Wednesday, August 17, 2022

Bab 74 - Kesalahanmu itu Rindu

 



Karina melangkan kaki memasuki lobi kantor Amora Internasional penuh percaya diri. Di belakangnya, sudah ada Enggar, Ayu dan Nanda.

“Saya mau ketemu sama Oom Andre ...!” ucap Karina pada petugas resepsionis. Ia hanya menepuk meja resepsionis itu sekilas, kemudian bergegas pergi menuju lift yang ada di sana.

“Pagi, Pak Nanda ...!” sapa seorang satpam dan beberapa karyawan yang sudah sangat mengenal Nanda.

“Pagi ...!” balas Nanda sambil tersenyum manis, kemudian ia masuk ke dalam lift bersama dengan yang lainnya.

Beberapa saat kemudian, empat orang itu sudah berada di depan pintu ruang Presdir Amora Internasional.

“Selamat pagi, Oom ...!” sapa Karina sambil tersenyum manis saat sekretaris membukakan pintu untuknya.

“Pagi ...! Karina? Tumben main ke sini?” balas Andre sambil bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri Karina. Belum sampai di hadapan Karina, langkahnya terhenti ketika melihat Nanda dan Ayu juga ada di sana. “Ada apa ini?”

Karina tersenyum sambil menatap wajah Andre. “Aku sengaja datang ke sini untuk berdiskusi dengan Oom Andre. Ada beberapa bisnis yang ingin aku diskusikan. Tapi sebelum itu, aku ingin memberitahukan satu hal pada Oom Andre.”

Karina merangkul lengan Enggar yang ada di sana. “Karena Nanda dan Roro Ayu akan menikah, aku mau perjodohan kami di batalkan. Aku juga sudah punya pria lain yang akan menggantikan posisi Nanda. Kenalin, ini Mas Enggar Prakasa Dierjaningrat. Aku lebih memilih dia menjadi suamiku, daripada Nanda,” ucapnya ceria.

“APA!? Kamu keluarga Dierja? Galaxy yang mengirimkanmu untuk menghancurkan perusahaanku, hah!?” seru Andre sambil menunjuk ke arah Enggar.

Enggar langsung menaikkan sebelah alisnya. “Apa hubungannya aku dengan Galaxy?”

“Galaxy didukung penuh bisnisnya oleh keluarga bangsawan kalian itu! Kamu sengaja ambil Karina dari saya supaya perusahaan saya jatuh lagi!? Kalian semua, KELUAR DARI SINI!” seru Andre.

“Oom Andre ini apa-apaan, sih!?” seru Karina. Amarahnya tiba-tiba meluap dan tidak mengerti dengan sikap pria ini. “Oom Andre main tuduh aja tanpa tahu kebenarannya seperti apa!?”

“Kebenaran apa? Kamu sudah memutuskan untuk menghentikan perjodohanmu dengan Nanda. Itu artinya, papamu akan segera menarik investasinya di perusahaan ini,” sahut Andre dengan perasaan tak karuan. Ia benar-benar trauma dengan jatuhnya perusahaan yang sudah ia rawat selama puluhan tahun.

Karina menghela napas dan memahami kegundahan yang terjadi pada pria paruh baya di hadapannya itu. Ia mengeluarkan dokumen dari dalam tas dan mengulurkan ke hadapan Andre. “Oom, ini surat pernyataan dari papaku. Papa sudah tanda tangani di atas materai sepuluh ribu. Dia tidak akan menarik investasinya di perusahaan ini meski aku dan Nanda tidak jadi menikah.”

“Serius?” Andre langsung menyambar dokumen dari tangan Karina dan memeriksanya. Ia menghela napas lega saat mengetahui kalau keluarga Karina tidak akan menarik investasi di perusahaannya yang baru saja bangkit dan stabil.

“Kalau Oom Andre mau, aku juga bisa berinvestasi di perusahaan ini,” ucap Enggar sambil tersenyum ke arah Andre.

Andre langsung memutar kepalanya menatap wajah Enggar. “Bukankah keluarga Dierja selalu mendukung bisnis Galaxy?”

“Tidak cuma Galaxy, semua bisnis yang punya potensi dan stabil, selalu kami dukung. Galaxy memang besar atas dukungan Oom Chandra. Tapi dukungan dari Oom Chandra juga tidak akan begitu berguna jika Tuan Ye tidak bisa membangun bisnisnya dengan baik,” jawab Enggar.

Andre mengangguk-anggukkan kepala. “Kamu cukup tahu juga?”

“Sangat tahu,” jawab Enggar sambil tersenyum.

Karina tersenyum lega saat Andre terlihat santai dan emosi yang tadi menguasainya, hilang secara perlahan. “Oom, jadi gimana? Nanda dan Roro Ayu sudah boleh menikah ‘kan?”

Andre langsung memutar kepalanya menatap Nanda dan Roro Ayu. Senyum di bibirnya tersungging saat melihat dua orang itu bergandengan tangan dengan erat. “Baiklah. Papa akan merestui kalian untuk menikah. Dengan syarat ...”

“Apa syaratnya, Pa?” tanya Nanda bersemangat.

“Kalian berdua harus mengurus Amora setelah menikah!” pinta Andre.

Nanda dan Ayu saling pandang sambil tersenyum. Kemudian, mereka mengangguk bersamaan.

Nanda langsung melompat ke arah Andre dan memeluknya. “Makasih ya, Pa!”

Andre tersenyum menanggapi sikap Nanda dan balas memeluknya. “Maafin Papa, ya! Papa terlalu takut untuk jatuh lagi. Takut kalau kamu tidak bisa hidup bahagia di masa depan,” ucapnya.

Nanda menganggukkan kepala dan menatap wajah papanya. “Iya, Pa. Aku ngerti. Tapi ... aku juga nggak akan bahagia di masa depan kalau hatiku selalu kosong. Dari sekian banyak wanita, hanya Ayu satu-satunya wanita yang berhasil membuat mengacaukan hidupku dan ... aku jatuh cinta sama wanita ini.”

Andre tersenyum sambil menatap wajah Ayu. “Ayu, maafkan Oom Andre, ya! Oom akan merestui hubungan kalian. Ayu janji satu hal sama Oom! Seburuk apa pun anak Oom, kesalahan apa pun yang dia lakukan di masa depan nanti. Tolong ... jangan penjarakan dia lagi!”

Ayu tersenyum sambil menganggukkan kepala. “Ayu janji, Oom ...! Ayu akan menerima dia apa adanya. Asalkan, dia mau menghargai keberadaanku.”

Nanda tersenyum lebar dan menghampur ke pelukan Ayu. “Aku menghargai kamu. Mahal banget!” ucapnya sembari mengecup kening Ayu.

Andre ikut tersenyum melihat putera kecilnya itu sudah tumbuh dewasa dan berani melawan keputusan orang tuanya sendiri demi wanita yang dia cintai.

“Ayu, kenapa kamu harus mati-matian berusaha mendapatkan restu dari Oom Andre? Padahal, laki-laki bisa menikahi wanita tanpa wali dan restu orang tua,” tanya Karina.

Ayu tersenyum sembari menatap wajah Karina. “Karena restu orang tua itu penting, Rin. Mereka sudah melahirkan dan membesarkan kita selama bertahun-tahun. Saat sudah dewasa, pria malah akan menjadi orang yang menafkahi kita. Begitu juga wanita, dia akan menjadi orang yang melayani dan menyayangi suami. Sementara itu, orang tua kita mungkin berat. Lebih takut lagi, anak-anaknya tidak dibahagiakan oleh pasangannya di masa depan.”

“Ada banyak orang yang melawan restu orang tua atas nama cinta dan beberapa tahun kemudian ... rumah tangganya kandas. Itu pun aku alami di masa lalu. Orang tuaku tidak memberikan restu karena bagi mereka ... Sonny adalah pria terbaik yang pantas bersanding di sisiku. Tapi takdir membuatku harus  menikah dengan Nanda tanpa restu dan takdir pula yang memisahkan kami,” lanjut Ayu.

“Dan takdir juga yang mempertemukan kita kembali dalam keadaan berbeda untuk saling mencintai,” tutur Nanda menimpali.

 Ayu tersenyum menatap Nanda penuh cinta. “Terima kasih ...! Kamu sudah memberikan pelajaran hidup paling berharga dalam hidupku. Ada hal yang harus aku syukuri tanpa aku sadari. Ada hal yang seharusnya aku ucapkan terima kasih walau itu luka dan perih. Dari kisah masa lalu kita aku belajar ... bahwa tidak ada manusia yang sempurna di dunia dan aku akan cintai semua kesalahanmu.”

Nanda menangkup wajah Ayu dan mengecup lembut bibir wanita itu. “Kamu yakin ingin mencintai kesalahanku juga?”

Ayu mengangguk sambil tersenyum manis. “Karena kesalahanmu itu rindu.”

Nanda tersenyum lebar. Ia mengecup bibir Ayu bertubi-tubi dan memeluk erat tubuh wanita itu. “Makasih juga, Ay! Kamu sudah mencintai keburukan dan kesalahanku. Aku juga ingin mencintai keburukan dan kesalahanmu juga. Tapi kamu tak punya itu. Kamu terlalu sempurna untuk aku cela. Maka, aku hanya bisa mencintai kamu, kamu dan kamu saja.”

Ayu balas memeluk erat tubuh Nanda dan tersenyum manis ke arah Karina dan Enggar. Ia benar-benar berterima kasih pada dua orang ini. Lebih tepatnya, berterima kasih pada takdir yang telah menjatuhkan cinta pada Karina dan Enggar. Jika Karina tetap ingin bersama Nanda, mungkin jalan ceritanya akan berbeda. Ia bersyukur punya pria yang buruk sifat, hingga tidak ada wanita lain yang berani berkomitmen bersama Nanda selain dirinya ... hanya dirinya seorang.

 

 

((Bersambung...))

 

 

Terima kasih sudah jadi sahabat setia bercerita!

Enam bab lagi menuju tamat.

Sejauh ini ... apa komentar kalian tentang buku ini?

Jangan sungkan untuk kasih kritik dan saran karena author sangat butuh itu!

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 


Bab 73 - Saat Tak Punya Apa-Apa

 


“Nan, sibuk banget?” tanya Ayu sambil menyodorkan secangkir moccacino hangat ke atas meja kerja Nanda.

“Nggak terlalu. Lagi ngecek ulang laporan produk yang mau diluncurkan aja,” jawab Nanda.

“Ini produk baru kamu?” tanya Ayu sambil menatap beberapa botol yang ada di hadapan Nanda.

Nanda mengangguk. “Mau coba?”

“Aku baru aja mandi, Nan.”

“Mandi lagi, biar makin glowing!” pinta Nanda sambil menahan tawa.

Ayu mengerutkan hidungnya. Ia menarik kursi dan duduk di samping Nanda. “Dari semua produk yang ada di dunia ini, kenapa pilih sabun mandi?”

Nanda langsung menoleh ke arah Ayu. “Kamu lagi ngetes aku buat pitching?”

“Kamu mau menargetkan aku buat nanam saham di perusahaanmu?” tanya Ayu balik.

“Janganlah! Kalau bisa, aku aja yang tanam saham buat kamu,” jawab Nanda sambil melirik perut Ayu.

Ayu mendelik ke arah Nanda sambil memegangi perutnya. “Kamu lagi menyimpan niat buruk?”

“Nggak, Sayang. Masa aku berniat buruk sama istri sendiri?” sahut Nanda sambil merangkul tubuh Ayu.

Ayu tersenyum sambil menatap lekat wajah Nanda. “Ada yang bisa aku bantu di perusahaanmu?”

Nanda menggeleng. “Kamu rawat  Mama Nia aja!” pintanya.

Ayu mengangguk sambil tersenyum manis. “Mau sampai kapan kamu tinggal di kantor ini?”

“Sampai aku bisa beli rumah baru. Doain, ya!” jawab Nanda sambil mengecup kening Ayu.

“Always,” sahut Ayu sambil tersenyum manis. “Oh ya, rumah keluarga aku yang di sini udah nggak ditinggali karena ayah dan bunda udah pindah ke Solo. Mmh, gimana kalau kita tinggal di rumah itu setelah menikah. Jadi, kamu nggak perlu beli rumah baru. Uangnya bisa digunakan untuk yang lain. Gimana?”

“Ay, aku nggak bisa seperti itu. Aku nggak enak sama keluarga kamu kalau aku yang tinggal di rumah istri,” tutur Nanda.

“Nan, aku anak tunggal. Nggak ada yang nempati rumah itu lagi kalau bukan aku, suamiku dan anak-anak aku kelak. Kamu nggak perlu gengsi. Aku udah bilang ke ayah dan bunda. Mereka malah seneng kalau Nanda bisa tinggali rumah itu,” ucap Ayu sambil menggenggam tangan Nanda.

“Serius!?” tanya Nanda sambil menatap wajah Ayu.

Ayu mengangguk sambil tersenyum manis.

Nanda langsung menangkup wajah Ayu dan menciuminya bertubi-tubi. “Aku nggak nyangka kalau ayah dan bundamu malah akan merestui kita setelah apa yang terjadi di masa lalu.”

“Karena kamu sudah menebusnya dengan baik dan meyakinkan keluargaku kalau kamu bisa bikin puteri kesayangan mereka bahagia,” tutur Ayu.

Nanda tersenyum dan memeluk tubuh Ayu. “Ay, saat ini aku nggak punya apa-apa. Kamu yakin sama aku?”

“Kamu punya aku,” sahut Ayu sambil tersenyum manis.

Nanda semakin mengeratkan pelukannya. Ia merasa sangat bahagia karena wanita ini tetaplah satu-satunya cinta yang bertahan dengannya hingga akhir.

“Mmh ... Nan, kapan kamu ngelamar aku pake cincin berlian kayak waktu itu? Katanya, mau nikahi aku?”

Nanda tertawa kecil sambil menatap  wajah Ayu. “Kamu minta cincin berlian di saat aku lagi start-up perusahaanku? Aku harus  jual ini perusahaan buat belikan kamu cincin. Cincin berliannya nyusul after marriage, bisa ‘kan?”

Ayu menggeleng. “Nggak mau! Itu mah bukan cincin untuk ngelamar aku, dong?”

“Ck. Kenapa kamu jadi mata duitan di saat aku nggak punya apa-apa?”

“Biar kamu kerja lebih keras dari hari ini,” jawab Ayu sambil tersenyum manis.

“Aku udah kerja keras, Ay. Ini udah  jam sebelas malam, aku masih di kantor.”

“Kamu tinggal di sini!” sahut Ayu geram sambil memukul lengan Nanda.

“Iih, mukul? KDRT, nih.”

“Nggak. Bercanda,” tutur Ayu sambil mengelus lembut lengan Nanda. Ia membuka rantai kalung yang ia kenakan dan menunjukkan cincin pernikahan yang pernah Nanda berikan padanya di masa lalu.

Nanda terdiam sambil menatap cincin yang dijadikan liontin oleh Ayu. “Ka-kamu masih simpan cincin ini?”

Ayu mengangguk. “Aku selalu memakainya dan membawanya ke mana pun setiap hari.”

“Tapi ... waktu nari sama ...”

“Udah ada kalung aksesoris yang disediakan untuk nari. Masa aku mau pake kalung ginian lagi? Aneh ‘kan?”

Nanda tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Buruan lamar aku lagi!” pinta Ayu sambil meletakkan cincin itu di atas telapak tangan Nanda.

Nanda tersenyum kecil sambil menatap wajah Ayu. “Masa lamar di sini sih, Ay?”

“Jadi, mau lamar di bawah menara Eiffel biar kayak orang-orang itu?” tanya Ayu sambil tersenyum menatap Nanda.

Nanda menggeleng. “Tapi aku ingin melamar kamu di depan orang paling penting dalam hidupku,” jawabnya. Ia bangkit dari kursi dan menarik lengan Ayu.

“Kita mau ke mana? Udah malam, Nan.”

“Ke rumah sakit, Ay. Aku mau lamar kamu di depan Mama Nia,” jawab Nanda.

Ayu langsung menghentikan langkah dan mengerutkan wajahnya ke arah Nanda. “Ini sudah jam sebelas malam. Waktu besuk udah habis, Nan. Mau ngajak berantem satpam rumah sakit?”

“Boleh juga,” jawab Nanda.

“NANDA! Aku nggak lagi bercanda. Masih mau berantem sama orang?” seru Ayu.

“Hehehe. Jadi, gimana?”

“Besok pagi aja lamarannya, oke?”

“Subuh?”

“Ya nggak subuh juga, Nanda!” sahut Ayu menahan kesal.

“Yah, kalo siangan dikit, aku ada banyak kerjaan, Ay.”

“Ya udah, pulang kerja, deh!” pinta Ayu.

Nanda manggut-manggut sambil menahan tawa. “Kenapa kita mau lamaran kayak mau beli sayur di pasar? Hahaha.”

“Iya, ya? Hihihi.”

Nanda langsung menjepit leher Ayu dan mengajaknya keluar dari kantor perusahaannya itu.

“Mau ke mana?”

“Kita cari cemilan malam, yuk!”

“Nanti aku gemuk, Nan.”

“Kamu udah pernah gemuk dan cukup menarik,” ucap Nanda.

Ayu tertawa kecil. Ia merangkul pinggang Nanda dan melangkah bersama pria itu. Menyusuri jalanan di sekitar Ruko Bandar dan mencari jajanan yang ingin mereka santap untuk menemani mereka malam ini.

“Sst ...!” Nanda langsung menghentikan langkahnya dan berjalan mengendap-endap ketika melihat Karina dan Enggar berada di salah satu warung sate yang ada di sana.

Ayu menahan tawa melihat sikap Nanda. Ia memperhatikan Enggar dan Karina yang terlihat begitu intim dan nyaris ingin berciuman.

“DOR ...!” teriak Nanda sambil menepuk pundak Enggar dan Karina bersamaan.

“ASTAGA! ANJING KAMU, NAN!” seru Karina sambil memukuli tubuh Nanda.

Nanda terkekeh geli. “Makanya, mau ciuman jangan di tempat umum. Hotel di sini masih banyak yang kosong.”

“Nggak level main di hotel. Kita biasa main di penthouse,” sahut Karina sambil menyeringai ke arah Nanda.

“Iih ... ngakuin? Beneran?” tanya Nanda sambil menatap wajah Enggar.

Enggar menggelengkan kepala.

“Halah, ngaku aja!” pinta Nanda sambil menoyor pundak Enggar. “Aku udah puas yang begitu-begituan. Nggak usah sok alim!”

“Aku nggak sebrengsek kamu, Nan,” sahut Enggar.

“Emang aku brengsek?” tanya Nanda.

“Astaga! Nggak sadar?” tanya Enggar balik sambil menatap Nanda.

Karina ikut tertawa. Ia menatap wajah Ayu. “Ayu, kenapa kamu mau sama cowok brengsek kayak gini? Aku tuh dijodohin sama dia udah lama. Mau nikah, masih mikir seribu kali. Takut dianya selingkuh lagi, selingkuh lagi.”

Ayu tersenyum sambil duduk di depan Karina. “Sebenarnya aku juga nggak mau. Tapi dia ngejar-ngejar terus. Aku capek lari, Rin. Udahlah, aku pasrah aja.”

“HAHAHA.”

“Kamu tega banget ngomong kayak gitu, Ay? Kesannya terpaksa nerima aku,” tutur Nanda sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Ayu tertawa sambil menarik lengan Nanda agar duduk di sampingnya. “Bercanda. Nggak usah ngambekan!”

“Aku nggak ngambek. Cuma lagi mikir aja,” sahut Nanda sambil tertunduk lesu.

“Mikir apa?” tanya Ayu. Ia mulai khawatir dengan ucapannya sendiri yang membuat raut wajah Nanda berubah memburuk.

“Mikir ... kalau kamu pasrah ... bisa nggak dilakuin juga di ranjang?”

Ayu langsung mengerutkan hidungnya ke arah Nanda. “Aku udah serius! Malah bercanda!”

Mereka semua tergelak dan berbincang banyak hal tentang masa depan mereka. Ayu merasa sangat lega saat mengetahui kalau Karina akan membantu menyelamatkan hubungan mereka. Wanita cantik yang sedang dekat dengan Enggar itu berjanji akan membuat papanya tetap menaruh investasi di perusahaan keluarga Nanda, meski perjodohan mereka dibatalkan.

 

 

((Bersambung...))

 

Terima kasih sudah jadi sahabat setia bercerita!

Jangan lupa kasih komentar, biar author makin semangat nulisnya!

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 


Bab 72 - Tantangan untuk Nanda

 


“Ay, dengan atau tanpa restu papa, aku akan tetap menikahimu,” ucap Nanda sambil menatap wajah Ayu.

Ayu menggeleng sambil tersenyum manis. “Aku ingin menikah dengan restu orang tua. Kalau kamu bisa meyakinkan kakekku, maka aku akan berusaha meyakinkan papamu.”

Nanda tersenyum haru menatap Ayu. Ia langsung memeluk erat tubuh wanita itu. “Ay, maafin aku karena sudah banyak menyakitimu dan membuatmu berkorban banyak. Kali ini, biarkan aku yang berusaha meyakinkan papa.”

Ayu mengangguk. Ia merasa sangat bahagia karena Nanda memilih untuk memperjuangkan cinta mereka.

Drrt ... drrt ... drrt ...!

Nanda langsung merogoh ponselnya yang tiba-tiba berdering.

“Halo ...!” sapa Nanda saat panggilan telepon dari Karina tersambung. “Ada apa, Rin?”

“Kamu di mana, Nan?” tanya Karina dari seberang telepon.

“Aku di rooftop Galaxy Hotel,” jawab Nanda.

“Galaxy Hotel mana? Surabaya, Semarang atau Solo? Jangan-jangan malah di Jakarta, ya?” cerocos Karina.

“Surabaya, Rin. Ngapain jauh-jauh ke Jakarta?”

“Ya udah, buruan ke Rumah Sakit Wijaya! Aku juga lagi di jalan menuju ke sana.”

“Siapa yang sakit?” tanya Nanda.

“Mama kamu. Papamu tadi telepon aku. Katanya, suruh cari kamu karena dia nggak punya nomor kontak kamu yang baru. Kamu tuh ken—”

Nanda buru-buru mematikan panggilan teleponnya sebelum Karina menyelesaikan ucapannya.

“Mama masuk rumah sakit. Kita harus ke sana, Ay!” ucap Nanda sambil menarik lengan Ayu dan membawanya pergi menuju rumah sakit untuk menemui mamanya.

 

Beberapa menit kemudian ...

Nanda berlari menyusuri koridor rumah sakit. Mencari nomor kamar tempat mamanya mendapatkan perawatan.

“Mama ...!” Nanda menerobos masuk ke dalam salah satu ruang rawat VIP yang ada di sana.

Nia langsung tersenyum saat melihat puteranya itu datang menghampirinya. “Nan ...!” lirihnya sembari mengulurkan tangan ke arah puteranya itu.

“Nanda di sini, Ma. Mama baik-baik aja ‘kan?” sahut Nanda sambil meraih dan menggenggam tangan Nia.

Nia mengangguk-anggukkan kepalanya. “Jangan tinggalin Mama lagi! Mama kangen sama Nanda.”

Nanda mengangguk. “Nanda nggak akan tinggalin Mama, kok.”

Nia menoleh ke arah Andre yang sedang berdiri di sisi kirinya. “Mas, jangan usir Nanda lagi! Anak kita Cuma satu. Kenapa kamu nggak sayang sama anak kita sendiri?”

“Aku sayang sama anak kita, Nia. Makanya, aku pilihkan wanita terbaik yang bisa jadi pendamping dia,” sahut Andre.

“Baik buat kita belum tentu baik buat anak kita, Mas,” ucap Nia sambil menitikan air mata.

“Nia, kalau perjodohan Andre dan Karina sampai batal, perusahaan kita terancam. Kamu mau kalau kita hidup gembel lagi?” sahut Andre sambil menahan kesal.

Nia menggeleng sambil menitikan air matanya. “Nggak ada cara lain, Mas? Kita bisa minta suntikan saham sama Yuna ‘kan? Dia pasti mau bantu kita.”

Andre menghela napas. “Aku udah nggak punya muka buat minta tolong ke dia. Ada berapa banyak hal memalukan yang terjadi di keluarga dan hanya jadi bahan tertawaan mereka saja. Aku dan Yeriko itu ... dulu sama-sama kuat. Bahkan lebih besar Amora Internasional daripada Galaxy. Tapi sekarang? Lihat! Punya satu anak nggak bisa diatur dan nggak bisa ngembangin perusahaan sedikitpun! Tahunya hanya main-main dan bikin masalah di keluarga kita!” tutur Andre sambil menunjuk-nunjuk wajah Nanda penuh amarah.

“Mas, kenapa kamu selalu membanding-bandingkan anak kita dengan anak orang lain yang lebih tinggi? Di luar sana, masih banyak yang hidupnya lebih susah dari kita. Kita harusnya bersyu— uhuk ... uhuk ... uhuk ...!”

“Ma ...! Nanda akan baik-baik aja di luar sana. Nanda bukan anak kecil lagi. Mama nggak usah banyak bicara dulu! Istirahat yang baik dan Nanda akan baik-baik saja,” ucap Nanda sambil memeluk lengan Nia.

Nia menatap nanar ke arah Nanda. “Mama nggak mau jauh dari Nanda lagi. Mama mau ikut Nanda, boleh?”

Nanda langsung mengangkat kepalanya menatap Andre. Ia langsung bangkit dari kursi dan mensejajarkan tubuhnya dengan Andre. Tubuhnya yang tinggi menjulang, sudah jelas melebihi tinggi tubuh papanya sendiri.

“Kamu mau nantangin Papa? Bisa hidupi mama dan istrimu pake apa?” tanya Andre sambil tersenyum miring.

“Kalau Nanda bisa buktikan bisa hidupi Mama dan Roro Ayu tanpa bantuan Papa. Maka Papa harus bisa merestui hubunganku dengan Roro Ayu!” pinta Nanda.

“Oke. Papa tidak akan menghalangi kalian kalau memang kamu bisa membuktikannya. Bayar biaya rumah sakit mama kamu ini! Buktikan!” perintah Andre sambil melangkah pergi dari ruangan tersebut.

Nia menghela napas melihat sikap keras kepala suaminya, sama saja dengan puteranya juga. Ia harap, Nanda bisa lebih mengalah menyikapi keegoisan papanya. “Nan, kamu nggak usah ambil hati sikap papa kamu, ya! Mama masih punya uang tabungan untuk biaya berobat Mama. Nggak perlu pakai uang kamu. Kamu lebih butuh. Perusahaanmu masih baru. Jangan boros, ya! Buktikan ke papamu kalau kamu bisa sukses tanpa dia!” pintanya.

“Ma, Nanda mana bis—”

“Sst ...! Dengerin Mama, ya! Kalau Nanda sayang sama Mama, dengerin Mama!”

Nanda langsung menoleh ke arah Ayu yang berdiri di sampingnya.

“Ayu, maafin Mama Nia dan Nanda di masa lalu. Nanda sudah menebus semua kesalahannya. Mama titip Nanda, ya! Jangan tinggalin dia lagi meski dia nakal dan rewel. Aslinya, dia itu baik dan sayang banget sama Ayu,” ucap Nia sambil tersenyum menatap Ayu.

Ayu menganggukkan kepala dan memeluk tubuh Nia. “Maafin Ayu juga, Ma! Ayu sudah melakukan banyak hal yang menyakiti keluarga kalian,” bisiknya.

“Sudahlah. Kita tidak perlu membahas masa lalu terus-menerus! Kita lupakan saja!” pinta Nia berbisik. “Sekarang, pikirkan masa depan kalian! Oke?”

Ayu mengangguk sambil menitikan air mata.

“Jangan nangis!” pinta Nia sambil mengusap air mata Ayu. “Mama bahagia karena cita-cita Mama untuk menjadikan kamu menantu satu-satunya sudah terwujud. Kalian segeralah menikah dan kasih cucu buat Mama! Mama sudah semakin tua, sudah kesepian setiap hari. Kalau ada cucu, Mama bisa punya teman bermain.”

Ayu menganggukkan kepala. “Ayu akan berikan cucu yang banyak untuk Mama supaya nggak kesepian di hari tua.”

Nia tersenyum sambil mengelus lembut pipi Ayu. “Jangan buat cucu cuma satu! Supaya Mama Nia nggak perlu berebut cucu dengan bundamu.”

“Tenang, Ma! Nanti Nanda buatin dua belas cucu untuk Mama,” sahut Nanda.

“Kamu yang mau melahirkan? Dikira melahirkan itu nggak sakit?” dengus Ayu sambil menatap wajah Nanda.

“Hehehe. Kalau bisa, aku mau gantiin kamu melahirkan. Biar kamu nggak usah ngerasain sakit.”

“Gaya banget. Emang barangmu udah normal?” tanya Nia sambil melirik ke arah bagian perut Nanda.

“Mama ...!” dengus Nanda sembari menutupi bagian bawah perutnya. “Aku udah berobat. Udah normal.”

“Udah dicoba?” tanya Nia sambil menatap serius ke arah Nanda.

Nanda gelagapan mendengar pertanyaan mamanya. Ia tidak tahu harus mengatakan apa di depan calon istrinya.

“Yu, sejak kamu meninggalkan dia. Dia nggak pernah deket sama cewek mana pun. Dia ini playboy, tobat karena udah menemukan cinta sejatinya, atau tobat karena barangnya udah nggak bisa berdiri lagi? Kamu harus tes dulu! Kalau udah nikah dan barangnya nggak bisa bangun, kamu juga yang rugi,” ucap Nia sambil tertawa kecil.

“Astaga ...! Mama jangan ngomong gitu, dong! Emangnya aku cowok apaan? Pake dicoba-coba segala!?” sahut Nanda.

Nia terkekeh menatap wajah Nanda. “Harus dicobain dulu karena Ayu terlihat lebih normal dari kamu, Nan.”

“Boleh juga. Mau coba, Ay?” Nanda menatap  Ayu dengan tatapan menggoda.

“Apaan, sih!?” Ayu menyembunyikan wajahnya yang merona merah karena malu.

“Bercanda. Nggak akan ada kata cobain, kok. Aku ingin pernikahan kita bisa menciptakan banyak hal indah di dunia ini bersama-sama. Bukan sekedar menciptakan seorang bayi,” ucap Nanda.

Ayu mengangguk sambil tersenyum manis. Ia merasa sangat bahagia karena Nanda sudah banyak berubah. Tidak lagi Nanda yang membuatnya naik darah setiap kali melihat pria itu dikelilingi oleh wanita-wanita seksi kesukaannya.

 

 

 

((Bersambung ...))



Bab 71 - Ditolak Papa Mertua

 


Setelah mendapatkan izin dari semua keluarga keraton untuk mempersunting puteri mahkota mereka, kini giliran Nanda yang membawa Ayu untuk masuk dan mengambil izin dari keluarga Perdanakusuma untuk menikah.

“Pagi, Ma ...!” sapa Nanda sambil menghampiri Nia yang sedang menyiram tanaman di depan rumah mereka.

“Nanda ...!?” Nia langsung melemparkan alat semprot di tangannya begitu saja dan berlari memeluk tubuh puteranya itu. “Kamu ke mana aja? Baik-baik di luar sana?” tanyanya sembari menitikan air mata.

Nanda mengangguk sambil tersenyum. “Nanda baik-baik saja, Ma. Hari ini Nanda datang ke sini bersama Ayu.”

Nia langsung menoleh ke arah Ayu yang berdiri di sebelah Nanda. “Gimana kabar kamu, Sayang?” sapanya sambil tersenyum manis.

“Baik, Ma. Mmh ... apa Ayu masih boleh panggil mama?”

“Boleh, dong,” jawab Nia sambil tersenyum manis. “Sudah beberapa minggu ini, Nanda tidak pulang ke rumah. Mama tenang kalau ternyata dia bersamamu.”

Ayu tersenyum sambil menatap wajah Nia. “Ayu baru bertemu Nanda empat hari belakangan ini, Ma.”

“Eh!? Kamu selama ini tinggal di mana?” tanya Nia dengan kening mengernyit.

Nanda tersenyum sambil merangkul tubuh Ayu. “Aku tinggal di kantor baruku untuk sementara.”

“Sudah kerja? Kerja di mana?” tanya Nia penasaran. “Papa kamu itu memang jahat sama anak sendiri.”

“Aku dirikan perusahaan sendiri, Ma,” jawab Nanda. “Mmh, masih kecil-kecilan. Tapi ... aku senang menjalaninya. Ayu juga sudah berjanji akan membantuku mengembangkan perusahaan setelah kami menikah.”

“Kalian mau rujuk lagi?” tanya Nia dengan wajah sumringah. Ia langsung memeluk dua orang yang ada di depannya itu. “Mama senang kalau kalian bisa rujuk lagi!”

Nanda tersenyum bahagia saat niatnya mendapat sambutan baik dari mamanya. Tapi, ia masih khawatir jika Papa Andre tidak merestuinya dan membuat hati Ayu terluka.

“Masuk, yuk!” ajak Nia sambil menarik lengan Ayu dan Nanda.

“Papa di rumah?” tanya Nanda.

“Masih di rumah. Jam sepuluh baru berangkat ke kantor,” jawab Nia sambil melangkah memasuki rumahnya.

“Pa ...! Papa ...! Lihat, siapa yang datang?” seru Nia ceria sambil menghampiri Andre yang sedang bersantai di ruang keluarga.

Andre langsung memutar kepalanya dan menatap wajah Nanda yang ada di sana. “Kamu ...!? Masih punya nyali masuk rumah ini? Mau apa? Udah bersedia menikah sama Karina?”

“Pa ...!” Nanda langsung menggenggam tangan Ayu sembari  menatap wajah papanya. “Aku nggak akan menikahi wanita lain selain Ayu.”

Andre tersenyum sinis menatap Ayu yang berdiri di samping Nanda. “Jangan harap Papa mau menerima wanita ini jadi mantu Papa. Perempuan ini sudah membuatku masuk rumah sakit, masuk penjara dan membuat keluarga kita bangkrut. Kalau kamu masih memaksakan diri menikahi wanita ini, kamu bunuh aja papamu!” sentaknya.

Ayu langsung menitikan air mata mendengar ucapan Andre. Ia benar-benar tidak menyangka jika pria yang dulu begitu baik dan menyayanginya sebagai menantu, kini telah berubah menjadi sosok pria yang begitu membencinya.

“Maafin Ayu, Oom ...! Ayu memang sudah menghancurkan keluarga ini dan tidak layak untuk ada di sini. Terima kasih sudah pernah menerima Ayu dengan baik sebagai menantu,” ucap Ayu sambil menunduk hormat.

“Bagus kalau kamu sadar siapa dirimu saat ini. Jangan pernah dekati puteraku lagi! Sebagus apa pun dirimu sekarang, aku tidak tertarik menjadikanmu menantu!” tegas Andre.

Ayu menahan rasa perih yang begitu menusuk mata, hati dan seluruh tubuhnya. Kalimat yang keluar dari mulut Andre, benar-benar seperti belati yang sedang menguliti seluruh tubuhnya.

Ayu menahan napas` dan tersenyum menatap Nanda. “Nan, makasih sudah menjadi pria yang mau menerimaku apa adanya. Sudah mau menerimaku kembali meski aku sangat menyakitimu. Maaf! Mungkin, jodoh kita hanya sampai di sini,” ucapnya sembari melepaskan tangan Nanda.

Nanda menggelengkan kepala sambil berusaha menggenggam tangan Ayu. Namun, wanita itu terus menepisnya dan berbalik pergi meninggalkannya.

“Mas, kenapa bicara sekasar itu sama Ayu? Dia wanita baik-baik. Aku yakin, dia nggak bener-bener salah. Yang salah memang anak kita, Mas. Nanda saja mau memaafkan Ayu, kenapa kamu tidak bisa?” tutur Nia sambil menatap wajah Andre.

Andre bergeming dan menatap wajah Nanda. “Kalau kamu mengejar dia, jangan harap Papa akan menerimamu sebagai anak Papa lagi!”

Nanda balas menatap tajam ke arah Andre sambil mengepal erat jari-jari tangannya. “Selama Papa tidak bisa menerima Roro Ayu, selama itu juga aku tidak akan menginjakkan kakiku ke rumah ini dan perusahaan Papa!” tegas Nanda.

“Nan, kenapa kamu bicara seperti itu?” tanya Nia sambil menghampiri puteranya. “Papamu hanya sedang emosi sesaat. Kamu tidak perlu mengambil hati!”

Nanda menatap wajah mamanya sejenak. Ia sangat berharap, mamanya bisa membujuk sang papa untuk menerima kehadiran Ayu lagi dalam hidupnya. “Maafin Nanda, Ma! Mama jaga kesehatan, ya!” ucapnya. Ia mengecup punggung tangan Nia, mengecup kedua pipi wanita itu dan melangkah keluar dari rumah tersebut.

Nia menggelengkan kepala melihat Nanda yang memilih untuk keluar lagi dari rumah itu. “Mas, kenapa kamu nggak mau berdamai sama anak sendiri? Ayu itu kebahagiaannya Nanda. Kamu tega banget bikin Nanda menderita, Mas!” ucapnya sambil berlinang air mata.

“Kalau mau aku nggak tega, kamu urus anakmu itu supaya bener! Dulu disuruh nikah sama Ayu, malah jalan sama pelacur. Sekarang, disuruh nikah sama Karina yang dari keluarga baik-baik, dia malah pilih mantan istri yang udah bikin keluarganya bangkrut!” sahut Andre. Ia benar-benar tidak ingin bernegosiasi dengan siapa pun dan keukeuh dengan keputusannya sendiri. Ia langsung melangkah pergi meninggalkan Nia begitu saja.

Nia terduduk lemas sambil terisak. Baru saja puteranya masuk ke rumah,  duduk saja belum, suaminya malah membiarkan Nanda keluar lagi di rumah itu. “Mas, kamu tega banget sama anak sendiri. Nanda itu anak kita satu-satunya. Kenapa kamu usir dia lagi?” serunya histeris. “NAN, JANGAN TINGGALIN MAMA LAGI!” seru Nia sekuat tenaga. Tapi suaranya tetap saja tidak terdengar oleh Andre, sebab tercekat di tenggorokan dan nyaris tak terdengar.

“Ibu ...!” Asisten rumah tangga yang ada di sana langsung berlari menghampiri tubuh Nia yang tergeletak di lantai. “BAPAK ...! IBU PINGSAN!”

Andre yang baru menaiki anak tangga menuju ke kamar, langsung berbalik dan berlari menghampiri istrinya. “Nia ...!” panggilnya sembari menepuk lembut pipi wanita itu.

“Pak, akhir-akhir ini ibu sering sakit. Dia tidak bisa tertekan dan setress. Mungkin, dia rindu dengan Mas Nanda,” tutur asisten rumah tangga itu sambil menatap wajah Andre.

Andre menghela napas. Ia segera mengangkat tubuh Nia dan membawanya ke rumah sakit.

Sementara itu ...

Nanda terus menginjak pedal gas mobilnya, mengikuti taksi yang membawa tubuh Ayu pergi. Ia terus men-dial nomor ponsel wanita itu, tapi Ayu tetap saja tak menjawab panggilan darinya.

“Ay, berhenti, dong!” pinta Nanda sambil menatap mobil taksi yang berada di depannya. Jalanan yang terlalu padat, membuatnya kesulitan untuk mengejar taksi yang dinaiki Ayu.

Begitu sampai di lampu merah dan taksi yang ditumpangi Ayu berhenti. Nanda langsung keluar dari dalam mobil begitu saja dan menghampiri taksi yang ada di sana.

“Ay, buka pintunya!” pinta Nanda sambil mengetuk kaca pintu taksi tersebut.

Ayu tersenyum menatap Nanda dengan berlinang air mata. Mungkin, Tuhan memang tidak menggariskan takdir jodohnya dengan Nanda. Sekuat apa pun ia melawan orang-orang di sekitarnya, tetap saja tidak bisa membuat ia dan Nanda bersatu.

“Pak, buka pintunya! Istri saya di dalam! Kalau Bapak tetap nggak mau buka, saya akan lapor polisi karena bapak menculik istri saya!” seru Nanda pada supir taksi yang membawa Ayu.

“Mbak, sebaiknya Mbak keluar dari taksi saya. Saya tidak mau kena masalah,” pinta supir taksi tersebut.

Ayu menghela napas. Ia mengulurkan beberapa lembar uang kepada supir taksi tersebut dan bergegas keluar.

Nanda langsung tersenyum lebar begitu melihat Ayu keluar dari taksi. Ia menghampiri wanita itu dan memeluknya begitu erat. “Ay, jangan pergi lagi dari aku! Aku nggak bisa hidup tanpa kamu. Kalau kamu cinta sama aku, kamu pasti mau bertahan di sisiku. Aku yakin, Papa Andre akan bersikap baik lagi ke kamu kalau kamu mau bersikap baik juga ke dia.”

Ayu menghela napas sambil membalas pelukan Nanda. “Aku juga nggak mau pergi dari kamu. Tapi ... kalau aku di sisimu, aku akan selalu menyakiti kamu, Nan.”

Nanda menggelengkan kepala sambil memeluk tubuh Ayu. “Aku akan sakit kalau kamu nggak ada di sisiku,” bisiknya.

Tiin ... tiin ... tiin ...!

Suara klakson kendaraan tiba-tiba terdengar riuh saat lampu lalu lintas kembali berubah menjadi warna hijau. Sedangkan Ayu dan Nanda, asyik berpelukan di tengah jalan dan mengganggu lalu lintas semua kendaraan di sana.

Ayu dan Nanda tertawa kecil sambil melepas pelukan mereka.

“Ayo, ikut aku! Kita tunjukan kalau kita bisa bahagia dan menjadi orang yang lebih baik tanpa Papa!” ajak Nanda sambil menggenggam pergelangan tangan Ayu dan membawanya masuk ke dalam mobil.

 

 

 

 

((Bersambung...))

Bab 70 - Tak Lagi Berjarak

 


“Selamat siang, Kakek ...!” sapa Ayu sambil melangkah masuk ke dalam kediaman pribadi Sri Sultan yang berada di pusat keraton tersebut.

“Siang ...!” balas Sri Sultan sambil menatap wajah Ayu.

Ayu tersenyum dan pandangannya malah tertuju pada Nanda yang sedang menikmati secangkir kopi hitam bersama kakeknya dan ada papan catur di tengah-tengah mereka.

“Duduklah!” pinta Sri Sultan sambil menatap Ayu.

Ayu mengangguk. Ia segera duduk di kursi yang ada di sebelah kiri kakeknya itu, ia berada tepat di tengah dua pria berbeda zaman itu.

“Kamu kenal dengan pria ini?” tanya Sri Sultan sambil menatap wajah Ayu.

Ayu mengangguk dan menunduk sopan. “Mantan suami saya, Kakek.”

“Masih mencintai dia?” tanya Sri Sultan.

Ayu bergeming sambil menundukkan kepalanya.

“Ay ...!” panggil Nanda lembut sambil meraih jemari tangan Ayu. “Will you marry me?”

Ayu langsung mengangkat kepalanya menatap Nanda. Ia tidak menyangka jika pria ini akan melamarnya di depan sang kakek. Sesepuh sekaligus orang yang paling disegani di keraton ini.

“Ay, kali ini aku memintamu dengan cara baik-baik. Aku ingin menikahimu dengan cara yang baik pula. Bukan karena aku merenggut kesucianmu dan kebahagiaanmu seperti dulu. Banyak hal sulit yang sudah kita lalui bersama. Aku yang terlalu bodoh karena tidak pernah menyadari jika Tuhan menjadikanmu takdirku,” tutur Nanda sambil menatap lekat mata Ayu.

Ayu tersenyum sambil menatap wajah Nanda. Pria ini benar-benar membuat perasaannya kacau setiap hari. Dia yang brengsek saja tetap ia cintai, apalagi berubah menjadi selembut dan sebijaksana ini. Terlebih, Nanda mengatakan banyak kalimat indah di hadapan kakeknya.

“Ay, boleh ‘kan kalau aku menjadi suamimu lagi?” tanya Nanda sambil menatap lekat wajah Ayu.

Ayu langsung menoleh ke arah kakeknya, meminta persetujuan darinya. Karena pernikahan sebelumnya, dilangsungkan tanpa persetujuan dan restu keluarganya. Ia ingin pernikahannya kali ini mendapat restu dari semua keluarga hingga membuatnya bisa menjalani rumah tangga dengan tenang dan bahagia.

“Kamu mencintai pria ini atau tidak?” tanya Sri Sultan sambil menatap wajah Ayu.

“Ayu mencintai Nanda, Kek,” jawab Ayu sambil menatap wajah Sri Sultan.

“Kalau begitu ... ulang tahun kakek yang ke sembilan puluh kali ini, berikan hadiah pernikahan kalian!” pinta Sri Sultan.

“Sungguh?” Ayu menatap wajah Sri Sultan dengan mata berbinar. “Kakek akan merestui pernikahan kami?”

Sri Sultan mengangguk. “Kamu sudah banyak menderita beberapa tahun ini. Dosamu sudah kamu tebus. Jika bersama pria ini bisa membuatmu bahagia, Kakek tidak akan menghalangimu.”

Ayu tersenyum dan memerosotkan tubuhnya. Ia bersimpuh di hadapan Sri Sultan dan bersujud di bawah kaki kakeknya itu. “Kakek, maafkan Roro Ayu karena pernah menjadi aib dan mempermalukan seluruh keluarga keraton. Maafkan Ayu karena tidak menjadi anak yang berbakti, tidak bisa menjaga nama baik keluarga dan melukai semuanya.”

Sri Sultan mengangguk sambil menyentuh lembut pundak Ayu. “Hal yang sudah berlalu, sesalilah untuk membuatmu lebih baik di masa depan! Hari ini ... pria yang dahulu mengambilmu dari keluarga tanpa permisi, datang baik-baik ke hadapan kakek dan memintamu dengan tulus. Maka, jangan sia-siakan pria yang kamu cintai agar kamu tidak akan menyesal di masa depan.”

Ayu menganggukkan kepala sambil menitikan air mata.

“Saat kamu sudah berumah tangga, jadilah istri yang berbakti. Baik-buruknya suami, kamulah yang akan menjaga namanya. Rumah tangga itu bukan tentang keindahan, Nak. Bukan tentang kebahagiaan. Tapi tentang rasa sakit dan bertahan hidup. Kamu tidak lagi bisa memikirkan dirimu sendiri, tapi harus merelakan jiwa ragamu untuk memikirkan suami, anak-anak kalian dan keluarga,” ucap Sri Sultan sambil menatap Ayu yang masih sungkem di hadapannya.

Nanda tersenyum. Ia ikut berlutut di hadapan Sri Sultan dan melakukan sungkem bersamaan dengan Ayu. Memohon restu agar ia dan Ayu bisa melangsungkan pernikahan mereka tanpa harus bersembunyi dari semua orang.

 

...

Nanda melangkahkan kakinya perlahan sembari menggandeng tangan Ayu. Mereka berdua berjalan beriringan menyusuri jalanan malam di sekitar keraton. Sebelah kanan-kiri mereka penuh dengan penjual jajanan dan souvenir oleh-oleh khas kota itu.

“Hei, udah pada baikan!?” seru Nadine sambil menepuk pundak Ayu.

Ayu langsung mengelus dada sambil menoleh ke arah Nadine. “Kamu ini ngagetin aja, sih!?”

Nadine langsung meringis sambil merangkul Rocky yang ada di sebelahnya. “Ikut pacaran, dong!”

“Emang kalian berdua pacaran?” tanya Nanda sambil menunjuk wajah Rocky.

“Kami bukan pacar, tapi pacaran setiap hari!” sahut Rocky sambil menepis tangan Nanda.

“Hahaha.”

“Kapan merit? Kayaknya, kalian ini pacarannya udah lama, ya?”

“Kami udah merit, Nan. Tapi belum resepsi aja,” sahut Rocky.

“Oh.” Nanda manggut-manggut. “Enak juga sih kalau udah sah. Terus, kapan rencana resepsinya?” tanya Nanda.

“Masih lama. Banyak yang harus diurus, Nan. Dikira nyiapin pernikahan itu gampang apa?”

“Gampang. Tinggal telepon vendor aja!” sahut Nanda sambil tertawa kecil.

“Kamu duluan kalau gitu!” pinta Rocky.

“Sebentar lagi,” jawab Nanda sambil memainkan alisnya. Ia langsung merangkul tubuh Ayu dan mengecup kening wanita itu.

“Hei, pacaran tuh kayak gini!” tutur Rocky sambil mengecup bibir Nadine. “Kayak anak SMP aja pacaran kecup kening.”

“Apaan, sih!? Tempat umum ini banyak anak kecil,” dengus Nadine sambil menoyor wajah Rocky.

Rocky tertawa kecil sambil melingkarkan lengannya di leher Nadine dan menarik ke ketiaknya. “Mau makan apa?”

“Apa aja, yang penting sama kamu,” jawab Nadine sambil tersenyum menatap wajah Rocky.

“Kita makan sate aja, yuk!” ajak Rocky.

“Sate di Surabaya banyak,” sahut Nadine.

“Jadi, mau makan apa? Laper, nih.” Rocky mengedarkan pandangannya sambil mengelus perut dengan satu tangannya.

“Nasi goreng aja, Ky,” sahut Nanda.

“Nasi goreng di rumah juga bisa bikin,” sambar Ayu.

Rocky dan Nanda menghela napas menatap dua wanita milik mereka itu. “Kalian ini mau ngajak gelud, ya?”

Ayu dan Nadine terkekeh bersamaan.

“Kita makan orang aja, Nan!” ajak Nanda. “Di Surabaya belum ada warung makan yang sediain menu manusia goreng. Di sini ada, nggak?”

“Ada. Kalau kamu yang digoreng,” sahut Ayu sambil tertawa kecil.

Nanda tertawa mendengar ucapan Rocky. Ia merangkul Ayu dan mengajaknya masuk ke dalam salah satu kedai Gudeg Ceker yang terkenal dan sangat legendaris di kota Solo.

Ayu tersenyum sambil menatap wajah Nanda yang masih terus memeluknya. “Kamu tahu tempat ini?”

Nanda mengangguk. “Waktu itu nyari-nyari makan di sekitar sini sama Karina. Lumayan viral di internet dan rasanya emang enak.”

Ayu tersenyum sambil menatap wajah Nanda. Pandangannya langsung teralih pada sepasang muda-mudi yang duduk berhadapan di salah satu meja yang ada di sana. “Itu ... Mbak Karina sama Mas Enggar ‘kan?” tanya Ayu.

Nanda langsung memutar kepalanya. “Iya. Sejak kapan mereka deket?” Ia mengernyitkan dahi ke arah Karina dan Enggar yang sedang asyik berbincang hingga tak menyadari kehadiran mereka.

Ayu menggelengkan kepala. “Kenapa? Cemburu?”

Nanda menggeleng sambil tersenyum manis. “Aku cemburu kalau kamu sama si cowok bangsawan itu.”

Ayu tertawa kecil sambil menatap wajah Nanda. “Kenapa kamu jadi cemburuan gini?”

“Aku nggak cemburu, cuma takut kehilangan kamu,” bisik Nanda.

Ayu tersenyum sambil menyubit kecil perut Nanda. “Gombal terus!”

“Kalian ini ... mau pesen makan atau mau mesra-mesraan? Kalau mau mesra-mesraan, ke hotel aja!” tanya Rocky yang sudah berdiri di belakang Nanda bersama Nadine.

Nanda tertawa kecil dan menatap penjual makanan yang sedang menghidangkan makanan untuk pelanggan mereka. “Bude, pesen gudeng cekernya empat porsi. Antar ke meja sana, ya!” pintanya sambil menunjuk meja dan kursi panjang yang diduduki oleh Enggar dan Karina. Ia langsung mengajak Rocky dan dua wanita mereka untuk bergabung di sana.

“Ciyee ... pacaran?” goda Nanda sambil menghampiri Karina.

Karina tersenyum malu sambil menyikut tubuh Nanda yang sudah duduk di sampingnya. “Apaan, sih!?”

“Malu-malu gitu?” Nanda menunjuk wajah Karina yang memerah dan semakin bersemangat untuk menggoda wanita itu.

Karina mengerutkan hidung ke arah Nanda. “Nggak usah ngecengin! Aku sama Mas Enggar cuma ngomongin rencana bisnis.”

“Ngomongin rencana bisnis apa? Bikin anak?” tanya Nanda.

“Hahaha.” Rocky langsung tergelak mendengar pertanyaan Nanda. “Bener-bener. Bikin anak juga bagian dari produksi. Masuk kategori bisnis, tuh.”

“Rocky seneng banget kalau disuruh bisnis anak!” sahut Nanda sambil tertawa.

“Hahaha. Anak-anakku udah banyak, Nan.”

“Eh!? Serius?” tanya Nanda sambil melebarkan kelopak matanya. Ia menoleh ke arah Ayu yang duduk di sebelahnya. “Kita kapan punya anak lagi?”

“Setelah kita sah, ya! Jangan buat masalah lagi! Oke?” pinta Ayu sambil tersenyum manis.

Rocky menahan tawa sambil menatap wajah Nanda yang ada di depannya. “Kenapa? Barangmu udah karatan karena tiga tahun lebih nggak pernah diasah?”

“Ck. Kamu jangan gitu, dong! Sekali diasah, keluarnya anak!” sahut Nanda.

“HAHAHA.”

Semua orang tergelak dan menikmati makan malam mereka penuh suka cita sembari membicarakan banyak hal.

Ayu tersenyum sambil menatap semua orang yang sedang bersamanya satu per satu. Baru kali ini, ia merasa hidupnya begitu ramai. Biasanya, Nanda tidak pernah mengajaknya pergi makan bersama seperti ini selain acara perjamuan keluarga atau rekan bisnisnya. Bisa bercanda tanpa jeda seperti ini, barulah ia merasa hubungannya dengan Nanda tak lagi berjarak.

 

 

((Bersambung ...))

 

Terima kasih sudah jadi sahabat setia bercerita!

Dukung terus biar author makin semangat nulisnya!

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

 

 

 

 


Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas