahi wanita tanpa wali dan restu orang tua,” tanya Karina.

Ayu tersenyum sembari menatap wajah Karina. “Karena restu orang tua itu penting, Rin. Mereka sudah melahirkan dan membesarkan kita selama bertahun-tahun. Saat sudah dewasa, pria malah akan menjadi orang yang menafkahi kita. Begitu juga wanita, dia akan menjadi orang yang melayani dan menyayangi suami. Sementara itu, orang tua kita mungkin berat. Lebih takut lagi, anak-anaknya tidak dibahagiakan oleh pasangannya di masa depan.”

“Ada banyak orang yang melawan restu orang tua atas nama cinta dan beberapa tahun kemudian ... rumah tangganya kandas. Itu pun aku alami di masa lalu. Orang tuaku tidak memberikan restu karena bagi mereka ... Sonny adalah pria terbaik yang pantas bersanding di sisiku. Tapi takdir membuatku harus  menikah dengan Nanda tanpa restu dan takdir pula yang memisahkan kami,” lanjut Ayu.

“Dan takdir juga yang mempertemukan kita kembali dalam keadaan berbeda untuk saling mencintai,” tutur Nanda menimpali.

 Ayu tersenyum menatap Nanda penuh cinta. “Terima kasih ...! Kamu sudah memberikan pelajaran hidup paling berharga dalam hidupku. Ada hal yang harus aku syukuri tanpa aku sadari. Ada hal yang seharusnya aku ucapkan terima kasih walau itu luka dan perih. Dari kisah masa lalu kita aku belajar ... bahwa tidak ada manusia yang sempurna di dunia dan aku akan cintai semua kesalahanmu.”

Nanda menangkup wajah Ayu dan mengecup lembut bibir wanita itu. “Kamu yakin ingin mencintai kesalahanku juga?”

Ayu mengangguk sambil tersenyum manis. “Karena kesalahanmu itu rindu.”

Nanda tersenyum lebar. Ia mengecup bibir Ayu bertubi-tubi dan memeluk erat tubuh wanita itu. “Makasih juga, Ay! Kamu sudah mencintai keburukan dan kesalahanku. Aku juga ingin mencintai keburukan dan kesalahanmu juga. Tapi kamu tak punya itu. Kamu terlalu sempurna untuk aku cela. Maka, aku hanya bisa mencintai kamu, kamu dan kamu saja.”

Ayu balas memeluk erat tubuh Nanda dan tersenyum manis ke arah Karina dan Enggar. Ia benar-benar berterima kasih pada dua orang ini. Lebih tepatnya, berterima kasih pada takdir yang telah menjatuhkan cinta pada Karina dan Enggar. Jika Karina tetap ingin bersama Nanda, mungkin jalan ceritanya akan berbeda. Ia bersyukur punya pria yang buruk sifat, hingga tidak ada wanita lain yang berani berkomitmen bersama Nanda selain dirinya ... hanya dirinya seorang.

 

 

((Bersambung...))

 

 

Terima kasih sudah jadi sahabat setia bercerita!

Enam bab lagi menuju tamat.

Sejauh ini ... apa komentar kalian tentang buku ini?

Jangan sungkan untuk kasih kritik dan saran karena author sangat butuh itu!

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 


Bab 73 - Saat Tak Punya Apa-Apa

 


“Nan, sibuk banget?” tanya Ayu sambil menyodorkan secangkir moccacino hangat ke atas meja kerja Nanda.

“Nggak terlalu. Lagi ngecek ulang laporan produk yang mau diluncurkan aja,” jawab Nanda.

“Ini produk baru kamu?” tanya Ayu sambil menatap beberapa botol yang ada di hadapan Nanda.

Nanda mengangguk. “Mau coba?”

“Aku baru aja mandi, Nan.”

“Mandi lagi, biar makin glowing!” pinta Nanda sambil menahan tawa.

Ayu mengerutkan hidungnya. Ia menarik kursi dan duduk di samping Nanda. “Dari semua produk yang ada di dunia ini, kenapa pilih sabun mandi?”

Nanda langsung menoleh ke arah Ayu. “Kamu lagi ngetes aku buat pitching?”

“Kamu mau menargetkan aku buat nanam saham di perusahaanmu?” tanya Ayu balik.

“Janganlah! Kalau bisa, aku aja yang tanam saham buat kamu,” jawab Nanda sambil melirik perut Ayu.

Ayu mendelik ke arah Nanda sambil memegangi perutnya. “Kamu lagi menyimpan niat buruk?”

“Nggak, Sayang. Masa aku berniat buruk sama istri sendiri?” sahut Nanda sambil merangkul tubuh Ayu.

Ayu tersenyum sambil menatap lekat wajah Nanda. “Ada yang bisa aku bantu di perusahaanmu?”

Nanda menggeleng. “Kamu rawat  Mama Nia aja!” pintanya.

Ayu mengangguk sambil tersenyum manis. “Mau sampai kapan kamu tinggal di kantor ini?”

“Sampai aku bisa beli rumah baru. Doain, ya!” jawab Nanda sambil mengecup kening Ayu.

“Always,” sahut Ayu sambil tersenyum manis. “Oh ya, rumah keluarga aku yang di sini udah nggak ditinggali karena ayah dan bunda udah pindah ke Solo. Mmh, gimana kalau kita tinggal di rumah itu setelah menikah. Jadi, kamu nggak perlu beli rumah baru. Uangnya bisa digunakan untuk yang lain. Gimana?”

“Ay, aku nggak bisa seperti itu. Aku nggak enak sama keluarga kamu kalau aku yang tinggal di rumah istri,” tutur Nanda.

“Nan, aku anak tunggal. Nggak ada yang nempati rumah itu lagi kalau bukan aku, suamiku dan anak-anak aku kelak. Kamu nggak perlu gengsi. Aku udah bilang ke ayah dan bunda. Mereka malah seneng kalau Nanda bisa tinggali rumah itu,” ucap Ayu sambil menggenggam tangan Nanda.

“Serius!?” tanya Nanda sambil menatap wajah Ayu.

Ayu mengangguk sambil tersenyum manis.

Nanda langsung menangkup wajah Ayu dan menciuminya bertubi-tubi. “Aku nggak nyangka kalau ayah dan bundamu malah akan merestui kita setelah apa yang terjadi di masa lalu.”

“Karena kamu sudah menebusnya dengan baik dan meyakinkan keluargaku kalau kamu bisa bikin puteri kesayangan mereka bahagia,” tutur Ayu.

Nanda tersenyum dan memeluk tubuh Ayu. “Ay, saat ini aku nggak punya apa-apa. Kamu yakin sama aku?”

“Kamu punya aku,” sahut Ayu sambil tersenyum manis.

Nanda semakin mengeratkan pelukannya. Ia merasa sangat bahagia karena wanita ini tetaplah satu-satunya cinta yang bertahan dengannya hingga akhir.

“Mmh ... Nan, kapan kamu ngelamar aku pake cincin berlian kayak waktu itu? Katanya, mau nikahi aku?”

Nanda tertawa kecil sambil menatap  wajah Ayu. “Kamu minta cincin berlian di saat aku lagi start-up perusahaanku? Aku harus  jual ini perusahaan buat belikan kamu cincin. Cincin berliannya nyusul after marriage, bisa ‘kan?”

Ayu menggeleng. “Nggak mau! Itu mah bukan cincin untuk ngelamar aku, dong?”

“Ck. Kenapa kamu jadi mata duitan di saat aku nggak punya apa-apa?”

“Biar kamu kerja lebih keras dari hari ini,” jawab Ayu sambil tersenyum manis.

“Aku udah kerja keras, Ay. Ini udah  jam sebelas malam, aku masih di kantor.”

“Kamu tinggal di sini!” sahut Ayu geram sambil memukul lengan Nanda.

“Iih, mukul? KDRT, nih.”

“Nggak. Bercanda,” tutur Ayu sambil mengelus lembut lengan Nanda. Ia membuka rantai kalung yang ia kenakan dan menunjukkan cincin pernikahan yang pernah Nanda berikan padanya di masa lalu.

Nanda terdiam sambil menatap cincin yang dijadikan liontin oleh Ayu. “Ka-kamu masih simpan cincin ini?”

Ayu mengangguk. “Aku selalu memakainya dan membawanya ke mana pun setiap hari.”

“Tapi ... waktu nari sama ...”

“Udah ada kalung aksesoris yang disediakan untuk nari. Masa aku mau pake kalung ginian lagi? Aneh ‘kan?”

Nanda tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Buruan lamar aku lagi!” pinta Ayu sambil meletakkan cincin itu di atas telapak tangan Nanda.

Nanda tersenyum kecil sambil menatap wajah Ayu. “Masa lamar di sini sih, Ay?”

“Jadi, mau lamar di bawah menara Eiffel biar kayak orang-orang itu?” tanya Ayu sambil tersenyum menatap Nanda.

Nanda menggeleng. “Tapi aku ingin melamar kamu di depan orang paling penting dalam hidupku,” jawabnya. Ia bangkit dari kursi dan menarik lengan Ayu.

“Kita mau ke mana? Udah malam, Nan.”

“Ke rumah sakit, Ay. Aku mau lamar kamu di depan Mama Nia,” jawab Nanda.

Ayu langsung menghentikan langkah dan mengerutkan wajahnya ke arah Nanda. “Ini sudah jam sebelas malam. Waktu besuk udah habis, Nan. Mau ngajak berantem satpam rumah sakit?”

“Boleh juga,” jawab Nanda.

“NANDA! Aku nggak lagi bercanda. Masih mau berantem sama orang?” seru Ayu.

“Hehehe. Jadi, gimana?”

“Besok pagi aja lamarannya, oke?”

“Subuh?”

“Ya nggak subuh juga, Nanda!” sahut Ayu menahan kesal.

“Yah, kalo siangan dikit, aku ada banyak kerjaan, Ay.”

“Ya udah, pulang kerja, deh!” pinta Ayu.

Nanda manggut-manggut sambil menahan tawa. “Kenapa kita mau lamaran kayak mau beli sayur di pasar? Hahaha.”

“Iya, ya? Hihihi.”

Nanda langsung menjepit leher Ayu dan mengajaknya keluar dari kantor perusahaannya itu.

“Mau ke mana?”

“Kita cari cemilan malam, yuk!”

“Nanti aku gemuk, Nan.”

“Kamu udah pernah gemuk dan cukup menarik,” ucap Nanda.

Ayu tertawa kecil. Ia merangkul pinggang Nanda dan melangkah bersama pria itu. Menyusuri jalanan di sekitar Ruko Bandar dan mencari jajanan yang ingin mereka santap untuk menemani mereka malam ini.

“Sst ...!” Nanda langsung menghentikan langkahnya dan berjalan mengendap-endap ketika melihat Karina dan Enggar berada di salah satu warung sate yang ada di sana.

Ayu menahan tawa melihat sikap Nanda. Ia memperhatikan Enggar dan Karina yang terlihat begitu intim dan nyaris ingin berciuman.

“DOR ...!” teriak Nanda sambil menepuk pundak Enggar dan Karina bersamaan.

“ASTAGA! ANJING KAMU, NAN!” seru Karina sambil memukuli tubuh Nanda.

Nanda terkekeh geli. “Makanya, mau ciuman jangan di tempat umum. Hotel di sini masih banyak yang kosong.”

“Nggak level main di hotel. Kita biasa main di penthouse,” sahut Karina sambil menyeringai ke arah Nanda.

“Iih ... ngakuin? Beneran?” tanya Nanda sambil menatap wajah Enggar.

Enggar menggelengkan kepala.

“Halah, ngaku aja!” pinta Nanda sambil menoyor pundak Enggar. “Aku udah puas yang begitu-begituan. Nggak usah sok alim!”

“Aku nggak sebrengsek kamu, Nan,” sahut Enggar.

“Emang aku brengsek?” tanya Nanda.

“Astaga! Nggak sadar?” tanya Enggar balik sambil menatap Nanda.

Karina ikut tertawa. Ia menatap wajah Ayu. “Ayu, kenapa kamu mau sama cowok brengsek kayak gini? Aku tuh dijodohin sama dia udah lama. Mau nikah, masih mikir seribu kali. Takut dianya selingkuh lagi, selingkuh lagi.”

Ayu tersenyum sambil duduk di depan Karina. “Sebenarnya aku juga nggak mau. Tapi dia ngejar-ngejar terus. Aku capek lari, Rin. Udahlah, aku pasrah aja.”

“HAHAHA.”

“Kamu tega banget ngomong kayak gitu, Ay? Kesannya terpaksa nerima aku,” tutur Nanda sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Ayu tertawa sambil menarik lengan Nanda agar duduk di sampingnya. “Bercanda. Nggak usah ngambekan!”

“Aku nggak ngambek. Cuma lagi mikir aja,” sahut Nanda sambil tertunduk lesu.

“Mikir apa?” tanya Ayu. Ia mulai khawatir dengan ucapannya sendiri yang membuat raut wajah Nanda berubah memburuk.

“Mikir ... kalau kamu pasrah ... bisa nggak dilakuin juga di ranjang?”

Ayu langsung mengerutkan hidungnya ke arah Nanda. “Aku udah serius! Malah bercanda!”

Mereka semua tergelak dan berbincang banyak hal tentang masa depan mereka. Ayu merasa sangat lega saat mengetahui kalau Karina akan membantu menyelamatkan hubungan mereka. Wanita cantik yang sedang dekat dengan Enggar itu berjanji akan membuat papanya tetap menaruh investasi di perusahaan keluarga Nanda, meski perjodohan mereka dibatalkan.

 

 

((Bersambung...))

 

Terima kasih sudah jadi sahabat setia bercerita!

Jangan lupa kasih komentar, biar author makin semangat nulisnya!

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 


Bab 72 - Tantangan untuk Nanda

 


“Ay, dengan atau tanpa restu papa, aku akan tetap menikahimu,” ucap Nanda sambil menatap wajah Ayu.

Ayu menggeleng sambil tersenyum manis. “Aku ingin menikah dengan restu orang tua. Kalau kamu bisa meyakinkan kakekku, maka aku akan berusaha meyakinkan papamu.”

Nanda tersenyum haru menatap Ayu. Ia langsung memeluk erat tubuh wanita itu. “Ay, maafin aku karena sudah banyak menyakitimu dan membuatmu berkorban banyak. Kali ini, biarkan aku yang berusaha meyakinkan papa.”

Ayu mengangguk. Ia merasa sangat bahagia karena Nanda memilih untuk memperjuangkan cinta mereka.

Drrt ... drrt ... drrt ...!

Nanda langsung merogoh ponselnya yang tiba-tiba berdering.

“Halo ...!” sapa Nanda saat panggilan telepon dari Karina tersambung. “Ada apa, Rin?”

“Kamu di mana, Nan?” tanya Karina dari seberang telepon.

“Aku di rooftop Galaxy Hotel,” jawab Nanda.

“Galaxy Hotel mana? Surabaya, Semarang atau Solo? Jangan-jangan malah di Jakarta, ya?” cerocos Karina.

“Surabaya, Rin. Ngapain jauh-jauh ke Jakarta?”

“Ya udah, buruan ke Rumah Sakit Wijaya! Aku juga lagi di jalan menuju ke sana.”

“Siapa yang sakit?” tanya Nanda.

“Mama kamu. Papamu tadi telepon aku. Katanya, suruh cari kamu karena dia nggak punya nomor kontak kamu yang baru. Kamu tuh ken—”

Nanda buru-buru mematikan panggilan teleponnya sebelum Karina menyelesaikan ucapannya.

“Mama masuk rumah sakit. Kita harus ke sana, Ay!” ucap Nanda sambil menarik lengan Ayu dan membawanya pergi menuju rumah sakit untuk menemui mamanya.

 

Beberapa menit kemudian ...

Nanda berlari menyusuri koridor rumah sakit. Mencari nomor kamar tempat mamanya mendapatkan perawatan.

“Mama ...!” Nanda menerobos masuk ke dalam salah satu ruang rawat VIP yang ada di sana.

Nia langsung tersenyum saat melihat puteranya itu datang menghampirinya. “Nan ...!” lirihnya sembari mengulurkan tangan ke arah puteranya itu.

“Nanda di sini, Ma. Mama baik-baik aja ‘kan?” sahut Nanda sambil meraih dan menggenggam tangan Nia.

Nia mengangguk-anggukkan kepalanya. “Jangan tinggalin Mama lagi! Mama kangen sama Nanda.”

Nanda mengangguk. “Nanda nggak akan tinggalin Mama, kok.”

Nia menoleh ke arah Andre yang sedang berdiri di sisi kirinya. “Mas, jangan usir Nanda lagi! Anak kita Cuma satu. Kenapa kamu nggak sayang sama anak kita sendiri?”

“Aku sayang sama anak kita, Nia. Makanya, aku pilihkan wanita terbaik yang bisa jadi pendamping dia,” sahut Andre.

“Baik buat kita belum tentu baik buat anak kita, Mas,” ucap Nia sambil menitikan air mata.

“Nia, kalau perjodohan Andre dan Karina sampai batal, perusahaan kita terancam. Kamu mau kalau kita hidup gembel lagi?” sahut Andre sambil menahan kesal.

Nia menggeleng sambil menitikan air matanya. “Nggak ada cara lain, Mas? Kita bisa minta suntikan saham sama Yuna ‘kan? Dia pasti mau bantu kita.”

Andre menghela napas. “Aku udah nggak punya muka buat minta tolong ke dia. Ada berapa banyak hal memalukan yang terjadi di keluarga dan hanya jadi bahan tertawaan mereka saja. Aku dan Yeriko itu ... dulu sama-sama kuat. Bahkan lebih besar Amora Internasional daripada Galaxy. Tapi sekarang? Lihat! Punya satu anak nggak bisa diatur dan nggak bisa ngembangin perusahaan sedikitpun! Tahunya hanya main-main dan bikin masalah di keluarga kita!” tutur Andre sambil menunjuk-nunjuk wajah Nanda penuh amarah.

“Mas, kenapa kamu selalu membanding-bandingkan anak kita dengan anak orang lain yang lebih tinggi? Di luar sana, masih banyak yang hidupnya lebih susah dari kita. Kita harusnya bersyu— uhuk ... uhuk ... uhuk ...!”

“Ma ...! Nanda akan baik-baik aja di luar sana. Nanda bukan anak kecil lagi. Mama nggak usah banyak bicara dulu! Istirahat yang baik dan Nanda akan baik-baik saja,” ucap Nanda sambil memeluk lengan Nia.

Nia menatap nanar ke arah Nanda. “Mama nggak mau jauh dari Nanda lagi. Mama mau ikut Nanda, boleh?”

Nanda langsung mengangkat kepalanya menatap Andre. Ia langsung bangkit dari kursi dan mensejajarkan tubuhnya dengan Andre. Tubuhnya yang tinggi menjulang, sudah jelas melebihi tinggi tubuh papanya sendiri.

“Kamu mau nantangin Papa? Bisa hidupi mama dan istrimu pake apa?” tanya Andre sambil tersenyum miring.

“Kalau Nanda bisa buktikan bisa hidupi Mama dan Roro Ayu tanpa bantuan Papa. Maka Papa harus bisa merestui hubunganku dengan Roro Ayu!” pinta Nanda.

“Oke. Papa tidak akan menghalangi kalian kalau memang kamu bisa membuktikannya. Bayar biaya rumah sakit mama kamu ini! Buktikan!” perintah Andre sambil melangkah pergi dari ruangan tersebut.

Nia menghela napas melihat sikap keras kepala suaminya, sama saja dengan puteranya juga. Ia harap, Nanda bisa lebih mengalah menyikapi keegoisan papanya. “Nan, kamu nggak usah ambil hati sikap papa kamu, ya! Mama masih punya uang tabungan untuk biaya berobat Mama. Nggak perlu pakai uang kamu. Kamu lebih butuh. Perusahaanmu masih baru. Jangan boros, ya! Buktikan ke papamu kalau kamu bisa sukses tanpa dia!” pintanya.

“Ma, Nanda mana bis—”

“Sst ...! Dengerin Mama, ya! Kalau Nanda sayang sama Mama, dengerin Mama!”

Nanda langsung menoleh ke arah Ayu yang berdiri di sampingnya.

“Ayu, maafin Mama Nia dan Nanda di masa lalu. Nanda sudah menebus semua kesalahannya. Mama titip Nanda, ya! Jangan tinggalin dia lagi meski dia nakal dan rewel. Aslinya, dia itu baik dan sayang banget sama Ayu,” ucap Nia sambil tersenyum menatap Ayu.

Ayu menganggukkan kepala dan memeluk tubuh Nia. “Maafin Ayu juga, Ma! Ayu sudah melakukan banyak hal yang menyakiti keluarga kalian,” bisiknya.

“Sudahlah. Kita tidak perlu membahas masa lalu terus-menerus! Kita lupakan saja!” pinta Nia berbisik. “Sekarang, pikirkan masa depan kalian! Oke?”

Ayu mengangguk sambil menitikan air mata.

“Jangan nangis!” pinta Nia sambil mengusap air mata Ayu. “Mama bahagia karena cita-cita Mama untuk menjadikan kamu menantu satu-satunya sudah terwujud. Kalian segeralah menikah dan kasih cucu buat Mama! Mama sudah semakin tua, sudah kesepian setiap hari. Kalau ada cucu, Mama bisa punya teman bermain.”

Ayu menganggukkan kepala. “Ayu akan berikan cucu yang banyak untuk Mama supaya nggak kesepian di hari tua.”

Nia tersenyum sambil mengelus lembut pipi Ayu. “Jangan buat cucu cuma satu! Supaya Mama Nia nggak perlu berebut cucu dengan bundamu.”

“Tenang, Ma! Nanti Nanda buatin dua belas cucu untuk Mama,” sahut Nanda.

“Kamu yang mau melahirkan? Dikira melahirkan itu nggak sakit?” dengus Ayu sambil menatap wajah Nanda.

“Hehehe. Kalau bisa, aku mau gantiin kamu melahirkan. Biar kamu nggak usah ngerasain sakit.”

“Gaya banget. Emang barangmu udah normal?” tanya Nia sambil melirik ke arah bagian perut Nanda.

“Mama ...!” dengus Nanda sembari menutupi bagian bawah perutnya. “Aku udah berobat. Udah normal.”

“Udah dicoba?” tanya Nia sambil menatap serius ke arah Nanda.

Nanda gelagapan mendengar pertanyaan mamanya. Ia tidak tahu harus mengatakan apa di depan calon istrinya.

“Yu, sejak kamu meninggalkan dia. Dia nggak pernah deket sama cewek mana pun. Dia ini playboy, tobat karena udah menemukan cinta sejatinya, atau tobat karena barangnya udah nggak bisa berdiri lagi? Kamu harus tes dulu! Kalau udah nikah dan barangnya nggak bisa bangun, kamu juga yang rugi,” ucap Nia sambil tertawa kecil.

“Astaga ...! Mama jangan ngomong gitu, dong! Emangnya aku cowok apaan? Pake dicoba-coba segala!?” sahut Nanda.

Nia terkekeh menatap wajah Nanda. “Harus dicobain dulu karena Ayu terlihat lebih normal dari kamu, Nan.”

“Boleh juga. Mau coba, Ay?” Nanda menatap  Ayu dengan tatapan menggoda.

“Apaan, sih!?” Ayu menyembunyikan wajahnya yang merona merah karena malu.

“Bercanda. Nggak akan ada kata cobain, kok. Aku ingin pernikahan kita bisa menciptakan banyak hal indah di dunia ini bersama-sama. Bukan sekedar menciptakan seorang bayi,” ucap Nanda.

Ayu mengangguk sambil tersenyum manis. Ia merasa sangat bahagia karena Nanda sudah banyak berubah. Tidak lagi Nanda yang membuatnya naik darah setiap kali melihat pria itu dikelilingi oleh wanita-wanita seksi kesukaannya.

 

 

 

((Bersambung ...))



Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas