Tuesday, February 26, 2019

Filosofi Kerasukan Pada Tari Tradisional Kuda Lumping



Awalnya aku melihat kuda lumping sebagai pertunjukkan seni yang biasa. Terutama pada fenomena kerasukan. Banyak yang bilang pertunjukkan tersebut bekerja sama dengan makhluk ghaib. Dan tidak bisa dipungkiri bahwa makhuk ghaib memang ada.
Menjadi hal biasa saat sebelum pertunjukkan melakukan sebuah ritual dengan membakar kemenyan dan menyiapkan beberapa sesajen. Aku tidak begitu tertarik dengan hal itu. Melihatnya sudah menjadi hal biasa dalam sebuah pertunjukkan seni kuda lumping yang merupakan sebuah warisan budaya. Memanggil arwah leluhur atau makhluk ghaib ini sudah menjadi sebuah pertunjukkan sejak zaman peradaban Hindu-Budha.
Sampai ketika tahun lalu, satu hal membuatku tercengang dan selalu membuatku penasaran. Biasanya, di Kalimantan ini banyak pertunjukkan Seni Kuda Lumping yang sama. Dengan penari-penari kuda dan Barongan/Reog. Mereka selalu membakar kemenyan dan menyiapkan sesajen untuk menghadirkan sebuah pertunjukkan “Kerasukan” pada penonton.
Tahun lalu, sebuah Paguyuban Seni Kuda Lumping yang baru berdiri menghadirkan kesan baru. Aku ada di antara mereka sebab memang aku asli keturunan Temanggung. Hanya saja keberadaanku yang memang sejak lahir di Kalimantan, aku tidak begitu paham dengan kesenian daerah. Sampai akhirnya kedewasaanlah yang membuatku meninggalkan kegemaranku pada seni-seni mancanegara dan beralih untuk lebih memaknai dunia Seni Tradisional. Sebab, banyak orang-orang luar negeri yang lebih menyukai kebudayaan Indonesia yang beragam.
Paguyuban Seni Kuda Lumping yang mengusung konsep Jaranan Temanggung menghadirkan warna baru dalam dunia Seni Budaya Jawa yang ada di Kalimantan. Awalnya, mereka tidak akan menghadirkan apapun yang berbau mistis. Hanya sekedar menghibur masyarakat dengan tari-tarian. Namun, siapa sangka jikalau tamu-tamu ghaib berdatangan tanpa diundang.
Hal ini membuatku terus merasa penasaran dan banyak bertanya.
“Man, kenapa kalau kuda lumping yang ini nggak pakai ritual, nggak pakai menyan dan sejenisnya tapi masih aja banyak kerasukan?” tanyaku pada salah satu Paman yang memang asli dari Jawa dan mengerti tentang kebudayaan Jawa.
“Ya itu. Bedanya antara undangan dan yang datang dengan kemauan sendiri. Contohnya kamu membuat sebuah pertunjukkan. Kalau kamu mengundang 300 orang untuk hadir. Yang hadir ya hanya 300 orang tersebut. Kamu juga harus menyiapkan hidangan untuk tamu-tamu yang kamu undang. Biasanya, undangan hanya akan datang, makan dan pulang. Berbeda ketika kamu membuat sebuah pertunjukkan dan banyak yang datang tanpa diundang. Pasti mereka mau menonton pertunjukkan sampai acara selesai dan kamu tidak perlu menyuguhkan apapun sebab kamu tidak mengundang mereka datang. Begitulah makhluk ghaib itu datang pada kami,” jawab Paman, cukup membuatku mengerti.
Lalu, apa yang menyebabkan makhluk ghaib mau datang? Sedangkan tidak ada ritual khusus untuk memanggil makhluk ghaib tersebut?
Pertanyaan ini kemudian aku lemparkan pada salah satu kawanku yang merupakan Jurnalis di Balikpapan. Dia asli orang jawa dan begitu mencintai sejarah dan kebudayaan Jawa. Dia tahu banyak tentang kehidupan orang jawa termasuk hal-hal ghaib yang sering menyelimuti kehidupan orang jawa.
“Mas... Kenapa makhluk ghaib bisa datang di saat pertunjukkan seni kuda lumping sementara tidak ada sesajen dan ritual untuk memanggil makhluk ghaib tersebut. Dari mana mereka datang? Apa dari musik yang dialunkan?” tanyaku.
“Nah, Iya bisa jadi itu. Jadi, dalam gending Jawa itu ada dua jenis. Yang pertama, gending untuk acara hiburan. Yang kedua, gending yang diperuntukkan untuk pemanggilan makhluk ghaib atau arwah. Coba kamu menyanyikan lagu ‘Lingsir Wengi’ di tengah malam. Pasti rasanya akan jauh berbeda saat kamu menyanyikannya di siang hari,” jawab Mas Jurnalis.
Aku mengangguk-anggukan kepala sebagai tanda mengerti. Ya... cukup masuk akal karena menurutku gending klasik yang ada dalam Tarian Jawa Tengah itu cukup menghipotis jika benar-benar dinikmati. Kamu bisa dengarin musiknya dalam video ini. ( URL Video Pilihan Gue)
Oke... itu adalah jawaban dari rasa penasaranku. Tentang proses bagaimana makhluk ghaib itu berdatangan dalam sebuah pagelaran seni. Memang ada dua jenis, yang pertama diundang dan yang kedua tidak diundang. Makhluk ghaib bisa datang dengan sendirinya dan bisa datang dengan undangan (ritual).
Lalu... pertanyaan berikutnya, bagaimana menyembuhkan orang yang kesurupan?
Pertanyaan ini aku ajukan pada salah seorang guru yang juga mengerti agama. Beliau biasa membantu menyembuhkan kawan-kawan yang kerasukan ketika sedang melakukan pertunjukkan seni kuda lumping.
Why? Dan ternyata memang kebudayaan ini tidak bisa lepas dari sisi agama.
“Kamu nggak tahu kan filosofi kerasukan itu apa? Dan kenapa di zaman Walisongo tidak di larang?”
Aku menggelengkan kepala. “Kenapa gitu Pak?” tanyaku penasaran. Memperbaiki posisi duduk untuk menyimak dengan seksama setiap perkataannya.
“Karena zaman dahulu itu orang-orang belum banyak mengerti agama. Sedangkan kesenian ini sudah ada sejak zaman Hindu-Budha. Maka, dijadikan jalan dakwah bagi para Wali untuk menunjukkan bahwa sekuat apapun jin yang menguasai manusia. Akan kalah hanya dengan dua kalimat syahadat.” Bapak itu mengacungkan kedua jari telunjuk dan jari tengahnya.
“Iya kah, Pak?” tanyaku makin penasaran.
“Iya... makanya zaman dahulu itu ketika Agama Islam masuk. Agama tidak menghapuskan kebudayaan yang sudah ada. Tapi, memperbaiki pemikiran masyarakat bahwa arwah atau jin yang mereka sembah, sekuat apapun akan kalah hanya dengan dua kalimat syahadat. Dua kalimat syahadat itu ditiupkan pada tali cemeti/pecut kemudian dipecutkan pada manusia yang sedang dikendalikan oleh Jin, maka Jin yang ada dalam tubuhnya akan pergi,” tutur Bapak itu.
Aku semakin tertarik dengan pembahasan ini. Mungkin bisa mengobati rasa penasaranku selama ini.
“Itulah sesungguhnya filosofi dari kerasukan dan pesan agama yang ingin disampaikan. Namun, memang ada beberapa pendapat yang berbeda. Karena tidak semua kesenian Jaranan berbau syariat Islam atau Dakwah. Memang masih ada pertunjukkan kesenian yang memang masih bekerjasama dengan makhluk ghaib untuk menunjukkan sebuah keperkasaan, keberanian dan kedigdayaan seseorang di beberapa daerah. Nggak masalah sih itu. Kepercayaan mereka dan kepercayaan kita berbeda. Kita tidak perlu mengusik mereka, begitu juga sebaliknya mereka tidak akan mengusik kita.”
Aku menganggukkan kepala sebagai tanda mengerti.
Aku merasa, ucapan beliau memang benar. Sebab sebagai umat muslim, kita memang harus percaya dengan yang ghaib. Namun, tidak diperbolehkan menyembah atau memuja makhluk ghaib. Sebab makhluk yang paling tinggi derajatnya adalah manusia.
Beberapa juga ada yang berpendapat bahwa pertunjukkan kesenian kuda lumping bekerja sama dengan makhluk halus. Mungkin, mereka belum memaknai pesan yang ingin disampaikan dalam pertunjukkan tersebut. Seperti hal yang baru saja aku ketahui. Bahwa pesannya ada di akhir acara. Bahwa, sekuat dan sehebat apapun jin yang menguasai manusia (makan kaca, makan rumput dll.) akan kalah hanya dengan dua kalimat Syahadat. Dan aku memang baru tahu kalau ternyata hanya Dua Kalimat Syahadat yang ditiupkan di kedua telinga manusia yang bisa mengusir jin yang masuk ke dalam tubuhnya.
Sebenarnya, di setiap tubuh manusia sudah ada jin yang terus menemaninya. Hanya saja, ada manusia yang bisa mengendalikan dirinya dari gangguan jin dan ada manusia yang bisa dikendalikan oleh Jin/Setan. Sebab aku melihat sendiri tidak semua dikendalikan sepenuhnya oleh Jin. Masih ada beberapa yang mencoba melawan kehadiran makhluk ghaib dalam tubuhnya. 
Sama seperti dalam kehidupan kita sehari-hari. Bagaimana mengendalikan diri kita dari rasa marah, rasa iri, dengki, benci dan sebagainya. Jika kita bisa mengendalikannya, maka hati kita sebagai pemenang atas semua rasa yang datangnya dari setan. Namun, jika kita tidak bisa mengendalikan, maka diri kita akan sepenuhnya dikuasai oleh setan. Perbanyaklah mengaji sebab Al-Qur’an adalah Ayat-Ayat Suci yang tidak perlu diragukan lagi kesucianNya. Sebab dengan dua kalimat syahadat saja sudah bisa mengusir Jin/Setan. Bagaimana jika kita bisa membaca lantuanan Ayat Suci setiap hari? Pastilah hati kita jauh dari gangguan jin/setan.
Sebab Setan/Jin itu mengganggu dengan cara “Membisikkan (kejahatan) ke dalam dada Manusia.” – (Surah An-Nas Ayat 5). Jin/Setan membisikkan ke dalam dada, bukan ke dalam telinga. Oleh karenanya penyakit-penyakit hati itulah yang sesungguhnya harus diobati. Termasuk orang yang suka nyinyirin tulisan aku dan bilang tulisan-tulisanku unfaedah.
Itulah informasi yang aku dapatkan demi memenuhi rasa penasaranku. Aku sampai berbulan-bulan bertanya pada banyak orang hingga mendapatkan jawaban yang memuaskan. Bagiku, semua rasa penasaranku sudah terjawab. Mungkin masih ada banyak pendapat lain yang berbeda di luar sana. It’s Oke, nggak masalah sebab setiap orang punya hak untuk berpendapat.
Sepertinya aku harus lebih banyak belajar tentang sejarah kebudayaan Indonesia. Karena pada zaman dahulu, orang-orang bisa menyampaikan pesan atau kritik melalui tari-tarian, tembang-tembang, seni rupa dan seni yang lainnya. Bagiku, itu hal yang indah. Mengkritik dengan sebuah karya.
 Cukup sampai di sini tulisan aku ya...
Mau jalan-jalan dahulu cari informasi, ilmu dan teman-teman baru.
Oh ya ... Salam Budaya Indonesia. Mari kita lestarikan kebudayaan yang merupakan ciri khas dan kekayaan orang Indonesia. Jika bukan kita, siapa lagi?


Ditulis oleh Rin Muna
Samboja, 8 September 2018

[Cerpen] On Backstage #1

Beeki



“Minum?” Roby menyodorkan sebotol air mineral saat aku bersandar di pagar balkon gedung lantai 3. Usai menggelar pagelaran, aku memilih untuk menyendiri.
“Selamat ya! Pertunjukkannya sukses,” ucap Roby sembari menatap ke arah panggung yang mulai lengang.
Aku langsung menenggak setengah botol air mineral sebelum menanggapi ucapan Roby.
“Alhamdulillah ... aku lega semuanya berjalan dengan lancar. Aku deg-degan sepanjang acara.” Aku menghela napas. Melirik Roby yang berdiri di sebelahku.
“Capek ya? Kerja kerasmu nggak sia-sia kok, Rin.”
“Bukan aku, tapi kita semua.”
“Ya, aku tahu. Tapi kalau nggak ada kamu, entah apa jadinya acara kita hari ini.”
“Why? Aku nggak terlalu penting kali By, cuma main di belakang layar aja. Mereka yang hebat-hebat!” Aku tersenyum, ikut menatap panggung pertunjukkan yang baru saja usai.
“Penting, lah. Kalau nggak ada orang yang galak dan cerewet kayak kamu. Mungkin saja pertunjukkan kita kacau. Aku lihat sendiri kalau yang lain latihannya angin-anginan. Tunggu diteriaki dulu baru mereka mau serius. Belum lagi setiap masalah yang datang saat persiapan. Semuanya bisa kamu atasi karena sikapmu yang galak itu.” Roby terkekeh.
“Emang aku galak?” Aku menatap tajam ke arah Roby.
Roby menggelengkan kepalanya. “Enggak, sih. Kamu mah baik. Peduli dan tegas. Mereka aja yang suka bilang kamu galak dan aku juga terbawa, hehehe.”
“Perez!!” celetukku.
“Hahaha. Acara udah kelar, mukamu masih serius aja.”
Aku menatap ke arah Roby, mungkin benar wajahku masih sangat tegang.
“Kamu tahu kan, kalau sampai acara ini gagal, aku akan dicaci maki banyak orang.”
“Yes, I know. Tapi, sudah jelas kan acaramu sukses. Semua baik-baik saja.”
“Belum. Sampai benar-benar semuanya selesai. Besok masih harus beres-beres dan mengembalikan peralatan yang kita pinjam.”
Roby berdecak. “Sudahlah, yang besok, pikirkan besok saja!”
“Iya. Perasaanku belum tenang aja kalo belum kelar semuanya.”
“Kak Rin, dipanggil Pak Zoel.” Suara Shella mengagetkan kami.
Aku dan Roby saling pandang. Roby mengangkat kedua pundaknya. Dia sudah mengerti apa maksud dari ekspresi wajahku tanpa aku harus mengucapkan sesuatu.
Pak Zoel hanya akan memanggilku saat ada masalah. Dua bulan lalu beliau marah besar karena sebuah event besar berakhir dengan sangat memalukan. Terjadi miss antara pelaku seni dengan panitia. Aku merasa pertunjukkan kali ini sudah cukup memuaskan. Itu bagiku, tidak bagi Pak Zoel. Bisa saja dia merasa masih ada yang kurang.
Berat sekali kulangkahkan kaki menemui Pak Zoel di lantai bawah.
“Semangat ya, Rin. Kamu wanita hebat!” Roby menepuk pundakku, mengalirkan energi yang membuat hatiku lebih tegar menghadapi apa pun. Dia satu-satunya sahabat yang paling mengerti posisiku. Tidak pernah ikut menyalahkan saat pertunjukkan kacau.
Di balik layar memang seperti itu. Hasilnya bagus, yang di depan yang dipuji. Kalau jelek, kita yang dicaci maki.” ucap Roby beberapa bulan lalu saat panggung pertunjukkan ambruk diterpa hujan deras dan angin kencang.
Aku hampir gila menghadapi cacian, semua menyalahkan aku karena dianggap aku lalai. Padahal, aku sudah berusaha semaksimal mungkin agar panggung tetap aman dari guncangan cuaca ekstrem. Tapi masih saja panggung yang berbahan Rigging itu masih ambruk sebagian. Bersyukurnya tidak ada korban luka akibat kejadian itu.
Aku menepis semua pikiran negatif itu sesampainya di dalam ruangan, tempat Pak Zoel menungguku. Beberapa panitia yang lain sedang menikmati makan malam usai memastikan semua sound sudah masuk ke dalam ruangan agar mereka tidak perlu tidur di atas panggung, entah makan apa jam segini? Ini sudah tengah malam, bukan malam lagi.
“Kamu ngapain di atas!?” sentak Pak Zoel dengan suara yang membahana di seluruh ruangan.
Aku menarik napas, menghadapi beliau membuatku bingung. Entah dia marah sungguhan atau hanya acting. Kalau soal acting, memang dia senior dalam dunia perfilman. Sedangkan aku, tidak bisa acting sama sekali.
“Kenapa diam!?” Pak Zoel menggebrak meja karena aku tak kunjung menjawab pertanyaannya.
“Anu ... Pak,”
“Anu-Anu apa!? Pacaran terus kau sama Roby, hah!?”
Mataku terbelalak mendengar ucapan dari Pak Zoel. Sejak kapan ada isu aku dan Roby pacaran? Ini kerjaan siapa pula?
Sementara Roby masuk ke dalam ruangan dengan santainya sambil cengengesan. Meraih satu kotak nasi kemudian bergabung dengan yang lain. Aku melirik sinis ke arahnya. “Awas kamu ya!” batinku. Aku yakin ini pasti ada hubungannya dengan Roby.
“Kenapa diam!? Kamu nggak menghargai saya lagi ngomong!”
“B ... bukan gitu, Pak. Saya masih mikir ....” Aku ingin memaki diriku sendiri. Kenapa kalimat ini yang keluar dari mulutku? Kalau udah gugup, nggak karuan menghadapi Pak Zoel.
“Mikir-mikir! Masih bisa kamu mikir!? Kamu nggak mikir kalau lagi ada masalah!?”
“Masalah apa?” Pikiranku melayang-layang, mencari sudut-sudut bayangan selama pertunjukkan. Aku merasa semuanya baik-baik saja. Entah apa yang dilihat oleh Pak Zoel sehingga ia terlihat marah. Sementara timku semuanya baik-baik saja. Tidak ada laporan kendala selama pertunjukkan berlangsung.
“Kamu koordinator acara dan nggak tau masalahnya apa? Ndak becus!”
Aku menarik napas berkali-kali. Mencoba menenangkan perasaanku. “Maaf, Pak. Kali ini saya bener-bener nggak tau masalahnya apa.”
Pak Zoel langsung berceramah panjang lebar kali luas kali tinggi. Aku hanya mendengarkan sambil menggaruk keningku. Sudah menjadi hal biasa seperti ini. Hatiku mulai kebal menghadapi kemarahannya.
“Kamu tahu tanggung jawabku, kan?” tanya Pak Zoel kemudian.
Aku menganggukkan kepala.
“Jadi, udah tahu masalahnya apa?”
Aku menggelengkan kepala. Asli, aku nggak bener-bener nyimak Pak Zoel ngomong apa dari tadi.
“Masih nggak tau!?” Pak Zoel terlihat naik pitam.
Aku menunduk, menggelengkan kepala. Kali ini aku hanya bisa menatap kakiku sendiri, tak lagi menatap wajah Pak Zoel yang sepertinya semakin emosi.
“Kamu nggak makan dari pagi sampai sekarang, apa kamu pikir itu bukan masalah!?” Pak Zoel mendelik ke arahku.
Aku mengangkat kepalaku, menatap wajahnya yang mendelik sambil tersenyum. Aku terkekeh geli.
“Astaga ...!” Hanya itu kata yang bisa keluar dari mulutku. Sementara teman-teman yang lain tertawa terbahak-bahak karena berhasil mengerjaiku.
“Makan dulu! Kita masih ada agenda pertunjukkan selanjutnya. Saya nggak mau kamu jatuh sakit. Pertunjukkan malam ini, sangat memuaskan dan selanjutnya saya ingin lebih baik lagi.” Pak Zoel kini merendahkan nada bicaranya.
“Baik, Pak.” Aku melangkahkan kakiku menghampiri teman-teman yang sedang berkumpul di pojok ruangan sembari menikmati makanan.
“Pak Zoel kok tahu aku belum makan dari tadi pagi?” tanyaku pada Shella.
Yang ditanya hanya meringis, menunjukkan gigi-giginya yang tersusun rapi.
“Kamu ya?” selidikku.
“Ya, kita khawatir kali kalau kamu nggak makan dari pagi. Udah gitu sibuk lari sana, lari sini. Sebagai seksi konsumsi pasti aku memperhatikan sejak pagi kamu belum makan apa-apa. Hanya minta air mineral saja.”
“Iya ... tapi nggak usah ngadu ke Pak Zoel juga kali. Kamu nggak tahu, jantungku hampir copot dibentak-bentak. Dah gitu, sialnya aku nggak tahu kalau dia cuma acting,” celetukku.
Aku akhirnya membuka nasi kotak yang sudah aku pegang. Tidak ada semangat untuk menikmatinya, terlebih ini sudah tengah malam.
Aku sedikit lega karena akhirnya pertunjukkan bisa berlangsung dengan baik. Semua pasti lelah dan ingin segera beristirahat. Karena esok sudah ada pekerjaan lain, membereskan area panggung juga membersihkannya. Usai malam pertunjukkan berlangsung, pengunjung selalu meninggalkan sampah-sampah berserakan. Panitia harus bekerja ekstra untuk mengangkut sampah-sampah yang membanjiri lapangan acara. Andai saja penonton bisa lebih bijak dalam mengelola sampah dari makanan yang mereka makan. Misalnya, membuangnya di tempat sampah yang sudah disediakan atau menyiapkan kantong sendiri sampai menemukan tempat sampah jika memang tempat sampahnya sulit untuk dijangkau. Pastilah pekerjaan kami akan terasa lebih ringan.
Sampah-sampah yang ditinggalkan saat event menjadi bagian dari tanggung jawab kami yang bekerja di belakang panggung. Memanglah sangat lelah karena harus menyiapkan dan membereskan banyak hal. Tapi, aku sudah terlanjur masuk ke dalamnya dan harus menikmatinya. Awalnya memang dipaksa dan terpaksa. Tapi lama-lama jadi terbiasa dan aku menikmatinya dengan bahagia.

Tulisan ini telah saya posting untuk Kompasiana.

[PhotoStory] Indahnya Awan Pagi di Rapak Lambur, Tenggarong

Dokpri : Halaman SMP 6 Tenggarong

Sabtu, 23 Februari 2019

Aku berkesempatan mengunjungi salah satu saudaraku yang tinggal di daerah Rapak Lambur, Tenggarong. Kami berangkat dari Samboja sekitar pukul 15.00 WITA dan sampai di sana ketika waktu Magrib tiba.

Seperti biasa, ketika aku baru sampai dari perjalanan jauh. Aku langsung tepar dan baring-baring lurusin badan. Bahkan sampai malam hari, aku nggak beranjak sedikit pun dari ruang tamu atau kamar.

Hal yang paling nyebelin adalah : anakku nggak mau tidur karena dikasih mainan lego sama budenya. Sampai jam 11 malam, dia masih main. Mau tak mau, mamanya harus nunggu dia terlelap. Tapi, selalu saja gagal, dia tetap asyik bermain lego sampai larut malam. Bahkan, ketika dia sudah tidur, aku justru sulit untuk memejamkan mata. Masalahnya, kipas angin punya bude rusak dan anakku tidak bisa tidur dalam keadaan panas. Aku harus terjaga supaya bisa ngipasin dia secara manual alias kipasan pakai kipas bambu. Hmm ... itu lumayan bikin aku kurang tidur dan akhirnya bangunnya kesiangan.

Aku baru bangun tidur sekitar pukul 06: 30, asli ini mah mbangkong banget!
Baru aja selesai cuci muka, mbakku alias budenya anakku mengajak untuk main atau silaturahmi ke rumah tetangga yang ada di belakang rumahnya. Lumayan lama main di sana sambil bercerita panjang lebar. Karena Livia udah ngajak pulang, akhirnya kami balik ke rumah bude.

Waktu mau masuk ke rumah, tiba-tiba mataku tertuju pada gumpalan kabut awan di depan halaman sekolah SMP 6 Tenggarong. Kebetulan, budeku adalah salah satu guru di SMP tersebut dan rumahnya memang bersebelahan dengan bangunan SMP.

Aku langsung pergi mendatangi pemandangan tersebut, nggak jadi masuk ke rumah. Dan aku sempatkan buat ngambil sedikit gambar. Ada rasa kecewa di dalam hati. "Kenapa nggak dari tadi pagi ke sininya? Kan bisa lihat awan dan kabut dari ketinggian. Ini mah udah siang banget dan kabut awannya sudah hampir habis."

Walau kabut awannya sudah mau habis, tapi pemandangannya tetap saja indah kok. Aku baru tahu kalau ternyata di sini tempatnya lumayan tinggi sehingga bisa melihat pemandangan alam yang luas ketika kita berdiri di halaman sekolah SMP 6 Tenggarong.

Wah, anak-anak SMP pasti udah pada ngeksis nih di tempat ini. Apalagi kalau kabut paginya emang indah banget. Itu pun kalau mereka menyadari keindahan itu. Biasanya sih, kalau yang setiap hari berhadapan langsung, melihatnya ya biasa aja. Kalau yang jarang lihat, itu pemandangan yang langka dan indah banget.

Serasa lagi kemah di gunung, seperti Gunung S yang ada di daerah Kutai Barat. Tapi, ini cuma di halaman sekolah yang aksesnya mudah banget! Nggak perlu mendaki gunung seperti di Gunung S. Pemandangan alamnya juga nggak kalah indah kok. Yang jelas, setiap bangun pagi sudah ada keindahan dan kesejukan yang menyapa. Jarang-jarang kan bisa lihat pemandangan alam yang bagus kayak gitu. Terlebih buat kita yang tinggalnya di kota. Yang dilihat cuma bangunan-bangunan mati dan polusi udara di mana-mana.

Hei ... buat kamu yang pernah sekolah di SMP 6 Tenggarong, kamu sadar nggak kalau pemandangan sekolahmu itu indah banget di waktu pagi. Sesekali ... bikin PhotoStory tentang sekolah kamu yang asyik banget ini. Bisa jadi bahan pertimbangan juga buat aku nulis cerita fiksi. Latar tempatnya udah asyik banget. Hehehe ...

Yuk, tulis cerita-cerita dan pengalaman yang ada di sekitarmu!
Karena dengan menulis, bukan hanya mengabadikan namamu ... tapi juga mengabadikan orang-orang dan tempat-tempat yang ada di sekelilingmu.


Salam Literasi ...!
Salam Lestari ...!



Rin Muna


Rapak Lambur, 24 Februari 2019


[Fabel] Damai Itu Indah

ezeepoints.id

“Ggrrh...!” Kaka menyeringai ke arah Tian.
Tian telah siap menerima serangan dari Kaka, Si Badak yang akan menyerang dengan culanya. Sementara Tian sudah mengasah tanduknya tajam.
“Stop! Ada apa ini?” Bhin Bhin tiba-tiba datang sembari mematuki tubuh Tian.
“Aduh! Kenapa kamu mematuki tubuhku?” Tian Si Rusa jantan berteriak kesakitan.
“Jika tidak aku lakukan, tandukmu akan melukai Kaka.” Bhin Bhin bertengger di atas punggung Tian.
“Kenapa tidak mematuki tubuh Kaka? Bisa saja culanya melukaiku. Kenapa kamu membela Kaka?” Tian memutar kepalanya. Mencoba meraih tubuh Bhin-Bhin, namun ia hanya mampu berputar-putar mengelilingi tubuhnya sendiri.
“Aku tidak membela Kaka. Hanya saja kulit Kaka terlalu keras untukku. Paruhku yang cantik ini bisa rusak.” Bhin Bhin mengelus paruh dengan sayap kanannya.
Kaka terkekeh menyaksikan perdebatan antara Tian Si Rusa dan Bhin Bhin Si Burung Cendrawasih yang elok.
“Kamu mengolokku lagi?” Tian menyeruduk hidung Kaka dengan ujung tanduknya.
“Sebenarnya ada apa dengan kalian?” Bhin Bhin mencoba menengahi.
“Kaka telah mencuri makananku!”
“Aku tidak mencuri. Aku menemukannya di bawah pohon.” Suara besar Kaka terdengar khas.
“Aku sedang mengumpulkannya. Dan kamu mencurinya!” teriak Tian.
“Tidak! Aku menemukannya.”
“Kamu mencurinya!”
“Aku menemukannya.”
Tian dan Kaka sama-sama keukeuh dengan pendapatnya.
“Sudahlah! Jangan berkelahi! Bagaimana jika kalian berlomba saja?”
“Berlomba? Maksudmu apa Bhin Bhin?” Tian menatap Bhin Bhin.
“Daripada kalian berkelahi, kalian tidak akan mendapatkan apa-apa selain luka dan cedera. Lebih baik kalian berlomba. Siapa yang kalah harus mencarikan makanan untuk yang menang. Dan kalian harus berdamai!” Bhin Bhin mengepakkan sayapnya. Terbang dan bertengger di pucuk pohon yang tinggi.
“Baiklah. Lomba apa Bhin Bhin?” tanya Tian dan Kaka bersamaan.
“Di seberang sana ada pohon emas. Kalian harus bisa memetik buah emas. Kalian harus melewati tiga gunung tinggi, sungai dan hutan. Kalian harus bisa bekerjasama untuk mendapatkannya. Aku akan mengawasi kalian dari udara.”
“Baiklah.” Tian dan Kaka bersiap untuk menerjang hutan, sungai dan gunung demi mendapat buah emas.
Setelah melewati satu gunung tertinggi. Tian dan Kaka harus melewati sungai yang terbentang luas.
“Bagaimana menyebrangi sungai sebesar ini?” Tian dan Kaka berputar-putar mencari ide.
Sementara Bhin Bhin mengamati dari atas pepohonan.
“Bagaimana jika minta bantuan Bhin Bhin untuk membawa kita terbang?” bisik Kaka.
“Tidak mungkin! Bhin Bhin tidak akan sanggup membawa kita berdua terbang bersamanya. Membawa tandukku saja dia tidak akan kuat.” Tian berputar-putar mengelilingi Kaka.
“Ahaa... bagaimana jika menggunakan batang kayu untuk menyeberang?” Tian mendapati batang kayu teronggok di dekat mereka.
“Bagaimana caranya?” tanya Kaka.
“Kekuatanmu tidak diragukan lagi Badak. Ayo segera angkat batang kayu besar itu ke sungai! Kita akan menggunakannya untuk menyeberang!” pinta Tian. Kaka bergegas menunjukkan kekuatannya.
Mereka berhasil menyeberang sungai dengan susah payah. Kembali berjalan menyusuri hutan dan gunung.
“Ayo cepat!” Tian meneriaki Kaka yang mulai tertinggal jauh.
“Aku tidak bisa berlari secepat dirimu!” Kaka melangkahkan kakinya perlahan. Langkahnya mulai berat.
Tian berlutut di tanah. Menunggu Kaka menaiki gunung secara perlahan.
“Kenapa kamu berhenti?” tanya Bhin Bhin dari balik dedaunan.
“Aku akan menunggunya.”
“Bukankah lebih baik jika kamu sampai duluan? Kamu memiliki kecepatan!”
Tian menggeleng. “Kaka sudah membantuku menyeberangi sungai. Aku memiliki kecepatan, tapi aku tak punya kekuatan untuk menggendong Kaka.”
“Aku senang kamu mulai menyadarinya. Teman harus saling bekerja sama.” Bhin Bhin kembali terbang dari ranting ke ranting.
Tian dan Kaka mulai menikmati perjalanan mereka. Bercengkerama sembari bernyanyi hingga lupa jika mereka sedang bersaing atau berkelahi.
Tak terasa, Tian dan Kaka sudah sampai di pohon emas yang mereka tuju. Pohonnya sangat tinggi dan besar. Buahnya berkilauan.
“Bagaimana cara mengambilnya? Bukankah di antara kita tidak ada yang bisa memanjat pohon?” Kaka terduduk lemas.
Tian berputar-putar mengelilingi tubuh Kaka sembari mencari ide.
“Ayo jangan menyerah! Burung yang tidak bisa berenang saja bisa menangkap ikan di lautan!” teriak Bhin Bhin sembari berputar-putar di atas pohon emas.
“Bagaimana caranya? Kami tidak bisa memanjat!” balas Tian berteriak.
“Cicak tidak punya sayap dan tidak bisa terbang. Tapi dia bisa menangkap nyamuk. Ayo pikirkan caranya!” Bhin Bhin masih menyemangati Tian dan Kaka.
Tian dan Kaka berdiam diri. Berpikir cukup lama di bawah pohon emas. Tiupan angin kencang berhasil menjatuhkan satu buah emas dari pohonnya. Buahnya menggelundung ke bawah gunung dan tak sempat mereka kejar.
“Apa kita harus menunggu buahnya jatuh lagi?” tanya Kaka.
“Baik. Ayo kita tunggu!”
Berhari-hari mereka mengharapkan angin kencang datang lagi. Namun yang diharapkan tak kunjung datang.
“Bagaimana jika aku goyangkan saja pohon ini? Tapi, buahnya pasti akan menggelundung lagi ke bawah gunung.” Kaka menatap pohon emas yang berada di atas gunung.
“Aha..! Benar sekali! Ayo kamu goyangkan saja! Kamu memiliki kekuatan yang besar. Pasti bisa menjatuhkan buah emas ini. Sedang aku memiliki kecepatan dalam berlari. Aku akan bersiap mengejar buah yang jatuh.” Tian bersemangat.
Kaka mengangguk. Mereka bersiap untuk melakukan aksinya. Kaka menyeruduk pohon emas dan berhasil menjatuhkan buah emas yang sudah matang. Tian berlari secepat mungkin untuk mengejar buah-buah yang jatuh.
Tian mengumpulkan buah emas di bawah pohon. “Akhirnya kita berhasil mendapatkannya.” Tian dan Kaka saling berpelukan.
Bhin Bhin menghampiri mereka. “Lebih indah jika kalian bekerja sama bukan? Damai itu indah. Jangan berkelahi hanya karena makanan! Rakus hanya membuatmu kenyang sebentar saja. Sedangkan perdamaian dan persahabatan akan membuatmu bahagia selamanya.”
Tian dan Kaka menatap Bhin Bhin bersamaan, “Terima kasih Bhin Bhin sudah mengingatkan kami!”
Bhin Bhin mengerdipkan sebelah matanya. Terbang meninggalkan Tian dan Kaka yang akhirnya hidup damai berdampingan hingga anak cucu mereka.

Tak Perlu Bermanfaat Untuk Banyak Orang

95C

Kadang kita lupa berapa lama waktu yang telah kita habiskan selama kita hidup. Berapa sih usia kita sekarang? 17 tahun? 20 tahun? 30 tahun? 40 tahun atau seterusnya? Dan berapa tahun yang sudah kita jalani untuk menjadi manusia yang bermanfaat? Bahkan kemungkinan di usia yang ke-17 kita belum menjadi apa-apa, masih merengek minta uang jajan sama orang tua.
Sekarang, bagaimana sih supaya hidup kita bermanfaat untuk banyak orang?
Ah... tak usahlah berpikir jauh ingin hidup yang bermanfaat untuk banyak orang.
Cukup menjadi bermanfaat untuk lingkungan di sekitar kita saja.
Dengan cara? Ya kita peka terhadap kejadian sekitar kita. Bukan menjadi acuh terhadap tetangga.
Misal, hari tiba-tiba hujan dan pakaian tetangga masih bertengger dijemuran. Kita bisa membantu mengangkat pakaian agar tidak kehujanan. Itu adalah salah satu contoh kecil yang ada di sekitar kita.
Tak perlu bermanfaat untuk banyak orang, yang penting kita bisa bermanfaat untuk segelintir orang-orang di sekitar kita.

Seperti beberapa hari terakhir saat aku memilih berhenti bekerja di salah satu perusahaan swasta. Hari-hariku selalu di rumah, diisi dengan banyak kegiatan supaya aku tidak merasa jenuh di rumah. Beberapa orang hampir setiap hari ke rumah minta bantuan. Ada yang minta bikinkan ini dan itu. Aku melakukannya dengan ikhlas tanpa meminta imbalan. Bahkan kadang mereka memaksa menerima imbalan dari mereka yang sering aku tolak. Bagiku, sesama tetangga harus saling tolong-menolong. Toh, mereka juga tak pernah mengharap imbalan saat aku meminta pertolongan.

Aku bersyukur bisa memberi sedikit manfaat untuk orang-orang di sekitarku. Tak perlu bermanfaat untuk banyak orang, bermanfaat untuk beberapa orang di sekitar saja sudah cukup.

Kalau pada akhirnya saya memiliki taman bacaan yang aku buka untuk umum. Itu semua terjadi karena panggilan hati begitu saja. Tak ada niat sedikitpun mendapat keuntungan di dalamnya. Karena semua kegiatan di taman baca memang berjalan dengan biaya sendiri. Aku hanya berharap, semoga taman baca yang aku dirikan bisa bermanfaat untuk warga sekitar untuk menggali sumber ilmu seluas-luasnya. Memfasilitasi warga dengan buku-buku bacaan dan buku pengetahuan. Dengan harapan bisa menciptakan generasi muda yang mandiri.

Aku memang tidak bisa bermanfaat untuk banyak orang. Cukup untuk segelintir orang yang setiap hari datang ke rumah, bisa membantu mereka itu kebahagiaan tersendiri bagiku.

Lebih baik jadi lilin di kegelapan walau pada akhirnya habis terbakar. Keikhlasan itu dari hati, rela melakukan apa saja tanpa mengharap budi balasan.
Menjadi bintang di tengah gelapnya malam tanpa mengharapkan siang datang memberikan pujian.
Tetap menjadi matahari di siang hari walau sering mendapat cacian dan keluh kesah karena kepanasan.

Tetap menjadi udara walau tak pernah mendapat penghargaan pada kehidupan.
Sebab hidup ini tentang keikhlasan. Menjadi bermanfaat adalah panggilan hati, sebab tak semua hati tersentuh keikhlasan dari tangan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang. Bukan sekedar mencari pencitraan diri. Jika ada yang menganggap aku hanya mencari popularitas, itu hak mereka. Aku tidak akan membantah karena hanya akan membuang waktuku. Lebih baik aku terus mendaki jalan hidupku ketimbang berhenti untuk melayani lolongan makhluk-makhluk yang mencoba menghambat langkahku.

Selamat malam...
Semoga setiap hari kita bisa bermanfaat untuk orang-orang di sekitar kita.

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas