Wednesday, August 17, 2022

Bab 36 - Dipisahkan

 

 


Nanda tertunduk lesu sambil memeluk pusara bertuliskan  Axel Noah Perdanakusuma, sang putera yang tidak sempat ia dengar tangis dan tawanya ketika terlahir ke dunia.

“Nan, kita pulang! Udah sore,” bisik Nia di telinga Nanda yang masih enggan pergi dari sana.

“Aku masih mau temenin dia, Ma. Dia masih kecil,” ucap Nanda.

“Nan, anakmu sudah nggak ada. Sadarlah! Hidupmu masih harus berjalan. Ada Roro Ayu yang membutuhkanmu. Jangan sampai kamu menyesal lagi,” bisik Nia.

Nanda terdiam. Ia langsung menoleh ke arah Nia begitu ia mendengar nama Roro Ayu disebut oleh wanita itu. Ia langsung bangkit dari tanah. “Roro Ayu?” Ia bergegas melangkah pergi dari tempat tersebut dan memacukan mobilnya menuju ke rumah sakit, tempat istrinya itu mendapatkan perawatan.

Beberapa menit kemudian, Nanda sudah sampai ke rumah sakit. Ia langsung menuju ke ruang VVIP, tempat Roro Ayu mendapatkan perawatan.

Nanda mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan yang kosong. Ranjang tidur yang tadinya terisi oleh tubuh Roro yang dilengkapi peralatan medis, kini sudah terlihat rapi. Bahkan, tak ada barang satu pun yang tertinggal di sana.

“Ayu, kamu di mana?” gumam Nanda. Ia langsung berlari keluar ruangan dan menghampiri petugas yang berjaga.

“Suster, istri saya di mana?” tanya Nanda sambil menghampiri perawat yang ada di sana.

“Istri Anda atas nama siapa?” Perawat itu balas bertanya.

“Raden Roro Ayu Rizky Prameswari,” jawab Nanda lengkap.

“Oh. Puteri keraton itu, ya? Sudah dipindahkan, Mas.”

“Dipindahkan? Dipindahkan ke mana?” tanya Nanda.

“Saya kurang tahu, Mas. Katanya mau dipindahkan ke rumah sakit lain. Kalau mau lebih jelasnya, bisa tanyakan ke bagian administrasi saja,” jawab perawat tersebut.

“Makasih, Sus!” ucap  Nanda. Ia segera berlari menuju ke bagian administrasi yang tidak jauh dari lobi.

“Suster!” panggil Nanda sambil menghampiri petugas yang sedang berjaga.

“Ya. Ada yang bisa saya bantu?”

“Saya mau tahu ke mana istri saya dipindahkan dan siapa yang memindahkan dia!” pinta Nanda.

“Atas nama siapa?”

“Raden Roro Ayu Rizky Prameswari.”

“Keluarganya yang memindahkan dia, Mas.”

“Oh ya? Dipindahkan ke mana?” tanya Nanda.

“Ke salah satu rumah sakit yang ada di luar negeri,” jawab perawat itu.

“Rumah sakit apa, Suster?”

“Maaf, Mas. Kami nggak tahu kalau soal itu,” jawab suster tersebut.

Nanda terdiam selama beberapa saat. Beberapa jam lalu, ayah mertuanya masih mengikuti acara pemakaman puteranya. Jika mereka membawa Roro Ayu pergi, tentunya belum pergi jauh. Hanya saja, waktu untuk mencapai bandara hanya tiga puluh menit saja. Artinya, Roro Ayu bisa saja sudah berada di perjalanan yang entah ke mana.

Nanda segera berlari keluar dari rumah sakit sambil meletakkan ponsel di telinganya. Ia berusaha menghubungi nomor Bunda Rindu dan Ayah Edi, tapi nomor keduanya tidak bisa dihubungi.

Dengan cepar, Nanda masuk ke dalam mobil dan menekan nomor ponsel mamanya.

“Ma, angkat dong!” pintanya lirih setelah beberapa kali men-dial nomor ponsel mamanya, tapi tak mendapatkan jawaban.

Nanda menghela napas sejenak sambil menyandarkan kepalanya ke kursi. Ia menatap nomor ponsel papanya. Ia sudah mengecewakan papanya berkali-kali. Kali ini, apa yang dia lakukan tidak akan pernah bisa termaafkan. Tidak tahu bagaimana cara mengatakan pada papanya tentang hal ini. Mungkinkah papanya masih sudi membantunya saat ia sudah membuat kondisi keluarganya berantakan?

Nanda menarik napas dalam-dalam sambil menekan panggilan ke nomor papanya. Ia harap, papanya bisa membantunya menemukan Roro Ayu.

“Halo ...!” sapa Andre dari seberang sana.

“Pa, Nanda boleh minta bantuan?” tanya Nanda pelan. Meski masa remajanya sangat nakal, pembuat onar, suka tawuran dan beberapa kali ditahan polisi karena terlibat balapan liar, ia tidak pernah sekalipun meminta bantuan dari papanya. Ia lebih sering menanggungnya seorang diri dan tetap terlihat santai menjalaninya. Ia harap, sang papa mau memberikan bantuan untuknya.

“Apa?”

Satu kata yang keluar dari bibir Andre, membuat Nanda bisa bernapas lega. Artinya, papanya bersedia membantunya meski suaranya terdengar sangat dingin.

“Roro Ayu dibawa pergi ke luar negeri. Ayah Edi dan Bunda Rindu juga tidak bisa dihubungi,” ucap Nanda dengan bibir gemetar.

“APA!? Sekarang, kamu di mana?” Suara Andre terdengar sangat terkejut.

“Masih di parkiran rumah sakit, Pa.”

“Kamu pergi ke bandara! Papa akan minta bantuan temen papa untuk mendapatkan data penumpang penerbangan hari ini,” perintah Andre.

“He-em.” Nanda mengangguk. “Makasih, Pa!”

“Ya.” Andre segera mematikan panggilan telepon dari Nanda.

Nanda menghela napas lega. Ia segera menjalankan mobilnya perlahan menuju bandara yang letaknya tak jauh dari rumah sakit tersebut. Ia langsung berlari melangkahkan kakinya perlahan memasuki bandara tersebut.

TING!

Nanda langsung membuka pesan yang masuk dari papanya.

[Daftar penumpang penerbangan Internasional]

[Nan, Roro Ayu pergi bersama tim dokter. Kedua orang tuanya tidak ada dalam daftar penerbangan mana pun. Mereka sewa jet pribadi. Lokasi tujuannya, papa tidak mendapatkan informasi. Datangi mertuamu dan memohonlah! ]

Nanda terdiam selama beberapa saat ketika membaca pesan dari papanya. Ia berusaha menelan salivanya yang tercekat. Ia benar-benar tidak tahu apa yang sedang direncanakan oleh papa mertuanya hingga membawa Roro Ayu pergi jauh dengan cara seperti ini.

“Aku harus temukan Ayu!” ucap Nanda sambil melangkahkan kakinya keluar dari bandara tersebut. Ia segera mengendari mobilnya menuju rumah mertuanya.

Beberapa menit kemudian, Nanda sudah sampai di kediaman Edi Baskoro. Ia langsung menekan bel karena pagar rumah tersebut tertutup rapat, tak seperti biasanya.

“Mas Nanda?” Seorang pria yang bekerja di rumah tersebut, langsung membukakan pintu untuk Nanda. “Nyari siapa?”

“Bunda dan ayah ada di rumah?” tanya Nanda.

“Nggak ada, Mas. Lagi ke Solo.”

“Solo?”

“Iya. Lagi ke keraton, Mas. Katanya ada urusan.”

“Keraton yang ...?”

“Keraton Surakarta cuma satu, Mas,” sahut pria paruh baya itu sambil tersenyum lebar.

Nanda segera berbalik dan masuk kembali ke dalam mobilnya. Ia benar-benar tidak mengerti apa yang sedang direncanakan oleh mertuanya itu. Menjauhkan Ayu darinya?

Nanda terus melajukan mobilnya menuju ke kota Solo sambil menekan nomor ponsel Sonny. Beberapa kali menelepon, ia masih belum mendapatkan jawaban. “Aargh ...! Shit! Anak ini pasti tahu ke mana perginya Ayu,” ucapnya kesal.

Empat jam kemudian, Nanda sudah memarkirkan mobilnya di pelataran keraton kesultanan Surakarta. Ia menatap bangunan keraton yang sering ia lihat, tapi ia tidak pernah menginjakkan kakinya ke sana meski menjadi bagian dari keluarga besan keraton tersebut.

Nanda langsung melangkah menuju pintu keraton dan disambut oleh empat orang penjaga yang berdiri di sana.

“Orang luar dilarang masuk keraton!” tegas penjaga pintu itu sambil menyilangkan pedang di tangannya, menghalau tubuh Nanda.

Nanda melebarkan kelopak matanya menatap dua pedang yang menyilang tepat di hadapannya. “Ini asli?” gumamnya sambil memperhatikan mata pedang yang berkilauan. Ia langsung memundurkan langkahnya menjauhi pedang tersebut.

“Kalian kenal sama Raden Roro Ayu Rizky Prameswari?” tanya Nanda sambil menatap empat penjaga pintu yang ada di sana.

Empat penjaga pintu itu saling pandang.

“Sampeyan siapanya Ndoro Puteri?” tanya salah satu penjaga yang ada di sana.

“Aku ... eh, saya suaminya,” jawab Nanda sambil tersenyum lebar.

Empat penjaga itu kembali saling pandang.

“Tunggu di sini!”

Nanda mengangguk. Ia tersenyum lega sambil menegakkan tubuhnya. Menunggu dengan cemas dan berharap ia mendapatkan akses ke dalam keraton tersebut.

Beberapa menit kemudian, seorang abdi dalem datang bersama penjaga pintu yang tadi.

“Selamat malam, Mas! Mohon maaf, keraton inti tidak menerima tamu saat malam hari. Silakan berkunjung lagi besok pagi!”

“Tapi ... saya suaminya Roro Ayu,” ucap Nanda.

“Ndoro Puteri sedang menjalani hukuman dan dilarang menginjakkan kaki ke keraton, termasuk suaminya. Setelah menjalani upacara kesucen, barulah Ndoro Puteri bisa masuk kembali ke keraton.”

“Apakah Pak Edi Baskoro ada di dalam?” tanya Nanda.

“Ada, Mas. Raden Mas ada di kediamannya.”

“Gimana caranya saya bisa ketemu beliau? Beliau tidak bisa saya telepon.”

“Raden Mas sedang melakukan rapat tertutup dengan keluarga. Tidak bisa menggunakan handphone. Sampeyan bisa kembali lagi besok pagi, saya akan sampaikan ke beliau agar menemui Mas ... siapa namanya?”

“Ananda Putera.”

“Oh. Iya. Besok pagi datang lagi ke sini!”

“Besok pagi ... apa sudah pasti bisa ketemu dengan Ayah Edi?”

“Saya belum tahu, Mas. Akan saya tanyakan ke beliau.”

Pikiran Nanda semakin tidak karuan karena ia tidak mendapatkan akses masuk ke dalam keraton tersebut. Apakah ia harus melompat pagar atau memanjat atap keraton ini supaya dia bisa bertemu dengan Ayah Edi? Melihat empat penjaga di pintu utama saja, ia tidak bisa mengatasinya. Kalau dia memaksa diri menerobos masuk di sana, mungkin saja kepalanya akan terpisah dari tubuhnya hanya dalam hitungan detik.

“Oh, God! Help me! Aku ingin menebus kesalahanku. Tidak adakah kesempatan untukku ... sekali lagi?” batin Nanda dengan perasaan tak karuan.

 

((Bersambung...))

 

Mohon maaf kalau lambat update karena sekeluarga sedang sakit dan papaku harus diisolasi (positif covid-19). Mohon doanya semoga author dan keluarga cepet sehat, bisa berkarya lagi dengan tenang dan bahagia.

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 


Bab 35 - Pukulan Terbesar

 



Nanda mondar-mandir di depan pintu ruang operasi. Karena kondisi kesehatannya yang tidak memungkinkan, dokter terpaksa harus mengambil tindakan operasi untuk menyelamatkan ibu dan bayinya.

Di kursi tunggu yang ada di sebelahnya, kedua orang tua dan mertuanya juga ikut menunggu dengan cemas.

“Nan, kenapa kamu tidak pernah memperlakukan Ayu dengan baik? Padahal, dia sudah berusaha menjadi istri yang baik buat kamu. Kenapa kamu nyakitin Ayu terus sampai kayak gini? Berapa kali kamu hutang nyawa ke dia? Nggak punya hati!” ucap Sonny sambil menunjuk dada Nanda.

“Aku tahu aku salah, Son. Semua orang sudah menghakimi aku. Tuhan juga sedang menghakimiku. Cukup, Son!” pinta Nanda lirih sambil menatap pilu ke arah Sonny.

Sonny menatap manik mata Nanda. Bayangan persahabatan mereka selama dua puluh lima tahun, terlintas di pelupuk mata dan membuat perasaannya sangat terluka. Satu-satunya teman yang tumbuh bersamanya sejak kecil, menjalani banyak hal bersama seperti saudara kandung, malah merenggut semua hal yang sangat ia cintai. Perasaannya berkecamuk. Ia tidak tahu harus bagaimana menghadapi kenyataan ini. Ia ingin marah, tapi juga tidak tahan melihat sahabatnya sendiri terluka. Ia benar-benar tidak menyangka jika hari ini akan dihadapkan pada pilihan yang begitu sulit.

Andai Nanda bisa membahagiakan wanita yang paling ia cintai dalam hidupnya, mungkin ia lebih mudah menerima kenyataan kalau Roro Ayu bukanlah miliknya lagi. Tapi melihat sahabatnya itu memperlakukan Roro Ayu begitu buruk, membuatnya tidak tahan dan tidak rela melepaskan wanita yang paling ia cintai untuk sahabatnya itu.

“Roro Ayu sedang berjuang di dalam sana. Bisakah kalian berdamai dan mendoakan keselamatan dia? Kalau ada waktu untuk berdebat, tentunya kalian punya waktu untuk mendoakan dia,”  tutur Andre sambil menarik lengan Sonny perlahan dan membawa pria muda itu duduk bersamanya.

Sonny terdiam. Ia terus mengawasi Nanda dari sudut matanya. Ia benar-benar tidak bisa bersikap bijak dalam keadaan seperti ini.

“Dokter, gimana keadaan puteri dan cucu saya?” Edi langsung menghampiri pintu ruang operasi yang baru saja terbuka.

“Gimana keadaan istri dan anak saya, Dokter?” Nanda tak mau kalah menghampiri dokter yang ada di sana.

Edi menyeringai kesal ke arah Nanda yang berdiri di sampingnya.

Dokter yang ada di sana, menghela napas sambil melepas masker yang ia kenakan. “Kami sudah berusaha keras. Tuhan belum mengizinkan dia melihat dunia,” ucapnya lirih.

DEG!

Ucapan dokter itu bagaikan petir ribuan voltase yang sedang menghujam jantung Nanda. Membuatnya berhenti berdetak selama beberapa detik. Membuat pikirannya tiba-tiba kosong hingga telinganya tak mampu mendengar teriakan histeris dari keluarga besarnya.

“Cucu kami nggak bisa diselamatkan, Dok?” tanya Nia sambil menitikan air mata. Ia langsung terisak di pelukan Andre. Mereka tidak menyangka jika impiannya melihat cucu pertama mereka, sirna begitu saja.

Dokter itu menggeleng. “Dia tidak bisa bertahan dan ...” Ia mengedarkan pandangannya menatap semua orang yang terlihat sangat terpukul karena kehilangan keluarga yang dicintai. Namun, sebagai seorang dokter, ia harus menyampaikan berita tentang pasiennya, dalam keadaan apa pun itu.

“Ada apa, Dokter? Puteri saya baik-baik aja ‘kan?” tanya Bunda Rindu yang menyadari wajah dokter itu terlihat tak biasa.

“Sel darah merahnya pecah dan trombositnya sangat rendah. Pembuluh darah ke otaknya mengalami masalah yang menyebabkan kelumpuhan. Saat ini ... dia koma,” jawab dokter tersebut.

“APA!?”

Semua orang terkejut mendengar penuturan dokter tersebut. Begitu juga dengan Nanda. Pukulan-pukulan ini bertubi-tubi menghujam dirinya dan membuat ia tidak sanggup berkata-kata.

“Semua ini gara-gara kamu, Nan ...!” seru Sonny sambil berlari  ke arah Nanda dan bersiap menghujani pukulan ke arah pria itu.

“Son, sabar! Ini rumah sakit!” seru Andre sambil menghalau tubuh Sonny agar tidak memukuli puteranya lagi.

Sonny menatap wajah Nanda dengan rahang mengeras. Kedua tangannya mengepal erat dan urat-urat di wajahnya terlihat jelas.  

“Kalau kamu mau marah, pukul Oom saja! Jangan pukul Nanda lagi!” seru Andre sambil menatap wajah Sonny.

Sonny langsung melonggarkan kepalan tangannya.

“Oom Andre yang salah karena tidak bisa mendidik Nanda dengan baik. Pukul Oom saja!” pinta Andre sambil menarik lengan Sonny agar memukulnya.

“Ndre, aku tidak akan mengotori tanganku untuk menghukum kalian. Kalian sudah menyerang mental puteriku dan menghancurkannya masa depannya. Apa yang terjadi pada puteriku, keluarga Perdanakusuma harus mempertanggungjawabkannya. Aku tidak peduli pada orang-orang besar yang melindungi keluarga kalian. Demi puteriku, aku akan mencari keadilan untuk dia!” tegas Edi sambil menatap Andre penuh kebencian.

Andre terdiam sambil menundukkan kepalanya. Ia tidak bisa melawan jika Edi sudah bicara. Bukan karena takut, tapi karena ia merasa ikut bertanggung jawab atas kelakuan puteranya. Apa yang dilakukan seorang anak, orang tua akan ikut menanggungnya. Ia tidak akan berlari karena ia terlalu memanjakan Nanda hingga puteranya itu tidak pernah mengerti arti tanggung jawab pada keluarganya. Kesalahan Nanda adalah kesalahannya mendidik seorang anak.

Bunda Rindu terus menitikan air mata saat mengetahui keadaan puterinya. Di saat bersamaan, Bunda Yuna dan Yeriko juga datang menghampiri keluarga tersebut. Mereka terkejut mendengar hal buruk yang terjadi pada Roro Ayu dan bayinya.

“Nan, anak Bunda salah apa sama Nanda? Kenapa Nanda tidak mau memperlakukan dia dengan baik. Kalau dia salah, kamu bilang ke bunda supaya bunda yang menegur dia dan memperbaiki dirinya. Kenapa kamu lakuin ini ke Ayu. Dia puteriku satu-satunya, Nan. Kenapa harus Ayu? Dia anak baik. Tidak bisakah kamu bersikap baik dan mencintai puteri Bunda? Kekurangan dia, katakan ke Bunda saja!” pinta Bunda Rindu sambil menatap wajah Nanda yang masih mematung di hadapannya.

“Nan ...!” panggil Bunda Rindu sambil menggoyang-goyangkan tubuh Nanda. Ia langsung merosot ke  lantai dan berlutut di bawah kaki Nanda. “Maafin Ayu kalau dia tidak menjadi istri yang patuh dan berbakti padamu! Maafin Ayu kalau dia punya banyak kesalahan selama menjadi istrimu. Kalau kamu tidak mencintai Ayu, tolong jangan sakiti dia!” pintanya sambil berlinang air mata.

“Dik, kamu nggak pantas berlutut di depan pria bajingan ini!” ucap Edi sambil merengkuh pundak Bunda Rindu dan menarik tubuhnya untuk bangkit dari lantai.

“Mas, Roro gimana? Dia dosa apa sampai harus menanggung beban seperti ini? Kenapa nggak aku aja yang gantiin dia, Mas?” seru Bunda Rindu sambil menangis histeris dalam pelukan suaminya.

Yuna menutup mulutnya yang menganga lebar. Ia ikut menitikan air mata melihat Bunda Rindu yang sangat terluka melihat keadaan puterinya. Sebagai seorang ibu, ia bisa merasakan perasaan yang begitu sakit ketika puterinya dipermainkan seperti ini oleh seorang pria. Roro Ayu yang terlihat baik-baik saja di luar, tidak tahu bagaimana keadaan mental yang sesungguhnya. Suami adalah tempat paling dekat dan harusnya bisa menjadi sandaran, tapi Nanda justru menjadi tekanan bagi Roro Ayu tanpa diketahui oleh semua orang.

Di dinding koridor, Nanda menyandarkan punggungnya. Tubuhnya merosot perlahan dan pikirannya terus hampa. Ia benar-benar tidak menyangka jika perkelahian beberapa jam lalu menyebabkan istri dan anaknya terluka seperti ini.

“Nan, kamu laki-laki. Harus kuat!” pinta Yeriko sambil mengulurkan tangannya ke hadapan pria muda itu agar segera bangkit dari sana. “Kamu harus bangkit! Antarkan anakmu ke peristirahatan terakhirnya! Rawat istrimu dengan baik sampai dia bangun dari komanya. Roro Ayu akan kuat jika kamu juga bisa dengan gigih menjaganya.”

Nanda menengadahkan kepalanya menatap wajah Yeriko. Ia menarik napas dalam-dalam sambil mengusap air matanya  dan menyambut uluran tangan Yeriko. Ia mengumpulkan kekuatan untuk bangkit dari lantai.

“Dia tidak perlu mengurus anak dan cucuku! Aku masih bisa melakukannya!” tegas Edi dengan nada penuh emosi.

Yeriko langsung memutar kepalanya menatap wajah Edi. “Anak itu darah daging Nanda dan dia punya hak penuh atas anaknya. Bijaklah menjadi orang tua! Anak kalian sama-sama tertekan karena kalian tidak pernah peduli dengan hubungan mereka!” Suara bariton pria itu menguasai lorong koridor meski terdengar tidak begitu keras.

Edi terdiam sambil menatap tajam mata Yeriko. Tidak peduli dengan apa yang akan terjadi di masa depan. Tidak lagi peduli dengan bisnis yang ia bangun bertahun-tahun. Tak peduli dengan Yeriko yang memiliki kekuatan besar untuk melindungi keluarga Nanda. Ia hanya ingin keadilan untuk puterinya yang telah dirampas dengan paksa kesuciannya, mental dan masa depannya.

 

 

((Bersambung...))

Semua orang tua sudah merasa benar dalam mendidik anak dengan caranya masing-masing. Tapi terkadang, kesalahan tetaplah hinggap dan membuat kita merasa gagal menjadi orang tua.

Semoga kita bisa menjadi orang tua yang bisa membuat anak-anak mengerti akan tanggung jawab dan cara mencintai keluarga.

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 


Bab 34 - Aku Butuh Kalian

 



Ayu menarik lengan Nanda dan membawa pria itu masuk ke dalam kamarnya. “Nan, kamu ini kenapa? Datang ke sini langsung marah-marah. Kamu nggak lihat ada Sonny, ada orang tuaku? Bisa sopan dikit?”

Nanda terdiam sambil menahan kesal di dadanya. Ia sudah tidak memikirkan hal lain lagi saat melihat istrinya itu sedang asyik bercanda dengan mantan kekasihnya. Meski ia tidak mencintai Ayu, tapi ia tetap tidak rela membiarkan istrinya bermesraan dengan pria lain.

“Kamu pergi dari rumah dan mesra-mesraan sama cowok lain. Sadar nggak kalau kamu sudah bersuami?” sahut Nanda kesal.

“Kamu juga sadar atau nggak kalau sudah beristri?” sahut Ayu tak mau kalah.

“Sadar, Ay.”

“YA BERUBAH, DONG!” seru Ayu.

“Gimana aku mau berubah kalau kamu kayak gini! Bukannya berbakti, malah main gila sama cowok lain saat suamimu sakit!” sahut Nanda tak mau kalah.

“Kamu yang mulai duluan, Nan. Ingat, ya! Istri itu akan memperlakukan suami sebagaimana dia diperlakukan. Aku pernah nggak baik sama kamu? Pernah nggak melayani apa yang kamu butuhkan? Pernah bohongi kamu? Aku ketemu sama Sonny di tempat umum dan nggak berdua doang. Apa yang bisa kami lakuin di tempat seperti itu? Sedangkan kamu, kamu nemuin Lita di hotel tengah malam, berduaan doang, mesra-mesraan. Kamu pernah pikirin perasaanku, hah!?” seru Ayu sambil mendorong dada Nanda hingga tubuh pria itu menghantam pintu kamarnya.

Nanda terdiam sambil menatap wajah Ayu dengan perasaan tak karuan. Ia dan Ayu memang sering berdebat, tapi baru kali ini ia mendengar Ayu bicara dengan nada yang lebih tinggi darinya. Bahkan menatap ke arahnya dengan tatapan penuh kebencian.

“Apa yang terjadi sama kamu saat ini, harusnya bisa bikin kamu sadar. Tapi kamu nggak pernah menyadari kesalahanmu, Nan. Nggak malu sama penampilan kamu sekarang? Udah pake baju koko, pake sarung kayak gini ... Tuhan lagi tegur kamu dan kamu masih belum sadar juga. Ingat, karma itu nggak pernah salah tempat! Kamu yang udah hancurin seluruh hidupku dan aku lebih bahagia lihat kamu mati!” seru Ayu sambil berlinang air mata.

Nanda terdiam sambil menatap wajah Ayu. Ia benar-benar sulit mengakui kesalahannya. Meski hatinya ingin sekali meminta maaf, tapi pikirannya tetap saja kacau setiap kali berhadapan dengan wanita ini.

“Aargh ...!” Ayu langsung berpegangan ke dinding, tangan satunya memegangi perutnya yang tiba-tiba terasa sangat nyeri.

“Ay, kamu kenapa?” tanya Nanda sambil merengkuh tubuh Ayu.

“Nggak usah pedulikan aku!” sahut Ayu sambil menepis tangan Nanda dan berjalan merayap ke arah pintu kamarnya. Ia langsung membuka pintu tersebut.

“SON, SONNY ...! AYAH ...! BUNDA ...!” seru Ayu sambil menahan napas dan rasa sakit di perutnya.

Sonny yang duduk di sofa ruang tamu, buru-buru berlari menaiki anak tangga saat mendengar teriakan Ayu.

“Mas, itu si Roro kenapa?” tanya Bunda Rindu yang sedang di dapur bersama suaminya.

“Nggak tahu. Lagi sama Nanda di kamarnya.”

“Berantem?”

Edi menghela napas. “Aku kasihan sama puteri kita kalau setiap hari tidak bahagia dengan suaminya. Lebih baik mereka bercerai saja. Aku tidak akan menuntut Nanda dan keluarganya asal Ayu bisa hidup bahagia. Sonny juga masih mau menerima puteri kita. Dia jauh lebih baik dari anaknya Andre yang brengsek itu.”

“Nggak boleh bicara seperti itu, Mas. Roro menyayangi Nanda. Kalau tidak, dia tidak mungkin memilih bertahan. Apa yang menurut kita baik, belum tentu baik untuk Roro. Aku rasa, Roro Ayu sudah mulai menyukai Nanda. Walau bagaimana pun, Nanda adalah ayah dari bayi yang dikandung Roro. Mereka jelas punya ikatan, Mas,” ucap Bunda Rindu sambil tersenyum menatap kue ulang tahun yang ia siapkan untuk puterinya dan melangkah keluar dari dapur bersama suaminya itu.

“Ay, kamu kenapa!?” Sonnya langsung menghampiri Ayu yang sudah berdiri di depan pintu kamarnya.

“Tolong aku, Son! Perutku sakit banget.”

“Kita ke rumah sakit!” ajak Sonny sambil merangkul tubuh Ayu dan memapahnya.

“Biar aku yang bawa Ayu!” pinta Nanda sambil menepis tangan Sonny dari tubuh Ayu.

“Nan, kamu jauh-jauh dari aku!” pinta Ayu sambil mendorong tubuh Nanda.

Sonny tersenyum miring ke arah Nanda. “Ayu nggak mau sama kamu. Biar aku yang urus dia!” pintanya sambil merangkul tubuh Ayu kembali dan memapahnya menuruni anak tangga.

“Son, Ayu kenapa!?” seru Bunda Rindu saat melihat Ayu berjalan sambil menahan sakit.

“Perut aku tiba-tiba sakit, Ma,” jawab Ayu lirih.

“Ini ...!? Ini baru tujuh bulan. Belum waktunya lahiran,” ucap Bunda Rindu. Ia segera memberikan kue ulang tahun ke tangan Edi dan menghampiri puterinya.

“Nggak tahu, Bunda. Sakit banget!” jawab Ayu sambil menitikan air mata.

“Nan, kamu gendong Ayu, deh! Biar cepet!” pinta Bunda Rindu.

“Nggak boleh! Nanda nggak boleh gendong Ayu! Sonny aja!” sahut Ayah Edi.

“Mas, Nanda itu suaminya Ayu! Kalau Sonny bukan!” sahut Bunda Rindu.

“Aku lagi kesakitan. Kalian sempat-sempatnya berdebat?” tanya Ayu sambil menahan nyeri di perutnya.

Nanda langsung menarik tubuh Sonny agar menjauh dari istrinya. Ia merangkul pundak wanita itu dan menggendongnya. Ia mempercepat langkahnya dan membawa tubuh Ayu masuk ke dalam mobil miliknya.

“Nan, aku mau pergi sama Sonny atau ayah aja,” pinta Ayu lirih sambil menahan rasa nyeri yang semakin menyiksa.

“Kamu udah kesakitan gini, masih sempat ngajak aku berdebat?” sahut Nanda. Ia segera menutup pintu mobil dan bergegas membawa Ayu ke rumah sakit terdekat.

Beberapa menit kemudian, Ayu sudah sampai di IGD rumah sakit. Ia terus merintih kesakitan sambil memanggil nama bundanya.

“Dokter, istri saya kenapa?” tanya Nanda sambil menatap dokter yang sedang memeriksa kondisi istrinya.

“Kami periksa dulu, ya! Dampingi istrinya, Mas! Kasih minum teh hangat!” jawab dokter yang ada di sana.

Nanda mengangguk. Ia ingin beranjak dari sisi Ayu, tapi wanita itu mencengkeram kuat lengannya dan membuatnya tidak bisa pergi dari sana.

“Bunda ...! Bunda ...!” Ayu terus memanggil nama bundanya sambil menahan sakit di perutnya.

“Bunda masih di jalan. Sebentar lagi pasti sampai.” Nanda berbisik di telinga Ayu.

Ayu menitikan air mata sambil menatap wajah Nanda. “Sakit, Nan.”

“Dok, tolong istri saya, dong!” seru Nanda. Pikirannya semakin tak karuan saat wajah Ayu semakin pucat.

“Sus, udah pembukaan?” tanya dokter yang ada di sana.

“Baru pembukaan satu, Dokter.”

“Dok, istriku mau melahirkan?” tanya Nanda sambil menatap dokter yang ada di sana. “Kandungannya baru tujuh bulan, Dok.”

“Kita tunggu dulu sampai pembukaan berikutnya, ya!” jawab dokter itu sambil tersenyum.

“Dok, istriku ini udah kesakitan! Masa masih disuruh nunggu? Kalian bisa jadi dokter atau nggak, sih!?” sentak Nanda kesal. “Lihat! Istriku udah lemes kayak ini!”

“Kami sudah biasa menangani ibu melahirkan. Kontraksi seperti ini sudah biasa,” jawab dokter itu. Ia menoleh ke arah salah satu perawat yang ada di sana. “Pasang jarum infus untuk jaga-jaga!” perintahnya.

“Baik, Dokter!”

“Detak jantung ibunya melemah, Dokter!” seru perawat yang lainnya.

Dokter dan beberapa perawat yang ada di sana sigap mengambil tindakan untuk menstabilkan kondisi kesehatan Ayu.

“Ayu ...! Kamu bakal baik-baik aja ‘kan? Kamu kuat, Yu. Harus kuat! Demi anak kita. Aku sayang sama kalian,” bisik Nanda dengan mata berkaca-kaca. Ia meletakkan dahinya ke kening Ayu. “Aku sayang kalian. Aku butuh kalian,” bisiknya lagi.

Ayu tersenyum menatap wajah Nanda yang menempel di wajahnya. Ia berusaha menyentuh pipi pria itu. Tapi rasa kantuk yang menyerangnya semakin menjadi-jadi dan membuat lengannya jatuh terkulai begitu saja seiring dengan matanya yang terpejam sempurna.

“AYU ...!”

“AY ...!”

“AYU BANGUN!”

“DOKTER ...!”

 

 

((Bersambung...))

 

Terima kasih sudah jadi sahabat setia bercerita!

Dukung terus supaya author makin semangat berkarya!

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 


Bab 33 - Nanda Cemburu

 


“Pagi, calon bunda ...!”

Ayu yang sedang menyiram tanaman di depan rumah, langsung memutar kepala ke belakangnya. “Sonny ...!? Kamu lagi di sini?”

Sonny mengangguk  sambil tersenyum manis. Ia mengeluarkan bucket bunga dari belakang punggungnya dan mengulurkan ke hadapan Ayu. “Hadiah buat kamu. Happy birthday ...!”

Ayu langsung menatap wajah Sonny dengan mata berkaca-kaca. “Kamu masih ingat hari ulang tahunku?”

“Aku nggak akan pernah lupa,” jawab Sonnya sambil menatap wajah Ayu. “Maaf! Aku nggak bisa jadi orang pertama yang ngucapin ulang tahun ke kamu tahun ini.”

Ayu menggeleng pelan sambil menitikan air mata. “You’re first.”

“Hah!? Serius!? Nanda nggak ucapin happy birthday buat kamu?” tanya Sonny.

Ayu menggeleng pelan.

“Nggak usah sedih! Terima bunga ini! Anggap aja ini hadiah persahabatan buat kita,” ucap Sonny sambil tersenyum manis.

“Beneran persahabatan?”

Sonny mengangguk sambil tersenyum manis.

Ayu langsung meraih bucket dari tangan Sonny dan tersenyum manis. “Makasih ya, Son!”

Sonny mengangguk. “Bunda sama ayah ada di rumah?”

“Ada. Mereka di dalam.”

“Aku boleh masuk?”

“Masuk aja!” sahut Ayu sambil tertawa. Tanpa ia sadari, ia merangkul lengan Sonnya seperti biasa dan melenggang masuk ke dalam rumah tersebut dengan ceria.

Edi yang sedang bersantai dengan istrinya, langsung tertegun melihat Ayu yang begitu ceria merangkul lengan Sonny.

Ayu buru-buru melepaskan tangannya dari lengan Sonny saat ia menyadari kalau ia sudah menjadi istri orang lain. Mungkin, ia terlalu bahagia dengan kedatangan pria ini hingga tidak menyadari kalau ia sudah menjadi seorang istri dengan perut membesar.

“Selamat pagi, Ayah ... bunda ...!” sapa Sonny sambil menunduk sopan.

“Pagi ...!” balas Ayah Edi dan Bunda Rindu bersamaan.

“Tumben ke sini pagi-pagi?” tanya Bunda Rindu. “Dari Semarang jam berapa?”

“Udah dari kemarin sore, Bunda.”

“Oh.” Bunda Rindu mengangguk-anggukkan kepala dan menoleh ke arah bucket yang digendong oleh Ayu dengan satu tangannya.

“Mmh ... aku ke sini buat ngucapin ulang tahun ke Roro Ayu,  Bunda,” ucap Sonny seolah mengerti apa yang sedang dipikirkan oleh Bunda Rindu.

“Astaga ...! Kamu hari ini ulang tahun? Bunda lupa, Ro!” Bunda Rindu langsung bangkit dari sofa.

“Kamu ini gimana? Ulang tahun anak sendiri, kok lupa? Anak kita ini cuma satu. Gimana kalau punya anak lima?” tanya Ayah Edi.

“Ayah nggak usah bawel, deh! Emangnya ayah ingat kalau hari ini ulang tahun Ayu?” sahut Bunda Rindu.

Ayah Edi gelagapan mendengar pertanyaan dari Bunda Rindu. “Ayah ingat. Cuma pura-pura lupa aja. Biar bunda bisa kasih surprise ke Roro Ayu.”

“Halah, bohong!” dengus Bunda Rindu.

Ayu tersenyum sambil menatap wajah kedua orang tuanya. “Kalian nggak usah berdebat! Aku bukan anak kecil yang harus ngerayain ulang tahun,” pintanya.

“Mmh ... bener juga, sih. Tapi kami harus siapkan hadiah untukmu tahun ini. Kamu mau hadiah apa?” tanya Bunda Rindu sambil menatap serius ke arah Ayu.

Ayu menggeleng. “Ayu pengen ... lihat bunda dan ayah sehat selalu. Makin romantis, makin harmonis dan saling menyayangi sampai kalian tua nanti.”

“Aamiin,” sahut Edi.

“Aamiin. Kalau soal itu, kami juga menginginkannya!” ucap Bunda Rindu sambil merangkul lengan Edi dan menyandarkan kepalanya di pundak pria itu.

Ayu tersenyum bahagia melihat kedua orang tuanya yang terlihat begitu saling mencintai dan hidup harmonis. Ia juga menginginkan rumah tangganya bisa berjalan sebaik ini.

“Son, kamu mau minum apa?” tanya Ayu sambil menoleh ke arah Sonny.

“Eits! Kamu ini lagi ulang tahun. Nggak boleh melayani siapa pun. Harus dilayani. Biar bunda yang buatkan minum untuk Sonny. Kamu duduk manis di sini! Temani Sonny dan papa kamu ngobrol. Oke?”

Ayu tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Ia duduk bersama Sonny dan papanya untuk membicarakan beberapa hal tentang pekerjaan dan kegiatan mereka akhir-akhir ini.

Ting ... Tong ...!

Ayu langsung menoleh ke arah pintu. “Ayah ada janji sama orang?”

Edi menggelengkan kepala. “Temen bunda kali. Kalo nggak, paling Kang Paket,” jawabnya santai sambil bangkit dari sofa dan melangkah menuju pintu rumahnya.

Sonny dan Ayu tertawa kecil sambil menggeleng bersamaan.

“Bundamu masih demen belanja online?” tanya Sonny.

Ayu mengangguk sambil tertawa kecil.

“Kamu sendiri?”

Ayu menggeleng. “Kamu yang demen belanja online ‘kan? Kenapa malah nanyain aku? Harusnya, pertanyaan itu ditujukan ke kamu!” ucapnya sambil menoyor pundak Sonny.

Sonny tertawa kecil. “Masih demen aku belanja online. Enak aja. Praktis dan cepet. Waktu itu aku pernah mau cari barang ke pasar. Karena udah biasa belanja online, aku nyasar. Udah gitu, barang yang mau aku cari nggak dapet-dapet. Aku malah muter-muter di dalam pasar itu. Nggak bisa keluar.”

“HAHAHA.” Ayu tergelak mendengar cerita yang keluar dari bibir Sonny. “Seriusan nggak bisa keluar?”

“Iya, serius. Aku tanya ke pedagang A-B-C, malah menyesatkan. Dari pagi sampe sore aku dipasar itu dan barang yang aku cari nggak dapet. Mana aku waktu itu lagi koas dan harus balik cepet. Menderita banget kalau belanja offline. Enak online, sih. Tinggal scroll-scroll doang, nggak perlu nyasar,” ucap Sonny.

“Hahaha ... hihihi ...” Ayu terus tertawa mendengar cerita Sonny.

Di saat bersamaan. Edi menarik gagang pintu rumah tersebut dan membukanya.

“Pagi, Ayah ...!” sapa Nanda sambil menatap wajah Edi. Kedua mata dan telinganya langsung menangkap suara Ayu dan Sonny yang sedang asyik bercanda di dalam sana.

“Pagi,” balas Edi dingin. Ia menatap Nanda dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Pria muda yang biasanya terlihat urakan itu, tiba-tiba muncul di hadapannya dengan baju koko dan sarung.

“Roro Ayu ada?” tanya Nanda sambil menahan perasaan takut di dadanya. Ia jarang sekali bicara dengan ayah mertuanya dan membuat ia sangat canggung.

“Ada.”

“Saya boleh masuk?” tanya Nanda canggung.

Edi langsung menoleh ke arah Sonny dan Ayu. “Boleh. Masuklah!” Ia membuka pintu rumahnya lebar-lebar untuk Nanda.

Nanda terdiam saat melihat Ayu sedang tertawa lepas bersama Sonny. Jakunnya naik-turun seiring dengan perjuangannya menelan saliva dengan susah payah. Hatinya tiba-tiba merasa nyeri ketika melihat Roro Ayu bisa tertawa bahagia bersama Sonny di depan sana. Bukankah Roro Ayu masih sah menjadi istrinya? Kenapa malah bersama dengan pria lain? Lebih parahnya lagi, mertuanya membiarkan istrinya itu bercanda tawa dengan pria lain yang bukan suaminya.

“Ayu ...!” panggil Nanda sambil melangkahkan kakinya perlahan menghampiri Ayu.

Ayu menghentikan tawanya seketika. Ia mengalihkan pandangannya pada sumber suara yang sudah tak asing lagi di telinganya. “Nanda?”

“Kamu ngapain berduaan sama Sonny di sini?” tanya Nanda.

“Kami nggak berduaan. Ada bunda dan ayah juga,” jawab Sonny santai.

Nanda menatap kesal ke arah Sonny. “Aku belum bikin perhitungan ke kamu, Son. Gara-kara kamu, aku jadi kayak gini!”

“Kamu itu udah kena karma, masih nggak mau tobat, Nan? Harusnya, kamu introspeksi diri tanpa menyalahkan orang lain,” sahut Sonny.

“Kamu ...!?” Nanda menatap geram ke arah Sonny. “Kamu juga harusnya introspeksi diri, dong! Ayu itu istriku! Kamu masih aja deketin dia!”

“Kamu juga suaminya Ayu. Kamu masih aja bisa bawa perempuan lain ke kamar hotel,” sahut Sonny.

“Kamu nggak usah ikut campur rumah tanggaku! Pasti kamu yang udah pengaruhi Ayu sampai dia pergi ninggalin aku!” seru Nanda.

“Nggak perlu aku pengaruhi, Nan. Perempuan mana pun tidak akan betah kalau punya suami bajingan kayak kamu!”

“Anjing kamu, Son!” Nanda langsung menyambar kerah baju Sonny.

“Nan, jangan main kekerasan!” pinta Ayu sambil menarik lengan Nanda dan membawanya pergi dari sana. Ia benar-benar kesal dengan sikap Nanda yang terlalu impulsif dan temperamental. Bisa-bisanya Nanda masih ingin berkelahi dengan Sonny di hadapan kedua orangtuanya. Pria ini benar-benar membuat perasaannya tak karuan setiap hari.

 

 

((Bersambung...))

 

 

 

 

 


Bab 32 - Dihantui Kenangan Masa Lalu

 


Nanda menghela napas sambil membolak-balikkan tubuhnya di atas kasur. Sudah jam sebelas malam dan ia masih belum bisa tidur. Ia bahkan belum mandi sejak sore karena takut kalau luka di alat vitalnya akan basah dan ia malas mengganti perban seorang diri.

Sesekali, Nanda memeriksa alat vitalnya. Ia hanya menggunakan kaos oblong dan sarung saja setiap harinya. “Anjirr ...! Sunat dua kali,” gumamnya kesal. “Awas kamu, Son! Kalau sampai lukaku sembuh dan barangku nggak bisa bangun lagi. Aku bakal bikin kamu kayak gini juga!”

Nanda menghela napas. Ia meraih ponsel di atas nakas dan menatap layar tersebut. Ia sudah beberapa kali melakukan itu. Berharap kalau Ayu mengirim pesan kepadanya. Tapi hingga saat ini, wanita itu tak kunjung mengirim pesan.

“Heh, aku ini masih suamimu. Nggak kangen sama aku?” tanya Nanda kesal sambil menatap layar ponselnya.

Nanda membuka aplikasi whatsapp yang ada di ponselnya. Ia membuka chat dari Ayu dan membaca semua chat yang ada di sana sejak awal. Tidak banyak pesan yang bisa ia baca karena mereka memang jarang sekali berkomunikasi lewat pesan singkat. Hanya beberapa pesan dari Ayu yang terkadang enggan untuk ia balas. Hanya ia baca sekilas dan dibiarkan berlalu begitu saja.

[Nan, malam ini aku tampil menari di acara ulang tahun kota. Datang, ya!]

DEG!

Nanda terkejut membaca pesan teratas yang masuk ke ponselnya. “Ayu pernah ngirim pesan kayak gini?” gumamnya. Ia langsung memeriksa pesan lainnya dengan teliti.

[Nan, hari ini Sonny dan Nadine akan ke Surabaya. Aku akan ketemu mereka di kafe. Kalau ada waktu, datang, ya!]

[Nan, aku ke rumah Mama Rindu sampai malam. Makanan udah aku siapin. Kalau mau makan, panasin dulu, ya!]

[Nan, kalau ada waktu, temani aku USG, ya!]

[Makasih untuk kamar bayinya. Aku suka]

Nanda terdiam sambil menatap kosong ke arah kakinya. Di bawah sana, tepat di sisi kasur ... setiap harinya Ayu selalu menyiapkan pakaian ganti untuknya. Menyiapkan air hangat dan memastikan semua kebutuhannya tersedia.

Nanda menyibakkan selimut dan turun dari ranjang. Ia memperbaiki ikatan sarung  yang ia selipkan asal-asalan dan melangkah keluar dari kamar.

“Nan, belum tidur? Mau kubuatkan susu hangat?” tanya Ayu sambil tersenyum manis dari arah dapur.

Nanda tersenyum sembari melangkahkan kakinya, menuruni anak tangga dan masuk ke area pantry yang ada di bawah tangga. Ia mengedarkan pandangannya dan mencari tubuh Ayu di sana. “Ayu ...!” panggilnya.

Detik berikutnya, ia menyadari kalau Ayu tidak ada di rumah itu. Ia menghela napas dan mengusap wajahnya yang terlihat sangat kacau. Nanda menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan beringsut duduk ke sofa yang ada di ruang keluarga. Ia menyalakan televisi dan duduk santai di sana.

“Kamu nggak usah sok-sokan menghantuiku, Ay! Kamu pikir, aku nggak bisa hidup tanpa kamu, hah!?” ucapnya kesal sambil terus mengganti channel televisi tersebut tanpa berniat ingin menontonnya. Semuanya, terasa tidak menarik sama sekali baginya.

Nanda mengerjapkan mata saat ia melihat wajah Ayu berada di dalam televisi tersebut. Ia menekan remote kembali untuk mengganti siaran dan wajah Ayu tetap ada di setiap adegan yang tergambar di televisi tersebut.

“Shit! Apa aku udah gila? Kenapa muka Ayu di mana-mana?” umpat Nanda sambil mematikan televisinya. Ia menyandarkan kepala dan memejamkan mata.

Bayangan semasa SMA saat ia dan Ayu sering terluka bersama, tiba-tiba terlintas di kepalanya.

[...]

Ay meringis kesakitan sambil menatap pria gondrong dengan kumis dan jenggot lebat di wajahnya. Ia memegangi perutnya yang tertusuk pisau. Perlahan, ia merasakan keram pada perutnya, diikuti dengan rasa nyeri dan sakit yang luar biasa.

“AYU!!!” teriak Nanda saat menyadari kalau gadis yang menghalaunya adalah Roro Ayu, pacar sahabatnya.

Pria berambut gondrong itu membelalakkan mata begitu menyadari kalau pisaunya menembus perut seorang gadis yang tidak bersalah. Ia langsung menyabut pisau itu dari perut Ay.

Ay merasakan sakit yang luar biasa saat pisau yang tertancap di perutnya ditarik. Ia berusaha sekuat tenaga untuk menahan rasa sakit. Namun tubuhnya terhuyung. Dengan cepat, Nanda menangkap tubuh Ay yang terjatuh.

“Ay, bertahan!” pinta Nanda sambil menepuk pelan pipi Ay.

Nanda menatap pria bertubuh kekar yang berdiri di hadapannya. “Aku bakal bikin perhitungan sama kalian!” teriak Nanda penuh kebencian.

Pria berkepala gundul hanya tersenyum sinis menanggapi ancaman dari Nanda. “Lebih baik kamu urus perempuan yang lagi sekarat ini. Dia rela mati cuma buat ngelindungi bajingan kayak kamu. Kalau sampe dia mati, kamulah pembunuhnya.”

“Bangsat kalian!” seru Nanda. “Aku bakal laporin kalian ke polisi!” ancam Nanda.

“Silakan! Kami nggak takut dengan penjara. Hahaha.” Mereka tertawa bersama sembari meninggalkan Nanda yang sedang memeluk tubuh Ay.

Nanda menatap wajah Ay yang masih setengah sadar. Ia langsung melepas jaketnya dan membelitkannya ke perut Ay untuk mengurangi pendarahan. “Bertahan, Ay!” pinta Nanda. Ia langsung menggendong tubuh Ay dan membawanya berlari menuju mobilnya yang berjarak sekitar lima ratus meter darinya.

Nanda segera memasukkan Ay ke dalam mobilnya. Memasangkan safety belt ke tubuh Ay dan bergegas melajukan mobilnya ke rumah sakit terdekat.

“Bunda …!” panggil Ay lirih. Ia merasakan jiwanya seperti melayang. Yang ada dalam benaknya hanya Bunda Rindu dan semua orang yang ia sayangi. Tubuhnya semakin lemas dan denyut nadinya terus melemah.

“Jangan tidur Ay!” teriak Nanda. “Tetap buka mata kamu!” pintanya makin panik. “Sebentar lagi kita sampai rumah sakit. Bertahanlah!” pinta Nanda.

Ay mengangguk pelan. Ia masih bisa mendengar semua suara yang ada di sekelilingnya. Namun pandangannya tak lagi baik. Ia melihat semua cahaya lampu yang ada di jalanan semakin meredup. Lalu, ia tidak bisa melihat apa-apa lagi. Ia hanya bisa mendengar suara yang terus memanggil namanya.

“Ay …!”

“Ayu …!”

“Roro …!”

“Roro Ayu!”

[Flashback “After Savage” teenlit version]

 

“AYU ...!” teriak Nanda sambil membuka matanya lebar-lebar. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Bayangan masa SMA itu tiba-tiba masuk ke dalam mimpinya. Ia menoleh ke arah jam dinging yang ada di ruang keluarga tersebut. Tidak terasa, ia sudah tertidur selama lima jam di sana dan terus dihantui oleh bayangan masa remajanya bersama Roro Ayu.

“Kenapa mimpi ini tiba-tiba menghantuiku?” tanya Nanda pada dirinya sendiri. Semua yang diucapkan Nyonya Ye sore ini, benar-benar membuatnya dihantui oleh bayangan masa lalu yang sudah lama ia singkirkan dari hidupnya.

“Ayu, kapan sih kamu itu nggak mengacaukan hidupku? Tiap ketemu kamu, hidupku kacau mulu. Nggak ada senang-senangnya sedikit pun. Masa iya seleraku turun, sih? Apa enaknya punya pasangan alim? Nggak bisa diajak main ke klub malam,” gerutu Nanda sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Tanpa ia sadari, hati dan pikirannya terus berlawanan. Ia ingin memikirkan yang lain, tapi hatinya terus tertuju pada Roro Ayu. Satu-satunya wanita yang telah berhasil membuat hari-harinya tak karuan.

 

***

Pagi-pagi sekali, Roro Ayu sudah berada di dapurnya bersama Bunda Rindu. Sesekali ia menatap ke luar jendela. Saat ini, hatinya benar-benar tak karuan. Rasanya, ia ingin kembali pada Sonny. Tapi ada banyak hal lain yang membuatnya ingin tetap bertahan bersama Nanda.

“Roro, kenapa ngelamun di dapur? Khawatir sama Nanda?” tanya Bunda Rindu sambil tersenyum manis.

Ayu menggeleng pelan dan membasuh sayuran yang ada di tangannya.

“Nggak usah bohong! Bunda mengerti perasaanmu. Bagaimana pun, Nanda adalah ayah dari anakmu ini. Kalian pasti punya ikatan. Baru semalam kamu meninggalkan dia, kamu sudah merasa rindu ‘kan?” goda Bunda Rindu.

Ayu menggeleng. “Buat apa aku rindu sama laki-laki seperti itu, Bunda?”

“Beneran nggak rindu? Nggak kepikiran? Jujur ke bunda! Sekarang kamu lebih banyak memikirkan Nanda atau Sonny?” tanya Bunda Rindu.

Ayu menggeleng kecil. “Nggak tahu, Bunda.”

“Your feeling?”

Ayu menghela napas dan memutar tubuhnya menatap wajah Bunda Rindu. “Apa aku sudah jatuh cinta ke Nanda, Bunda? Aku lebih mengkhawatirkan dia daripada Sonny. Aku selalu berusaha memikirkan Sonny, tapi tidak sekhawatir ini. Sonny ... dia pria yang baik, mandiri dan bijaksana. Sedangkan Nanda, kalau nggak disiapin air panas, dia belum tentu mau mandi. Kalau nggak dibuatkan minum, belum tentu dia bisa bikin minum sendiri. Apalagi aku pergi saat dia belum benar-benar pulih. Apa aku sudah keterlaluan, Bunda?”

Bunda Rindu tersenyum dan mengusap lembut rambut Ayu. “Kamu nggak keterlaluan. Ini pelajaran buat dia, Ro. Roro sudah melakukan banyak hal untuk dia, tapi dia tidak menghargaimu. Kalau kamu pergi dan dia tidak mencarimu, itu artinya kamu bukan prioritas di hidup dan masa depan dia. Lebih baik, menyingkir daripada memaksakan diri menjalani hari-hari yang sakit. Bunda janji, bunda yang akan merawat anak kamu dan kamu bisa memulai kehidupan yang baru.”

Ayu menatap wajah Bunda Rindu dengan mata berkaca-kaca. Ia langsung merangkul tubuh wanita itu dan menyandarkan kepala ke dadanya. “Bunda, maafin Ayu ...! Ayu sudah mengecewakan bunda. Ayu sudah jadi aib untuk keluarga ini. Ayu sudah menghancurkan mimpi-mimpi dan harapan bunda. Ayu nggak bisa jadi puteri yang baik untuk bunda,” ucapnya lirih dengan berlinang air mata.

Bunda Rindu tersenyum sembari mengusap lembut air mata puterinya. “Ayu sudah jadi puteri yang baik untuk bunda. Ayu sudah jadi anak yang berprestasi, mandiri, baik hati dan tetap sabar meski disakiti. Tidak perlu menjadi hebat untuk tetap menjadi kebanggaan bunda. Asalkan kamu tetap memilih jalan kebaikan di ujian hidup yang paling berat, itu adalah kebanggan untuk bunda.”

Ayu mengeratkan pelukannya. Ada banyak mimpi-mimpi yang pernah ia ucapkan sejak ia masih kecil di hadapan bundanya. Tapi mimpi itu sirna dalam sekejap ketika Nanda merenggut kesuciannya. Ingin sekali ia membalas perlakuan pria itu dan membuat seluruh hidupnya menderita. Tapi setiap kali memikirkannya, ia lebih banyak tidak tega. Mungkin, bayi dalam perutnya yang membuatnya tidak mengizinkan ia menyakiti ayahnya sendiri.

“Sonny, I’m sorry ...! I can’t go back. Nanda, I’m sorry ...! I will attack your future,” bisiknya dalam hati.

 

 

((Bersambung...))

 

Terima kasih sudah jadi sahabat setia bercerita!

Doain author sehat terus dan dijauhkan dari hal-hal yang mendistraksi saat nulis.

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

 


Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas