Wednesday, August 17, 2022

Bab 66 - Pertemuan yang Menyesakkan

 



Nanda tersenyum penuh percaya diri saat ia dan Karina berhasil masuk ke dalam Keraton Surakarta dengan alasan untuk melakukan ekspansi bisnis.

“Rin, kenapa nggak dari dulu aja aku masuk ke keraton ini dengan alasan bisnis?” tanya Nanda lirih sambil mengikuti dua pengawal keraton yang sudah berjalan lebih dulu di hadapan mereka.

“Kamu aja yang bego. Otak tuh dipake! Bukan buat pajangan doang!” sahut Karina.

“Sialan kamu, Rin!” celetuk Nanda sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Entahlah, mungkin karena terlalu banyak mikirin Ayu. Sampe nggak kepikiran yang lain.”

“Gayamu, Nan!” sahut Karina sambil menoyor pundak Nanda.

“Eh!? Sst ...!” Nanda meletakkan jari telunjuk ke bibirnya. “Kita di keraton, Rin. Harus jaga sikap dan elegan!”

“Oh, iya.” Karina menarik napas dan menegakkan tubuhnya. Ia memasang sikap elegan dan melangkah mengikuti pengawal keraton memasuki aula pertemuan yang ada di halaman muka keraton tersebut.

“Selamat pagi, Tuan ...!” sapa Karina begitu ia memasuki aula tersebut dan disambut oleh seorang pria paruh baya yang tak asing lagi di mata Nanda. Pria itu adalah Edi Baskoro, mantan mertuanya.

“Pagi ...! Dengan Mbak Karina dari PT. Dua Permata?” balas Edi Baskoro sembari mengulurkan tangannya ke arah Karina.

Karina mengangguk dan membalas uluran tangan Edi Baskoro. “Karina Permata, Tuan. Ini rekan saya, Ananda Putera,” ucapnya sembari menoleh ke arah Nanda.

Edi Baskoro langsung tersenyum dan mengulurkan tangannya ke arah Nanda. “Salam kenal ...!”

“Salam kenal, Tuan ...!” balas Nanda. Ia tersenyum manis sembari membalas uluran tangan Edi Baskoro. Ia hanya bisa meringis ketika mantan papa mertuanya itu mencengkeram tangannya begitu kuat.

“Silakan duduk!” pinta Edi Baskoro dengan sopan sembari menunjuk kursi tamu yang sudah tersedia di sana.

Karina dan Nanda mengangguk bersamaan. Mereka segera duduk di kursi yang telah disiapkan untuk mereka. Beberapa orang pegawai istana juga sudah berkumpul di aula pertemuan tersebut.

“Selamat pagi semuanya ...!” sapa Edi Baskoro membuka pembicaraan di aula tersebut. “Hari ini kita kedatangan tamu istimewa untuk membicarakan hubungan bisnis dari PT. Dua Permata milik Ibu Karina. Sebelum kita membicarakan bisnis lebih lanjut, mari kita sambut kedua tamu istimewa ini dengan tarian pembuka yang akan dibawakan oleh sepasang penari legendaris di kalangan bangsawan kami. Yakni, Raden Mas Enggar Perkasa Dierjaningrat dan Raden Roro Ayu Rizky Prameswari.”

Nanda langsung memutar kepalanya begitu mendengar nama dua orang itu disebut. Ia langsung bangkit dari tempat duduk dan berusaha mencari keberadaan istrinya itu.

“Nan ...!” Karina langsung menarik lengan Nanda agar kembali duduk di sisinya.

Nanda menoleh sekilas ke arah Karina dan duduk kembali di kursinya. Dua manik matanya langsung tertuju pada tubuh Roro Ayu yang muncul dari balik pintu besar di belakang singgasana yang diduduki oleh Edi Baskoro.

Kedua tangan Nanda mengepal erat saat melihat Ayu dan Enggar menarikan tarian Selamat Datang dengan pakaian tradisional yang sangat terbuka baginya. Enggar hanya mengenakan celana dan jarik motif parang yang khas dengan aksesoris tradisional yang terbuat dari emas asli. Sedangkan Ayu, menggunakan kemben warna hijau ala Nyi Ratu Kidul dan jarik bermotif sama dengan yang digunakan oleh Enggar.

Ayu terdiam sejenak saat manik matanya menangkap tubuh Nanda yang sedang duduk berpegangan tangan dengan Karina. Ia semakin merapatkan tubuhnya pada Enggar sembari mengikuti irama musik yang menguasai ruangan tersebut. Ia benar-benar kesal karena Nanda masih punya keberanian untuk masuk ke dalam keraton itu menggunakan hubungan bisnis bersama dengan wanita simpanannya.

Lima belas menit kemudian, Ayu mengerjapkan mata saat ia dan Enggar hampir menyelesaikan tariannya. Pandangannya tiba-tiba memburam dan kepalanya sedikit pening. Ia langsung memutar tubuhnya menuju pintu belakang dan berusaha mempercepat langkahnya. Tapi, pandangan matanya semakin buruk dan membuatnya tidak bisa melihat apa pun.

BRUG ...!

Tubuh Ayu tiba-tiba merosot ke lantai dan tak sadarkan diri.

“AYU ...!” seru Enggar sambil berusaha menangkap tubuh Ayu.

“Ay ...!” Nanda langsung bangkit dari kursi begitu melihat Ayu tiba-tiba terjatuh saat ingin kembali ke belakang panggung. Baru saja ingin mengejar Ayu, ia langsung mengurungkan niatnya ketika Enggar sudah menggendong tubuh Ayu lebih dulu dan membawanya masuk ke dalam pintu belakang singgasana itu.

“Kenapa, Nan?” tanya Karina sambil menarik kembali lengan Nanda.

“Istriku, Rin.”

“Dia istrimu?” bisik Karina.

Nanda mengangguk dan kembali duduk di kursinya. Perasaannya tiba-tiba gelisah saat melihat Ayu terjatuh di sana. Ingin sekali ia menerobos pintu besar yang membawa tubuh Ayu menghilang dari hadapannya. Tapi urusan bisnis, tidak bisa ia tinggalkan begitu saja.

“Cantik banget istrimu,” bisik Karina. “Udah, nggak usah panik! Kita urus setelah urusan bisnis kita selesai,” lanjutnya seolah memahami kegundahan yang sedang melanda dada Nanda.

Nanda menganggukkan kepala. Ia mendekatkan bibirnya ke telinga Karina. “Kamu cari cara untuk bisa menginap di keraton ini! Penari laki-laki itu juga tamu bisnis di keraton ini dan dia bisa tinggal di sini,” pintanya.

“Eh!? Serius!?” tanya Karina sambil melebarkan kelopak matanya.

Nanda menganggukkan tegas.

Karina mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti. Ia mencoba bernegosiasi dengan pihak keraton agar diizinkan untuk tinggal sementara di kediaman tersebut.

 

...

“Den, Ndoro Puteri kenapa?” tanya salah satu pelayan saat melihat Enggar menggendong tubuh Ayu masuk ke dalam kamarnya.

“Pingsan. Ada minyak angin?” tanya Enggar.

Pelayan itu buru-buru mengambil minyak angin dan memberikannya ke tangan Enggar.

“Ayu ...!” panggil Enggar sembari mengenduskan minyak angin ke hidung Ayu.

Ayu mengerjapkan mata perlahan sambil memegangi kepalanya yang terasa sangat pening. Ia berusaha mengangkat kepalanya, tapi terasa sangat berat dan membuatnya tak bisa bergerak.

“Ayu, kamu sakit?” tanya Enggar sambil memeriksa kening dan leher Ayu yang menghangat.

Ayu menggeleng. “Aku baik-baik aja, Mas.”

Enggar menghela napas sambil menatap wajah Ayu.

“Den, Ndoro Puteri nggak pernah makan nasi selama satu minggu ini. Hanya minum air dan dua buah pir setiap harinya. Sepertinya, tubuhnya sudah tidak bisa menahan lagi,” bisik pelayan itu di telinga Enggar.

Enggar menghela napas dan bangkit dari tepi ranjang Ayu. “Panggilkan dokter keluarga! Biar aku siapkan sup hangat untuk Ayu,” perintahnya pada pelayan yang ada di sana.

“Siap, Den!” Pelayan itu bergegas keluar dari dalam kamar Ayu.

Enggar menatap wajah Ayu yang terlihat sangat pucat. “Apa yang terjadi denganmu sampai kamu menyiksa dirimu sendiri seperti ini? Sudah bosan hidup?”

Ayu mengangguk kecil.

“Ay, jangan seperti ini! Menyerah pada hidup, itu bukan kamu. Ayu yang aku kenal selalu energik, positif dan kuat. Kamu hidup tidak sendiri. Apa pun kesulitanmu, berbagilah! Aku sudah menganggapmu seperti adikku sendiri.”

Ayu menggigit bibir bawahnya sembari menatap wajah Enggar.

“Aku akan buatkan sup untuk kamu. Kamu harus makan banyak! Oke? Setelah sehat, aku akan menemanimu bercerita,” ucap Enggar. Ia tersenyum manis dan segera melangkah keluar dari dalam kamar tersebut.

Enggar langsung melepaskan sumping emas di telinganya, juga beberapa aksesoris dan mahkota yang terbuat dari emas asli dan memberikan pada pengawal pribadi yang terus mengikutinya dari kejauhan. “Aku akan ke dapur keraton ini. Bawa barang-barang berhargaku ke kamar!” perintahnya.

“Siap, Tuan!”

Enggar segera melangkahkan kakinya perlahan menuju dapur keraton tersebut. Matanya terus menatap ke depan hingga ia tidak menyadari jika ada sepasang mata indah yang mengawasinya dengan penuh kekaguman. Ia hanya ingin segera memberikan asupan makanan untuk Ayu. Baginya, Ayu sudah seperti saudara perempuannya sendiri. Sebab, hubungan mereka sudah terjalin begitu lama sejak mereka masih kecil dan belajar di sanggar tari yang sama.

 

((Bersambung...))

 

Terima kasih sudah setia menanti update cerita dari author yang receh ini ...!

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Bab 65 - Sulit Bertemu

 


“Ay, kamu kenapa?” seru Nanda saat Ayu malah masuk ke dalam keraton tersebut dan menutup rapat pintu megah yang ada di hadapannya.

“Maaf, Mas! Ndoro Puteri tidak ingin bertemu dengan sampeyan. Silakan pergi dari sini!” pinta salah satu penjaga sambil menghunuskan pedang ke leher Nanda. “Dia memberi izin pada kami untuk membunuh Anda jika tetap memaksa masuk ke keraton kami.”

Nanda memundurkan kepalanya saat mata pedang itu berada tepat beberapa senti dari lehernya.

“Nan, istri kamu kenapa? Kenapa anak buahnya nyerang kamu?” Karina langsung menarik tubuh Nanda agar tidak terkena hunusan pedang dari pengawal keraton tersebut.

Nanda menggelengkan kepala. “Nggak tahu, Rin.”

“Apa karena aku?” tanya Karina.

Nanda menggelengkan kepala. “Dia bukan perempuan yang seperti itu,” ucapnya sambil mengedarkan pandangannya dan melangkah menyusuri pagar istana yang berdiri kokoh dan megah.

“Mbak ...! Mbak ...!” Nanda langsung berlari menghampiri pelayan keraton yang baru saja keluar dari dalam pintu khusus pelayan yang ada di bagian belakang istana tersebut.

“Ada apa?” tanya pelayan itu sambil mengerutkan dahi menatap Nanda.

“Hhh ... hhh ... hhh.” Nanda terdiam sejenak sambil mengatur napasnya yang tersengal. “Bisa panggilkan pelayan istana puteri mahkota yang namanya Sri?”

“Sampeyan siapanya Sri?” tanya pelayan itu.

“Saudara sepupunya,” jawab Nanda.

“Oh. Sebentar, Mas.”

Nanda mengangguk.

Pelayan itu berbalik dan melangkah menuju pintu khusus pelayan. Tapi pintu mungil itu sudah terbuka lebih dahulu dan Sri keluar dari sana sembari membawa keranjang di tangannya.

“Sri, ada yang cari kamu. Katanya, saudaramu,” ucap pelayan yang tadi sambil menatap wajah Sri.

Sri langsung menatap wajah Nanda dengan tatapan tak bersahabat. “Dia bukan saudaraku, aku nggak kenal,” ucapnya dengan dialek Jawa yang begitu kental. Ia langsung melangkah pergi begitu saja dan tidak menghiraukan keberadaan Nanda.

“Hei, dia siapa?” tanya Karina sambil menyenggol lengan Nanda.

“Pelayan pribadinya Roro Ayu,” jawab Nanda.

Karina menahan tawa mendengar jawaban Nanda. “Pelayan pun ikut ketus dan cuek sama kamu? Bener-bener cocok sama majikannya.” Ia menepuk tangan di depan wajah Nanda.

Nanda langsung menepis tangan Karina. “Nggak lucu!” ucapnya kesal.

Karina tertawa sambil merangkul tubuh Nanda. “Eh, perjalanan Surabaya-Surakarta cukup menghabiskan energi. Kamu belum ajak aku makan. Aku laper banget, Nan. Kita makan dulu, gimana? Kalau laper, nggak bisa mikir. Setelah isi perut, barulah kita pikirkan cara untuk masuk ke keraton ini.”

Nanda menghela napas. “Sepertinya memang harus begitu. Aku juga laper.”

“Oke. Kita cari makan di dekat sini. Enaknya makan apa, ya?”

“Aku pengen makan orang, Rin.”

“Hahaha.” Karina menoyor kepala Nanda. Ia langsung merangkul lengan pria itu sambil melenggang ceria mencari tempat makanan enak di sekitar keraton tersebut.

 

...

Karina tersenyum lebar setelah ia menikmati beberapa makanan enak yang ia pesan di salah satu kedai seafood sekitaran keraton tersebut.

“Mmh ... ini enak banget!” seru Karina sambil menghisap jemari-jemari tangannya.

Nanda tersenyum sambil menatap wajah Karina. “Kamu belum punya ide buat masuk ke keraton itu?”

“Mmh, bentar. Aku telepon papaku dulu. Kayaknya, dia pernah punya kerjasama bisnis sama pihak keraton. Kita bisa masuk ke keraton itu untuk hubungan bisnis,” jawab Karina sambil menggeser ponselnya dan mencari kontak papanya.

“Halo, Karina ...! Ada apa?”

“Pa, aku mau tanya ... mmh, perusahaan papa ada hubungan bisnis sama keraton Surakarta atau nggak, ya?”

“Ada. Kenapa?”

“Aku bisa minta datanya, Pa? Kebetulan aku lagi di Solo, siapa tahu bisa bantu Papa untuk ngurus bisnis dengan keluarga bangsawan keraton,” tutur Karina sambil membasuh tangannya dan menyemprotkan hand sanitizer.

“Tumben kamu mau ngurus bisnis di luar kota?”

“Hehehe. Nggak papa, Pa. Pengen aja belajar pitching ke keluarga bangsawan itu. Sepertinya lebih menantang.”

“Baiklah. Akan Papa kirimkan datanya untukmu.”

“He-em. Cepet ya, Pa! Nggak pake lama!” seru Karina.

“Kamu ini ... kalau punya keinginan, nggak sabaran!”

“Kalau udah tahu, jangan lama-lama Papa Sayang!” pinta Karina.

“Tutup teleponnya supaya Papa bisa carikan file kerjasama itu secepatnya!”

“Oke.” Karina langsung menutup panggilan teleponnya.

“Gimana?” tanya Karina penuh harap.

“Santai. Jangan tergesa-gesa! Kita atur waktu untuk masuk ke dalam keraton itu. Karena ini udah terlalu sore, nggak pantas kalau membahas bisnis malam hari. Kita masuk ke tempat itu besok pagi.”

“Serius!?” tanya Nanda dengan mata berbinar. “Makasih, Rin!”

Karina mengangguk. “Kita cari hotel dulu untuk menginap. Kamu juga harus mempersiapkan dirimu dengan baik! Masuk ke tempat itu nggak mudah. Jadi, jangan sia-siakan pengorbananku. Harus berhasil membujuk istri tercintamu itu.”

Nanda menganggukkan kepala. “Mmh ... aku nggak bawa baju ganti, Rin. Bisa pinjam uangmu dulu buat beli baju ganti?”

Karina tertawa kecil sambil menatap Nanda. “Bisa banget. Istrimu itu kaya raya dan punya status sosial yang tinggi. Saat aku masuk ke keraton itu, aku akan kasih semua tagihanmu ke dia.”

“Jangan, Rin!” pinta Nanda sambil menatap serius ke arah Karina. “Jangan bikin aku malu, dong!”

“Malu kenapa? Karena sekarang jadi pria payah?” tanya Karina sambil menatap wajah Nanda.

“Jangan tunjukkan kepayahanku di depan Roro Ayu, dong! Kamu ngomong yang baik-baik aja tentang aku! Kalau kamu ngomong macem-macem, dia bisa makin menghindar dari aku, Rin. Kamu tahu, perempuan itu yang paling susah aku hadapi. Nggak tahu maunya apa, nggak bisa ditebak juga,” cerocos Nanda.

Karina mengangguk-anggukkan kepala. “Baiklah. Aku akan bicarakan yang baik-baik tentang kamu. Tapi, tarifnya beda ya!”

“Kamu mata duitan, ya!?” dengus Nanda.

“Hahaha.” Karina terus tertawa dan bercanda sembari membicarakan beberapa bisnis yang sudah dikirim papanya untuk mereka bciarakan dengan pihak kesultanan.

 

...

Sementara itu, Ayu semakin mengurung dirinya di ruang perpustakaan karena ia kembali harus terluka. Ia benar-benar tidak menyangka jika Nanda datang ke keraton dengan membawa wanita lain, bukan karena ingin menjemput dirinya seperti yang pernah dijanjikan oleh pria itu.

Tok ... tok ... tok ...!

Ayu menoleh ke arah pintu yang diketuk. “AKU NGGAK MAU MAKAN APA PUN!” serunya.

“Ini aku. Mas Enggar.”

Ayu terdiam sambil menatap pintu perpustakaannya.

“Boleh masuk?” tanya Enggar lagi.

Ayu menghela napas. Ia bangkit dari tempat duduknya dan melangkah menuju pintu perpustakaan tersebut. “Masuklah!” perintahnya sambil membuka pintu.

Enggar tersenyum sambil melangkahkan kakinya memasuki perpustakaan tersebut. “Aku dengar, kamu sudah satu minggu mengurung diri di perpustakaan. Ada banyak tugas?”

Ayu menganggukkan kepala mendengar pertanyaan Enggar.

“Keningmu sudah terlalu banyak kerutan karena terlalu lama berpikir. Sudah lama kita tidak menari. Gimana kalau kita nari bareng?” ajak Enggar.

“Mmh ...”

“Ayolah!” ajak Enggar sambil menatap Ayu. “Sudah berlalu sangat lama. Kamu nggak lupa dengan gerakan-gerakan tari di sanggar ‘kan? Nggak rindu menari?”

Ayu tersenyum sambil menganggukkan kepala. “Boleh juga.”

“Kita menari di pendopo yang ada di kolam belakang. Suasananya nyaman dan penerangan di sana cukup bagus. Gimana?”

Ayu menganggukkan kepala sambil tersenyum manis. Ia segera melangkah keluar dari perpustakaan tersebut bersama Enggar. Ia pikir, menari juga bisa membuat suasana hatinya membaik dan tidak terus-menerus terisi sesak oleh Nanda yang kerap membuat suasana hatinya memburuk dalam sekejap. Enggar juga tidak begitu buruk. Berasal dari keluarga bangsawan dan selalu bersikap baik terhadapnya. Mungkin, ia bisa belajar membuka hati untuk orang lain agar ia tidak lagi terluka karena terikat begitu kuat dengan Nanda.

 

 

((Bersambung...))

 

Terima kasih sudah jadi sahabat setia bercerita!

Dukung terus supaya author makin semangat nulisnya, ya!

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

 


Bab 64 - Kecewa Lagi

 



“NANDA ...! KAMU BERHASIL ...!” seru Karina sambil melompat kegirangan saat sudah mendapatkan pengumuman kalau konsep bisnis Nanda diterima dan mendapatkan pendanaan dari Dinas Penanaman Modal dan Investasi.

“KITA BERHASIL ...!” seru Nanda sambil merangkul Karina dan lima orang timnya. Mereka melompat dan tertawa bahagia karena akan segera mendapatkan modal untuk menjalankan operasional pabrik dan bisnis mereka.

“Aku bilang juga apa ... kamu pasti bisa!” ucap Karina sambil tersenyum lebar.

Nanda tersenyum sambil menatap semua orang yang ada di ruangan itu. Ia mundur beberapa langkah dan membungkukkan tubuhnya. “Terima kasih untuk kalian semua! Terima kasih sudah membantuku memulai semuanya dari nol ...!” ucapnya.

Karina tersenyum sambil merangkul lima orang yang bersamanya. “Kalau gitu, jangan kecewakan kami dan harus buat perusahaan kamu berjaya!”

Nanda mengangguk sambil tersenyum. “Terima kasih untuk Karina yang sudah bersedia meminjamkan uang tabungannya untuk modal bisnis ini.”

Karina mengangguk-anggukkan kepala sambil tersenyum bangga menatap Nanda.

“Terima kasih untuk Mbak Rani, akunting yang dulu sering aku marahin di kantor perusahaan papa. Aku nggak nyangka kalau Mbak Rani yang justru membantuku. Aku harap, Mbak Rani mau terus bergabung dengan perusahaan baruku meski saat ini sudah menjadi ibu rumah tangga yang baik.”

 “Terima kasih untuk Mas Adi, ahli marketing and branding yang sudah membantuku merancang konsep bisnis ini ...!”

“Terima kasih untuk Ibu Amanda, ahli dermatologi yang sudah bersedia berbagi laboratoriumnya untuk meneliti dan memastikan kualitas produk kita. Saya harap, Ibu Amanda bisa terus bergabung dengan perusahaan saya dan kita lahirkan produk-produk baru lagi ...!”

“Terima kasih untuk Mas Dani dan Mbak Yasa yang sudah rela jadi tester produk sekaligus membantuku menyusun banyak laporan sampai lembur-lembur selama satu minggu ini!”

Semua orang mengangguk dan tersenyum bangga karena bisa membantu Nanda dan membuat pria itu berhasil mendapatkan kerjasama dengan pihak-pihak terkait.

“Mbak Yasa, setelah akta notaris perusahaan selesai. Langsung buat kontrak kerjasama dengan mereka semua secara resmi ...!” perintah Nanda pada salah satu admin kantornya. Dia baru memiliki dua karyawan resmi di kantornya. Sedang yang lain adalah mitra yang ia butuhkan untuk menggerakkan roda perusahaannya dengan modal yang masih sangat minim.

“Baik, Pak!”

“Kalian bisa pulang ke rumah kalian masing-masing untuk beristirahat! Aku masih harus pergi ke Solo untuk urusan penting. Setelah kembali dari Solo, kita buat acara syukuran kecil-kecilan di kantor kita!” ucap Nanda.

“Baik, Pak!”

Nanda tersenyum dan melangkah keluar dari gedung tersebut dengan perasaan puas. Kali ini ia merasa bangga pada dirinya sendiri karena bisa berhasil mendirikan perusahaan tanpa bantuan dari orang tuanya. Ia merasa jauh lebih percaya diri untuk mengatakan banyak hal di depan Ayu yang kecerdasannya jelas lebih tinggi darinya.

“Nan, kamu mau ke Solo?” teriak Karina sambil menatap punggung Nanda.

Nanda menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Karina.

“Mau aku antar? Aku juga pengen ketemu sama istri kamu itu.”

Nanda tersenyum sambil menatap wajah Karina. “Kamu nggak sibuk? Kemungkinan aku akan menginap di sana, Rin.”

“Nggak. Nggak masalah. Aku bisa pesen hotel sendiri. Anggap aja liburan karena dari kemarin udah kerja berat,” jawab Karina.

Nanda tertawa kecil dan menganggukkan kepalanya. “Baiklah. Karena kamu sudah membantuku, aku akan ajak kamu liburan ke Solo. Tapi, liburan kali ini mungkin tidak akan menyenangkan seperti liburan-liburanmu yang lain.”

“Mana tahu kalau belum dijalani,” sahut Karina sambil melangkahkan kakinya menuju mobilnya yang ada di vallet parking. “Kamu juga bisa hemat ongkos perjalanan ‘kan? Surabaya-Solo lumayan, loh.”

Nanda mengangguk-anggukkan kepalanya. “Baiklah. Aku nggak akan menolak kebaikanmu kali ini.”

Karina tersenyum sambil membuka pintu mobil dan melemparkan kunci mobil tersebut ke arah Nanda. “Bawa!”

Nanda langsung menyambar kunci mobil Karina yang melayang di hadapannya. Ia segera masuk ke dalam mobil dan bergegas menjalan mobil itu menuju ke kota Solo.

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih empat jam dari kota Surabaya, Nanda dan Karina akhirnya sampai di depan halaman Keraton Kesultanan Surakarta.

“Wow ...! Aku baru pertama kali lihat langsung keraton ini,” ucap Karina sambil mengedarkan pandangannya dan mengagumi arsitektur bangunan yang terlihat begitu khas. “Papa sering cerita soal bangsawan-bangsawan keraton yang menguasai beberapa bisnis di pulau ini. Tapi, aku sendiri belum pernah datang ke keraton ini.”

“Papamu punya bisnis dengan para bangsawan keraton?” tanya Nanda.

Karina mengangguk. Ia membuka pintu mobil dan segera keluar dari sana.

Nanda menarik napas dalam-dalam dan ikut keluar dari dalam mobil tersebut. Ia melangkah perlahan memasuki halaman keraton tersebut dan menghampiri dua penjaga pintu yang berdiri di sana.

“Permisi ...! Saya suaminya Raden Roro Ayu Rizky Prameswari. Bisa ketemu dengan beliau?” sapa Nanda sambil tersenyum manis.

Dua penjaga itu langsung saling pandang. “Sebentar, Mas! Kami laporan dulu!”

Nanda mengangguk. Ia memilih menunggu di depan keraton tersebut sembari berbincang dengan Karina.

Salah satu penjaga itu masuk ke dalam pintu keraton dan segera melangkah menuju kediaman Roro Ayu yang ada di sana. Namun, ia masih harus berkeliling karena Roro Ayu tidak tinggal di kamarnya, melainkan berada di perpustakaan sejak seminggu lalu.

“Permisi, Ndoro Puteri ...! Saya penjaga di luar istana ingin menghadap!” Penjaga pintu itu membungkuk hormat di depan pintu perpustakaan yang dibiarkan terbuka.

“Penjaga luar istana? Apa Nanda datang?” batin Ayu. Ia langsung bangkit dari kursi dan menghampiri penjaga tersebut.

“Ada apa? Ada yang cari saya?” tanya Roro Ayu.

“Ada, Ndoro. Suami Ndoro Puteri,” jawab penjaga pintu tersebut. “Apakah ....” Ucapan penjaga pintu itu terhenti saat Ayu sudah berlari ceria meninggalkan bangunan perpustakaan tersebut.

Penjaga pintu itu tersenyum dan mengikuti langkah Ayu di belakangnya.

Ayu terus berlari sambil tersenyum ceria menuju ke pintu utama keraton tempat tinggalnya. Ia sudah tidak sabar ingin bertemu dengan pria yang sangat ia rindukan kehadirannya. Bodohnya, meski ia tahu kalau Nanda kerap bersama wanita lain, ia tetap saja tidak bisa benar-benar marah dengan pria itu. Ia harap, Nanda akan benar-benar menyadari kalau ia adalah satu-satunya wanita yang paling mencintai pria itu. Ia sangat sakit ketika Nanda masih melihat wanita lain lagi dalam hidupnya.

“Nanda ...!” seru Ayu ceria begitu ia membuka pintu gerbang dan mendapati punggung Nanda sudah ada di hadapannya. Ia langsung berlari menghampiri pria itu sambil merentangkan kedua tangan, bermaksud memeluk tubuh pria itu.

Nanda yang sedang berbincang serius dengan Karina, langsung memutar kepala begitu mendengar suara teriakan Ayu. Senyum di bibirnya mengembang begitu mengetahui kalau Ayu menyambut kedatangannya dengan wajah begitu ceria.

DEG!

Ayu menghentikan langkahnya saat matanya menangkap wajah wanita cantik yang ada di hadapan Nanda. Wanita itu adalah wanita yang sama dengan yang ia temui seminggu lalu di Galaxy Mall, kota Surabaya.

“Ayu ...!” Nanda tersenyum sambil melangkah menghampiri Ayu.

Ayu menggeleng sembari memundurkan langkahnya hingga sejajar dengan dua penjaga pintu keraton tersebut. “Jangan biarkan dia masuk ke keraton!” perintahnya.

“Ay, kamu kenapa?” tanya Nanda sambil berusaha menghampiri Ayu.

Dua penjaga pintu luar itu langsung menyilangkan pedang mereka di hadapan wajah Nanda.

Nanda menghentikan langkahnya dan menatap mata pedang yang begitu tajam dan mengkilap di hadapannya. Hanya sekali tebasan, lehernya bisa langsung terpisah jauh dari tubuhnya.

“Jangan biarkan pria brengsek ini masuk ke dalam keraton! Kalau perlu, bunuh saja dia!” perintah Ayu sambil berbalik dan melangkah pergi. Air matanya menetes perlahan saat melihat Nanda datang bersama wanita lain.

Entah apa yang akan dilakukan pria itu terhadapnya. Mungkinkah akan memperkenalkan wanita itu sebagai pacarnya dan segera mengakhiri hubungan mereka. Ia terlalu takut menghadapi kenyataan kalau hubungan mereka harus berakhir kembali. Ayu memilih untuk tidak mengetahui apa pun daripada harus menanggung rasa sakit dan kecewa karena cinta Nanda untuknya masih terbagi-bagi dengan wanita lain lagi.

 

 

((Bersambung...))

 

Terima kasih sudah jadi sahabat setia bercerita!

Dukung terus supaya author makin semangat nulisnya!

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

 


Bab 63 - Jarak dan Waktu yang Merenggang

 



Nanda menghela napas lega sembari menutup laptop begitu ia menyelesaikan proposal bisnisnya.

“Akhirnya, kelar juga!” seru Karina sembari meliukkan tubuhnya.

“Thank’s, Rin ...! Kamu udah bersedia bantu aku. Malam ini aku traktir kamu makan sebagai rasa terima kasihku. Mau atau nggak?”

Karina terkekeh mendengar tawaran dari Nanda. “Kamu belum dapet apa-apa, Nan. Kamu mau traktir aku makan dengan uang hasil utangmu ke aku?”

“Hehehe.” Nanda menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan tersenyum malu.

“Kamu traktir aku setelah proposal bisnis kamu ini goal. Gimana? Sementara, biar aku yang traktir kamu dulu dan aku masukin ke daftar utang,” ucap Karina sambil mengusap layar ponselnya.

Nanda tertawa kecil sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Eh, mau reservasi tempat atau order makanannya ke sini?” tanya Karina.

“Order aja, Rin. Aku sembari ngecek ulang MBC yang dikerjain sama tim,” jawab Nanda.

Karina menghela napas. “Kamu udah tutup laptop. Mau buka laptop lagi? Mending istirahat, deh! Besok pagi kamu udah harus persentasi. Kalau kamu bangun kesiangan atau sakit, bisa kacau persentasimu, Nan.”

“Nggak. Aku nggak akan begadang, kok. Aku tahu cara mengatur tubuhku sendiri. Mmh ... setelah presentasi selesai, aku bisa minta tolong sama kamu?”

“Bisa,” jawab Karina sembari melakukan checkout beberapa makanan favorite-nya. “Apa?”

“Antar aku ke Solo!” pinta Nanda.

“Mau ketemu sama mantan istri kamu?” tanya Karina.

“Dia bukan mantan, Rin. Dia masih istriku. Aku nggak pernah ceraikan dia,” sahut Nanda.

“Au, ah. Aku pusing mikirin hubungan kalian yang aneh. Kalau kamu sama dia nggak cerai, berarti aku bakal jadi istri kedua dong kalau perjodohan kita lanjut?”

Nanda mengangguk sambil menatap wajah Karina.

“Serius, Nanda! Kamu sama dia itu sebenarnya cerai atau nggak!?” seru Karina kesal. “Kamu tuh susah banget dipercaya!”

“Enggak,” sahut Nanda.

Karina mengerutkan wajahnya. “Kenapa ortu kamu bilang kalau kamu udah cerai sama istrimu?”

“Aku bukan cerai, Rin. Tapi pernikahan kami dibatalkan sama orang tuanya Roro Ayu,” sahut Nanda.

Karina menahan tawa mendengar ucapan Nanda. “Bukan kamu yang ceraikan istrimu?”

Nanda menggelengkan kepala. “Bukan. Pernikahanku dibatalin sama mertua.”

“HAHAHA.” Karina tertawa keras mendengar ucapan Nanda.

Nanda langsung menyumpal mulut Karina menggunakan gulungan tisu yang ada di tangannya.

“Bweh ... uweek ...!” Karina langsung menyebrulkan tisu tersebut. “Jahat banget, sih!?”

“Ketawamu ngolok, Rin!”

“Hahaha.” Karina tertawa sambil menutup mulutnya. “Abisnya ... kamu selalu bilang kalau kamu adalah playboy paling keren se-Indonesia yang punya banyak cewek dan nggak pernah diputusin sama cewek mana pun. Sekali punya istri, hubungannya diputus sama mertua. Hahaha.”

Nanda menatap kesal ke arah Karina yang terus tertawa di hadapannya.

“Serius. Aku pikir, kamu cerai karena kamu yang ceraikan istrimu ... terus kamu nyesel. Ternyata, kamu bisa juga diputusin. Hahaha.”

“Heh!? Kamu jangan ngomong sembarangan, ya! Kalau nggak terhalang mertua, Roro Ayu itu cinta mati sama aku!” tutur Nanda.

“Oh ya? Kalau cinta mati, kenapa dia bisa pergi dari kamu dan kamu yang ngejar-ngejar dia?” sahut Karina.

“Enak aja! Dia yang ngejar-ngejar aku. Bukan aku yang ngejar dia!” ucap Nanda.

“Oh ya? Kalau sampai besok kamu yang ngejar dia? Taruhan apa?” tanya Karina sambil mendelik serius ke arah Nanda.

Nanda terdiam mendengar pertanyaan Karina. Pikirannya melayang ke tempat yang semuanya kosong karena saat ini ia tidak memiliki apa pun untuk menjadi bahan taruhan.

“Hei ...! Berani taruhan, nggak?” tanya Karina sambil memukul meja di hadapannya.

“Ck. Makanannya udah kamu pesen atau belum?”

“Heleh, ngeles!”

“Serius! Aku laper banget, Rin.”

“Jawab dulu! Berani taruhan atau nggak?” seru Karina.

“Ck. Kamu ini ... masa Nanda nggak berani taruhan?” sahut Nanda sambil menatap wajah Karina. Detik berikutnya, ia mengubah raut wajahnya menjadi masam. “Emang nggak berani, sih.”

“HAHAHA.” Karina kembali tergelak. Sekali ia memegang kartu as Nanda, ia terus menjadikannya sebagai bahan ejekan yang bisa ia layangkan kapan saja kepada pria itu. Bisa berteman seperti ini dengan Nanda, itu jauh lebih baik dan nyaman daripada harus terlibat hubungan bisni yang sekedar formalitas.

 

 

...

 

-Keraton Kesultanan Surakarta-

Hampir seminggu pelayan di istana dibuat ketar-ketir karena Roro Ayu tiba-tiba mengurung diri di dalam ruang perpustakaan selama dua puluh empat jam. Mereka tidak berani melapor pada orang tua Ayu atau pun pada Sri Sultan karena takut dianggap tidak becus melayani puteri mahkota mereka. Tidak tahu apa yang terjadi dengan Roro Ayu hingga membuat para pelayannya kewalahan.

“Ndoro Puteri ...! Sudah waktunya makan malam,” ucap salah satu pelayan sambil mengetuk pintu perpustakaan yang tertutup rapat.

Ayu menghela napas sembari menatap pintu perpustakaan yang tiba-tiba diketuk. Ia menoleh ke arah jam dinding ruangan tersebut yang sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Setiap berada di depan buku, ia merasa waktunya terasa sangat singkat.

Ayu bangkit dari tempat duduk dan melangkah perlahan menuju pintu. Ia segera membuka pintu tersebut dan menatap Sri yang sudah berdiri di depannya. “Aku nggak mau makan yang lain. Bawakan air mineral dan dua buah pir saja!” perintahnya.

“Ndoro Puteri, sudah tujuh hari ini Ndoro Puteri tidak makan siang sama sekali dan hanya mengambil dua buah pir setiap malam. Kami semua khawatir.”

“Aku puasa,” sahut Roro Ayu.

“Eh!? Bukannya hukuman Ndoro Puteri sudah selesai? Jangan membuat kami khawatir dan menyulitkan kami, Ndoro!” pinta pelayan bernama Sri itu.

“Aku hanya masih ingin berpuasa. Kalian tidak perlu mengkhawatirkan aku!” pinta Ayu sambil melangkah masuk kembali ke dalam perpustakaan tersebut.

Sri langsung meraih nampan yang disiapkan pelayan lain dan membawakannya masuk ke dalam perpustakaan tersebut. “Ndoro ...!”

“Nggak usah panggil aku seformal itu kalau hanya ada kita berdua!” pinta Ayu.

“Mbak Ayu ... apakah ...?” Sri mengurungkan niatnya untuk melayangkan pertanyaan ke arah Ayu saat wanita itu sudah terlihat serius meneliti buku yang ada di hadapannya.

“Taruh aja buah dan minumannya di meja! Kalau udah nggak ada yang mau dikerjain, keluar dari sini dan jangan ganggu konsentrasiku!” pinta Ayu tanpa mengalihkan pandangan dari buku-buku yang ada di hadapannya.

Sri mengangguk. Ia segera melangkahkan kakinya perlahan keluar dari dalam perpustakaan tersebut. Matanya terus mengarah ke tubuh Ayu yang masih terus menundukkan kepala menatap buku-buku yang ada di hadapannya. Ia tahu kebiasaan majikannya itu. Ketika ada masalah besar dengan hatinya, ia akan pergi ke ruang buku untuk menghibur diri. Hal ini, selalu membuat semua orang khawatir dan tidak tahu bagaimana cara membuat tuan puteri mereka itu kembali ceria seperti biasanya.

Ayu menghela napas sambil memejamkan mata begitu Sri keluar dari perpustakaan dan menutup rapat pintu tersebut. Air matanya menetes perlahan, pelan dan pasti jatuh ke atas buku kuno yang ada di tangannya. Entah apa yang ada di dalam pikirannya. Biasanya, ia selalu membaca dan menulis banyak hal tentang bisnis. Tapi kali ini, ia malah menulis tentang sejarah kuno dan setiap ada kisah cinta di dalamnya, makin menambah kesedihannya.

“Kapan aku bisa selesaikan nulis buku kalau perasaanku kayak gini terus!?” seru Ayu dalam hati sambil mengacak isi meja hingga membuat semua barang-barangnya berjatuhan ke lantai.

“Iih ... Nanda brengsek! Kenapa nggak pernah berubah? Emang bener kata orang, sekali playboy, selamanya tetep playboy! Cowok setia itu cuma ada dalam cerita dongeng doang!” serunya sambil menahan amarah.

“Ayu, kamu bego banget, sih!? Kenapa begitu mudah percaya dan maafin dia? Akhirnya, tetep sakit lagi ‘kan?” tutur Ayu sembari menjatuhkan kepalanya di atas meja dan menangis sesenggukan.

Sudah tujuh hari berlalu sejak hukumannya selesai dan Nanda masih belum memenuhi janji untuk menjemputnya. Hal ini, membuat Ayu semakin berpikir negatif dan menganggap kalau Nanda sedang bersenang-senang dengan wanita lain di luar sana.

“ASYIK-ASYIK AJA TERUS SAMA PEREMPUAN LAIN DI LUAR SANA DAN JANGAN PERNAH TEMUI AKU LAGI!” seru Ayu kesal. Ia terus meracau tak jelas karena Nanda benar-benar tidak mempedulikan kehadirannya lagi dan memilih untuk bersama dengan wanita lain.

“COWOK BRENGSEK! SEKALI BRENGSEK, SELAMANYA TETAP BRENGSEK!”

 

 

((Bersambung...))

 

 

Terima kasih sudah jadi sahabat setia bercerita!

Dukung terus supaya author makin semangat nulisnya!

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

 


Bab 62 - Salah Paham

 


Nanda melangkahkan kakinya bersama Karina sembari memegang konsep bisnis yang ada di tangannya. Ia tahu, tanpa bantuan dari Karina, ia tidak akan bisa melakukan hal seperti ini. Andai saja Roro Ayu tidak mendapatkan hukuman, ia pasti lebih memilih wanita itu untuk berada di sisinya dalam keadaan apa pun.

“Ay, hari ini hukumanmu selesai. Kamu pasti baik-baik aja di sana. Tunggu aku seminggu lagi! Aku akan datang menjemputmu,” batin Nanda sembari tersenyum manis mengingat wajah manis Ayu yang selalu mengisi hari-harinya.

 “Nan ...!” panggil Karina sambil menjentikkan jemarinya di hadapan Nanda.

“Eh!?” Lamunan Nanda terbuyar begitu Karina memanggil namanya.

“Ngelamunin apaan, si?” tanya Karina sambil menatap wajah Nanda. “Dari tadi dipanggilin nggak denger.”

Nanda tersenyum sambil menatap wajah Karina. “Lagi mikir aja,” jawabnya. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh lantai mall tersebut. Galaxy Mall adalah salah satu property dan usaha milik sahabat papanya.

Jika ia mau, ia bisa saja meminta bantuan sang papa untuk mendapatkan kerjasama dengan Galaxy. Tapi ia tidak ingin melakukannya. Kali ini, ia ingin berusaha dengan tangannya sendiri meski masih ada bantuan Karina di sana. Tak bisa dipungkiri kalau dihidup ini ... ia tidak akan bisa hidup seorang diri.

“Nan, lihat produk ini!” tutur Karina sambil menunjukkan beberapa sample produk yang sudah ia pilih. “Catet deh kelebihan dan kekurangan tiap produk. Kita cari lagi produk yang sama!” ajak Karina lagi.

Nanda mengangguk sambil tersenyum. “Aku kerjain di kantor aja untuk review produknya. Harus aku cobain dulu juga ‘kan?”

Karina mengangguk-anggukkan kepala sambil mengendus aroma sabun mandi yang baru ia ambil di tangannya. Untuk proposal bisnis kali ini, Nanda memilih untuk memproduksi berbagai bahan kebutuhan sehari-sehari dan produk pertama yang akan mereka kerjakan adalah sabun mandi. Ia juga tidak tahu mengapa pria ini memilih produk sabun mandi. Padahal, sudah ada banyak perusahaan yang memproduksi produk yang sama. Mau tidak mau, mereka harus melakukan riset untuk produk sabun yang sudah beredar di pasaran.

“Nan, kenapa kamu pilih bisnis sabun mandi, sih?” tanya Karina sambil memilih semua produk sabun lain yang ada di rak di hadapannya.

“Karena semua orang pakai produk ini setiap hari,” jawab Nanda santai.

“Kalau gitu konsepnya, apa proposal bisnismu bisa diterima? Beras juga semua orang makan setiap hari, Nan.”

“Beras masih bisa digantikan sama bahan pokok lain. Gandum, ubi, kentang dan lain-lain,” jawab Nanda santai sambil membantu membawa trolly belanjaan mereka. “Kalau orang mandi, sabun mandinya bisa diganti sama yang lain?”

“Bisa. Pakai shampoo buat di badan, hahaha.” Karina tergelak sambil membayangkan dirinya sendiri mandi menggunakan shampoo di tubuhnya.

“Kenapa ketawa? Kamu pernah sabunan pakai shampoo gitu?” tanya Nanda sambil ikut tertawa.

“Pernah. Waktu aku SMP dan ikut kegiatan pencinta alam. Aku lupa bawa sabun, Nan. Mandinya di sungai gitu, terus posisiku udah basahan dan cuma ada shampoo doang. Goblok ‘kan?”

“Hahaha.” Nanda tergelak sambil mengacak rambut Karina. “Aku nggak nyangka kalau kamu bisa sekonyol itu.”

Karina ikut terkekeh. “Udah, deh. Nggak usah bercanda terus! Kita cepet balik ke kantor kamu dan kelarin proposal secepatnya. Deadline kita cuma satu minggu, loh.”

Nanda mengangguk sambil tersenyum manis. Ia merangkul pundak Karina sembari melangkah menuju kasir. “Thank’s, ya! Kamu udah mau jadi temen terbaik di saat aku terpuruk,” ucapnya.

Karina mengangguk sambil tersenyum. “Kalau nggak bisa dicintai sebagai istri, masih bisa dicintai sebagai sahabat ‘kan?”

Nanda mengangguk sambil tersenyum.

“Sarangheo ...!” ucap Karina sembari membentuk jari tangannya menyerupai simbol cinta. “Sebagai sahabat. Ingat! Harus carikan aku jodoh yang jauh lebih baik dari kamu. Supaya aku punya alasan yang tepat buat batalin perjodohan kita.”

“Kamu mau jodoh yang gimana?” tanya Nanda sambil menatap wajah Karina. Ia sudah menganggap Karina seperti adiknya sendiri dan ia lebih nyaman bersamanya dengan cara seperti ini.

“Mmh ... yang ganteng, pinter, dewasa dan sayang sama aku,” jawab Karina sambil tersenyum lebar.

“Gampanglah. Di mall ini juga banyak. Lihat, tuh!” ucap Nanda sambil menunjuk ke arah salah satu staff toko tersebut.

Karina langsung mengerutkan wajahnya. “Nggak SPB juga kali, Nan.”

“Kamu nggak cari yang kaya ‘kan?”

“Nggak. Tapi nggak di bawah standar juga!” seru Karina kesal.

“Hahaha.” Nanda tergelak. Ia dan Karina terus bercanda dan segera keluar dari toko tersebut untuk mengurus bisnis mereka.

Di sudut lain ... air mata Ayu jatuh berderai ketika melihat Nanda terlihat mesra dan bahagia bersama wanita lain. Hari ini adalah hari di mana ia menyelesaikan penebusan dosa dan ia sengaja datang ke Surabaya untuk memberi Nanda kejutan. Tak disangka, ia akan bertemu dengan pria itu ketika ia sedang memilih beberapa barang yang akan ia bawakan untuk Nanda.

“Nan, sebenarnya kamu cinta sama aku atau nggak?” lirih Ayu dengan derai air mata. “Kenapa kamu masih jalan sama cewek lain di belakangku?”

“Ndoro Puteri ...!”

Ayu langsung menoleh ke arah pelayan keraton yang ikut bersamanya. “Jangan panggil aku seperti itu! Panggil Mbak Ayu saja!” pintanya.

Pelayan itu mengangguk. “Sudah selesai belanjanya?”

Ayu tersenyum dan meletakkan tumbler couple di tangannya ke rak semula. Tadinya, ia sudah memilih tumbler itu untuk ia berikan pada Nanda. Tapi, ia memilih mengurungkan niatnya setelah melihat apa yang terjadi di depan matanya.

“Mbak, kita kembali ke Solo aja, ya!” pinta Ayu sambil melangkah tak bersemangat. Air matanya terus menetes dan tidak bisa ia hentikan dengan mudah.

“Eh!? Kita baru sampai di kota ini. Katanya, mau kasih surprise buat Mas Nanda?” tanya pelayan itu.

Ayu menggeleng. “Nggak jadi, Mbak. Dia baru aja ngirim pesan kalau dia lagi sibuk dan nggak ada di kota ini. Salahku yang nggak kasih kabar dia lebih dulu.”

“Mbak Ayu nggak usah berbohong. Tadi aku lihat Mas Nanda sama ...?” Pelayan itu menatap wajah Ayu dengan perasaan tak karuan.

Ayu tersenyum sambil mengusap air matanya. “Anggap aja kita nggak lihat apa-apa.”

Pelayan itu mengangguk. “Sri boleh peluk Ndoro Puteri?”

Ayu mengangguk dan langsung memeluk tubuh pelayannya itu. “Hiks ... hiks ... hiks ...!” Tangisnya langsung pecah begitu saja.

“Sabar, ya! Hati manusia memang mudah berubah-ubah. Kalau nanti dia datang lagi ke keraton, Sri yang akan kasih pelajaran untuk dia! Sri nggak akan biarkan dia bikin Ndoro Puteri nangis lagi,” ucap pelayan itu penuh semangat.

Ayu menggeleng sembari mengeratkan pelukannya. “Nggak perlu, Mbak Sri. Kamu nggak perlu melakukan apa pun untuk Ayu. Ayu baik-baik aja. Ayu baik-baik aja, kok.”

Pelayan bernama Sri itu langsung memeluk erat tubuh Ayu. Ia berusaha menghibur majikannya itu dan membawanya kembali ke Solo. Rumah yang mungkin kejam bagi orang lain, tapi tetap nyaman bagi Ayu karena di sana ... tidak ada orang yang akan menyakitinya dan membuatnya menangis sesenggukan seperti ini.

 

((Bersambung...))

Terima kasih sudah menjadi sahabat setia bercerita!

Salah paham adalah hal yang wajib untuk menguji cinta sejati.

So, biarkan dulu Ayu salah paham. Biar bikin Nanda makin uring-uringan. Wkwkwk

 

 

 



 

 


Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas