Wednesday, August 17, 2022

Bab 20 - Bolehkah Aku Benci Anak Ini?

 




Dua jam sebelum pergi ke pesta ulang tahun Mr. & Mr. Ye, Nadine yang sudah berada di kota Surabaya, mengajak Ayu untuk merias diri di salah satu salon ternama di pusat kota Surabaya.

“Mbak, teman saya ini lagi hamil. Pakai make-up khusus untuk bumil, ya!” pinta Nadine saat ia dan Ayu sudah duduk di salah satu meja rias yang ada di sana.

“Oh ya? Tapi, harga untuk make-up ibu hamil itu jauh lebih mahal, Mbak.”

“Kami nggak permasalahkan harga. Yang penting kandungan dia aman. Emangnya, kami kelihatan kayak orang susah?” sambar Nadine dengan cepat.

Karyawan itu menggeleng. “Baik, Mbak.” Ia segera menyiapkan make-up khusus dengan merk ternama yang memang diproduksi khusus untuk ibu hamil dan menyusui.

Nadine menghela napas sambil melipat kedua tangan di dadanya. “Emangnya kita kelihatan kayak orang susah, ya?” tanyanya sambil menoleh ke arah Ayu yang duduk di sebelahnya.

Ayu tertawa kecil. “Sabar! Jangan emosi gitu, dong!” ucapnya sambil mengelus lengan Nadine.

“Kesel aku kalau diginiin sama orang. Nggak tahu apa kalau anaknya yang punya mall ini setiap hari ngejar-ngejar aku?”

“Hush! Jangan ngomong gitu! Ntar dikira kamu pamer,” sahut Ayu sambil tersenyum manis.

“Biar aja! Aku emang suka pamer.”

Ayu hanya terkekeh geli menatap wajah Nadine yang emosinya mudah sekali meledak hanya karena hal sepele. “Kamu lagi PMS?”

Nadine menghela napas. “Lagi kesel aku, Ay. Aku tuh dibikin kesel sama Okky sepanjang jalan. Dia bilang, mau jemput aku ke Semarang. Aku tuh udah ngalah dan mobilku kusewakan sama temen. Eh, satu jam sebelumnya ... dia bilang nggak bisa jemput aku karena di rumahnya sibuk banget. Coba dari awal ngomong gitu, aku nggak kesel kali. Akhirnya, aku harus dijagain sama ajudan kayak gini,” keluhnya.

“Emang biasanya, kamu nggak dijagain ajudan? Papamu Jenderal, Nad. Itu protokol keamanan untuk anak jenderal. Jangan main-main, deh! Aku serem loh yang waktu denger kasus dia mau ditembak mati itu. Kalau kamu yang jadi sasaran berikutnya, gimana?” tanya Ayu.

“Mati,” jawab Nadine santai.

“Kamu kok gitu sih, ngomongnya?” tanya Ayu sambil menatap sedih ke arah Nadine.

“Yah, setiap manusia punya takdirnya masing-masing. Punya jalannya sendiri untuk mati. Kalau emang aku ketembak mati sama musuh-musuh papa, aku nggak keberatan. Asalkan papa baik-baik aja. Ada jutaan orang yang berlindung di balik punggung papa dan membutuhkan dia. Sedangkan aku? Aku bukan siapa-siapa. Cuma seorang anak jenderal yang nggak punya kekuatan untuk melindungi semua orang,” ucap Nadine.

“Jangan ngomong gitu, Nad! Semua ibu hamil butuh kamu. Kalau kamu nggak dinas di Semarang, aku bakal konsultasi sama kamu setiap hari supaya aku nggak setress.”

“Tarif gue mahal!” sahut Nadine sambil melirik tajam ke arah Nadine.

“Sialan kamu!” dengus Ayu sambil menoyor pundak Nadine.

Nadine tertawa kecil. “Eh, kamu beneran setress? Setress kenapa? Ibu hamil nggak boleh setress, loh. Bahaya.”

“Bahayanya gimana? Aku juga nggak mau setress. Tapi, kadang kepikir aja sendiri. Tiba-tiba kebayang hal-hal yang aku ... aku ... huft! Sulit buat aku ungkapin, Nad.”

Nadine menghela napas sambil menatap wajah Ayu. “Aku tahu, MBA itu udah beban. Apalagi, kamu harus menikah sama orang yang nggak kamu cintai. But, ada hal lebih penting yang harus kamu perjuangkan,” ucap Nadine sambil mengelus lembut perut Ayu yang mulai membuncit. “Dia,” lanjutnya.

Ayu menatap Nadine dengan mata berkaca-kaca. “Boleh nggak sih aku benci anak ini, Nad?”

“Ayu ... kenapa kamu ngomong kayak gitu?” Nadine langsung menangkup wajah Ayu dan mengusap air matanya yang jatuh.

Air mata Ayu semakin mengalir deras. Ia tidak tahu pada siapa akan bercerita. Ia hampir tidak punya teman. Bercerita pada bundanya, hanya akan menambah beban orang tuanya. Rekan kerja, tidak ada yang terlalu dekat. Hanya Nadine, teman kecil yang masih begitu menjaga komunikasi dengannya meski mereka berbeda kota.

Nadine langsung memeluk tubuh Ayu. “Yang kuat, ya! Yang kuat, yang sabar, Ay! Aku percaya kamu kuat. Nggak boleh benci anak ini. Seperti apa pun papanya, dia sudah hidup dalam dirimu. Dia hidup dari darahmu, dari hatimu dan dari cintamu, Ay. Jangan benci anak ini! Dia nggak salah,” bisik Nadine tanpa bisa menahan air matanya untuk menetes.

“Hiks ... hiks ... hiks ...!” Ayu semakin menangis sesenggukan saat Nadine memeluknya. Semua sesak di dadanya selama ini, rasanya bisa terlepas saat air mata itu bisa tumpah di dalam dekapan Nadine.

Nadine mengusap lembut punggung Ayu. Ini pertama kalinya ia melihat Ayu menangis sesenggukan dalam pelukannya. Ia rasa, beban yang sedang ditanggung Ayu memang sungguh berat. Tidak ada hal yang bisa ia lakukan selain memeluk Ayu. Sebab, kata-kata bijak tidak akan bisa membuat masalah Ayu selesai begitu saja. “Kamu kuat, Yu! Kamu kuat. Jangan sedih lagi, ya!” bisik Nadine.

“Hiks ... hiks ... hiks ... Aku pengen balik ke Sonny, Nad. I miss him so much,” ucap Ayu sambil berlinang air mata.

Nadine melepas pelukannya dan mengusap air mata Ayu. “Aku akan bawa dia menemuimu kalau kamu rindu. But, aku nggak bisa berbuat banyak, Ay. Sonny pria yang baik, bijak dan tahu batasan. Dia bilang, nggak mau ganggu rumah tangga kalian. Dia ingin melihat kamu bahagia sama Nanda.”

“Gimana kalau aku nggak bahagia sama Nanda seumur hidupku, Nad?” tanya Ayu sambil mengusap air matanya dan berusaha menguatkan hatinya kembali.

“Kalau kamu udah nggak kuat. Kamu boleh lepaskan semuanya, Ay. Saat ini, kamu nggak usah pedulikan Nanda. Kamu pedulikan perkembangan janin kamu dulu. Urusan lain, diurus lain kali saja setelah kamu melahirkan. Kamu harus sabar, Yu! Demi si kecil. Okay?”

Ayu menganggukkan kepala perlahan sambil menatap Nadine.

“Gitu, dong! Senyum dong biar makin cantik!” pinta Nadine sambil menjepit dagu Ayu.

Ayu tersenyum menatap wajah Nadine.

Nadine tersenyum puas. “You’re strong mom! Lahirkan bayi ini dengan selamat dan sehat. Dokter Nadine akan membantu menjaganya.”

Ayu tersenyum lebar hingga memperlihatkan gingsul yang ada di sudut bibirnya. “Makasih, Nad.”

Nadine mengangguk sambil tersenyum. “Time to make-up! Pasangan kita bakal jemput jam tujuh. Nggak enak kalau mereka harus nunggu kita terlalu lama. Pasti nggak nyaman.”

Ayu mengangguk setuju.

“Oke. Mbak, bikin kita berdua jadi wanita paling cantik di negeri ini!” pinta Nadine sambil mengibaskan rambut panjangnya.

Ayu tersenyum sambil menatap wajahnya di balik cermin. Make-up artist yang ada di sana, sudah memoleskan foundation ke atas wajah Ayu. Kemudian, mulai menjalankan step by step hingga dua wanita itu terlihat begitu cantik. Mereka terlihat semakin sempurna dengan balutan dress pesta yang terlihat sederhana, tapi tetap elegan.

Di parkiran, Nanda dan Rocky keluar dari mobil bersamaan secara tidak sengaja.

“Hei, Rocky ya?” sapa Nanda sambil memperhatikan wajah Rocky.

Rocky yang sedang memainkan kunci mobilnya sambil melenggang santai, langsung menghentikan langkahnya. “Siapa, ya?”

“Aku Nanda. Anaknya Oom Andre. Ingat, nggak?” sahuta Nanda.

Rocky membuka sedikit kacamata hitamnya dan memperhatikan tubuh Nanda. “Oom Andre? Andre Ahmad Perdanakusuma? Amora Internasional?” tanyanya.

Nanda mengangguk. “Iya. Udah lama kita nggak ketemu.”

“Kamu di luar negeri, ya? Nggak pernah ketemu sama kamu.”

“Emang sempet kuliah di luar negeri. Sekarang, udah di Indo lagi. Gimana kabarmu?” tanya Nanda.

“Baik. Baik banget. Eh, kamu ngapain di sini? Belanja?”

“Mau jemput istriku, Ky. Bundamu ulang tahun hari ini dan kami diundang.”

“Oh ya? Kamu udah nikah? Istrimu di sini? Ngapain? Kerja di sini?” tanya Rocky.

“Nggak. Dia lagi nyalon sama temennya. Biasalah, cewek.”

“Oh, ya? Kebetulan ... aku juga mau jemput pacarku di salon juga. Salon mana?”

“Serius!? Bareng aja kalau gitu,” ajak Nanda.

Rocky mengangguk. Ia melangkah beriringan bersama Nanda sambil bercerita banyak hal tentang masa lalu mereka. Kedua orang tua mereka memang saling kenal sejak mereka kecil. Tapi, mereka tidak begitu akrab karena bersekolah di tempat berbeda dan tidak pernah bertemu lagi sejak mereka duduk di bangku sekolah menengah. Membuat mereka bercerita banyak hal tentang masa-masa remaja mereka yang sudah terlewati dengan kenakalan mereka masing-masing.

 

 

((Bersambung...))

 

Terima kasih sudah mendukung dan menghargai karya author. Tiap hari mau nangis tiap kali melihat kalian berbagi rejeki sama author tanpa perhitungan.

Semoga sehat selalu, banyak rejeki dan selalu jadi sahabat setia bercerita setiap hari!

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 


Bab 19 - Tak Mau Melepaskan Dia

 



Ayu menarik napas dalam-dalam sambil mengusap air matanya. Ia mengeluarkan kotak bedak dari tas tangannya dan memoleskan ke pipinya yang baru saja basah dengan air mata. Make-up, memang cara yang paling sempurna untuk menutupi kesedihan seorang wanita.  Ia langsung mengenakan gaun yang dipilihkan Nanda untuknya, kemudian keluar dari kamar pass.

“Gimana? Bagus?” tanya Ayu sambil menatap wajah Nanda.

Nanda langsung tersenyum sambil mengacungkan jempolnya. “Kamu beli semuanya juga boleh.”

Ayu menggeleng sambil tersenyum kecil. “Aku mau yang ini aja,” jawabnya. “Yang lain, kembalikan ke tempatnya aja ya, Mbak!” perintahnya pada pelayan yang melayaninya.

Pelayan itu mengangguk dan segera undur diri dari hadapan Ayu.

Ayu tersenyum kecil. Ekor matanya mengawasi tubuh seorang wanita muda yang mengenakan rok mini ala artis korea dan kaos ketat yang membuat pusarnya terbuka. Ia sudah tidak asing dengan wanita cantik dan seksi itu. Tubuhnya memang indah dan membuat Nanda sulit meninggalkan wanita itu.

Jika dibandingkan dengannya, Arlita memang jauh berbeda. Setiap harinya, Ayu hanya berpenampilan sederhana. Jangankan memperlihatkan pusarnya di depan umum. Memperlihatkan pahanya di depan Nanda saja, ia tidak percaya diri.

“Ayu, kamu nggak mau beli yang lain? Aku bisa belikan semuanya buat kamu,” tanya Nanda.

“Aku cuma butuh satu gaun. Nggak mungkin semuanya aku pakai ke pesta,” jawab Ayu sambil memperhatikan gaun warna putih dengan bahan lace di luarnya. Ia sangat menyukai detail motif lace dengan gambar bougenvile warna silver.

“Bisa dipakai untuk besok-besok ‘kan? Nggak perlu belanja lagi, Ay,” tanya Nanda sambil menatap wajah Ayu.

Ayu menggelengkan kepala. “Aku hanya ambil apa yang aku butuhkan, bukan ambil apa yang aku inginkan. Lagian, aku bukan model. Nggak perlu ganti baju setiap saat,” jawabnya. Ia langsung masuk kembali ke kamar pass untuk mengganti pakaiannya kembali.

Nanda menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Bagaimana dia bisa membayar pakaian Arlita bersamaan dengan invoice istrinya jika Ayu hanya membeli satu potong pakaian.

Nanda buru-buru berlari menghampiri kasir. “Mbak, saya bayar dulu tagihan pacar saya yang tadi, ya! Berapa semuanya? Cepat!” perintah Nanda sambil menyodorkan kartunya. Ia kemudian bersandar santai di meja kasir sambil menunggu Ayu keluar dari kamar pas.

“Enam juta empat ratus ribu, Mas. Yang barusan keluar itu pacarnya, Mas? Yang di kamar pas itu, pacar juga?” tanya kasir sambil memasukkan kartu milik Nanda ke dalam mesin pembayaran dan menyodorkannya ke arah Nanda. “Masukkan pin-nya, Mas!”

Nanda langsung memasukkan pin kartu kredit miliknya dan menariknya kembali setelah transaksi berhasil. “Jangan bilang ke istriku kalau aku bayarin belanjaan pacarku, ya!” pintanya sambil menatap tajam ke arah kasir yang ada di sana.

“Eh!? Mbak cantik itu istrinya?” tanya kasir sambil menunjuk wajah Ayu yang baru saja keluar dari kamar pas. “Udah punya istri cantik begitu, kok masih selingkuh?” celetuknya.

“Nggak usah bawel dan ikut campur urusan orang! Kerja aja yang bener!” Nanda menyeringai ke arah kasir yang ada di belakangnya itu. Ia langsung tersenyum ke arah Ayu yang sudah berada beberapa langkah di hadapannya.

“Yakin, cuma mau beli satu aja?” tanya Nanda.

Ayu mengangguk sambil tersenyum manis. “Iya. Aku cuma butuh satu.”

Nanda manggut-manggut sambil menahan napas saat Ayu menyodorkan gaun pilihannya ke hadapan kasir.

“Berapa, Mbak?” tanya Nanda sambil mengeluarkan kartu dari dalam dompet yang sudah ia pegang sejak tadi.

“Tujuh ratus ribu, Mas,” jawab kasir itu sambil menatap wajah Nanda. Ia menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan pria muda di hadapannya itu. Punya istri yang begitu baik, lembut dan anggun. Tapi malah selingkuh dengan wanita lain yang terlihat sangat jalang. Bahkan, tagihan untuk pacar jauh lebih mahal dari tagihan istri sahnya.

Nanda tersenyum sambil menyodorkan kartu ke arah kasir tersebut. Ia harus memastikan kalau kasir itu tidak bicara macam-macam kepada istrinya. Asalkan Ayu tidak mengecek mutasi bank-nya, semua akan aman di bawah kendalinya.

“Kamu mau belanja apa lagi?” tanya Nanda setelah ia selesai membayar gaun yang dipilih Ayu.

Ayu menggeleng. “Nggak ada.”

“Keperluan rumah, nggak ada yang mau dibeli?” tanya Nanda.

Ayu menggeleng. “Semuanya masih ada.”

“Sayur, ikan, daging atau apa gitu?” tanya Nanda lagi.

Ayu menggeleng lagi. “Semua masih ada stoknya di kulkas.”

“Kapan kamu belanjanya, Ay? Kamu nggak pernah ngajak aku belanja,” tanya Nanda.

“Aku suruh bibi di rumahku buat belanja. Kadang, aku belanja online aja. Kenapa?” tanya Ayu balik.

“Oh.” Nanda manggut-manggut. Ia merasa lega karena istrinya itu tidak melakukan banyak hal di luar dan lebih banyak berada di rumah.

“Kamu mau makan apa? Gimana, kalau kita makan dulu sebelum pulang?” tanya Nanda.

“Boleh,” jawab Ayu sambil menganggukkan kepalanya.

“Mmh ... bumil mau makan apa?” tanya Nanda sambil merangkul hangat tubuh Ayu dan tersenyum manis.

“Mmh ... apa ya?”

“Oyster?”

Ayu menggeleng. “Ibu hamil nggak boleh makan sembarangan. Nanti, Bunda Rindu marah kalau bayi ini kenapa-kenapa.”

“Oh ya? Bener juga, sih.” Nanda mengelus perut Ayu yang sudah mulai membuncit dan menciumi pipi wanita itu. “Makan bebek goreng, gimana?”

“Boleh.” Ayu mengangguk sambil tersenyum manis. Matanya mengawasi tubuh Arlita yang melenggang santai di lantai lain di bawahnya sambil menenteng banyak paper bag dari butik yang baru saja ia masuki bersama Nanda. Ia tahu, Arlita tidak memiliki kemampuan untuk membeli banyak pakaian mahal. Wanita itu masih saja menggunakan uang Nanda untuk bergaya seperti orang kaya.

Arlita adalah teman Ayu semasa sekolah. Mereka pernah begitu dekat hingga akhirnya, Sonny memintanya untuk menjaga jarak dengan Arlita setelah mereka mengetahui kalau Arlita sering menjajakan tubuhnya pada pria-pria hidung belang agar ia bisa menikmati kehidupan ala sosialita.

Nanda menggandeng tangan Ayu memasuki salah satu restoran ternama yang ada di pusat perbelanjaan tersebut. Ia langsung memesan banyak makanan dan memperlakukan Ayu dengan begitu manis. Ia harap, hal ini bisa mengimpresi Ayu dan membuat wanita itu membatalkan tuntutan gila yang dibuat oleh keluarga bangsawan yang menjadi tameng terkuat bagi wanita ini.

“Makan yang banyak, ya! Biar anak kita sehat!” pinta Nanda sambil membantu Ayu memotong daging bebek goreng yang sudah terhidang di hadapan mereka.

Ayu mengangguk sambil tersenyum. Ia tahu, sikap manis Nanda hanya berpura-pura saja. But, ia sebagai seorang wanita ... ia ingin tetap diperlakukan dengan manis meski itu hanya sebuah kebohongan.

Nanda terus memilah makanan dengan hati-hati dan sesekali menyuapkannya ke mulut Ayu. “Gimana? Enak?”

Ayu mengangguk sambil tersenyum kecut. Tindakan manis Nanda kali ini, membuatnya teringat pada Sonny. Pria itu selalu memperlakukannya seperti seorang ratu dan Nanda kerap menyaksikan bagaimana Sonny memperhatikannya.

Semuanya menjadi serba salah. Ayu ingin diperlakukan dengan baik oleh Nanda. Tapi ketika pria itu melakukannya, ia malah dibayang-bayangi oleh masa lalu. Masa lalu yang membuatnya teringat pada Sonny dan membuat dadanya begitu sesak. Ia benar-benar tidak tahu saat ini ia sedang jatuh atau sedang bangkit. Semuanya hal baginya adalah penderitaan kebenciannya terhadap Nanda semakin hari semakin bertambah.

Ayu ingin kembali seperti dulu. Menjalani banyak hal sederhana. Punya teman cerita dan berbagi keluh kesah setiap ia selesai olimpiade atau setiap pulang bekerja. Sekarang, pria yang berstatus sebagai suaminya ini malah tidak pernah bisa menjadi teman bercerita. Lebih cocok menjadi teman berdebat dan menciptakan masalah untuk diri sendiri. Ia hanya bisa berpura-pura baik sampai ia bisa benar-benar menghancurkan hidup Nanda sebagaimana pria itu telah mengancurkan mentalnya hanya dalam sekejap.

 

 

((Bersambung...))

Terima kasih sudah menjadi sahabat setia bercerita!

Tolong siapkan hati kalian karena bab 20 ke atas, author akan mulai masuk ke konflik. Siapkan jantung, hati dan ampela ... mari kita buat sambal goreng ala-ala author Vella Nine ...!

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

 

 


Sunday, August 7, 2022

Bab 18 - Pura-Pura Cinta

 



Usai pulang kerja, Nanda melangkahkan kakinya perlahan, memasuki rumah dan menyusuri anak tangga menuju ke kamarnya dengan santai. Pandangannya langsung tertuju pada Ayu yang sedang duduk di depan meja rias.

“Udah siap?” tanya Nanda sambil menyentuh lembut pundak Ayu.

Ayu mengangguk. “Kamu mandi dulu! Aku sudah siapkan pakaian ganti untukmu.”

Nanda langsung menoleh ke atas ranjang, tempat Ayu biasa menyiapkan pakaian ganti untuknya. Ia pikir, Ayu akan bersikap baik kepadanya jika ia bisa memperlakukan wanita ini dengan manis. Ia tidak ingin wanita ini menghancurkan keluarganya dan harus bisa membuat keluarga keraton itu menarik surat perjanjian yang jelas-jelas mencekik keluarganya. Jika seperti ini terus, ia tidak akan bisa bebas melakukan apa pun di luar sana. Ia sangat kesal dengan Ayu yang terlalu cerdik dan licik. Tapi tetap saja tidak bisa berbuat apa-apa.

“Kamu mau cari gaun di mana dulu?” tanya Nanda sambil tersenyum ke arah Ayu.

“Galaxy Mall aja,” jawab Ayu sambil menatap wajah Nanda dari balik cermin.

Nanda manggut-manggut. Ia segera melangkah perlahan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.

Beberapa menit kemudian, Nanda keluar dari dalam kamar mandi, hanya mengenakan handuk yang digulung asal di pinggangnya. Ia langsung meraih pakaian yang telah disiapkan Ayu dan mengenakannya. Matanya terus mengawasi Ayu yang sedang menundukkan kepala sambil memainkan ponselnya.

Setiap kali melihat jemari tangan Ayu bergerak cepat di atas layar ponselnya. Ia selalu penasaran dengan apa yang sedang dilakukan oleh wanita itu. Tapi ia gengsi untuk mencari tahu isi ponsel istrinya itu. Ia pikir, apa yang dilakukan oleh Ayu yang banyak diam, malah benar-benar berbahaya baginya. Ia harus memikirkan banyak cara untuk menjinakkan wanita ini.

“Ay, kita berangkat yuk!” ajak Nanda sambil menyentuh pundak Ayu.

“He-em.” Ayu mengangguk sambil mematikan ponsel di tangannya. Ia menarik tas tangan, memasukkan ponsel tersebut dan bangkit dari kursi.

“Chatting sama siapa?” tanya Nanda lembut sambil merangkul pinggang Ayu. Kalimat itu, akhirnya keluar juga dari mulutnya.

“Bunda,” jawab Ayu santai sambil melangkah keluar dari kamarnya.

“Oh.” Nanda manggut-manggut mendengar jawaban dari Ayu. Ia langsung membawa Ayu menuju ke Galaxy Mall.

Dua puluh menit kemudian, Nanda dan Ayu sudah berada di dalam salah satu butik ternama yang ada di pusat perbelanjaan tersebut.

“Pilih aja gaun yang kamu mau. Aku tunggu di sana, ya!” perintah Nanda.

Ayu mengangguk sambil tersenyum. Ia melangkahkan kakinya perlahan sambil memperhatikan gaun-gaun yang terpajang dengan cantik di butik tersebut.

“Nanda ...! Kamu lagi di sini?” Suara seorang wanita yang memanggil nama Nanda, mengalihkan perhatian Ayu. Ia langsung beringsut, mencari tempat lain yang tidak akan terlihat oleh Nanda.

“Lita ...? Kamu ngapain di sini?” tanya Nanda. Ia langsung mengedarkan pandangannya ke semua ruangan. Mencari sosok Ayu yang mungkin saja akan melihat kehadiran Arlita.

“Mau cari gaun baru. Aku nggak nyangka kamu ada di sini. Apa kabar?” tanya Arlita sambil duduk di samping Nanda dan bergelayut manja di pundak pria itu.

Nanda langsung menepis tubuh Arlita dan menggeser tubuhnya menjauhi Arlita. “Ada istriku di sini, Lit. Kamu jangan deket-deket!” pintanya.

“Ada Ayu?” tanya Arlita sambil celingukan, mencari sosok Ayu yang mungkin saja ada di dekat mereka. “Di mana? Jauh kali, Nan.”

Nanda tak bereaksi. Ia juga ikut kebingungan, khawatir kalau Ayu memergokinya bersama Arlita.

“Kenapa? Kamu takut sama Ayu? Sejak kapan kamu tunduk sama wanita, Nan?” tanya Arlita sambil merapatkan tubuhnya ke Nanda.

“Ck. Kamu nggak usah bikin aku kena masalah, deh! You know Roro Ayu. Diam-diam, dia udah ngendalikan keluargaku. Kamu ngertiin posisiku dong, Lit!” pinta Nanda sambil bangkit dari sofa.

Arlita menghela napas kecewa sambil menundukkan kepala. “Terus, aku harus gimana, Nan? Kamu masih cinta sama aku ‘kan? Nggak kasihan sama aku?”

Nanda menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Urusan kita nanti aja, deh! Jangan sampai Ayu ngadu ke orang tuaku dan bikin masalah lagi! Aku capek berdebat terus sama dia. Kamu bantu aku supaya bisa tenang!  Setelah aku berhasil mengendalikan Ayu, aku akan temui kamu.”

“Serius!?” tanya Arlita sambil tersenyum manis ke arah Nanda.

Nanda mengangguk.

“Mmh ... Nan, aku ada ambil job pemotretan. Aku ...” Arlita menatap Nanda penuh harap.

“Ambil aja baju yang kamu mau. Jangan sampai Ayu tahu! Aku bayarin,” perintah Nanda seolah ia sudah tahu maksud Arlita. Ia memang sudah sering memanjakan wanita-wanitanya dengan uang dan semua keperluan Arlita saat mereka masih pacaran, selalu ia penuhi.

“Beneran?” tanya Arlita sambil bangkit dari sofa dan mengecup pipi Nanda. “Makasih, ya! Kalau butuh aku, kamu call aja!” Ia tersenyum manis dan melenggang pergi.

Nanda menghela napas sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia menjadi serba salah. Di satu sisi, ia masih menyayangi dan membutuhkan Arlita. Di sisi lain, ia harus bertanggung jawab dengan rumah tangganya.

Nanda bergegas mencari sosok Ayu yang ada di butik itu. Ruang butik yang besar dan bersekat kaca, membuatnya tidak mudah menemukan Ayu. Ia hanya bisa mencari Ayu dari warna pakaian yang dikenakan istrinya itu saat pergi ke sana.

Begitu melihat Ayu keluar dari kamar pas, ia langsung menghela napas lega dan segera menghampiri wanita itu sambil meraih beberapa gaun yang ia lewati.

“Cobain ini, Yu!” pinta Nanda sambil menyodorkan gaun-gaun itu ke hadapan Ayu.

“Banyak banget?”

“Iya. Aku mau lihat kamu pakai gaun-gaun ini. Kali aja ada yang cocok,” jawab Nanda sambil tersenyum lebar ke arah Ayu. Ia berharap, wanita itu tidak melihat Arlita yang juga ada di sana.

 

Ayu tersenyum sambil menatap wajah Nanda. “Ini ... aku coba semua?”

Nanda mengangguk sambil tersenyum manis.

Ayu langsung meraih salah satu gaun yang disodorkan pelayan toko ke arahnya dan masuk ke dalam kamar pas. Ia menggigit bibir bawahnya, enggan untuk mengenakan gaun yang ada di tangannya. Ia mulai lelah berpura-pura manis seperti ini. Sebab, ia juga tahu kalau Nanda memperlakukannya dengan baik bukan karena ketulusan hatinya.

Ayu menyandarkan kepalanya sambil memeluk gaun di tangannya. Air matanya menetes perlahan. Semanis apa pun Nanda memperlakukannya, ia akan tetap merasakan sakit jika pria itu juga memperlakukan wanita lain dengan begitu manis.

Ayu membuka layar ponsel sambil mengusap bulir-bulir air mata yang jatuh membasahi pipinya. Ia membuka aplikasi chatting dan menyentuh pesan masuk dari Dokter Sonny. Ia tidak pernah menghapus pesan dari pria itu dan selalu mengunci ponselnya dengan baik. Ia tidak ingin kehilangan kenangannya dengan Sonny. Baginya, bersama pria itu adalah saat-saat paling indah yang tidak akan pernah ia lupakan.

Ayu menatap satu kalimat yang telah ia beri tanda bintang dan selalu ia baca setiap harinya. Sonnya yang selalu bersikap lembut, manis dan selalu bijaksana dalam menghadapi setiap masalah yang mereka hadapi.

“Ay, jangan sedih, ya! Takdir cinta kita hanya cukup sampai di sini. Aku tidak pernah menyesal mengenalmu. Bagiku, hatimu akan tetap suci untuk selamanya. Jika kamu tidak bahagia dengan Nanda, tell me! Aku akan merebutmu darinya,” tulis Sonny di dalam pesan yang ditandai oleh Ayu.

Air mata Ayu semakin berderai. Ia merasa tidak pantas untuk seorang pria sebaik Sonny. Kesucian cinta yang mereka jaga dengan sungguh-sungguh, dihancurkan dalam sekejap oleh Nanda. Sejak hari itu, setiap malamnya adalah mimpi buruk.

“Son, aku tidak bahagia bersama Nanda. Tapi dia adalah ayah dari calon anakku, aku harus bagaimana?” batin Ayu sambil menitikan air matanya. Ia benar-benar tidak tahan jika harus berbagi hati dengan wanita lain. Nanda, tidak akan pernah bisa meninggalkan wanita-wanitanya. Ia sudah mengenal Nanda sejak masih duduk di bangku SMA dan pria ini adalah pria yang paling ia benci di dunia, sebab Nanda selalu berganti pacar setiap minggunya. Apakah ini karma karena kebenciannya terhadap Nanda terlalu dalam?

 

 

((Bersambung...))

 

Terima kasih sudah jadi sahabat setia berkarya dan bercerita!

 

 

Dukung terus supaya author makin semangat nulisnya!

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

Jangan lupa, beli paket dukungan aja supaya bisa dapetin harga yang lebih murah dari harga satuan!

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bab 17 - Kerja Keras untuk Cinta

 



Di perusahaannya, Nanda tidak bisa berbuat apa-apa saat Ayu mulai ikut campur dan mengobrak-abrik management perusahaannya. Ia enggan berdebat dengan Ayu hanya karena ia memang enggan untuk berpikir dan lebih senang bersantai di kantornya.

“Nan, aku bisa diskusi sebentar sama kamu?” tanya Ayu sambil melangkah masuk ke ruang kerja Nanda.

Nanda mengangguk sambil memainkan penanya.

Ayu langsung meletakkan tumpukan dokumen yang ia bawa ke hadapan Nanda.

Nanda mengernyitkan dahi melihat dokumen yang ada di atas meja kerjanya. “Kamu nyuruh aku ngapain?” tanyanya sambil menelan saliva dengan susah payah.

“Ada hal penting yang mau aku diskusikan. Ini laporan dari semua departemen yang udah aku kumpulkan.”

Nanda memperhatikan judul map itu satu persatu. “Terus?”

“Keuangan perusahaan kamu sering minus seperti ini? Apa kamu nggak pernah ngecek di mana cost yang terlalu tinggi?” tanya Ayu.

“Aku pusing, Ay. Biar aja dicek sama manager yang lain. Aku percaya sama mereka aja,” jawab Nanda sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Nggak bisa terlalu percaya sama mereka juga, Nan. Kamu nggak sadar kalau sedang dikhianati sama mereka? Semua laporan dari departemen udah aku periksa satu persatu dan laporan yang dikasih manager keuangan kamu itu, udah dia ubah,” sahut Ayu.

“Kamu tahu dari mana? Ada buktinya kalau dia mengubah laporan?” tanya Nanda balik.

“Ada.” Ayu langsung menarik salah satu map yang ada di sana dan menyodorkannya ke hadapan Nanda. “Look at this!”

Nanda langsung membuka laporan itu dengan santai dan melihat laporan keuangan perusahaannya. Ia merasa, tidak ada yang ganjil dengan laporan keuangan tersebut.

“Semuanya kelihatan normal ‘kan? Ini laporan aslinya.” Ayu menyodorkan dokumen lain. “Aku juga sudah buat laporan analisa dan evaluasi kinerja setiap departemen. Main issue juga sudah aku susun rapi dan bisa kamu lihat dengan detail di sini.” Ia menyodorkan dokumen yang lain lagi.

Nanda tertegun saat melihat laporan yang dibuat oleh Ayu. Ia langsung ikut memeriksa semua transaksi yang terjadi di perusahaannya. Semua laporan keuangan selalu minus setiap bulannya. Namun, laporan yang ia terima dan tanda tangani tidak sesuai dengan laporan aslinya.

“Aku harus bikin perhitungan sama managerku!” ucap Nanda sambil menggaruk kepalanya yang terasa berdenyut. Semua laporan yang disodorkan istrinya, berhasil membuat suasana hatinya memburuk.

“Jangan kita yang bertindak! Kita cukup tahu saja orang-orang yang bermain dan menggerogoti perusahaanmu,” pinta Ayu sambil tersenyum manis.

“Terus? Siapa yang mau bertindak kalau bukan kita? Kita pimpinan di perusahaan ini, Ay,” tanya Nanda sambil menatap wajah Ayu yang berdiri di sampingnya.

Ayu membungkukkan tubuh dan mendekatkan wajahnya ke wajah Nanda. “Kita? Apa itu artinya kamu sudah mengakui kalau aku juga punya hak di perusahaan ini?” tanyanya sambil tersenyum manis.

Nanda terdiam sambil menatap wajah Ayu dengan perasaan tak karuan. Ia kesal dengan jantungnya yang tiba-tiba berdebar kencang dan matanya yang tertuju pada bibir mungil Ayu yang berwarna merah jambu dan mengkilap. Rasanya, ia ingin segera melumat bibir itu hingga habis.

“Nanda ...!” panggil Ayu sambil menjentikkan jarinya ke hadapan pria itu.

Nanda gelagapan dan salah tingkah. Ia menarik dokumen di atas meja untuk mengalihkan perhatiannya.

“Kenapa salting? Aku cantik?” tanya Ayu sambil memutar kursi Nanda agar pria itu menatap kembali ke arahnya.

“Ck. Kamu nggak usah centil kayak gini!” pinta Nanda sambil membuang pandangannya ke arah lain, bukannya menatap wajah Ayu.

“Bukannya kamu suka cewek-cewek yang centil, agresif dan selalu gerayangin badanmu di klub malam? Kenapa istri sendiri malah nggak boleh centil?” tanya Ayu sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Nanda.

Nanda memutar kursinya menghadap Ayu. Ia langsung menarik pinggang wanita itu dan menjatuhkan ke pangkuannya. “Kamu tahu ini kantor ‘kan?”

“Yes,” jawab Ayu sambil tersenyum.

“Kamu sengaja godain aku, mau ngelayani aku di sini?” tanya Nanda.

Ayu langsung mengangkat tubuhnya dari pangkuan Nanda.

Nanda mengeratkan pelukannya ke perut Ayu. Ia langsung terdiam saat merasakan perut wanita itu sudah membuncit dan terasa begitu padat. Hatinya tiba-tiba bergetar hingga membuat kelopak matanya memanas. “It’s my baby?” batinnya sambil mengelus perut Ayu perlahan menggunakan jemari tangannya.

Ayu terdiam dan menundukkan kepala, menatap perutnya yang sedang dielus lembut oleh Nanda. Ia tersenyum dalam hati dan merasa sangat nyaman ketika Nanda memperlakukan bayi di dalam perutnya dengan lembut. Air matanya menetes terharu. Ikatan batin antara bayi dan sang ayah benar-benar bisa ia rasakan. Ia ingin, bisa diperlakukan seperti ini terus. Meski ia tidak mencintai Nanda, tapi janin di perutnya itu sangat membutuhkan sang ayah dan ... akan mencintainya.

Nanda tersenyum sambil mengendus punggung Ayu. Ia menciumi tubuh wanita itu perlahan, memperlakukannya seperti bayi kesayangan yang hadir dalam hidupnya. Begitu ia merasakan tetesan air jatuh di tangannya, ia langsung memutar wajah Ayu agar menatapnya. “Kamu nangis?”

Ayu terdiam sambil mengusap air matanya. Ia menarik cairan hidungnya yang ingin menetes keluar. Ia langsung tersenyum menatap wajah Nanda. “Nggak tahu. Tiba-tiba aja air mataku jatuh. Aku ngerasa ... aku ...” Ia menahan air matanya untuk jatuh kembali.

Nanda langsung melepaskan tangannya dari perut Ayu. “Sorry ...!”

Ayu tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Ia menarik kembali tangan Nanda dan meletakkan di perutnya. “Dia bahagia karena kamu mau menyentuhnya.”

“Serius?”

Ayu mengangguk sambil menitikan air matanya.

“Kenapa kamu nangis?” tanya Nanda.

“Aku terharu. Aku masih nggak percaya kalau aku akan menjadi ibu. Aku sayang sama anak ini, Nan. Kalau kamu nggak bisa sayang sama aku ... bisakah sayangi dia? Dia anakmu dan ingin diperlakukan penuh kasih sayang sama ayahnya,” ucap Ayu sambil menitikan air mata.

Nanda mengangguk dan menatap lekat mata Ayu. Ia mengusap air mata wanita itu dengan lembut. Menangkup wajah Ayu dan mengulum lembut bibirnya. Setelah sekian lama, hari ini ia bisa merasakan getaran di dalam dadanya. Membuatnya merasa sangat nyaman saat memeluk dan menciuminya. Inikah rasanya cinta? Ia masih tidak percaya kalau ia akan menjadi seorang ayah. Dari sekian banyak wanita yang ia kenal dan menghangatkan ranjangnya, Tuhan memilih  Ayu menjadi wadah untuk melahirkan keturunan baginya.

“Bunda Yuna undang kita ke acara ulang tahunnya. Kamu bisa datang?” tanya Nanda sambil menatap wajah Ayu.

“Kapan?”

“Minggu ini. Kamu suka pakai gaun design siapa?”  tanya Nanda.

“Mmh ...” Ayu memutar bola matanya. “Aku nggak begitu perhatikan siapa designernya. Yang penting modelnya bagus dan sesuai seleraku, aku ambil.”

Nanda mengangguk-anggukkan kepalanya. “Baiklah. Abis pulang kerja, kita cari gaun baru untukmu. Gimana?”

Ayu mengangguk dan bangkit dari pangkuan Nanda. “Oke. Kamu lanjutkan pekerjaanmu biar cepat selesai! Aku pulang dulu, ya!”

“Pulang?”

Ayu mengangguk. “Aku capek. Kamu mau ajak aku belanja ‘kan? Aku mau istirahat dulu.”

“Aku antar kamu pulang!” Nanda langsung bangkit dari kursinya.

“Kerjaanmu gimana?” tanya Ayu.

“Gampang. Kayak nggak ada hari besok aja. Ngurusin kerjaan mah nggak ada selesainya,” jawab Nanda. Ia menarik jas yang tersampir di punggung kursi dan mengenakannya. Kemudian, merangkul pinggang Ayu dan keluar dari ruangan tersebut.

Ayu tersenyum kecil saat Nanda mau memperlakukannya dengan baik. Ia harap, Nanda bisa menjadi pria yang baik untuknya. Menjadi ayah yang baik untuk anaknya. Ia ingin menyingkirkan wanita-wanita di sekelilingnya, bukan karena ia mencintai Nanda. Tapi karena ia ingin, anaknya memiliki seorang ayah yang bertanggung jawab dan bisa menjadi panutan. Meski hari ini masih menjadi bajingan, ia akan bekerja keras untuk membuat anaknya merasa bangga terlahir dari seorang Ananda Putera Perdanakusuma. Pria yang akan menentukan ke mana arah hidup anaknya di masa depan.

 

 

((Bersambung...))

 

Terima kasih sudah jadi sahabat setia berkarya dan bercerita!

Dukung terus supaya author makin semangat nulisnya!

Jangan lupa untuk beli paket dukungan supaya bisa dapet harga lebih murah, karena harga satuan bab di sini tidak bisa di bawah 2K.

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

 


Sunday, July 31, 2022

Bab 16 - Masih Saja Cemburu

 


“Ndre, minggu depan acara ulang tahun kami. Mau bikin syukuran kecil-kecilan. Kalian semua datang, ya!” pinta Yuna sambil menatap wajah Andre dan Nia.

Nia mengangguk sambil tersenyum manis. “Pasti, dong. Kalian berdua enak banget, ya? Hari ulang tahunnya sama. Jadi, bisa rayakan bareng.”

Yuna tersenyum, ia menoleh sejenak ke arah suaminya. “Kalian bisa datang ‘kan?”

Nia mengangguk. “Kebetulan, kami juga nggak terlalu sibuk.”

“Nanda juga datang, ya! Bawa istri kamu supaya kami bisa kenal. Tante dengar, dia salah satu lulusan terbaik di Melbourne. Tante juga lulusan dari sana. Bukan lulusan terbaik seperti dia. Hanya mahasiswa biasa. Tante penasaran sama dia. Pengen kenal.”

Nanda mengangguk sambil tersenyum lebar. “Baik, Tante. Saya pasti bawa dia untuk berkenalan dengan Tante Yuna.”

Yuna tersenyum bangga menatap wajah Nanda. Meski cara yang dilakukan pria muda ini melanggar norma, tapi tetap saja bisa dianggap beruntung karena mendapatkan wanita yang memiliki prestasi baik. Ia harap, bisa mengenal Roro Ayu dan sifatnya berbanding lurus dengan prestasi yang dimilikinya.

“Mmh, saya pamit dulu, Tante, Oom ...! Masih ada pekerjaan lain yang harus saya urus,” pamit Nanda.

Yuna dan Yeriko mengangguk.

“Silakan lanjutkan kesibukanmu! Goodluck, ya!” ucap Yuna sambil tersenyum manis.

Nanda mengangguk. Ia segera berpamitan dengan sipan dan melangkah keluar dari ruang kerja papanya. It’s first time, ia merasa bangga memiliki Roro Ayu dalam hidupnya. Ia pikir, tidak akan pernah bisa memiliki wanita sebaik Ayu. Sebab, semua wanita baik hanya diciptakan untuk pria yang baik dan dia ... tidak memiliki kebaikan apa pun dalam dirinya.

“Siang, Mas Nanda ...!” sapa salah seorang karyawan yang berpapasan dengan Nanda.

“Siang ...!” balas Nanda sambil tersenyum manis seperti biasanya. Hampir semua orang di perusahaan papanya, selalu menyapanya dengan ramah. Begitu juga dengan Nanda, selalu membalasnya dengan sikap ramah pula.

Nanda melangkahkan kakinya perlahan menuju ke parkiran mobil. Matanya tiba-tiba tertuju pada pria tua yang sedang merapikan tanaman di taman kantor perusahaan papanya itu. Ia mengurungkan niatnya masuk ke mobil dan melangkah menghampiri pria tua itu.

“Siang, Pak ...!”

“Ya, Mas.” Pria tua itu langsung menghentikan pekerjaannya. Ia buru-buru meletakkan gunting rumput yang ia pegang dan menghampiri Nanda. “Ada apa, Mas?”

“Ini sudah jam makan siang. Bapak nggak istirahat?”

“Oh. Iya, Mas. Sebentar lagi. Kerjaannya nanggung,” jawab pria tua itu.

“Bapak sudah tua. Lain kali kalau bersihkan luar gedung, pagi atau sore saja! Jangan saat terik seperti ini!” pinta Nanda.

“Baik, Mas Nanda!” ucap pria tua itu sambil menganggukkan kepalanya.

Nanda tersenyum. Ia mengeluarkan beberapa lembar uang merah dari dompetnya dan memberikannya pada pria tua itu.

“Apa ini, Mas?” tanya pria tua itu begitu Nanda mengulurkan lembaran uang ke hadapannya.

“Buat beli es teh!” perintah Nanda sambil menarik telapak tangan pria itu dan memasukkan lembaran-lembaran uang itu ke dalam telapak tangannya. Kemudian pergi begitu saja.

“Makasih, Mas!” seru pria tua itu sambil menatap Nanda yang bergerak  perlahan menuju ke mobilnya. Ini bukan pertama kalinya Nanda memberinya uang, sudah beberapa kali dan bos muda itu selalu menyarankan untuk melakukan pekerjaan yang lebih ringan karena usianya yang memang sudah memasuki usia pensiun.

Di ruangan kerjanya, Andre hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah Nanda yang terlihat begitu santai dan banyak berdiam diri saat mereka semua membicarakan bisnis.

“Tidak terasa, kita usdah ngobrol sampai jam makan siang. Gimana kalau kalian makan siang bersama kami saja?” tanya Andre sambil tersenyum menatap Yuna.

Yuna tersenyum sambil menggenggam punggung tangan Yeriko. “Terima kasih, Ndre. Tapi kami tidak bisa karena sudah ada janji makan siang dengan anak kami. Si Okky bisa ngomel sampai besok kalau tiba-tiba kami membatalkan jadwal makan siang kami dengan dia.”

“Oh. I see.” Andre manggut-manggut. “Kalian semua sangat sibuk. Waktu makan siang bersama keluarga jadi hal yang paling berharga untuk kalian. Kalau gitu, kami tidak akan mengganggu.”

Yeriko mengangguk dan bangkit dari tempat duduknya. “Kami pulang dulu, Ndre! Jangan lupa tanda tangani perpanjangan kontrak perusahaan kita!”

“Gampang,” sahut Andre santai sambil ikut bangkit dari sofa untuk mengantarkan kepergian Yuna dan Yeriko.

“Kami pulang dulu, ya!” pamit Yuna sambil menyalami pipi Nia.

Nia mengangguk sambil tersenyum. “Makasih ya, sudah menyempatkan waktu berkunjung ke sini!”

“Iya. Kamu juga sering-sering berkunjung ke tempat kami, ya!” sahut Yuna sambil tersenyum manis.

“Kalian sibuk terus, Yun. Susah ditemui,” ucap Andre sambil menatap wajah Yuna.

Yuna tertawa kecil. “Kamu bisa aja. Kalau kami di kota ini, kalian bisa telepon asisten kami untuk atur waktu.” Ia merangkul Andre dan berniat menyalami kedua pipi pria itu.

Yeriko buru-buru menarik lengan Yuna agar tidak mendekati Andre.

Yuna langsung menoleh ke arah Yeriko dan tertawa kecil. “Sudah tua begini, masih aja cemburuan!”

Andre dan Nia tertawa kecil melihat sikap Yeriko yang tidak pernah berubah sejak mereka masih muda.

“Kalau aku cium Nia, kamu nggak keberatan?” tanya Yeriko sambil menatap wajah Yuna.

Yuna menggeleng. “Kalau ciumnya di depan aku dan Andre, kami nggak keberatan. Kalau sembunyi-sembunyi di belakang kami, barulah perlu dipertanyakan.”

“Kamu ini ... bisa aja jawabnya kalau dikasih tahu suami,” sahut Yeriko kesal.

Nia dan Andre tertawa kecil. “Kalian ini sampai tua nggak pernah berubah ya?”

“Apa yang mau berubah?” tanya Yuna balik. “Dia cemburuannya nggak hilang-hilang juga. Padahal aku sudah nenek-nenek gini. Andre aja udah nggak naksir sama aku. Iya ‘kan, Ndre?”

Andre tertawa kecil sambil merangkul tubuh istrinya. “Mengagumimu nggak  akan ada habisnya, Yun. Tapi niat memilikimu udah nggak ada. Kamu buat Yeriko ajalah! Istriku juga nggak kalah cantik, kok.”

“Begitu memang kalau suka sama cantiknya doang. Kalau udah nenek-nenek, udah nggak minat lagi,” ucap Yuna sambil tertawa kecil.

“Hahaha.” Andre dan Yeriko tergelak mendengar ucapan Yuna.

“Ndre, kami pulang dulu! Istriku kalau udah ngobrol, nggak ada selesainya. Jangan terlalu banyak meladeni dia! Anakku bisa mecat aku jadi ayahnya kalau kami telat,” pamit Yeriko lagi.

“Hahaha. Salam untuk putermu, Yer!” ucap Andre sambil menepuk pundak Yeriko dan mengantarkannya keluar dari perusahaannya.

Nia tersenyum lebar sambil merangkul lengan Andre saat Yuna dan Yeriko sudah menghilang bersama mobil yang membawa mereka. “Mas, gimana kalau kita ajak Roro Ayu makan siang bareng kita juga, ya?”

“Mendadak seperti ini, apa dia siap? Ini sudah jam makan siang,” jawab Andre.

“Iya juga, ya? Kita aja yang ke rumah mereka dan makan siang di sana. Gimana?”

“Apa tidak merepotkan Roro kalau kita datang tiba-tiba? Dia lagi hamil muda. Jangan buat dia kelelahan!”

“Gampang. Kita beli makanan dari luar aja dan makan di sana,” ucap Nia sambil tersenyum manis.

“Bolehlah kalau begitu. Kita juga bisa lihat bagaimana anak kita itu berumah tangga. Sudah lama tidak main ke sana. Kalau anak Roro sudah lahir, kita bisa main sama cucu setiap hari.”

Nia mengangguk. “Gimana perusahaan kalau kita main sama cucu terus?”

“Ada Nanda dan Roro,” jawab Andre.

Nia tersenyum dan melangkah menuju mobil bersama Andre. “Kalau ada Roro Ayu, aku merasa lebih tenang menyerahkan perusahaan ke anak kita. Kalau cuma Nanda yang urus, aku masih belum percaya sepenuhnya sama dia.”

Andre mengangguk. “Untungnya Nanda dapet istri yang bener. Setidaknya, bisa membantu kita untuk mengembangkan bisnis. Kalau sampai dia menikahi wanita model itu, mending perusahaan kita jual dan uangnya kasih ke panti asuhan saja.”

Nia tertawa kecil sambil menyandarkan kepalanya ke pundak Andre. Ia sangat beruntung karena Tuhan menjawab doa-doa dia selama ini yang menginginkan Nanda memiliki pasangan yang baik dalam hidupnya. Memiliki istri yang bisa menjadikan puteranya menjadi pria yang bertanggung jawab dan menyayangi keluarga. Asalkan istrinya baik, masa depan anak-cucunya akan baik pula. Semua ibu, menginginkan anaknya mendapatkan hal terbaik di dunia ini dan yang paling utama adalah pasangan yang baik untuk menjalani sisa-sisa hidup mereka.

“Terima kasih, Tuhan ...! Sudah memberikan menantu yang baik untuk kami. Semoga, Roro Ayu bisa menjadi istri yang baik untuk Nanda, bisa menjadi ibu yang baik untuk cucu-cucu kami,” ucap Nia dalam hati. Ia merasa sangat bahagia setiap kali ingin bertemu dengan Roro dan calon cucu yang ada di dalam perut wanita itu.

 

 

((Bersambung...))

 

 

Terima kasih sudah jadi sahabat setia bercerita!


 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 


Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas