Wednesday, August 17, 2022

Bab 26 - Can't Love, But I Need Him

 



Ayu melangkahkan kakinya perlahan memasuki kantor polisi, tempat Sonny ditahan untuk sementara. Setelah melewati pemeriksaan dan mendapatkan izin, Ayu akhirnya bisa bertemu dengan Sonny yang sedang duduk di dalam sel tahanan sementara. Air matanya mengalir seketika melihat pria yang begitu ia cintai, mendekam di dalam sana.

“Sonny ...!” panggil Ayu sambil menghampiri pria itu.

Sonny langsung mendongakkan kepalanya. “Ayu? Kenapa kamu ke sini?” Tatapannya langsung terfokus pada air mata Ayu yang jatuh ke perutnya yang sudah membesar.

Ayu menjatuhkan lututnya ke lantai dan bersimpuh di hadapan Sonny. “Maafin aku, Son! Aku udah bikin kamu jadi kayak gini.”

“Ay, kenapa kamu minta maaf sama aku? Nanda yang salah, bukan kamu.”

“Hiks ... hiks ... hiks ... aku yang salah karena aku tidak bisa menjaga kesucian cinta kita, Son. Aku yang sudah melukai kamu. Aku sudah mengecewakan kamu. Aku nggak bisa jadi wanita yang baik seperti yang kamu minta,” ucap Ayu dengan berlinang air mata.

Sonny menggeleng sambil menangkup wajah Ayu dan mengusap air mata Ayu menggunakan ibu jarinya dengan lembut.

Ayu semakin terisak saat tangan Sonny menyentuh lembut wajahnya. Ia sangat merindukan tangan yang begitu nyaman dan damai saat mereka masih bersama.

“Maafin aku ...! Aku sudah melukai suamimu. Aku janji, akan bertanggung jawab,” ucap Sonny sambil menatap wajah Ayu.

“No.” Ayu menggelengkan kepala. “Aku nggak minta kamu bertanggung jawab atas dia, Son. Bertanggung jawablah atas dirimu sendiri. Aku nggak mau masa depan kamu hancur hanya karena emosi sesaat,” ucapnya tanpa bisa menahan derai ait matanya.

“Kamu nggak pernah bahagia sama dia?” tanya Sonny sambil menatap lekat mata Ayu.

Ayu menahan air mata dan tersenyum. “Aku bahagia. Dia pria yang bertanggung jawab.”

Sonny menggeleng. “Kamu lagi bohong.”

Ayu kembali sesenggukan. Ia tidak pernah bisa berbohong di depan Sonny. Ada ribuan hari yang mereka lewati bersama dan semua hal bersamanya adalah hari-hari paling indah dalam hidupnya.

“Ay, aku mau jadi papa buat anak ini. Aku mau terima dia, Ay. Kenapa kamu nggak kasih aku kesempatan untuk memperjuangkanmu?” tanya Sonny sambil menatap wajah Ayu dengan penuh luka.

Ayu menarik napas dalam-dalam sambil menitikan air mata. Ia melepaskan tangan Sonny dari wajahnya perlahan. “Aku sudah kotor, Son. Aku nggak pantas untuk pria sepertimu.”

“Ay, kenapa kamu bilang seperti itu? Aku cinta sama kamu apa adanya, Ay.”

Ayu menggenggam jeruji besi yang ada di hadapannya dan berusaha bangkit dari lantai dengan susah payah. Sejak Nanda menodainya, kepercayaan dirinya untuk terus bersama Sonny benar-benar hilang. Ia malu untuk mengharap Sonny tetap ada di sisinya, ia juga risih dengan dirinya sendiri.

“Ay, kamu mau ke mana?” tanya Sonny sambil memegangi tubuh Ayu. “Kamu lagi hamil. Maafkan aku kalau perbuatanku kali ini melukaimu.”

“Kamu tidak melukaiku, Son. Kamu sedang melukai dirimu sendiri. Kalau kamu cinta sama aku ... jaga baik-baik mimpi-mimpi kita! Karena aku sudah tidak punya tempat untuk menjaga mereka. Please ...! Jangan hancurkan dirimu sendiri! Melihatmu hancur adalah hal paling menyakitkan dalam hidupku. Aku masih ingin lihat kamu jadi dokter. Ingat ‘kan gimana perjuangan kita dulu? Ingat ‘kan gimana susahnya kamu untuk bisa sampai ke titik ini?”

“Ay, aku bisa ada di titik ini karena kamu. Aku mana bisa membiarkan kamu tidak hidup bahagia,” ucap Sonny sambil menatap lekat wajah Ayu.

Ayu tersenyum lebar. “Kata siapa aku nggak bahagia? Aku bahagia, kok.”

“I know you. Kamu bukan tipe wanita yang bisa berbagi hati, Ay.”

“Itulah sebabnya aku tidak ingin membagi hatiku untuk kamu dan Nanda sekaligus. Aku tidak ingin ada dua papa atau dua mama untuk anakku, Son. Kuharap kamu mengerti maksudku,” sahut Ayu.

Ayu tersenyum sambil mengusap lembut pipi Sonny yang dihiasi luka memar akibat bergulat dengan Nanda. “Aku janji, aku akan bahagia. Kamu juga, ya!” pintanya lembut.

Sonny menatap mata Ayu sambil menggelengkan kepalanya. “Aku nggak mau kamu pura-pura bahagia, Ay. Aku ingin lihat kamu bahagia sungguhan.”

 Ayu tersenyum menatap wajah Sonny. “Kamu sedang membantuku untuk mendapatkan bahagia sungguhan, Son. Please, kamu juga berjanji untuk melanjutkan mimpi-mimpi kita! Kamu harus jadi dokter terbaik untuk anak-anak yang membutuhkan sentuhan tanganmu. Kamu akan jadi dokter malaikat yang dicintai sama wajah-wajah lucu di luar sana.”

“Ay, aku ...”

“Aku akan membantumu bebas dari sini. Setelahnya, kamu harus menjalani kehidupanmu dengan baik. I never stop love you. Aku ingin lihat kamu bahagia, meski bahagiamu bukan aku,” ucap Ayu sambil memundurkan langkahnya perlahan.

“Ay, jangan pergi ...!” pinta Sonny sambil menatap wajah Ayu.

Ayu tersenyum. Ia melirik polisi yang sudah berdiri di belakangnya. Ia tahu, waktu kunjungannya terbatas dan ia harus segera pergi dari sana.

“Ayu, kamu di sini?”

Ayu menghentikan langkahnya saat ia baru saja ingin keluar dari gedung tersebut. Ia langsung menatap dua orang yang sudah berdiri tepat menghadangnya.

“Sonny sama Nanda beneran berantem?” tanya Bunda Rindu yang datang bersama suaminya.

“Bunda sama Ayah tahu? Tahu dari mana?” tanya Ayu.

“Dari berita. Beritanya udah nyebar ke mana-mana.”

Ayu menghela napas dan menatap wajah ayahnya. “Ayah, tolong Sonny! Ayu nggak mau karir dia hancur karena hal ini,” pintanya lirih.

Edi mengangguk. “Ayah pasti tolong Sonny.”

Ayu tersenyum lega. Ia melirik arloji mungil yang ada di tangan kirinya. “Ayu harus balik ke rumah sakit. Jadwal operasi Nanda sebentar lagi selesai.”

“Kamu ke sini naik apa? Bunda antar, ya!” pinta Bunda Rindu.

“Bawa mobil sendiri, Bunda.”

Bunda Rindu menghela napas. “Perutmu udah besar gini, nggak kesulitan kalau nyetir?”

“Nggak, Bunda. Bisa pelan-pelan, kok.”

“Biar diantar sama bundamu! Ayah akan bantu urusan di sini. Ayah tahu, kamu biasa melakukan semuanya sendiri. Tapi kamu lagi hamil, jangan membahayakan bayi kamu!” perintah Edi.

Ayu mengangguk.

Bunda Rindu tersenyum. Ia merangkul pinggang Ayu dan membawanya melangkah menuju parkiran. “Cucu nenek yang kuat, ya!” ucapnya sambil mengelus lembut perut Ayu.

Ayu tersenyum sambil menatap wajah bundanya. Ia harap, kedua orang tuanya tidak akan pernah tahu apa yang dilakukan Nanda terhadapnya. Ia tidak ingin membuat ayah dan bundanya bersedih, terlebih menambah beban pikiran keduanya. Semua rasa sakit ini memang takdir yang tidak bisa ia hindari. Ia tidak mungkin meninggalkan Nanda begitu saja, sebab ia butuh pria itu untuk menjadi ayah dari anaknya.

“Roro, kenapa Sonny dan Nanda sampai berkelahi? Apa yang kamu lakukan? Apa kamu masih punya hubungan sama Sonny? Wanita itu ... jangan terlalu memberi harapan pada pria! Sonny itu pria yang baik, tapi bukan jodohmu. Kamu sudah bersuami, harusnya kamu menjaga jarak dengan pria lain. Berbaktilah sebagai seorang istri!” ucap Bunda Rindu lembut sambil menatap Ayu yang sudah duduk manis di dalam mobil bersamanya.

“Bunda, I can’t love him,” ucap Ayu. “Aku sudah berusaha untuk mencintai Nanda. But, hatiku nggak bener-bener nyaman sama dia.”

Bunda Rindu menghela napas. “Kenapa kalian terlihat baik-baik aja? Cuma drama depan orang tua?”

Ayu menggeleng pelan. “Kami memang baik-baik saja, Bunda. Nanda sudah bertanggung jawab memberiku nafkah, sudah berusaha menjadi ayah yang baik untuk calon anak kami. Aku yang bersalah karena ... hatiku masih terikat pada Sonny. How to moving?”

“Pelan-pelan saja! Cinta bisa tumbuh seiring waktu. Seorang istri harus tetap berbakti pada suami. Apalagi dia pria yang bertanggung jawab dan memperlakukan kamu dengan baik. Okay?” pinta Bunda Rindu sambil tersenyum manis.

Ayu mengangguk sambil tersenyum. Ia menatap nanar ke arah perutnya yang mulai membesar. Nanda memang selalu memperlakukannya dengan baik. Tidak pernah berkata kasar, tidak pernah memukul dan selalu memenuhi kebutuhannya. Hanya saja, cintanya masih terbagi dengan wanita-wanita lain dan ia tidak mungkin bisa membalikkan kehidupan Nanda dalam sekejap.

Keseharian Nanda, sudah terbiasa dihinggapi banyak wanita. Bagaimana caranya agar ia bisa membuat Nanda mencintainya seperti yang ada dalam drama atau cerita novel-novel tentang cinta? Semudah itu membuat pria jatuh cinta dengan pesona mereka. Sedangkan dia? Sekeras apa pun ia berusaha menjadi seorang istri yang baik dan membanggakan, Nanda tidak pernah benar-benar melihatnya.

 

 

((Bersambung...))

 

Terima kasih sudah menjadi sahabat setia bercerita!

Mohon maaf kalau kemarin tidak bisa update karena setiap weekend selalu ada kegiatan sosial di rumah bacaku. Terima kasih atas pengertiannya dan tetap setia jadi teman bercerita!

 

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 


Bab 25 - Awal Penderitaan Nanda

 



Ayu mengerjapkan mata perlahan saat ia mendengar kumandang adzan subuh dari masjid yang berada di komplek perumahannya. Ia membuka mata dan mengangkat tubuhnya perlahan.

“Nan, sholat subuh!” pinta Ayu sambil meraba kasur di sebelahnya. Namun, ia  menemukan ranjang itu kosong. Ayu menoleh ke kasur itu sejenak dan mengedarkan pandangannya. Ia langsung turun dari ranjang dan memeriksa suaminya itu ke kamar mandi.

“Dia ke mana pagi-pagi gini? Tumben banget? Nggak ngantor ‘kan?” gumam Ayu. Rasa penasarannya bercampur khawatir, bergelayut di dalam dadanya. Ia bergegas keluar dari kamar sambil terus memanggil nama suaminya itu.

“Hhh ... hhh ... hhh ...” Ayu berusaha menarik napas sambil memegangi pinggangnya yang terasa sangat pegal setelah mengelilingi rumahnya. Ia tidak bisa melihat sosok Nanda di rumah itu. Namun, mobil pribadinya masih terparkir baik di carport dan semua pintu rumah terkunci dengan rapat.

“Kamu ke mana, sih? Nggak diculik orang ‘kan? Masa iya ada orang yang bisa nyulik kamu?” tanya Ayu sambil melangkah masuk ke dalam kamar. Ia menghampiri nakas dan meraih ponsel miliknya.

Ayu mengernyitkan dahi saat melihat belasan panggilan tak terjawab dari Sonny. “What happen?” gumamnya. “Apa Nanda lagi sama Sonny?” Ia langsung men-dial nomor ponsel Sonny, tapi tak kunjung mendapatkan jawaban.

“Ada apa, Son?” Ayu akhirnya mengirimkan pesan singkat ke nomor kontak Sonny. Ia akhirnya memilih untuk menelepon mama mertuanya. Namun, Nanda juga tidak ada di rumah itu.

TING!

Ayu langsung melihat pop-up notifikasi dari akun LinkedIn miliknya. “Ayu, ini Arlita. Kamu blokir nomorku? Bisa ke rumah sakit, sekarang? Nanda harus dioperasi dan aku nggak punya uang buat bayar biaya operasi dia. Jangan kasih tahu keluarga dia dan keluarga kamu dulu, ya!”

Ponsel yang ada di tangan Ayu, langsung meluncur ke lantai begitu saja. “Na-nanda lagi sama Lita?” ucapnya lirih dengan tubuh gemetaran. Detik berikutnya, ia berusaha menguatkan diri dan menjaga kesadarannya.

Ayu melangkah perlahan menuju lemari pakaiannya, meraih sweeter tebal warna peach dan memakainya. Ia segera mengambil ponselnya yang terjatuh ke lantai, mengambil dompet dan memasukkan ke dalam tas tangannya. Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, ia langsung bergegas keluar dari rumah dan masuk ke dalam mobil.

Ayu terdiam sejenak saat setir mobilnya menempel ke perutnya yang sudah membesar. Ia mencoba menggeser mundur kursi yang ia duduki, tapi macet. “Ini gimana? Kenapa deket banget sama setir?” gumamnya sambil menggerakkan setirnya perlahan. Ia berusaha keras menjaga keseimbangannya. Membawa mobil itu perlahan hingga ia sampai ke salah satu rumah sakit yang sudah diberitahukan Arlita lewat pesan singkat.

Setelah memarkirkan mobilnya dengan baik, Ayu langsung melangkah masuk ke dalam pintu IGD. Ia menghampiri Arlita yang duduk di ruang tunggu.

“Di mana suamiku?” tanya Ayu dingin.

Arlita langsung mengangkat wajahnya dan bangkit dari kursi. “Dia di dalam, Yu. Kata dokter, dia harus secepatnya dioperasi. Tapi, limit kartu kredit dia nggak cukup buat bayar uang mukanya,” ucap Arlita sambil menyodorkan kartu kredit Nanda ke hadapan Ayu.

Ayu langsung menyambar kasar kartu dari tangan Arlita. “Harusnya kamu sadar kalau kamu itu nggak berguna buat Nanda! Buat apa masih berhubungan sama dia di belakangku!?”

Arlita menitikan air mata sambil menatap wajah Ayu. “Yu, kamu tahu kalau aku dan Nanda udah pacaran selama bertahun-tahun. Kami masih saling mencintai, Yu. Bolehkah aku tetap di sisi dia, Yu?” pintanya.

“Pikirkan dulu apa gunamu di sisi dia! Kalau cuma buat puasin nafsu doang, semua orang juga bisa!” sahut Ayu kesal sambil melangkah memasuki pintu utama ruang IGD. “Oh ya, satu lagi. Aku nggak akan membiarkan ada dua mama untuk anakku! Aku nggak cinta sama Nanda, tapi aku butuh dia untuk anak kami. Aku diam bukan berarti lemah, Lit. Aku udah kasih kesempatan kamu supaya berubah dan ninggalin Nanda. Kalau kamu masih keukeuh main gila sama suami orang, aku bakal hancurkan hidupmu perlahan!” ancam Ayu sambil masuk ke dalam pintu tersebut dengan langkah pasti.

“Kamu yang ngerebut dia dari aku, Yu! Harusnya aku yang marah!” seru Arlita. Ia menarik napas dalam-dalam sambil menahan kekesalan di dalam hatinya. Sejak ia diusir keluar dari apartemen Nanda, kebenciannya terhadap Ayu semakin menjadi-jadi. “Aku pasti rebut Nanda lagi dari kamu!”

Ayu langsung melangkah menghampiri meja resepsionis yang ada di ruang IGD tersebut. “Mbak, saya istri dari pasien atas nama Ananda Putera Perdanakusuma,” ucap Ayu sambil menyodorkan copy dokumen kartu keluarga dan kartu identitas milik Nanda.

“Ananda Putera Perdanakusuma. Pasien yang harus operasi di bagian penisnya ya? Ini tagihannya! Setelah dibayar, barulah bisa dilakukan tindakan oleh dokter,” ucap perawat yang bertugas di meja resepsionis dan kasir.

“Operasi apa, Sus?” Mata Ayu nyaris terbelalak mendengar ucapan dari perawat itu.

“Operasi penis, Bu. Penisnya hancur karena terlibat perkelahian dengan temannya sendiri. Untuk lebih jelasnya, silakan tanyakan ke polisi itu!”

Ayu langsung memutar kepala menatap dua pria berseragam polisi yang terlihat sedang berbincang serius. Ia menatap tagihan yang ada di tangannya dan harus segera membayar untuk menyelamatkan suaminya.

“Aaargh ...!” Suara Nanda terdengar menggema ke semua ruangan itu. Ayu langsung berlari ke arah sumber suara dan membuka tirai yang menutupi salah satu ranjang pasien di sudut ruangan.

“Na-Nanda ...!?” Mulut Ayu terbuka lebar saat melihat alat kelamin milik Nanda sudah dipenuhi darah. Juga wajah tampannya yang sudah babak belur.

“Maaf, Bu ...! Anda siapa?”

“Saya istrinya, Suster.”

“Tagihan untuk operasi sudah dibayar?”

Ayu terdiam sambil menatap kertas tagihan di tangannya.

“Cepat dibayar supaya dokter bisa segera melakukan operasi!” pinta perawat yang ada di sana.

“Ayu, tolong! Sakit banget!” pinta Nanda sambil berusaha meraih lengan Ayu. “Aku udah kasih kartuku ke Lita dan dia belum bayarin tagihanku sampai sekarang. Aku sakit, Yu!” rintihnya.

Ayu menghela napas. “Limit kartu kredit kamu udah habis, Nan. Kamu terlalu banyak menggunakan uangmu buat menyenangkan wanita itu. Sekarang, kamu butuh uang cash delapan ratus juta untuk operasi. Bisa dapet dari mana? Aku minta sama Oom Andre?”

“Jangan kasih tahu papa, Ay! Please ...!” pinta Nanda sambil menatap nanar ke arah Ayu.

“Kami akan kasih anastesi dulu, Bu. Tolong segera lakukan pembayaran!” pinta perawat yang ada di sana. Ia tidak tahan mendengar Nanda yang terus berteriak kesakitan ketika anestesi yang mereka suntikan sudah habis.

“Nggak usah dianastesi, Suster. Dia kuat, kok. Cowok kayak dia, nggak butuh anastesi,” pinta Ayu. Meski kasihan, ia sangat kesal dengan Nanda yang masih diam-diam punya hubungan dengan Arlita.

“Ay, kamu ...!?” Nanda menggigit bibirnya, menahan rasa nyeri di bagian alat vitalnya.

“Aku bayar biaya operasi kamu dulu. Baik-baik di sini, ya! Harus kuat, dong! Bentar lagi jadi papa,” pinta Ayu. Ia tersenyum manis sambil menepuk pipi Nanda, kemudian bergegas pergi untuk melunasi tagihan rumah sakit agar Nanda bisa segera diselamatkan.

Setelah selesai membayar tagihannya, Ayu langsung bernapas lega. Ia tidak lagi peduli dengan uang tabungannya yang terkuras habis. Ia harap, kejadian ini bisa membuat Nanda berubah menjadi pria yang baik dan bertanggung jawab.

Ayu mengedarkan pandangannya. Ia langsung menghampiri dua orang polisi yang ada di sana. “Pak, saya boleh tahu ... apa yang sebenarnya terjadi sama suami saya?” tanya Ayu.

Dua orang polisi itu langsung menoleh ke arah Ayu. “Suaminya yang mana?”

“Yang dari tadi teriak-teriak kesakitan karena itunya luka,” jawab Ayu dengan nada malu-malu.

“Oh itu ... gini, Mbak ...!” Dua orang polisi itu langsung menceritakan kronologi kejadian dari versi Arlita dan Sonny. Mereka juga mengatakan kalau telah menahan Sonny untuk dimintai keterangan karena kasus perkelahian tersebut.

Ayu menghela napas kecewa. Yang ia tahu, Sonny tidak pernah marah sampai seperti ini. Jika dia sampai memukul Nanda, itu artinya kesalahan Nanda memang tidak termaafkan. Mungkinkah Sonny tahu kalau selama ini Nanda tidak pernah memperlakukannya sebagai istri dengan baik?

“Son, kamu boleh marah. Tapi tidak dengan menghancurkan dirimu sendiri seperti ini,” tutur Ayu dalam hati. Ia bergegas melangkahkan kakinya keluar dari rumah sakit. Ia berniat menjenguk Sonny yang sudah ditahan pihak kepolisian Reserse Kriminal kota Surabaya sembari menunggu Nanda yang masih harus menjalani operasi selama beberapa jam ke depan.

“Son, why you so stupid!”

 

 

((Bersambung...))

 

 

 

 

 

 


Bab 24 - Murka

 



Nanda mengintip wajah Ayu yang sudah tertidur pulas. Ia melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Ia beringsut perlahan dan turun dari ranjang tidurnya. Dengan cepat, ia mengganti pakaiannya dan turun dari kamar.

Nanda berjalan mengendap-ngendap agar tidak menimbulkan suara hingga ia keluar dari gerbang rumahnya. Ia melangkahkan kakinya perlahan, menyusuri jalan perumahan miliknya sembari memainkan ponsel untuk memesan taksi online.

Beberapa menit kemudian, taksi yang dipesan Nanda sudah tiba di depan pintu masuk perumahannya. Ia segera masuk ke dalam taksi tersebut dan langsung menuju ke Galaxy Hotel.

Begitu sampai di Galaxy Hotel, ia langsung melangkah memasuki lift, menuju ke lantai kamar yang sudah ia pesan sebelumnya.

“Aku sudah sampai,” ucap Nanda lewat pesan singkat saat ia sudah sampai ke lantai yang ia tuju dan berdiri di depan nomor kamar yang ia pesan. Setelah memastikan kalau pesannya terbaca, ia langsung membersihkan chat yang ia kirimkan.

KLEK!

“Nan, I miss you ...!” seru Arlita saat pintu kamar itu terbuka dan langsung merangkul tubuh Nanda.

Nanda tersenyum menatap wajah Arlita dan mengecup bibir wanita itu. “Aku juga kangen sama kamu.”

“Ayu sudah tidur?” tanya Arlita sambil menatap lekat wajah Nanda.

Nanda mengangguk. “Aku nggak punya banyak waktu untuk ketemu kamu, Ar. Kalau Ayu tahu kita masih berhubungan, seluruh hidupku bakal habis.”

“Nevermind. Satu jam aja cukup buat servis kamu,” jawab Arlita sambil mengerdip centil. “Masuk, yuk!” ajaknya sambil menarik lengan Nanda.

Nanda tersenyum lebar. Ia benar-benar merindukan wanita cantik yang selalu membuatnya tergila-gila di atas ranjang. Sayangnya, takdir malah membuatnya menikah dengan perempuan polos yang tidak tahu bagaimana cara memuaskan hasratnya yang terlalu tinggi.

KREEEK ...!

BUG!

Tubuh Nanda langsung tersungkur ke lantai saat kerah bajunya ditarik oleh seseorang dan wajahnya terhujam kepalan tangan hingga membuat sudut bibirnya mengeluarkan darah segar.

“SONNY ...! Kamu apa-apan, sih!?” seru Arlita sambil menatap Sonny yang tiba-tiba ada di sana.

“Kamu masih punya hubungan sama Nanda?” tanya Sonny sambil menatap wajah Arlita dengan tatapan berapi-api.

Arlita gelagapan mendengar pertanyaan Sonny.

“Parah kamu, Lit! Nanda itu udah jadi suaminya Ayu dan kamu masih jadiin dia temen tidurmu?”

“Son, aku ...” Arlita menatap wajah Sonnya dengan tubuh gemetaran. Ia khawatir jika Sonny membongkar semua kelakuannya di belakang Nanda selama ini.

“PELACUR ...!” umpat Sonnya sambil menatap wajah Arlita.

Nanda langsung bangkit dari lantai sambil mengepalkan tangannya. Ia langsung menghujamkan pukulan dengan cepat ke wajah Sonny. “Arlita itu cewekku! Bukan Pelacur!”

Emosi dalam dada Sonny semakin meningkat saat Nanda masih mengakui Arlita sebagai kekasihnya. Terlebih, pria itu masih membela Arlita. Bukannya merasa bersalah karena telah mengkhianati istrinya sendiri.

“ANJING KAMU, NAN!” seru Sonny sambil menghujamkan pukulannya kembali ke wajah Nanda.

BUG!

BUG!

BUG!

Nanda dan Sonny saling menyerang dan tidak ada yang mau mengalah.

“SONNY, STOP!” teriak Arlita. Tapi ia tidak berani memisahkan dua pria yang sedang berkelahi tersebut karena mengetahui kalau mereka berdua berada di bawah naungan satu perguruan silat yang cukup besar di negara ini. “NANDA, STOP!” pintanya histeris sambil menitikan air mata.

BUG!

Tendangan terakhir dari kaki Sonny, akhirnya membuat tubuh Nanda tersungkur ke lantai.

“BAJINGAN KAMU, NAN! Aku serahin Ayu ke kamu buat kamu bahagiain. Bukan kayak gini!” seru Sonny sambil menjejak alat vital Nanda sekuat tenaga.

“AARGH ...! ANJING KAMU, SON!” seru Nanda sambil memegangi alat vitalnya. Dua bola matanya memerah dan nyaris keluar karena menahan rasa sakit yang begitu menyiksa.

“Kamu yang anjing, Nan!”

“SONNY ...! Kamu tega banget, sih!? Jahat!” seru Arlita sambil menghampiri Nanda dan merangkul pria yang sedang merintih kesakitan itu.

“Kalian juga sudah tega menghancurkan hidup wanita yang paling aku cintai. Kalau bukan karena cowok bajingan ini, aku dan Ayu juga nggak akan berpisah!” seru Sonny dengan emosi yang masih berapi-api.

“Kalau kamu masih cinta sama Ayu, ya kamu perjuangin dia, dong! Kami berdua juga masih saling cinta. Jangan salahkan kami karena Ayu yang udah ngerebut Nanda dari aku!” seru Arlita.

“Kamu ...!?” Sonny mengepalkan tangannya dan nyaris memukul Arlita.

“Dokter ...!” Asisten perawat Sonny tiba-tiba muncul dan menahan lengan pria itu.

“Roro Ayu bukan wanita sembarangan. Kalau aku ikhlaskan dia, itu karena aku percaya sahabatku bisa bikin dia bahagia. Karena aku beda kota, kalian bisa memperlakukan Ayu seperti ini, hah!? Inget, Nan! Aku bisa menghancurkan hidupmu lebih dari ini!” ancam Sonny.

“Nanda yang bakal hancurin hidup kamu! Lihat aja, kami bakal laporin kamu ke polisi dan bikin kamu mendekam di penjara!” ancam Arlita.

“Kamu siapanya Nanda, hah!? Cuma pacar. Bukan istri sah dia. Roro Ayu punya hak lebih daripada kamu. Laporin ke polisi aja! Kita lihat, apa yang akan dilakukan orang tua Ayu kalau tahu puteri kesayangan mereka diperlakukan seperti ini!” sahut Sonny sambil menendang kaki Nanda yang sudah merintih kesakitan dan bergegas melangkah masuk ke dalam kamar hotel yang berada tak jauh dari mereka.

“Dokter, aku keluar carikan obat dulu!” ucap Asisten Perawat yang terus mengikuti langkah Sonny dengan perasaan khawatir melihat wajah seniornya itu babak belur. Ia tidak tahu apa yang terjadi hingga membuat seorang dokter anak yang biasanya begitu lembut dan penyayang, tiba-tiba terlibat perkelahian hebat dengan pria yang dia panggil sebagai sahabat. Sepertinya, wanita istimewa yang telah menggerakkan hati seniornya itu.

Sonny mengangguk. “Kamu minta rekaman CCTV sebelum aku berantem sama Nanda!” perintahnya.

“Baik, Dokter.” Asisten perawat itu segera keluar kembali dari dalam kamar. Ia mendapati Arlita dan Nanda yang masih berbaring di lantai koridor dengan wajah babak belur dan bagian bawah perutnya mengeluarkan rembesan darah. Ia meringis nyeri melihat nasib pria yang baru saja dihajar habis-habisan oleh seniornya itu.

“Mas, tolong aku! Bantu aku bawa dia ke rumah sakit!” pinta Arlita sambil berlinang air mata.

Asisten perawat itu mengangguk. Baru saja ingin melangkah menghampiri Nanda, dua orang pria berseragam security berlari ke arah mereka. Ia langsung mengurungkan niatnya dan membiarkan dua security itu membopong tubuh Nanda yang sudah tidak sadarkan diri untuk segera dilarikan ke rumah sakit. Sebab, ia ngeri dan tidak tega melihat kondisi pria itu. Ia harap, nyawa pria itu masih bisa diselamatkan. Jika tidak, seniornya akan terancam dipenjara.

Di dalam kamar, Sonny menatap ke luar jendela. Gemerlapnya kota Surabaya, sudah lama tidak pernah ia nikmati. Ia mengambil ponsel dan menelepon Ayu beberapa kali, tapi tidak mendapatkan jawaban. Ia tahu, kebiasaan Ayu setiap malam adalah meletakkan ponselnya dalam mode silent. Perasaannya tak karuan dan pertanyaan di kepalanya semakin bertambah. Ia sangat mengkhawatirkan keadaan mantan tunangannya itu.

“Ayu ... are you happy now?” bisik Sonny sambil menatap cincin tunangan yang masih melingkar erat di jemari tangannya. Andai hari itu ia mau berjuang untuk Ayu. Mungkin hidupnya tidak akan berakhir seperti ini. Ia sudah sangat mengenal Nanda dan Arlita sejak mereka duduk di bangku SMA.

Ia pikir, Nanda akan berhenti bermain wanita setelah menikah. Nyatanya, sahabatnya itu tidak pernah berubah dan malah membuat hati Ayu terluka. Ia tidak peduli dengan Nanda, yang ia pedulikan hanyalah Ayu. Ia ingin melihat Ayu bisa hidup bahagia, meski bukan dia yang menjadi sumber kebahagiaan itu. Tapi jika Nanda malah menyakitinya, maka ia tidak akan segan merebut Ayu kembali ke dalam pelukannya.

 

 

((Bersambung...))

 

Nantikan kisah seru selanjutnya!

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Bab 23 - Firasat

 



Nanda menghentikan mobilnya di tepi pantai Kenjeran usai ia dan Ayu keluar dari pesta ulang tahun Nyonya Besar keluarga Hadikusuma.

“Kenapa kita ke sini?” tanya Ayu sambil mengedarkan pandangannya ke luar jendela mobil.

Nanda tersenyum. Ia segera keluar dan membukakan pintu untuk Ayu. “Kita santai di sini dulu. Lagipula, ini masih jam sepuluh.”

“Oh.” Ayu mengangguk dan melangkah keluar dari dalam mobil tersebut.

Nanda dengan cepat menyambar pinggang Ayu dan meletakkan tubuh wanita itu ke atas kap mobilnya. “Ayu, kita bisa bicara dari hati ke hati?” tanyanya.

Ayu terdiam sambil menatap wajah Nanda.

Nanda tersenyum manis. Kedua telapak tangannya bertumpu pada kap mobil dan mengunci tubuh Ayu di tengahnya. “Apa aku masih kurang ganteng, Ay?”

“Kenapa kamu tanya begitu?”

“Karena kamu selalu dingin sama aku,” jawab Nanda.

“Masa, sih? Mungkin perasaanmu aja karena sudah ada orang lain yang lebih menghangatkanmu,” sahut Ayu.

Nanda menghela napas. “Bisa nggak, kamu positif thinking ke aku, Ay? Kamu masih curiga kalau aku punya banyak cewek di luar sana?”

Ayu menggeleng. “Aku tahu mereka nggak akan berani deketin kamu saat mereka tahu kalau kamu sudah menikah.”

“Nah, itu pinter. Kalau gitu, berhenti menyelidikiku! Aku akan sayangi kamu setiap hari,” pinta Nanda sambil mengecup bibir Ayu.

Ayu tersenyum kecut menanggapi ucapan Nanda. “Kamu pura-pura manis ke aku supaya kamu bisa jalan sama perempuan lain tanpa merasa bersalah?”

“Ck. Kenapa kamu masih mikir negatif kayak gini, sih? Aku mana mungkin jalan sama perempuan lain. Aku sudah punya istri yang cantik dan baik hati kayak gini,” ucap Nanda sambil menjepit dagu Ayu.

Ayu tersenyum dan menatap hangat ke arah Nanda. “Udah sadar?”

Nanda menganggukkan kepala sambil tersenyum. “Kamu nggak akan terima tawaran Galaxy ‘kan?”

“Aku nggak bisa nolak. Juga nggak bisa menerima.”

“Jadi?”

“Kalau kamu mengizinkan, aku akan bergabung dengan Galaxy,” jawab Ayu.

“Jangan, dong! Papa pasti pecat aku jadi anaknya kalau kamu sampai bergabung sama Galaxy. Papa akan siapkan jabatan buat kamu di Amora. Kamu bisa kerja dari rumah tanpa mengabaikan tugas dan kewajibanmu sebagai istri. Gimana?”

Ayu mengangguk setuju.

Nanda tersenyum lebar menatap wajah Ayu. Ada baiknya juga punya istri bangsawan yang terikat dengan aturan dan norma keluarga yang dijunjung tinggi. Meski Ayu terlihat membangkang dan menyebalkan, tapi tetap saja menurut dan melakukan banyak hal di luar sana atas izin suami terlebih dahulu.

“Nan, pulang yuk! Aku kedinginan,” ajak Ayu sambil menatap wajah Nanda yang berada tepat di hadapannya.

Nanda tersenyum dan mengangguk kecil. Ia menyentuhkan bibirnya ke bibir Ayu dan melumatnya perlahan.

Ayu menelan salivanya sambil menatap wajah Nanda yang menempel di wajahnya. Ia memejamkan mata perlahan. Aroma alkohol yang menyeruak dari mulut Nanda, menyusup ke dalam hatinya dan membuatnya minta diperlakukan lebih.

Nanda semakin bergairah saat Ayu membalas ciumannya. Ia memainkan telapak tangannya dengan liar di punggung wanita itu. Perasaannya semakin tak karuan saat bagian bawah tubuhnya tergerak. “Shit!” umpatnya dalam hati. Dengan cepat, ia menggendong tubuh Ayu. Membawanya masuk kembali ke dalam mobil dan bergegas pulang ke rumah untuk melampiaskan gairahnya pada istrinya itu.

 

...

 

Hari-hari berikutnya, Ayu disibukkan dengan rutinitas seperti biasanya. Kehamilannya yang semakin membesar, membuatnya lebih banyak menghabiskan waktu di rumah saja. Menonton film atau membaca buku untuk mengusir kebosanan.

“Sore, Sayang ...!” sapa Nanda saat ia pulang ke rumah. Ia langsung mencium kedua pipi Ayu sembari mengulurkan bucket bunga mawar yang ada di tangannya.

“Sore ...! Tumben bawain bunga?” tanya Ayu sambil menatap wajah Nanda.

“Iya. Tadi lewat toko bunga. Sekalian aku beliin buat kamu. Oh ya, aku tadi dari agen property,” ucap Nanda sambil membuka tas laptopnya. “Kamu pilih aja design kamar anak yang kamu mau!” Ia menyodorkan katalog interior ke hadapan Ayu.

Ayu tersenyum dan meraih katalog tersebut. Ia membuka katalog itu dan memperhatikan detail design kamar anak satu per satu.

Nanda tersenyum sambil mengelus perut Ayu yang sudah menginjak usia tujuh bulan. “Ay, di adat kamu itu ada acara tujuh bulanan ‘kan? Kenapa keluarga kamu nggak pernah bahas ini sama kita?”

“Anak yang hamil di luar nikah, dilarang melakukan upacara sakral,” jawab Ayu sambil menatap katalog yang ada di tangannya.

“Oh ya? Tapi ... banyak aja temen-temenku yang hamil di luar nikah dan mereka tetap lakukan acara tujuh bulanan,” ucap Nanda.

“Setiap keluarga punya aturan. Di keluargaku, wanita yang hamil di luar nikah dilarang melakukan upacara sakral. Aku juga dilarang menginjakkan kakiku ke keraton sampai anak ini lahir.”

DEG!

Kalimat terakhir Ayu, seolah menghujam jantung Nanda. “Ma-maksudnya ...? Keluargamu nggak menerima kehadiran anakku ini?”

Ayu mengangguk tanpa ragu.

Nanda menghela napas. Ia terduduk lemas di hadapan Ayu. “Apa anakku juga tidak akan diperbolehkan memasuki keratonmu itu?”

“Boleh. Setelah melahirkan, kami harus melakukan upacara suci supaya kami bisa memasuki keraton.”

“Ribet amat, sih?” gumam Nanda.

Ayu hanya melirik sekilas, kemudian bangkit dari sofa. “Mau mandi? Aku siapin air hangat untukmu.”

Nanda mengangguk sambil tersenyum. Ia menghela napas lega karena Ayu tak lagi mengurusi pekerjaannya di luar sana dan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Membuatnya lebih bebas melakukan banyak hal di luar sana tanpa rasa was-was.

Di saat bersamaan ...

Sonny melangkahkan kakinya menyusuri koridor Galaxy Hotel. Kali ini, ia harus pergi ke kota ini karena diminta untuk mengisi seminar parenting yang diselenggarakan salah satu universitas ternama di kota Surabaya.

“Ners, jam berapa jadwal seminar saya?” tanya Sonny pada asisten perawat pria yang ikut mendampinginya.

“Jam delapan, Dok,” jawab perawat yang ditanya.

Sonny melirik arloji di tangannya. “Lima belas menit lagi. Kita udah nggak sempat makan dan istirahat,” ucapnya. Karena terjebak macet, mereka harus tiba di kota Surabaya dalam waktu yang begitu mepet.

“Nggak papa, Mas. Tadi sudah ngemil di mobil. Saya nggak laper kok, Dok.”

“Ya udah. Kita makan abis seminar aja. Kamu reservasi, ya! Katanya, makanan di restoran hotel ini juga enak-enak,” perintah Sonny sambil menghentikan langkahnya saat ia sudah sampai di depan pintu nomor kamar yang sama dengan kartu yang ada di tangannya.

Belum sampai pintu itu terbuka, pandangannya langsung teralih pada sosok wanita seksi yang melangkah menuju pintu hotel yang berjarak satu pintu dari tempatnya berdiri. Wajah wanita itu tak asing lagi baginya. Ia langsung menarik asisten perawat yang ikut bersamanya agar menutupi tubuhnya. Dari balik tubuh pria muda itu, ia bisa melihat jelas Arlita memasuki pintu hotel dengan santai dan dalam keadaan sadar.

“Kenapa, Dok? Kenal sama cewek itu?” tanya asisten perawat itu sambil menatap Sonny.

“Temen SMA.”

“Wah ...! Cantik dan seksi, Dok! BO-an, ya?”

“Lihat aja kalau cewek begituan.” Sonny menoyor kepala asistennya dan masuk ke dalam kamar tersebut. Ia bergegas mengganti pakaiannya sembari menerka-nerka, siapa pria yang akan bersama dengan Arlita di kamar hotelnya. Ia harap, pria itu bukan Nanda. Sebab, ia tidak ingin melihat Roro Ayu terluka karena dikhianati oleh suaminya sendiri.

Beberapa menit kemudian, Sonny sudah berada di ballroom ruang seminar yang ada di hotel tersebut. Pertemuannya dengan Arlita, tiba-tiba mengganggu pikirannya. Ia terus memikirkan bagaimana rumah tangga Ayu dan Nanda yang sebenarnya. Ia tidak ingin melihat wanita yang paling ia cintai itu terluka. Ia merelakan Ayu bersama Nanda agar wanitanya itu bisa hidup bahagia. Tapi jika tidak ada kebahagiaan dalam kehidupan Ayu saat ini, maka ia akan merasa bersalah telah menyerahkan wanita itu pada sahabatnya.

Di tengah kemelut hatinya, Sonny tetap bersikap profesional. Ia berusaha menepis hal-hal buruk yang membayangi pikirannya. Berharap, Ayu tidak akan pernah dilukai oleh sahabatnya itu.

 

 

((Bersambung...))

 

Terima kasih sudah menjadi sahabat setia berkarya dan bercerita!

Dukung terus biar author makin semangat nulisnya!

 

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Bab 22 - Terancam Direbut Galaxy

 



Roro Ayu melangkah masuk ke dalam mansion keluarga besar Hadikusuma sambil menggandeng lengan Nanda. Mereka langsung menghampiri Nyonya Ye yang menyambut semua tamu undangannya dengan ramah. Di sana, sudah ada papa dan mama mertua Roro Ayu yang datang lebih dulu.

"Selamat ulang tahun, Oom, Tante ...!" ucap Roro Ayu sambil menyodorkan hadiah yang sudah ia siapkan.

"Ini menantunya Andre?" tanya Yuna sambil tersenyum manis. "Cantik banget!"

Ayu tersenyum menatap wajah Yuna. "Biasa aja, Tante."

"Nggak usah panggil Tante! Panggil Bunda Yuna aja, ya!" pinta Yuna sambil menyerahkan hadiah yang diberikan Ayu kepada salah satu pelayan di rumahnya. "Harusnya nggak usah kasih hadiah segala. Kami ini bukan anak kecil lagi."

Ayu hanya tersenyum mendengar ucapan Yuna. "Nggak papa Tante. Eh, Bunda," ralatnya. "Anggap saja ini tanda perkenalan dari saya."

Yuna tersenyum sambil menatap wajah Ayu. "Ayo, duduk!"

Ayu tersenyum sambil menganggukkan kepala. Ia membungkuk sopan melewati beberapa orang yang ada di dekatnya dan menghampiri Andre dan Nia. Ia langsung menyalami tangan mertuanya dan mencium punggung tangan mereka tanpa canggung.

"Gimana kabar Mama?" tanya Ayu sambil menatap wajah Nia.

"Baik. Kami semua baik. Gimana kandungan kamu? Sehat?" tanya Nia sambil mengelus perut Ayu yang sudah terlihat membuncit. Ia merasa sangat bahagia karena akan memiliki cucu. Terlebih, wanita yang mengandung anaknya adalah wanita baik-baik dan berpendidikan. Ia harap, rumah tangga anaknya itu bisa bertahan sampai maut memisahkan.

"Alhamdulillah ... sehat, Ma."

"Sudah USG atau belum?" tanya Nia.

"Belum," jawab Ayu sambil menggelengkan kepala. 

“Kalau mau USG. Ajak Mama Nia, ya! Mama pengen lihat calon cucu Mama,” pinta Nia berbisik.

Ayu mengangguk sambil tersenyum. Ia segera duduk berdampingan dengan Nia. Membiarkan Nanda bergabung dengan Rocky dan teman-temannya.

“Ndre, kamu udah mau punya cucu?” tanya Chandra yang ikut duduk di meja bersama Andre dan yang lainnya.

“Iya, Chan. Kamu kapan?”

“Nggak tahu. Masih belum pengen nikah anakku itu. Malah ambil S2 lagi di New York. Nemenin anaknya Lutfi,” jawab Chandra santai.

“Oh.” Andre manggut-manggut.

“Kamunya kapan, Chan?” goda Lutfi. “Jangan menduda terus! Banyak janda-janda yang nganggur di luar sana,” ucapnya sambil memainkan mata ke arah Mira.

“Kenapa lihatin aku kayak gitu?” tanya Mira.

“Nggak papa,” jawab Lutfi sambil menahan senyuman di bibirnya.

“Satria nggak ke sini, Mir?” tanya Andre sambil menatap wajah Mira.

Mira menggeleng. “Dia sibuk. Udah diwakilin anaknya, tuh.” Ia menunjuk ke arah Nadine yang sedang berbincang dengan Yuri dan yang lainnya.

Andre manggut-manggut sambil menoleh ke arah Nadine.

“Ayu, kamu nggak mau gabung sama anak-anak muda yang lain?” tanya Nia lembut sambil menunjuk ke arah Rocky dan teman-teman sebayanya yang sedang asyik mengobrol.

Ayu menggeleng sambil tersenyum manis. Sejak hari pernikahannya, ia tidak pernah berada di tengah keramaian. Ia takut dengan dirinya sendiri. Takut orang-orang akan memandang rendah ke arahnya karena ia mengandung anak di luar pernikahan. Rasa malu dalam dirinya, tidak pernah bisa hilang. Bahkan untuk bertemu dengan keluarga besarnya sendiri saja, ia merasa sangat canggung.

“Eh, Ayu di sini aja, dong! Aku mau ngobrol sama dia,” pinta Yuna sambil duduk di kursi kosong yang ada di sebelah kanan Ayu.

“Dia masih muda, biarkan ngumpul sama sebayanya! Mau ngobrolin apa sama kamu?” pinta Yeriko sambil menatap wajah Yuna.

Yuna tertawa kecil menanggapi ucapan suaminya. “Eh, si Roro ini lulusan terbaik di Melbourne University, loh. Aku sekolah di sana, belajar tiap malam sampai tidur di perpustakaan, tetap aja nggak bisa dapet nilai bagus.”

“Emang dasarnya kamu bodoh,” sahut Yeriko.

“Iih ... ngolok banget! Biar bodoh di sekolah, nggak bodoh ngurus perusahaan ‘kan?” ucap Yuna sambil memainkan kedua matanya ke arah Yeriko.

Yeriko tertawa kecil sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Udah tua, centilnya nggak ilang-ilang.”

“Kamu jatuh cinta sama aku karena aku centil ‘kan? Kalau centilku ilang, ntar kamu cari perempuan lain yang lebih centil,” sahut Yuna. Suaranya menguasai ruangan tersebut dan membuat semua orang geleng-geleng kepala, termasuk Rocky yang duduk di sebelah meja sebelahnya.

“Bunda, maunya punya menantu yang centil atau kalem?” tanya Rocky sambil menoleh ke arah Yuna.

“Yang kalem dan elegan kalau di luar, tapi sayang dan peduli sama kamu,” jawab Yuna.

Rocky terkekeh sambil menyandarkan lengannya ke punggung kursi yang diduduki Nadine. “Kamu sayang sama aku, nggak?”

“Apaan sih?” sahut Nadine sambil menyubit perut Rocky.

“Aw ...! Sakit, Nad!” bisik Rocky sambil mengelus perutnya yang terasa memanas.

“Kalian berdua udah balikan?” tanya Yuna sambil menatap Nadine dan Rocky yang terlihat mesra.

“Nggak, Bunda,” jawab Nadine sambil tertawa kecil.

“Nggak mau dipacarin, Bunda. Dia maunya langsung dilamar. Kapan bunda lamarkan Nadine buat aku?” sahut Rocky sambil memainkan alisnya.

“Heleh, kemarin kamu masih jalan sama cewek lain. Kok, mau minta lamarkan Nadine. Nadine terlalu baik buat kamu.”

Rocky mendelik ke arah Yuna yang tidak mendukung dirinya sedikit pun.

Nadine menjulurkan lidahnya ke arah Rocky.

Rocky langsung memajukan wajahnya, berniat menyambar lidah Nadine yang terjulur menggunakan bibirnya. Tapi Nadine sudah berkelit dengan cepat dan berusaha menghindari Rocky meski pria itu terus memaksa dan mengunci kepala Nadine ke lengannya.

“Okky ...! Ampun ...!” seru Nadine saat kepalanya dijepit di dada Rocky. “Nanti make-up aku rusak!”

Semua orang tertawa melihat kelakuan Rocky yang  mengganggu teman-teman wanitanya. Tidak hanya dengan Nadine, Chika dan yang lain pun sudah biasa menghadapi candaan Rocky.

Yuna menggeleng-gelengkan kepala. Ia mengalihkan pandangannya ke arah Roro Ayu. Mengajak wanita muda itu bercerita banyak hal tentang masa lalu mereka saat masih bersekolah di Melbourne University.

“Ternyata tongkrongan kita sama aja, ya? Tetep aja perpustakaan. Sekarang, kamu berhenti kerja? Kenapa?” tanya Yuna sambil menatap wajah Roro Ayu.

 

 

 

 

 

 

“Di keluarga kami, perempuan yang sudah menikah harus fokus mengurus rumah tangga dan mengutamakan pendidikan anak-anak. Jadi, saya resign.”

“Duh, sayang banget. Kalau ikut ngurus perusahaan keluarga, boleh kan?” tanya Yuna. “Aku juga nggak kerja. Orang lain yang kerja untuk aku,” lanjutnya sambil mengerdipkan sebelah matanya.

Ayu tersenyum menanggapi ucapan Yuna.

“Ndre, kamu jangan biarin dia jadi ibu rumah tangga doang, dong! Sayang loh prestasi yang dia punya. Kasih jabatan di perusahaanmu, Ndre. Amora ‘kan perusahaan besar. Masa menantu sendiri nggak dikasih kursi? Orang lain aja bisa menduduki kursi pimpinan di perusahaanmu.”

Andre tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Jangan senyum-senyum aja! Menantu kayak gini harus diperlakukan dengan baik. Kalau urusan rumah, bisa pakai pelayan. Kamu jangan kayak orang susah gitu dong, Ndre!” ucap Yuna sambil menatap wajah Andre.

Andre menahan tawa sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. “Akan aku pikirkan.”

“Jangan dipikir doang! Langsung bertindak! Kamu mau kasih jabatan apa buat menantumu ini? Kami semua jadi saksinya,” pinta Yuna.

Andre menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Eh, dia punya track record yang bagus. Prestasi bagus dan pengalaman kerja di perusahaan yang bagus juga. Kalau kamu nggak mau kasih jabatan buat dia. Aku hire dia jadi Wakil Direktur Pengembangan Bisnis. Chandra lagi butuh wakil karena yang sebelumnya udah resign,” tutur Yuna.

“Hahaha.” Andre tergelak mendengar ucapan Yuna. “Kamu jangan terang-terangan ngambil orangku, Yun.”

“Kamu sia-siain orang seperti ini. Aku mana bisa melewatkan orang-orang berpotensi seperti ini. Galaxy need generasi baru yang seperti ini,” ucap Yuna sambil menoleh ke arah Ayu. “Kamu mau salary berapa? Tinggal sebut dan kami akan kasih untukmu!”

Ayu tersenyum menatap wajah Yuna. “Nyonya, saya  merasa sangat terhormat mendapat tawaran seperti ini. Tapi saya sudah menikah. Kalau bekerja di luar, harus atas izin suami. Saya tidak bisa melanggar peraturan keluarga kami.”

Yuna tersenyum sambil mengusap lembut lengan Ayu. “Kamu istri yang berbakti banget?” ucapnya terharu. Ia mengedarkan pandangannya, mencari sosok suami Ayu yang ada di meja lain.

“Nanda, Ayu boleh kerja di Galaxy?” seru Yuna.

Nanda yang baru ingin menyuapkan makanan ke mulutnya, langsung memutar kepala menatap wajah Yuna.

“Boleh, ya!” pinta Yuna sambil memainkan alisnya menatap Nanda.

Nanda langsung meletakkan sendoknya perlahan ke atas piring. “Nggak kerja aja dia udah pinter. Kalau kerja di Galaxy, aku bakal jadi jongos buat dia, dong?” batinnya.

“Kalau diam artinya setuju!” seru Yuna sambil tersenyum puas dan langsung merangkul Ayu. Mengajak wanita itu untuk membicarakan tentang ekonomi dan bisnis di masa depan.

“Uhuk ... uhuk .. uhuk ...!” Nanda langsung tersedak. Ia segera meminum air putih yang ada di hadapannya.

Rocky memperhatikan wajah Nanda yang duduk berseberangan dengannya. “Bundaku paling jago kalau ngerebut orang. Kalau kamu sia-siakan Roro Ayu. Galaxy akan menyiapkan rumah yang nyaman untuk dia,” ucapnya lirih.

GLEG!

Nanda menelan salivanya dengan susah payah. “Shit! Apa sih yang dilihat dari Roro Ayu sampai semua orang belain dia dan menginginkan dia seperti ini?” batinnya menahan kesal.

 

 ((Bersambung...))


Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas