Tuesday, February 26, 2019

[Cerpen] On Backstage #1

Beeki



“Minum?” Roby menyodorkan sebotol air mineral saat aku bersandar di pagar balkon gedung lantai 3. Usai menggelar pagelaran, aku memilih untuk menyendiri.
“Selamat ya! Pertunjukkannya sukses,” ucap Roby sembari menatap ke arah panggung yang mulai lengang.
Aku langsung menenggak setengah botol air mineral sebelum menanggapi ucapan Roby.
“Alhamdulillah ... aku lega semuanya berjalan dengan lancar. Aku deg-degan sepanjang acara.” Aku menghela napas. Melirik Roby yang berdiri di sebelahku.
“Capek ya? Kerja kerasmu nggak sia-sia kok, Rin.”
“Bukan aku, tapi kita semua.”
“Ya, aku tahu. Tapi kalau nggak ada kamu, entah apa jadinya acara kita hari ini.”
“Why? Aku nggak terlalu penting kali By, cuma main di belakang layar aja. Mereka yang hebat-hebat!” Aku tersenyum, ikut menatap panggung pertunjukkan yang baru saja usai.
“Penting, lah. Kalau nggak ada orang yang galak dan cerewet kayak kamu. Mungkin saja pertunjukkan kita kacau. Aku lihat sendiri kalau yang lain latihannya angin-anginan. Tunggu diteriaki dulu baru mereka mau serius. Belum lagi setiap masalah yang datang saat persiapan. Semuanya bisa kamu atasi karena sikapmu yang galak itu.” Roby terkekeh.
“Emang aku galak?” Aku menatap tajam ke arah Roby.
Roby menggelengkan kepalanya. “Enggak, sih. Kamu mah baik. Peduli dan tegas. Mereka aja yang suka bilang kamu galak dan aku juga terbawa, hehehe.”
“Perez!!” celetukku.
“Hahaha. Acara udah kelar, mukamu masih serius aja.”
Aku menatap ke arah Roby, mungkin benar wajahku masih sangat tegang.
“Kamu tahu kan, kalau sampai acara ini gagal, aku akan dicaci maki banyak orang.”
“Yes, I know. Tapi, sudah jelas kan acaramu sukses. Semua baik-baik saja.”
“Belum. Sampai benar-benar semuanya selesai. Besok masih harus beres-beres dan mengembalikan peralatan yang kita pinjam.”
Roby berdecak. “Sudahlah, yang besok, pikirkan besok saja!”
“Iya. Perasaanku belum tenang aja kalo belum kelar semuanya.”
“Kak Rin, dipanggil Pak Zoel.” Suara Shella mengagetkan kami.
Aku dan Roby saling pandang. Roby mengangkat kedua pundaknya. Dia sudah mengerti apa maksud dari ekspresi wajahku tanpa aku harus mengucapkan sesuatu.
Pak Zoel hanya akan memanggilku saat ada masalah. Dua bulan lalu beliau marah besar karena sebuah event besar berakhir dengan sangat memalukan. Terjadi miss antara pelaku seni dengan panitia. Aku merasa pertunjukkan kali ini sudah cukup memuaskan. Itu bagiku, tidak bagi Pak Zoel. Bisa saja dia merasa masih ada yang kurang.
Berat sekali kulangkahkan kaki menemui Pak Zoel di lantai bawah.
“Semangat ya, Rin. Kamu wanita hebat!” Roby menepuk pundakku, mengalirkan energi yang membuat hatiku lebih tegar menghadapi apa pun. Dia satu-satunya sahabat yang paling mengerti posisiku. Tidak pernah ikut menyalahkan saat pertunjukkan kacau.
Di balik layar memang seperti itu. Hasilnya bagus, yang di depan yang dipuji. Kalau jelek, kita yang dicaci maki.” ucap Roby beberapa bulan lalu saat panggung pertunjukkan ambruk diterpa hujan deras dan angin kencang.
Aku hampir gila menghadapi cacian, semua menyalahkan aku karena dianggap aku lalai. Padahal, aku sudah berusaha semaksimal mungkin agar panggung tetap aman dari guncangan cuaca ekstrem. Tapi masih saja panggung yang berbahan Rigging itu masih ambruk sebagian. Bersyukurnya tidak ada korban luka akibat kejadian itu.
Aku menepis semua pikiran negatif itu sesampainya di dalam ruangan, tempat Pak Zoel menungguku. Beberapa panitia yang lain sedang menikmati makan malam usai memastikan semua sound sudah masuk ke dalam ruangan agar mereka tidak perlu tidur di atas panggung, entah makan apa jam segini? Ini sudah tengah malam, bukan malam lagi.
“Kamu ngapain di atas!?” sentak Pak Zoel dengan suara yang membahana di seluruh ruangan.
Aku menarik napas, menghadapi beliau membuatku bingung. Entah dia marah sungguhan atau hanya acting. Kalau soal acting, memang dia senior dalam dunia perfilman. Sedangkan aku, tidak bisa acting sama sekali.
“Kenapa diam!?” Pak Zoel menggebrak meja karena aku tak kunjung menjawab pertanyaannya.
“Anu ... Pak,”
“Anu-Anu apa!? Pacaran terus kau sama Roby, hah!?”
Mataku terbelalak mendengar ucapan dari Pak Zoel. Sejak kapan ada isu aku dan Roby pacaran? Ini kerjaan siapa pula?
Sementara Roby masuk ke dalam ruangan dengan santainya sambil cengengesan. Meraih satu kotak nasi kemudian bergabung dengan yang lain. Aku melirik sinis ke arahnya. “Awas kamu ya!” batinku. Aku yakin ini pasti ada hubungannya dengan Roby.
“Kenapa diam!? Kamu nggak menghargai saya lagi ngomong!”
“B ... bukan gitu, Pak. Saya masih mikir ....” Aku ingin memaki diriku sendiri. Kenapa kalimat ini yang keluar dari mulutku? Kalau udah gugup, nggak karuan menghadapi Pak Zoel.
“Mikir-mikir! Masih bisa kamu mikir!? Kamu nggak mikir kalau lagi ada masalah!?”
“Masalah apa?” Pikiranku melayang-layang, mencari sudut-sudut bayangan selama pertunjukkan. Aku merasa semuanya baik-baik saja. Entah apa yang dilihat oleh Pak Zoel sehingga ia terlihat marah. Sementara timku semuanya baik-baik saja. Tidak ada laporan kendala selama pertunjukkan berlangsung.
“Kamu koordinator acara dan nggak tau masalahnya apa? Ndak becus!”
Aku menarik napas berkali-kali. Mencoba menenangkan perasaanku. “Maaf, Pak. Kali ini saya bener-bener nggak tau masalahnya apa.”
Pak Zoel langsung berceramah panjang lebar kali luas kali tinggi. Aku hanya mendengarkan sambil menggaruk keningku. Sudah menjadi hal biasa seperti ini. Hatiku mulai kebal menghadapi kemarahannya.
“Kamu tahu tanggung jawabku, kan?” tanya Pak Zoel kemudian.
Aku menganggukkan kepala.
“Jadi, udah tahu masalahnya apa?”
Aku menggelengkan kepala. Asli, aku nggak bener-bener nyimak Pak Zoel ngomong apa dari tadi.
“Masih nggak tau!?” Pak Zoel terlihat naik pitam.
Aku menunduk, menggelengkan kepala. Kali ini aku hanya bisa menatap kakiku sendiri, tak lagi menatap wajah Pak Zoel yang sepertinya semakin emosi.
“Kamu nggak makan dari pagi sampai sekarang, apa kamu pikir itu bukan masalah!?” Pak Zoel mendelik ke arahku.
Aku mengangkat kepalaku, menatap wajahnya yang mendelik sambil tersenyum. Aku terkekeh geli.
“Astaga ...!” Hanya itu kata yang bisa keluar dari mulutku. Sementara teman-teman yang lain tertawa terbahak-bahak karena berhasil mengerjaiku.
“Makan dulu! Kita masih ada agenda pertunjukkan selanjutnya. Saya nggak mau kamu jatuh sakit. Pertunjukkan malam ini, sangat memuaskan dan selanjutnya saya ingin lebih baik lagi.” Pak Zoel kini merendahkan nada bicaranya.
“Baik, Pak.” Aku melangkahkan kakiku menghampiri teman-teman yang sedang berkumpul di pojok ruangan sembari menikmati makanan.
“Pak Zoel kok tahu aku belum makan dari tadi pagi?” tanyaku pada Shella.
Yang ditanya hanya meringis, menunjukkan gigi-giginya yang tersusun rapi.
“Kamu ya?” selidikku.
“Ya, kita khawatir kali kalau kamu nggak makan dari pagi. Udah gitu sibuk lari sana, lari sini. Sebagai seksi konsumsi pasti aku memperhatikan sejak pagi kamu belum makan apa-apa. Hanya minta air mineral saja.”
“Iya ... tapi nggak usah ngadu ke Pak Zoel juga kali. Kamu nggak tahu, jantungku hampir copot dibentak-bentak. Dah gitu, sialnya aku nggak tahu kalau dia cuma acting,” celetukku.
Aku akhirnya membuka nasi kotak yang sudah aku pegang. Tidak ada semangat untuk menikmatinya, terlebih ini sudah tengah malam.
Aku sedikit lega karena akhirnya pertunjukkan bisa berlangsung dengan baik. Semua pasti lelah dan ingin segera beristirahat. Karena esok sudah ada pekerjaan lain, membereskan area panggung juga membersihkannya. Usai malam pertunjukkan berlangsung, pengunjung selalu meninggalkan sampah-sampah berserakan. Panitia harus bekerja ekstra untuk mengangkut sampah-sampah yang membanjiri lapangan acara. Andai saja penonton bisa lebih bijak dalam mengelola sampah dari makanan yang mereka makan. Misalnya, membuangnya di tempat sampah yang sudah disediakan atau menyiapkan kantong sendiri sampai menemukan tempat sampah jika memang tempat sampahnya sulit untuk dijangkau. Pastilah pekerjaan kami akan terasa lebih ringan.
Sampah-sampah yang ditinggalkan saat event menjadi bagian dari tanggung jawab kami yang bekerja di belakang panggung. Memanglah sangat lelah karena harus menyiapkan dan membereskan banyak hal. Tapi, aku sudah terlanjur masuk ke dalamnya dan harus menikmatinya. Awalnya memang dipaksa dan terpaksa. Tapi lama-lama jadi terbiasa dan aku menikmatinya dengan bahagia.

Tulisan ini telah saya posting untuk Kompasiana.

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas