Showing posts with label Cerpen. Show all posts
Showing posts with label Cerpen. Show all posts

Tuesday, March 5, 2019

AKU SENIOR (Senang Istri Orang)

Kimpton_House

Lagi-lagi aku ada di salah satu rumah temanku cuma untuk ngumpul bareng. Sebenarnya, ini rumah temannya temanku. Awalnya aku tidak mengenal si pemilik rumah. Namun, karena temanku sering mengajak aku ke kedainya. Akhirnya aku bisa mengenal dan akrab dengan si pemilik rumah.

Mas Andri, si pemilik kedai tempat kami ngumpul sebenarnya masih sebaya denganku. Hmm ... walau ku akui usiaku 2 tahun lebih muda darinya. Hampir setiap malam aku dan teman-temanku berkumpul di kedai Mas Andri. Kedainya berada tepat di sebelah rumahnya.

Awalnya ... semua terasa biasa saja. Kami ngumpul dan bermain game online secara bersama-sama. Kebetulan di kedai Mas Andri ada fasilitas wifi gratis. Jadi, kami bisa numpang bermain bersama sambil ngopi. Tak ada hal yang aneh ketika kami berkumpul bermain Mobile Legend atau PUBG.

Sesekali kami bermain gitar sambil bermain bersama. Untuk melepas penat sejenak di sela-sela bermain game. Aku sama saja seperti yang lain, menikmati sebuah kebersamaan dalam sebuah ikatan pertemanan. Tidak ada yang berbeda, hanya saja tiba-tiba hatiku berubah.

Hari itu, tiba-tiba aku merasakan hal yang berbeda ketika melihat Starla, istri dari Mas Andri. Aku merasa aku sudah gila. Aku mulai menyukai sosok wanita yang awalnya terlihat biasa saja. Bagaimana bisa perasaanku menjadi berbeda. Apa iya aku menyukai seorang wanita yang sudah bersuami dan punya anak? Sementara aku sendiri belum pernah menikah.

Starla adalah wanita yang istimewa di mataku. Tidak, tidak hanya di mataku, tapi juga di mata masyarakat sekitar. Dia wanita yang humble, ramah, baik dan menginspirasi. Bagaimana tidak? Hampir semua yang dilakukan Starla selalu menjadi pusat perhatian warga sekitar. Misalnya ... ketika ia membawa nama baik Kelurahan tempat tinggalku. Tidak hanya sekali, tapi sudah berkali-kali. Ada banyak piala dan penghargaan yang berjejar rapi di ruang tamunya. Aku rasa hampir semua orang mengetahuinya. Dia wanita yang inspiratif, cerdas, dengan penampilan apa adanya. Tidak pernah menunjukkan kehebatannya di depan orang lain. Bahkan ia selalu bisa menghibur dengan celoteh-celotehan lucunya. Bagiku dia sosok wanita yang sempurna. Betapa beruntungnya Mas Andri bisa mendapatkan Starla.  Wanita impian hampir semua pria. Wait! Tidak hanya itu, dia juga termasuk wanita yang selalu menjaga auratnya.

Aku sudah mengenal banyak wanita. Namun, tidak ada wanita yang seperti Starla. Entah kenapa Tuhan menciptakan stock wanita seperti Starla itu sangat langka. Apa karena aku bukan laki-laki yang baik, hingga aku belum juga dipertemukan oleh wanita yang baik di usiaku yang menginjak 27 tahun.

Aku pernah pacaran dengan Selvi, anak Pak Lurah yang terkenal cantik dan keren. Tapi ... bagiku dia terlalu manja. Aku paling tidak suka dengan sifatnya yang suka merengek. Aku putuskan untuk meninggalkannya. Jelas aku ingin wanita mandiri seperti Starla. Dia wanita yang jarang mengeluh. Bahkan aku menyaksikan sendiri dia dengan senang hati dan bahagia ketika harus berpanas-panasan mengangkut batu bata. Duh, andai aku jadi Mas Andri, tidak akan aku biarkan perempuanku bekerja sekeras itu walau untuk membangun rumah sendiri.

Hmm ... lagi-lagi pikiranku tertuju pada Starla tiap kali ingin menceritakan wanita lain. Ada apa sebenarnya dengan perasaanku, ini sangat aneh!

Aku pernah pacaran dengan Nayla, anak Pak Haji di kampungku. Dia baik, agama baik dan agamis. Harusnya aku senang memiliki wanita seperti itu. Tapi ... aku kurang nyaman dengan wanita yang agamanya lebih baik dariku. Telingaku rasanya panas setiap kali mendengar ceramah-ceramahnya. Ini tidak boleh, itu tidak boleh. Akhirnya aku memilih pergi meninggalkannya.

Elsa juga salah satu wanita yang pernah jadi pacarku. Anaknya baik, ceria dan mandiri. Hanya saja, dia punya sisi negatif yang bisa dibilang membuatku senang dan juga tidak. Senangnya, dia wanita yang mudah diajak tidur bareng. Karena sebelum menjadi pacarku, dia juga sudah pernah tidur dengan beberapa temanku. Wanita seperti dia hanya cocok dijadikan teman tidur, bukan untuk menjadi seorang istri.

Maria adalah wanita yang juga pernah menjadi pacarku. Anaknya jelas cantik, supel tapi materialistis. Hmm ... wanita matre memang wajar. Tapi kalau sampai menguras dompet, sepertinya aku harus berpikir dua kali menjadikannya pasangan hidup. Bisa-bisa aku bangkrut dalam sekejap.

Entah berapa wanita yang sudah dekat denganku. Tapi tak satu pun yang bisa menarik hatiku untuk menjalin hubungan lebih serius dengan ikatan pernikahan.

Berbeda ketika aku melihat Starla. Ada rasa ingin membangun sebuah keluarga kecil yang bahagia setiap kali sosoknya ada di depanku. Aku selalu berusaha mengalihkan pandangan dan perhatianku pada ponsel pintar yang aku genggam. Namun, hatiku tetap saja tidak bisa berkata bohong. Dia terlalu mengagumkan untuk aku lewatkan.

Setiap kali aku mencoba mencari sisi jelek dari Starla, saat itu juga aku justru semakin kagum dengan wanita yang satu ini. Aku ingin mencari sisi jelek dari tubuhnya agar bisa kubenci, namun aku gagal. Aku cari sifat jelek yang ada dalam dirinya, dan aku juga gagal. Dia wanita yang baik, teman yang baik, sahabat yang baik, istri yang baik, ibu yang baik, tetangga yang baik dan warga yang baik. Setidaknya itulah yang aku temukan dalam pencarianku mencari keburukan Starla.

Aku sendiri tidak paham kenapa hatiku harus terpincut pada Starla. Aku benar-benar seorang Senior alias Senang Istri Orang. Starla jelas sah sebagai istri dari Mas Andri. Mereka keluarga yang terlihat harmonis dan bahagia. Ah, haruskah aku hadir untuk menghancurkan kebahagiaan seindah itu?

Semakin aku tepis rasa suka itu, justru semakin kuat bersarang di hatiku. Aku hampir tersiksa karena ini. Bagaimana kalau teman sepermainan mengetahui perasaanku kali ini? Haruskah aku menjadi bahan tertawaan? Jelas mereka akan bilang kalau aku ini gila!

"Riz, kok ngelamun? Entar kesambet loh." Aku gelagapan ketika wanita itu menyapaku sembari menyuguhkan secangkir kopi yang aku pesan.
"Eh ... oh ... eh ... Starla. Mas Andry mana?" tanyaku mengalihkan perhatian.
"Lagi ke rumah Pak RT sebentar. Ada keperluan katanya." Mbak Starla memberikan minuman pada teman-temanku yang lainnya.
Tiba-tiba si kecil muncul dan bergelayut manja di kaki Starla. Dengan sabar dia mengangkat tubuh mungil anaknya dan menggendongnya sambil mengajaknya menyanyikan lagu anak-anak.

Ah, Dia memang pandai membahagiakan anaknya. Andai saja aku punya istri sebaik dia, pastilah hidupku bahagia sekali.
Starla hanya keluar ke kedai untuk mengantarkan pesanan minuman. Kemudian tubuhnya menghilang di balik pintu rumahnya. Aku terus memandangi pintu itu, berharap dia dan putera kecilnya muncul dan menemani kami bercerita seperti biasanya. Tapi sepertinya dia memilih di dalam rumah karena Mas Andry memang tidak ada di kedai. Biasanya dia mengajak kami bercanda renyah bersama Mas Andry. Mas Andry juga laki-laki yang tidak cemburuan, dia terlihat ikut tertawa mendengar candaan Starla di antara kami. Starla memang pantas mendapat pendamping sebaik Mas Andry. Kalau aku yang di sana, aku pasti sudah marah dibakar rasa cemburu.

"Rizal...!!!" Telingaku rasanya mau pecah ketika Aron dengan sengaja memanggil namaku tepat di kuping sebelah kanan.
"Apa sih?"
"Ngelamun mulu! Ayo, main!" ajak Aron dan yang lainnya.
Aku menganggukkan kepala dan kembali fokus bermain game bersama mereka. Aku tidak mungkin bercerita tentang Starla kepada mereka. Kami hanya bercerita seputar pekerjaan dan bisnis. Tidak ada hal lain yang kami ceritakan. Yah, sesekali cerita soal wanita jadi selingan juga sih.

Keesokan harinya aku berangkat ke tempat kerja seperti biasa. Di sisi jalan terparkir sebuah motor dengan seorang wanita berdiri di sisinya.
"Starla? Kamu ngapain di sini?" tanyaku saat menghampiri.
"Motorku mogok." Starla menatapku dengan wajah iba. Duh, wajahmu bikin duniaku mau runtuh. Apa tidak bisa memberiku senyum? Senyummu itu indah..
"Bengkel masih agak jauh dari sini. Mau kubawakan ke bengkel motornya? Kamu pakai motor aku!"
"Nggak ngerepotin? Kamu kan mau berangkat kerja?"
"Nggak masalah. Kerjaanku santai kok."
"Ya udah kalau gitu. Makasih banyak ya!"
"Belum juga aku nolongin, udah makasih aja," celetukku.
Starla tergelak. Akhirnya kami saling bertukar motor, dia memakai motorku sedangkan aku memilih mendorong Starla sampai ke bengkel.
"Sudah lama mogoknya? Kayaknya kamu sudah keringatan? Abis dorong motor?" tanyaku sok tahu.
"Iya. Mogoknya di balik gunung sana. Aku mau ke bengkel lumayan jauh. Jadi harus aku dorong dengan susah payah."
"Kenapa nggak telpon suami atau teman, minta bantuan?" tanyaku.
"Nggak ada pulsa, hehehe."
"Ya ampun ... hari gini masih nggak punya pulsa."
"Yah, aku kan nggak kerja. Mana ada biaya buat belu pulsa, hihihi..."
"Emang suami ndak ngasih?" tanyaku penasaran.
Starla menggelengkan kepala. "Dia nggak pernah ngasih uang selain uang jajan anaknya."
Aku mengerutkan kening mendengar pernyataan yang keluar dari mulut Starla. Ini kenyataan yang mengejutkan bagiku. Apa benar Mas Andry tidak pernah memberikannya uang?

"Apa maksudnya Mas Andry selama ini tidak menafkahi kamu?" tanyaku lagi.
Starla menggelengkan kepalanya. "Semua kebutuhanku selalu dia penuhi," jawabnya sambil tersenyum.
"Oh ... Alhamdulillah kalau begitu." Aku menarik napas lega karena kekhawatiranku tidak terjadi. Aku tidak bisa membiarkan wanita sebaik dia tidak mendapatkan kebahagiaannya. Kalau sampai beneran Mas Andry tidak membuat hidup Starla bahagia, akulah orang pertama yang akan merebut Starla dari tangannya.
"Makasih ya pinjaman motornya. Nanti aku susulkan ke bengkel. Aku jemput adikku pulang sekolah dulu," pamit Starla membuyarkan lamunanku. Duh, aku habis mikirin apa sih barusan? Bisa-bisanya niat jahat itu bersarang di otakku.
Starla segera melajukan motorku menuju sekolah adiknya, sementara aku mendorongkan motor Starla sampai ke bengkel terdekat.
Aku mengipas-ngipas tubuhku sesampainya di bengkel. Keringat deras bercucuran dari sela-sela rambutku. Sepertinya aku kehausan dan bengkel ini tidak menjual minuman satu pun. Aku memilih diam dan menahan rada haus ketimbang harus mencari warung yang jaraknya lumayan jauh.
Hampir 30 menit aku berada di bengkel, Starla dan adiknya menyusul ke bengkel untuk mengembalikan motorku.
"Riz, makasih banyak ya bantuannya!" Starla tersenyum sembari menyerahkan kunci motor milikku.
"Iya, sama-sama." Aku meraih kunci tersebut dan berbicara dengan petugas bengkel kalau Starla adalah pemilik motor yang aku bawa.
"Anisa mau pulang sama Kakak?" Aku memberikan tawaran pada Anisa, adik Starla.
Anisa menggelengkan kepalanya.
"Gak papa Nisa pulang duluan bareng Mas Rizal. Mbak nunggu motornya selesaj dulu."
Anisa akhirnya menganggukkan kepala setelah melewati rayuan maut.
Akhirnya aku mengantar Anisa pulang terpebih dahulu.
"Anisa kelas berapa sekarang?" tanyaku basa-basi.
"Kelas 5 SD."
"Oh ... tinggalnya bareng Mbak Starla dan Mas Andry ya?"
"Iya."
"Mas Andry baik banget ya?" tanyaku kepo.
"Gak juga. Dia sering marahin Mbak Starla," jawab Anisa.
"What!? Seriusan? Marahin kenapa?"
"Nggak tau, Kak."
"Mereka sering berantem?" tanyaku lagi.
Anisa menganggukkan kepala. Aku mengantarkannya sampai rumah dan langsung berangkat ke tempat kerja.

Hmm... di luar terlihat sangat bahagia dan harmonis. Tapi tidak begitu si dalamnya.
Starla memang pandai sekali menyembunyikan  masalahnya. Sampai-sampai aku tidak tahu kalau sebenarnya hidupnya bermasalah dan tidak.bahagia.
Kalau begini terus, bisa-bisa aku beneran merebut Starla dari tangan Mas Andry. Ah, tapi aku tidak akan setega itu. Starla terlihat sangat bahagia dan mencintai Mas Andry. 
Aku menyukai wanita yang salah. Aku jatuh hati pada wanita yang sudah menjadi milik orang lain. Berhari-hari hati dan pikiranku disiksa oleh perasaan yang aku sendiri tidak mengerti. Sepertinya aku memang sudah gila. Bagaimana bisa aku senang sama istri orang sedangkan masih banyak wanita single dan baik di dunia ini.
Aku berusaha menepis jauh perasaanku. Semoga perasaan kagum ini hanya sementara karena aku belum juga menemukan wanita yang lebih baik dari Starla. Akan ada hari yang menggantikan perasaanku pada Starla atau justru semakin membuatku gila.

Bisakah aku tidak peduli dengan omongan orang? Bisakah aku tidak peduli cibiran orang ketika mereka tahu aku menjadi Senior alias senang istri orang? 
Mereka tidak akan pernah tahu bagaimana aku tersiksa dengan perasaan ini. Kalau boleh memilih, aku akan jatuh cinta pada wanita lain yang belum menjadi milik orang. Kenapa Tuhan menambatkan hatiku pada wanita yang jelas-jelas sudah menjadi istri orang? Ini benar-benar gila, aku sudah hampir gila karena perasaan ini.

Aku selalu berusaha menghindari pertemuan dengan Starla. Entah kenapa, Tuhan sepertinya menakdirkan kami untuk sering bertemu. Aku mencoba mencari pacar lain supaya aku bisa move on dari Starla. Tapi, tetap saja pikiranku tertuju pada wanita istimewa itu sekalipun aku sedang jalan bersama wanita lain.

Maaf ... jika suatu hari nanti aku merebut Starla dari tangan suaminya, atau aku memilih hidup sendiri seumur hidupku sampai aku temukan wanita sebaik Starla.





Ditulis oleh Rin Muna
Samboja, 5 Maret 2019



 ______________________


Dilarang keras menyalin,mengutip, memperbanyak dan menyebarluaskan konten ini tanpa mencantumkan link atau izin tertulis dari penulis.

©Copyright www.rinmuna.com



Saturday, March 2, 2019

Sedekah #2

Edward Eyer

Tulisan ini dibuat untuk Kompasiana.com

***

Hari ini, jam 3 siang aku pulang kerja seperti biasa. Dari rumah ke kantor jaraknya memang cukup dekat, hanya 3 kilometer. Aku mengendarai sepeda motorku seperti biasa.
Sesampainya di rumah, ada dua keponakanku yang kebetulan sedang bermain di rumah.
"Rin, ada Yanti sama Ahmad." Nenekku tiba-tiba muncul saat aku mau memasuki kamar.
"Iya ... sebentar." Aku sudah mengetahui mereka sedang bermain di teras rumah. Mereka hanya tertawa saja ketika aku menyapa. Sepertinya mereka sungkan denganku karena kami memang jarang bertemu. Aku lebih banyak menghabiskan waktu di tempat kerja atau di luar rumah.
Usai berganti pakaian, aku menghampiri dua keponakanku dan bermain bersama mereka. Tidak seperti biasanya mereka main ke rumah seperti ini. Bisa dihitung dalam setahun mereka main ke rumahku.
"Rin, kalau masih punya uang, kasih Yanti sama Ahmad ya!" pinta Nenek saat aku mengambil air minum di dapur.
Aku terdiam beberapa saat. Aku tahu banget berapa isi uang di dompetku. Hanya satu lembar uang hijau bertuliskan dua puluh ribu rupiah. Uang itu adalah uang terakhir dari gajiku bulan lalu. Rencananya mau aku pakai untuk membeli bensin besok sebelum berangkat ke tempat kerja. Aku benar-benar bingung, kalau uang itu aku berikan pada dua keponakanku, besok aku tidak bisa berangkat kerja karena tidak punya bensin. Kalau uang itu aku pakai buat beli bensin, kasihan dua keponakan yang jarang sekali main ke rumahku ini. Aku menghela napas perlahan sembari meminum segelas air agar bisa berpikir lebih jernih dan sehat.
"Mereka jarang main ke sini. Nggak kayak Sila sama Sinta, mereka sering main dan sering kamu kasih uang." Lagi-lagi Nenek membisikan kalimat itu di telingaku.
Aku menghela napas dan mengatakan, "Iya."

Bismillah ...
Insya Allah rezeki ada aja, kok.

Akhirnya aku masuk ke dalam kamar dan mengambil selembar uang dua puluh ribu rupiah yang menjadi penghuni terakhir dompetku. "Ya Allah ... aku ikhlas. Semoga saja mereka senang menerimanya," batinku dalam hati.
Aku bergegas menghampiri Yanti dan Ahmad yang sedang asyik bermain boneka di ruang tengah.
"Yan, ini buat kalian. Dibagi berdua ya!" Aku menyodorkan selembar uang kertas berwarna hijau ke arah Yanti."
"Nggak usah, Bi." Yanti berusaha menolaknya. Dia memang salah satu keponakanku yang terlihat sangat dewasa dan memiliki jiwa keprihatinan lebih. Sulit sekali jika di suruh makan di rumah. Mungkin saja kedua orang tuanya melarang kalau dia sering makan di rumah bibinya. Sehingga, jarang sekali ia mau makan di rumahku. Berbeda sekali dengan Sila dan Sinta. Mereka sudah terbiasa ke rumahku. Tidur dan makan di rumah, tak ada rasa sungkan atau malu sehingga aku juga sering memberi mereka uang jajan. Dua anak dari dua kakakku ini memang sangat terlihat perbedaannya. Yanti dan Ahmad adalah anak dari kakak pertamaku, sedangkan Sila dan Sinta adalah anak dari kakak keduaku. Aku sendiri anak yang nomor empat dan belum berumah tangga.

"Nggak papa, ini buat kalian. Kalian jarang main ke rumah Bibi. Bibi cuma bisa kasih uang jaajan sekali-sekali aja." Aku masih mengulurkan uang tersebut sampai akhirnya Yanti meraihnya sembari mengucapkan terima kasih.

Setengah jam kemudian, mereka pulang ke rumahnya karena hari sudah sore dan kebetulan Yanti harus pergi sekolah sore. Usai mereka pulang, aku merebahkan diri ke atas kasur. Memilih untuk tidur karena tubuhku lumayan lelah.

Belum sampai memejamkan mata, ponsel yang masih aku letakkan di dalam tas berdering. Aku meraihnya dan melihat nama yang tertera di layar ponsel.
"Halo ... Assalamu'alaikum ...!" Sapaku ketika mengangkat panggilan telepon.
"Wa'alaukumussalam ... kamu di mana, Rin?" Bu Said langsung melempar pertanyaan tanpa basa-basi.
"Di rumah, Bu. Kenapa?" tanyaku.
"Abis Maghrib bisa ke sini, kah? Ada proposal yang harus diketik," jelas Bu Said.
"Abis Maghrib ya, Bu? Insya Allah bisa, Bu."
"Ya udah. Ibu tunggu ya!"
"Iya."
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam." Panggilan kami pun berakhir.

Alhamdulillah ... ada kerjaan tambahan. Setidaknya bisa dapat uang bensin untuk berangkat kerja besok pagi. Usai pulang kerja, aku terkadang menjadi pekerja freelance dengan menjual jasa ketik. Kebetulan Bu Said punya usaha konter pulsa dan ATK yang kebetulan juga menerima jasa pengetikkan. Jadi, setiap kali ada orang yang membutuhkan jasa ketikan, Bu Said akan memanggilku untuk membantunya. Upahnya sendiri bervariatif tergantung pada pekerjaan yang diberikan untukku.

Usai sholat Magrib, aku berangkat menuju rumah Bu Said. Di sana Bu Said dan suaminya sudah menunggu kedatanganku.
"Tolong ketikkan proposal ini ya!" Pak Said menyodorkan lembaran kertas yang masih berupa tulisan tangan.
"Oke." Aku langsung bersiap di depan layar komputer dan mulai mengetik setiap huruf yang tertera di kertas itu.
Pak Said sibuk melayani pelanggan yang berkunjung, memfotokopi atau menjual barang yang ada di tempat tersebut. Sementara Bu Said sibuk di dapur membuat kudapan. Sesekali kami bercanda dan tertawa. Pak Said adalah salah satu mantan atasan di tempatku bekerja. Aku sudah lumayan akrab dengannya. Banyak hal yang seringkali kami bahas bersama.

Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 24.00 WITA. Pekerjaan pun sudah selesai aku kerjakan. Tinggal print out dan aku bisa pulang ke rumah.
Aku berdiri sembari meregangkan otot-ototku yang kaku karena duduk cukup lama.
"Pak, saya pulang ya!" pamitku pada Pak Said.
"Sudah kelar?" tanyanya sambil memainkan ponselnya.
"Sudah, Pak. Saya pulang ya, sudah malam juga ini." Aku melirik jam dinding yang sudah menunjukkan waktu jam dua belas malam.
"Berani, kah?" tanya Pak Said yang masih duduk di meja kerjanya.
"Insya Allah berani, Pak." Aku berusaha meyakinkan diriku kalau aku berani pulang seorang diri. Maklum saja, waktu sudah malam dan aku harus melewati jalanan sepi sepanjang 800 meter tanpa rumah satu pun.
"Ya sudah, hati-hati ya! Ini buat kamu." Pak Said menyodorkan empat lembar uang lima puluh ribuan.
"Banyak banget, Pak?" Aku tertegun menatap uang tersebut dan belum berani menerimanya. Bisa jadi dia hanya bercanda memberikan uang sebanyak itu.
"Iya, Alhamdulillah yang minta buatkan proposalnya ngasih honor lumayan." Pak Said tersenyum sambil menganggukkan kepala agar aku menerima uang darinya.
"Alhamdulillah ...." Aku meraih uang tersebut dan memasukkannya ke dalam tasku. "Terima kasih ya, Pak. Semoga makin banyak rejekinya! Jangan lupa panggil aku lagi kalau butuh jasa ngetik, hihihi." Aku tertawa geli saat mempromosikan diriku sendiri.
"Iya. Makasih ya sudah dibantuin," ucap Bu Said saat aku sudah berada di atas motor untuk pulang.
"Iya, sama-sama, Bu."Aku bergegas menstarter motorku, mengingat waktu sudah larut malam dan aku harus pulang ke rumah secepatnya.

Aku bersyukur, Allah tidak pernah salah memberikan rizkinya. Terkadang kita masih tidak percaya dengan kuasa Allah sebab tangan-Nya tak mampu kita lihat. Namun, banyak hal di sekitar kita yang semuanya telah diatur oleh Allah. Apa yang kita perbuat, itulah yang akan kita hasilkan. Padahal, aku hanya memberikan uang jajan dua puluh ribu rupiah pada keponakanku. Allah menggantinya dengan uang dua ratus ribu rupiah di saat yang tidak terduga. Benar, Allah akan mengganti sedekah kita menjadi sepuluh kali lipat sesuai dengan firman-Nya. Dan Allah menguji bagaimana keikhlasan hati kita ketika berada dalam titik sulit, kemudian Allah balas sesuai dengan apa yang kita perbuat ketika kita berada dalam kesulitan. Sebab Allah menciptakan kesulitan bukan untuk menjadikan kita ingkar, tapi untuk menjadikan kita manusia yang senantiasa bersyukur dan beribadah kepada Allah.

Dengan bersedekah, tidak akan mengurangi rezeki kita sedikitpun. Sedekah justru membuka pintu-pintu rezeki kita. Kalau dalam ilmu Matematika, satu dikurangi satu sama dengan nol. Di dalam ilmu Sedekah, satu dikurangi satu sama dengan dua. Banyak-banyaklah kita bersedekah semata-mata karena Allah.



Rin Muna
Samboja, 03 Februari 2019

Sedekah #1

SEDEKAH #1
Karya Rin Muna
Free-Photos
Tulisan ini dibuat untuk Kompasiana.com
Balikpapan, 2005

Ini tahun kedua aku memasuki sekolah menengah pertama. Ada perasaan lega ketika aku mendapat predikat ranking 1 setiap semesternya. Setiap kali penerimaan raport dan mendapat ranking 1, Bapak selalu membelikan aku bakso. Sedangkan anak-anak lain yang tidak mendapat peringkat di kelasnya tidak ditraktir makan bakso, boleh ikut makan asalkan bayar sendiri. 

Oh iya ... aku tinggal di sebuah Panti Asuhan karena kedua orang tuaku tidak sanggup menyekolahkanku hingga sekolah menengah. Kedua orang tuaku sudah tua dan hanya menjadi buruh tani. Aku sendiri yang memilih tinggal di Panti Asuhan agar tetap bersekolah dan tidak membebani kedua orang tuaku. Aku juga masih punya dua orang adik yang duduk di sekolah dasar dan butuh biaya untuk sekolah.

"Rin, temenin aku ke BC, yuk!" ajak Ika di hari Minggu pagi. Ika adalah salah satu teman sekolah yang juga tetangga yang tinggal di sebelah panti.
"Mau ngapain?" tanyaku.
"Mau jalan-jalan sama main game." Ika cengengesan. Dia memang senang sekali bermain di Play Zone. Dia bisa menghabiskan uang lima puluh atau seratus ribu dalam sekali main. Bagiku, itu uang yang cukup besar karena aku cuma punya uang jajan seratus ribu untuk enam bulan. Sedangkan Ika, bisa menghabiskannya dalam waktu sehari. Memang enak menjadi orang kaya, apa yang diinginkan selalu terpenuhi. Jauh berbeda denganku yang harus lebih sabar ketika ingin membeli sesuatu.

"Izin dulu sama Oom!" pintaku. Setiap kali ingin bepergian, kami harus mendapat izin dari pengurus panti. Kami bahkan tidak diperbolehkan keluar dari area panti walau pergi ke warung sekalipun tanpa izin.

"Iya. Aku izinin, tapi kamu temenin aku ya!" pinta Ika, ia berlalu pergi ke rumah pengurus sedangkan aku langsung masuk ke kamar dan melipat pakaianku yang masih berhambur di atas ranjang.

"Dibolehin sama Oom, Rin. Katanya dia juga sekalian mau turun." Ika tiba-tiba saja mengintip dari balik jendela kamar yang kacanya terbuka. Alhamdulillah ... kebetulan aku ada sedikit tabungan untuk membeli tas dan sepatu yang sudah rusak.

"Naik motor Oom kah?" tanyaku sembari membukakan pintu kamar untuk Ika.

"Naik angkot aja. Katanya Oom sama Tante juga mau naik angkot, kok."

"Ya udah, aku siap-siap dulu ya."

"Iya, cepet ya!" Ika berlalu pergi meninggalkan panti, pulang ke rumahnya untuk bersiap-siap.

Tak berapa lama, aku sudah siap. Aku tak punya banyak pakaian. Hanya mengenakan celana panjang berwarna hitam dan kaos berwarna hijau muda. Kerudung yang aku pakai juga kerudung yang biasa aku gunakan untuk sekolah. Hanya kerudung sekolahku saja yang pantas untuk dipakai jalan-jalan. Untukku, ini sudah sangat bagus. Aku langsung keluar dari kamar dan naik ke pintu gerbang yang berada lebih tinggi dari bangunan utama panti asuhan ini. Tempat ini memang berada di atas bukit, sehingga posisi pintu gerbang berada di paling atas, langsung bersisian dengan jalan.

"Udah siap?" Oom langsung menegurku, "mana Ika ini?" Ia melirik arloji di tangan kirinya.

"Kita jemput ke rumahnya aja, Oom. Kan sekalian lewatin rumahnya." Aku memberi saran agar kami tak terlalu lama menunggu Ika. Lagipula, rumah Ika juga akan kami lewati saat kami akan keluar dari gang ini.

"Ya sudah. Tunggu tantemu dulu!" pinta Oom. 

Beberapa menit kemudian, Tante keluar dari rumahnya. Kami berjalan beriringan menuju rumah Ika sebelum akhirnya kami menaiki angkot menuju Klandasan. Angkot kami berhenti di seberang bangunan Balikpapan Center. 

Kami harus menyeberang melalui JPO alias Jembatan Penyeberangan Orang untuk bisa ke BC dengan aman dan nyaman.

Di dekat jembatan itu, aku melihat seorang nenek tua sedang berjualan rujak di atas tikar. Mungkin ada sekitar 20 bungkus rujak yang masih belum terjual. Aku teringat pada nenekku yang selama ini sudah merawatku. Kenapa nenek itu harus berjualan, panas-panasan seperti ini? Apakah dia tidak punya anak dan cucu?

Karena merasa iba, akhirnya aku mendekati si Nenek.
"Mau ke mana?" Ika menarik tanganku ketika mau menaiki tangga JPO.
"Aku mau beli rujak. Bentar ya!" Aku bergegas menghampiri nenek yang sedang berjualan di tepi jalan.
"Nek, rujaknya berapa harganya?" tanyaku.
"Lima ribu, Nak," jawab nenek itu sembari memandangku dengan harapan aku akan membeli rujaknya. Mungkin saja, banyak yang bertanya tapi tidak membeli. Itulah sebabnya si nenek berharap kalau dagangannya bisa terjual.
"Saya beli seratus ribu, ya!" pintaku sambil merogoh uang seratus ribu yang aku selipkan di saku  samping celanaku.
"Alhamdulillah ...." Nenek itu langsung membungkus menggunakan kompek hitam yang lumayan besar. Tubuhku yang masih kecil agak kerepotan membawanya.
"Buat apa beli rujak sebanyak itu?" tanya Ika ketika aku menghampirinya.
"Buat dimakan, dong!" jawabku enteng.
"Emang habis segitu banyaknya?"
"Habis. Mau?" Aku menyodorkan satu mika rujak ke arah Ika. Ia meraihnya dan kami pun menaiki tangga JPO.
"Oom sama Tante mana?" tanyaku celingukan.
"Udah duluan."
"Ooh ...." Aku melanjutkan perjalanan. Di atas JPO kami bertemu dengan beberapa anak yang biasa ngamen di lampu merah. Tepat di bawah JPO ada simpang tiga lampu merah. Kemungkinan anak-anak ini ngamen di lampu merah.
"Dek," panggilku pada salah seorang anak berambut pirang karena terkena panas matahari, bukan karena memakai pewarna rambut. Wajahnya terlihat lelah sambil membawa sebuah alat musik kecil dari kayu dan kaleng-kaleng kecil.
"Apa, kak?" Anak kecil itu menghentikan langkahnya.
"Mau rujak?" tanyaku sambil tersenyum.
"Mau, kak." Ia menganggukkan kepalanya.
"Teman-teman kamu ada?" tanyaku lagi.
"Ada, Kak."
"Ya udah, ini buat kamu. Bagi sama teman-teman yang lain ya!" Aku menyerahkan kompek hitam berisi rujak yang aku beli di bawah tadi. 
"Serius, Kak? Makasih ya!" Anak itu meraih kompek yang aku berikan dan bergegas menghampiri teman-temannya untuk membagikan makanannya. Aku tersenyum bahagia melihat wajah anak itu, mereka berkali-kali mengucapkan terima kasih bergantian sampai aku memasuki bangunan BC.
"Kamu beli rujak sebanyak itu cuma untuk dibagi-bagi?" tanya Ika.
Aku menganggukkan kepalanya.
"Banyak duit kamu, ya!" celetuk Ika.
"Nggak harus nunggu banyak duit untuk membantu orang lain kan?"
"Iya, sih. Tapi ... kamu aja kan butuh. Buat apa dikasih-kasihkan orang lain." Ike terlihat kesal dengan sikapku.
"Nggak papa. Aku ikhlas, kok. Nanti Allah yang ganti," bisikku sambil tertawa.
"Aamiin."

Kami melangkahkan kaki menuju bangunan Mall BC. Ika langsung asyik bermain di Play Zone. Sementara aku hanya melihat dan menemaninya saja karena aku memang tidak punya uang untuk membeli koin. 
"Mau coba main? Aku kasih koinnya." Ika menatapku sambil tertawa bahagia.
Aku tersenyum sambil menggelengkan kepala. "Aku bukan kamu, Ka. Aku harus bisa mengatur uangku untuk hal-hal yang penting," batinku.

Usai bermain, kami pun berjalan menuju pasar Klandasan yang tak jauh dari bangunan BC. Untungnya Oom dan Tante tahu kalau kami bermain di Play Zone. Dengan mudahnya mereka bisa menemukan kami. Sebab, di angkot tadi, Oom sudah mewanti-wanti agar kami tidak pergi ke tempat lain selain Play Zone agar mudah ditemukan. Setelahnya, kami menuju Pasar Klandasan untuk membeli sesuatu. Oom akan membeli kain untuk jahitannya, sedangkan aku juga sudah mengungkapkan keinginanku untuk membeli tas dan sepatu. Aku sudah menabung selama beberapa bulan untuk bisa membeli tas dan sepatu yang baru.
"Rin, jadi mau beli sepatu?" tanya Oom ketika kami sampai di Pasar Klandasan.
Aku menggelengkan kepala.
"Kenapa?"
"Uangku nggak cukup, Oom. Besok aja," jawabku.
"Ya sudah. Oom cari kain dulu." Kami pun mengikuti langkah kaki Oom menuju toko kain.
"Kamu, sih. Pake acara beliin rujak sebanyak itu. Uangmu jadi nggak cukup kan buat beli sepatu." Ika berbisik ke telingaku.
"Nggak papa. Kayaknya sepatu aku masih tahan, kok. Nanti aku lem aja lagi." Aku tersenyum ke arahnya.

Setelah cukup lelah berputar-putar di pasar, kami akhirnya pulang lagi ke Panti Asuhan. Aku langsung mengambil handuk untuk mandi. Usai mandi, aku berbaring di ranjangku yang paling atas. Aku memang mendapat jatah di ranjang bagian atas, karena ranjang bagian bawah selalu ditempati oleh kakak kelas yang sudah duduk di bangku SMA.

Otakku mulai berpikir, bagaimana caranya aku mendapatkan uang lagi untuk membeli tas dan sepatu. Tasku jelas sudah robek di sana-sini, sepatu yang aku kenakan juga sudah bolong-bolong bagian bawahnya, habis terkikis oleh aspal jalanan karena setiap hari aku berjalan kaki menuju ke sekolah. Jarak panti dan sekolah lumayan jauh, hampir 1 kilometer. Itulah sebabnya kenapa penggunaan sepatu menjadi lebih boros dari yang semestinya. Aku juga hanya bisa membeli sepatu murahan seharga enam puluh ribu rupiah, Bagiku, sepatu harga segitu sudah mahal. Tapi tidak bagi mereka yang memiliki uang lebih.

"Rin, ada tamu." Mbak Wina membangunkanku. Aku langsung bangkit dan turun dari ranjangku. Kami bersiap-siap menyambut tamu yang datang. Seperti biasanya, tamu di sini adalah donatur yang sekedar berkunjung atau memberikan sumbangan pada anak-anak panti.

Kami semua berkumpul di aula. Seperti biasa, aku selalu duduk di paling depan karena tubuhku yang masih kecil. Ada pembawa acara, pembacaan ayat suci Al-Qur'an dan terjemahnya, juga sambutan-sambutan dari pihak panti dan donatur. Semuanya sudah biasa kami lakukan bahkan ketika donatur datang secara mendadak. Semua sudah bersiap dengan tugasnya masing-masing. Tak perlu lagi diperintah untuk mengisi acara. Kami sudah terbiasa dengan acara dadakan karena hampir setiap malam, usai shalat isya' kami selalu belajar mengisi acara. Setiap hari selalu ada giliran untuk kami. Giliran belajar ceramah, belajar mengaji, belajar MC dan sambutan. Semua jadwal itu sudah ditentukan oleh Ketua Santri yang akan diganti setiap satu tahun sekali. Hmm ... sepertinya, jadi Ketua Santri itu keren. Karena bisa mengatur anak-anak lain untuk tertib dalam berkegiatan.

Aku terlalu asyik dengan pikiranku sendiri sampai tidak menyadari kalau acara penyambutan tamu sudah selesai. Beberapa orang yang menjadi bagian rombongan tamu terlihat sibuk menurunkan bingkisan dari dalam mobil yang terparkir di halaman panti. Kemudian mereka menyerahkan bingkisan itu satu per satu kepada seluruh anak di panti asuhan.

"Alhamdulillah ... terima kasih, Ibu." Aku mencium tangan donatur yang memberikan bingkisan untukku. Bingkisan itu dibungkus menggunakan plastik transparan. Sehingga bisa terlihat dari luar apa saja yang ada di dalamnya. Satu buah tas sekolah, sepasang sepatu, satu buah mukena, sajadah dan alat tulis. Bingkisan yang diberikan sudah diatur nomor sepatunya sesuai dengan berapa anak yang memiliki nomor sepatu sama. Sebelumnya, tamu ini pasti sudah berkomunikasi terlebih dahulu dengan pengurus panti. Sehingga donasi yang mereka berikan sesuai dengan kebutuhan kami.
"Belajar yang rajin, jangan lupa sholat ya!" Ibu Donatur itu mengelus kepalaku dengan lembut sambil tersenyum bangga. Aku rasa dia bahagia karena bisa mambantu orang lain, sama seperti saat aku membantu nenek rujak yang berada di dekat JPO itu. Sederhana bukan? Sedekah itu membuat hidup kita bahagia. Bukan hanya yang bersedekah, tapi yang disedekahi juga ikut bahagia.

Terima kasih, Ya Allah ... Engkau Maha Pemberi Rizki, Engkau yang mengatur segala yang ada di muka bumi. Agamaku memang belum baik, akhlakku juga belum baik. Tapi aku percaya ... kebaikan akan selalu berbuah kebaikan. Sedekah yang kita keluarkan juga langsung diganti oleh Allah sesuai firman-Nya dalam Al-Qur'an. Aku ... cuma anak bau kencur yang belum paham soal akidah agama. Tapi aku percaya, Allah ada dan selalu mengawasi setiap perbuatan yang kita lakukan.

Ikhlas memberi karena Allah, maka Allah akan lipat gandakan rejeki kita. Jangan memberi karena ingin mendapatkan yang lebih banyak lagi, kalau niatnya sudah begitu, artinya kita tidak Lillahi Ta'ala dalam memberikan suatu kebahagiaan untuk orang lain.

Ya Allah ... jika suatu hari Engkau beri aku rejeki lebih. Jangan biarkan aku menjadi manusia yang kufur atas nikmat-nikmatMu Ya Allah. Jadikanlah aku manusia yang pandai bersyukur dan senantiasa mencintaiMu dalam keadaan apa pun.



Ditulis oleh Rin Muna
Samboja, 3 Februari 2019

Thursday, February 28, 2019

Kenangan Bersama Annisa Nur Adnin - Finalis Duta Baca Kaltim 2018

Kalau lihat foto ini, aku jadi teringat akhir Agustus tahun 2018 lalu. Aku mengikuti sebuah ajang kompetisi "Duta Baca Daerah" yang membuatku berpikir ulang, kenapa aku bisa mengikuti ajang gila ini? Sementara aku bukan lagi anak remaja yang berprestasi. Aku hanya lulusan SMA dan harus bersaing dengan anak kuliahan. Jelas saja membuat nyaliku menciut. Aku sendiri tidak yakin kenapa aku bisa mengikuti ajang ini.

Yang aku ingat, hari itu Bunda Harmi (Perpus Kukar) menyuruhku untuk mengikuti seleksi Duta Baca Kaltim 201i karena aku memenuhi kriteria yang dituliskan, yakni memiliki sebuah perpustakaan dan prestasi di bidang literasi. Akhirnya, dengan berbagai pertimbangan dan bertanya ke sana kemari, aku mengirimkan berkas-berkas yang diperlukan untuk kompetisi tersebut.

Setelah semuanya selesai dan dinyatakan aku lolos seleksi, maka aku pun berangkat menuju kota Samarinda untuk mengikuti masa karantina selama 3 hari. Panitia penyelenggara tidak menyiapkan penginapan dan konsumsi, sedih banget kan? Aku nggak tahu harus menginap di mana. Aku nggak punya banyam kenalan di Samarinda. Kemudian aku teringat tawaran Bapak Muhammad Samsun ( Wakil Ketua DPRD) untuk memberi kabar kalau aku masuk sebagai finalis. Beliau bersedia membantu semampunya. Karena kepepet, ya aku hubungi beliau dan bilang kalau aku nggal dikasih penginapan sama panitia penyelenggara. Semua peserta juga tidak ada yang diberi biaya transport, akomodasi dan penginapan. Sehingga harus mencari sendiri di mana kami akan tinggal selama masa karantina. Ada beberapa yang memang warga Samarinda atau ngekos di Samarinda. Sehingga, mereka lebih mudah untuk mengikuti kompetisi ini.

Aku diendorse sama Bapak Samsun yang kebetulan tetangga kampungku, diberikan menginap selama 2 malam di sebuah penginapan yang tepat berseberangan dengan Kantor Perpusda Kaltim. Yah, alhamdulillah ... setidaknya aku tidak tidur di mes ... mesjid. Karena aku tidak punha uang untuk menginap.

Karena jatah menginap hanya dua malam, maka malam ketiganya aku harus keluar dari penginapan tersebut dan mencari penginapan lainnya. Sore itu aku mengeluh dengan peserta lain. Aku berniat untuk pulang saja sore harinya dan kembali besok paginya ketika malam Grand Final dimulai.
Namun, beberapa teman finalis melarangku dan menawarkan untuk menginap di kosan mereka. Ada dua peserta yang menawarkan aku menginap bersama mereka. Yang pertama Cindy, si gadis cantik berhidung mancung itu. Yang kedua, Anisa Nur Adnin atau yang sering disapa Anin. Mereka sama-sama menawarkan agar aku menginap di kosan mereka saja.

Awalnya, aku memilih untuk ikut menginap di kosan Cindy. Tapi, karena ketika mau pulang, Cindy terlihat sibuk dengan finalis yang lainnya, aku memutuskan untum ikut ke kosan Anin saja. Aku bilang pada Cindy dan ia menyetujuinya.

Singkat cerita, akhirnya aku menginap di kosan Anin. Waktu pertama kali masuk ke kosan ini, aku disambut baik dengan pemilik kosan. Bahkan diminta untuk makan bersama di ruang makan mereka. Alhamdulillah ... setidaknya bisa menghemat uang makan sekali. Hehehe...

Selama dua malam aku menginap di kosan Anin, sesekali kami jalan-jalan ke luar mencari makanan atau barang-barang keperluan. Saat itu, aku mengenal Anin sebagai pribadi yang baik dan apa adanya. Asyik aja gitu jalan dan cerita-cerita sama dia.
Dia bilang, "Aku jalan sama Kak Rin, kayak jalan sama mamaku, deh."
Aku tersenyum dan bertanya, "kenapa emangnya?"
Dan dia bilang, aku seperti ibunya yang bayarin dan jajanin dia. Hihihi ... entah kenapa, asyik aja gitu. Aku tahu gimana kehidupan anak kos. Dia harus pandai mengatur uang bulananya. Jadi, setiap kali jalan, aku memang yang traktir dia.

Ada hal yang aku pikirkan tentang masa depan. Seandainya anakku suatu hari merasakan hidup sendiri di kosan dan jauh dari orang tua. Dia pasti merasakan hidup hemat. Bahkan untuk makan saja harus bisa irit. Itulah sebabnya, aku tidak pernah berpikir dua kali membantu orang lain selama aku masih bisa dan masih mampu.

Aku dan Anin yang baru mengenal, serasa sudah akrab dan mengenal lama. Itu karena pribadi Anin yang apa adanya, ramah dan nggak neko-neko. Ada hal yang sama antara aku dan Anin, yakni ... nggak begitu suka dengan ruangan yang terlalu rapi, hahaha ...

Bagiku, ruangan yang terlalu rapi itu membatasi setiap gerak-gerikku. Aku pastinya sungkan untuk melakukan pergerakan yang kira-kira akan membuat ruangan kotor atau berantakan. Tapi, ketika bersama Anin, aku bisa menjadi apa adanya aku. Tidak harus jaim dengannya walau dia jauh lebih muda dan lebih cantik dari aku. Aku sama sekali tidak minder ketika bersama dengannya.

Selain baik hati, ramah dan asyik, Anin juga salah satu mahasiswa Unmul yang berprestasi. Ia seringkali menjadi presenter di salah satu komunitas, juga terlibat dalam pers mahasiswa universitasnya.

Hai ... Adnin, semoga tulisan ini bisa mengabadikan cerita kita dan membuat kamu selalu ingat sama aku, begitu juga sebaliknya. Kalau kita pernah menghabiskan malam bersama dalam satu ruang yang sama.

Tuesday, February 26, 2019

[Cerpen] On Backstage #1

Beeki



“Minum?” Roby menyodorkan sebotol air mineral saat aku bersandar di pagar balkon gedung lantai 3. Usai menggelar pagelaran, aku memilih untuk menyendiri.
“Selamat ya! Pertunjukkannya sukses,” ucap Roby sembari menatap ke arah panggung yang mulai lengang.
Aku langsung menenggak setengah botol air mineral sebelum menanggapi ucapan Roby.
“Alhamdulillah ... aku lega semuanya berjalan dengan lancar. Aku deg-degan sepanjang acara.” Aku menghela napas. Melirik Roby yang berdiri di sebelahku.
“Capek ya? Kerja kerasmu nggak sia-sia kok, Rin.”
“Bukan aku, tapi kita semua.”
“Ya, aku tahu. Tapi kalau nggak ada kamu, entah apa jadinya acara kita hari ini.”
“Why? Aku nggak terlalu penting kali By, cuma main di belakang layar aja. Mereka yang hebat-hebat!” Aku tersenyum, ikut menatap panggung pertunjukkan yang baru saja usai.
“Penting, lah. Kalau nggak ada orang yang galak dan cerewet kayak kamu. Mungkin saja pertunjukkan kita kacau. Aku lihat sendiri kalau yang lain latihannya angin-anginan. Tunggu diteriaki dulu baru mereka mau serius. Belum lagi setiap masalah yang datang saat persiapan. Semuanya bisa kamu atasi karena sikapmu yang galak itu.” Roby terkekeh.
“Emang aku galak?” Aku menatap tajam ke arah Roby.
Roby menggelengkan kepalanya. “Enggak, sih. Kamu mah baik. Peduli dan tegas. Mereka aja yang suka bilang kamu galak dan aku juga terbawa, hehehe.”
“Perez!!” celetukku.
“Hahaha. Acara udah kelar, mukamu masih serius aja.”
Aku menatap ke arah Roby, mungkin benar wajahku masih sangat tegang.
“Kamu tahu kan, kalau sampai acara ini gagal, aku akan dicaci maki banyak orang.”
“Yes, I know. Tapi, sudah jelas kan acaramu sukses. Semua baik-baik saja.”
“Belum. Sampai benar-benar semuanya selesai. Besok masih harus beres-beres dan mengembalikan peralatan yang kita pinjam.”
Roby berdecak. “Sudahlah, yang besok, pikirkan besok saja!”
“Iya. Perasaanku belum tenang aja kalo belum kelar semuanya.”
“Kak Rin, dipanggil Pak Zoel.” Suara Shella mengagetkan kami.
Aku dan Roby saling pandang. Roby mengangkat kedua pundaknya. Dia sudah mengerti apa maksud dari ekspresi wajahku tanpa aku harus mengucapkan sesuatu.
Pak Zoel hanya akan memanggilku saat ada masalah. Dua bulan lalu beliau marah besar karena sebuah event besar berakhir dengan sangat memalukan. Terjadi miss antara pelaku seni dengan panitia. Aku merasa pertunjukkan kali ini sudah cukup memuaskan. Itu bagiku, tidak bagi Pak Zoel. Bisa saja dia merasa masih ada yang kurang.
Berat sekali kulangkahkan kaki menemui Pak Zoel di lantai bawah.
“Semangat ya, Rin. Kamu wanita hebat!” Roby menepuk pundakku, mengalirkan energi yang membuat hatiku lebih tegar menghadapi apa pun. Dia satu-satunya sahabat yang paling mengerti posisiku. Tidak pernah ikut menyalahkan saat pertunjukkan kacau.
Di balik layar memang seperti itu. Hasilnya bagus, yang di depan yang dipuji. Kalau jelek, kita yang dicaci maki.” ucap Roby beberapa bulan lalu saat panggung pertunjukkan ambruk diterpa hujan deras dan angin kencang.
Aku hampir gila menghadapi cacian, semua menyalahkan aku karena dianggap aku lalai. Padahal, aku sudah berusaha semaksimal mungkin agar panggung tetap aman dari guncangan cuaca ekstrem. Tapi masih saja panggung yang berbahan Rigging itu masih ambruk sebagian. Bersyukurnya tidak ada korban luka akibat kejadian itu.
Aku menepis semua pikiran negatif itu sesampainya di dalam ruangan, tempat Pak Zoel menungguku. Beberapa panitia yang lain sedang menikmati makan malam usai memastikan semua sound sudah masuk ke dalam ruangan agar mereka tidak perlu tidur di atas panggung, entah makan apa jam segini? Ini sudah tengah malam, bukan malam lagi.
“Kamu ngapain di atas!?” sentak Pak Zoel dengan suara yang membahana di seluruh ruangan.
Aku menarik napas, menghadapi beliau membuatku bingung. Entah dia marah sungguhan atau hanya acting. Kalau soal acting, memang dia senior dalam dunia perfilman. Sedangkan aku, tidak bisa acting sama sekali.
“Kenapa diam!?” Pak Zoel menggebrak meja karena aku tak kunjung menjawab pertanyaannya.
“Anu ... Pak,”
“Anu-Anu apa!? Pacaran terus kau sama Roby, hah!?”
Mataku terbelalak mendengar ucapan dari Pak Zoel. Sejak kapan ada isu aku dan Roby pacaran? Ini kerjaan siapa pula?
Sementara Roby masuk ke dalam ruangan dengan santainya sambil cengengesan. Meraih satu kotak nasi kemudian bergabung dengan yang lain. Aku melirik sinis ke arahnya. “Awas kamu ya!” batinku. Aku yakin ini pasti ada hubungannya dengan Roby.
“Kenapa diam!? Kamu nggak menghargai saya lagi ngomong!”
“B ... bukan gitu, Pak. Saya masih mikir ....” Aku ingin memaki diriku sendiri. Kenapa kalimat ini yang keluar dari mulutku? Kalau udah gugup, nggak karuan menghadapi Pak Zoel.
“Mikir-mikir! Masih bisa kamu mikir!? Kamu nggak mikir kalau lagi ada masalah!?”
“Masalah apa?” Pikiranku melayang-layang, mencari sudut-sudut bayangan selama pertunjukkan. Aku merasa semuanya baik-baik saja. Entah apa yang dilihat oleh Pak Zoel sehingga ia terlihat marah. Sementara timku semuanya baik-baik saja. Tidak ada laporan kendala selama pertunjukkan berlangsung.
“Kamu koordinator acara dan nggak tau masalahnya apa? Ndak becus!”
Aku menarik napas berkali-kali. Mencoba menenangkan perasaanku. “Maaf, Pak. Kali ini saya bener-bener nggak tau masalahnya apa.”
Pak Zoel langsung berceramah panjang lebar kali luas kali tinggi. Aku hanya mendengarkan sambil menggaruk keningku. Sudah menjadi hal biasa seperti ini. Hatiku mulai kebal menghadapi kemarahannya.
“Kamu tahu tanggung jawabku, kan?” tanya Pak Zoel kemudian.
Aku menganggukkan kepala.
“Jadi, udah tahu masalahnya apa?”
Aku menggelengkan kepala. Asli, aku nggak bener-bener nyimak Pak Zoel ngomong apa dari tadi.
“Masih nggak tau!?” Pak Zoel terlihat naik pitam.
Aku menunduk, menggelengkan kepala. Kali ini aku hanya bisa menatap kakiku sendiri, tak lagi menatap wajah Pak Zoel yang sepertinya semakin emosi.
“Kamu nggak makan dari pagi sampai sekarang, apa kamu pikir itu bukan masalah!?” Pak Zoel mendelik ke arahku.
Aku mengangkat kepalaku, menatap wajahnya yang mendelik sambil tersenyum. Aku terkekeh geli.
“Astaga ...!” Hanya itu kata yang bisa keluar dari mulutku. Sementara teman-teman yang lain tertawa terbahak-bahak karena berhasil mengerjaiku.
“Makan dulu! Kita masih ada agenda pertunjukkan selanjutnya. Saya nggak mau kamu jatuh sakit. Pertunjukkan malam ini, sangat memuaskan dan selanjutnya saya ingin lebih baik lagi.” Pak Zoel kini merendahkan nada bicaranya.
“Baik, Pak.” Aku melangkahkan kakiku menghampiri teman-teman yang sedang berkumpul di pojok ruangan sembari menikmati makanan.
“Pak Zoel kok tahu aku belum makan dari tadi pagi?” tanyaku pada Shella.
Yang ditanya hanya meringis, menunjukkan gigi-giginya yang tersusun rapi.
“Kamu ya?” selidikku.
“Ya, kita khawatir kali kalau kamu nggak makan dari pagi. Udah gitu sibuk lari sana, lari sini. Sebagai seksi konsumsi pasti aku memperhatikan sejak pagi kamu belum makan apa-apa. Hanya minta air mineral saja.”
“Iya ... tapi nggak usah ngadu ke Pak Zoel juga kali. Kamu nggak tahu, jantungku hampir copot dibentak-bentak. Dah gitu, sialnya aku nggak tahu kalau dia cuma acting,” celetukku.
Aku akhirnya membuka nasi kotak yang sudah aku pegang. Tidak ada semangat untuk menikmatinya, terlebih ini sudah tengah malam.
Aku sedikit lega karena akhirnya pertunjukkan bisa berlangsung dengan baik. Semua pasti lelah dan ingin segera beristirahat. Karena esok sudah ada pekerjaan lain, membereskan area panggung juga membersihkannya. Usai malam pertunjukkan berlangsung, pengunjung selalu meninggalkan sampah-sampah berserakan. Panitia harus bekerja ekstra untuk mengangkut sampah-sampah yang membanjiri lapangan acara. Andai saja penonton bisa lebih bijak dalam mengelola sampah dari makanan yang mereka makan. Misalnya, membuangnya di tempat sampah yang sudah disediakan atau menyiapkan kantong sendiri sampai menemukan tempat sampah jika memang tempat sampahnya sulit untuk dijangkau. Pastilah pekerjaan kami akan terasa lebih ringan.
Sampah-sampah yang ditinggalkan saat event menjadi bagian dari tanggung jawab kami yang bekerja di belakang panggung. Memanglah sangat lelah karena harus menyiapkan dan membereskan banyak hal. Tapi, aku sudah terlanjur masuk ke dalamnya dan harus menikmatinya. Awalnya memang dipaksa dan terpaksa. Tapi lama-lama jadi terbiasa dan aku menikmatinya dengan bahagia.

Tulisan ini telah saya posting untuk Kompasiana.

[Fabel] Damai Itu Indah

ezeepoints.id

“Ggrrh...!” Kaka menyeringai ke arah Tian.
Tian telah siap menerima serangan dari Kaka, Si Badak yang akan menyerang dengan culanya. Sementara Tian sudah mengasah tanduknya tajam.
“Stop! Ada apa ini?” Bhin Bhin tiba-tiba datang sembari mematuki tubuh Tian.
“Aduh! Kenapa kamu mematuki tubuhku?” Tian Si Rusa jantan berteriak kesakitan.
“Jika tidak aku lakukan, tandukmu akan melukai Kaka.” Bhin Bhin bertengger di atas punggung Tian.
“Kenapa tidak mematuki tubuh Kaka? Bisa saja culanya melukaiku. Kenapa kamu membela Kaka?” Tian memutar kepalanya. Mencoba meraih tubuh Bhin-Bhin, namun ia hanya mampu berputar-putar mengelilingi tubuhnya sendiri.
“Aku tidak membela Kaka. Hanya saja kulit Kaka terlalu keras untukku. Paruhku yang cantik ini bisa rusak.” Bhin Bhin mengelus paruh dengan sayap kanannya.
Kaka terkekeh menyaksikan perdebatan antara Tian Si Rusa dan Bhin Bhin Si Burung Cendrawasih yang elok.
“Kamu mengolokku lagi?” Tian menyeruduk hidung Kaka dengan ujung tanduknya.
“Sebenarnya ada apa dengan kalian?” Bhin Bhin mencoba menengahi.
“Kaka telah mencuri makananku!”
“Aku tidak mencuri. Aku menemukannya di bawah pohon.” Suara besar Kaka terdengar khas.
“Aku sedang mengumpulkannya. Dan kamu mencurinya!” teriak Tian.
“Tidak! Aku menemukannya.”
“Kamu mencurinya!”
“Aku menemukannya.”
Tian dan Kaka sama-sama keukeuh dengan pendapatnya.
“Sudahlah! Jangan berkelahi! Bagaimana jika kalian berlomba saja?”
“Berlomba? Maksudmu apa Bhin Bhin?” Tian menatap Bhin Bhin.
“Daripada kalian berkelahi, kalian tidak akan mendapatkan apa-apa selain luka dan cedera. Lebih baik kalian berlomba. Siapa yang kalah harus mencarikan makanan untuk yang menang. Dan kalian harus berdamai!” Bhin Bhin mengepakkan sayapnya. Terbang dan bertengger di pucuk pohon yang tinggi.
“Baiklah. Lomba apa Bhin Bhin?” tanya Tian dan Kaka bersamaan.
“Di seberang sana ada pohon emas. Kalian harus bisa memetik buah emas. Kalian harus melewati tiga gunung tinggi, sungai dan hutan. Kalian harus bisa bekerjasama untuk mendapatkannya. Aku akan mengawasi kalian dari udara.”
“Baiklah.” Tian dan Kaka bersiap untuk menerjang hutan, sungai dan gunung demi mendapat buah emas.
Setelah melewati satu gunung tertinggi. Tian dan Kaka harus melewati sungai yang terbentang luas.
“Bagaimana menyebrangi sungai sebesar ini?” Tian dan Kaka berputar-putar mencari ide.
Sementara Bhin Bhin mengamati dari atas pepohonan.
“Bagaimana jika minta bantuan Bhin Bhin untuk membawa kita terbang?” bisik Kaka.
“Tidak mungkin! Bhin Bhin tidak akan sanggup membawa kita berdua terbang bersamanya. Membawa tandukku saja dia tidak akan kuat.” Tian berputar-putar mengelilingi Kaka.
“Ahaa... bagaimana jika menggunakan batang kayu untuk menyeberang?” Tian mendapati batang kayu teronggok di dekat mereka.
“Bagaimana caranya?” tanya Kaka.
“Kekuatanmu tidak diragukan lagi Badak. Ayo segera angkat batang kayu besar itu ke sungai! Kita akan menggunakannya untuk menyeberang!” pinta Tian. Kaka bergegas menunjukkan kekuatannya.
Mereka berhasil menyeberang sungai dengan susah payah. Kembali berjalan menyusuri hutan dan gunung.
“Ayo cepat!” Tian meneriaki Kaka yang mulai tertinggal jauh.
“Aku tidak bisa berlari secepat dirimu!” Kaka melangkahkan kakinya perlahan. Langkahnya mulai berat.
Tian berlutut di tanah. Menunggu Kaka menaiki gunung secara perlahan.
“Kenapa kamu berhenti?” tanya Bhin Bhin dari balik dedaunan.
“Aku akan menunggunya.”
“Bukankah lebih baik jika kamu sampai duluan? Kamu memiliki kecepatan!”
Tian menggeleng. “Kaka sudah membantuku menyeberangi sungai. Aku memiliki kecepatan, tapi aku tak punya kekuatan untuk menggendong Kaka.”
“Aku senang kamu mulai menyadarinya. Teman harus saling bekerja sama.” Bhin Bhin kembali terbang dari ranting ke ranting.
Tian dan Kaka mulai menikmati perjalanan mereka. Bercengkerama sembari bernyanyi hingga lupa jika mereka sedang bersaing atau berkelahi.
Tak terasa, Tian dan Kaka sudah sampai di pohon emas yang mereka tuju. Pohonnya sangat tinggi dan besar. Buahnya berkilauan.
“Bagaimana cara mengambilnya? Bukankah di antara kita tidak ada yang bisa memanjat pohon?” Kaka terduduk lemas.
Tian berputar-putar mengelilingi tubuh Kaka sembari mencari ide.
“Ayo jangan menyerah! Burung yang tidak bisa berenang saja bisa menangkap ikan di lautan!” teriak Bhin Bhin sembari berputar-putar di atas pohon emas.
“Bagaimana caranya? Kami tidak bisa memanjat!” balas Tian berteriak.
“Cicak tidak punya sayap dan tidak bisa terbang. Tapi dia bisa menangkap nyamuk. Ayo pikirkan caranya!” Bhin Bhin masih menyemangati Tian dan Kaka.
Tian dan Kaka berdiam diri. Berpikir cukup lama di bawah pohon emas. Tiupan angin kencang berhasil menjatuhkan satu buah emas dari pohonnya. Buahnya menggelundung ke bawah gunung dan tak sempat mereka kejar.
“Apa kita harus menunggu buahnya jatuh lagi?” tanya Kaka.
“Baik. Ayo kita tunggu!”
Berhari-hari mereka mengharapkan angin kencang datang lagi. Namun yang diharapkan tak kunjung datang.
“Bagaimana jika aku goyangkan saja pohon ini? Tapi, buahnya pasti akan menggelundung lagi ke bawah gunung.” Kaka menatap pohon emas yang berada di atas gunung.
“Aha..! Benar sekali! Ayo kamu goyangkan saja! Kamu memiliki kekuatan yang besar. Pasti bisa menjatuhkan buah emas ini. Sedang aku memiliki kecepatan dalam berlari. Aku akan bersiap mengejar buah yang jatuh.” Tian bersemangat.
Kaka mengangguk. Mereka bersiap untuk melakukan aksinya. Kaka menyeruduk pohon emas dan berhasil menjatuhkan buah emas yang sudah matang. Tian berlari secepat mungkin untuk mengejar buah-buah yang jatuh.
Tian mengumpulkan buah emas di bawah pohon. “Akhirnya kita berhasil mendapatkannya.” Tian dan Kaka saling berpelukan.
Bhin Bhin menghampiri mereka. “Lebih indah jika kalian bekerja sama bukan? Damai itu indah. Jangan berkelahi hanya karena makanan! Rakus hanya membuatmu kenyang sebentar saja. Sedangkan perdamaian dan persahabatan akan membuatmu bahagia selamanya.”
Tian dan Kaka menatap Bhin Bhin bersamaan, “Terima kasih Bhin Bhin sudah mengingatkan kami!”
Bhin Bhin mengerdipkan sebelah matanya. Terbang meninggalkan Tian dan Kaka yang akhirnya hidup damai berdampingan hingga anak cucu mereka.

[Cerpen] - Bije Ogah Love



Source: pixabay.com/pixel2013


“Sayang, kamu janji bakalan setia sama aku, kan?” Ogah menatap Bije, pria yang tak sengaja menjadi kekasihnya. Bije tersesat saat melakukan pendakian ke gunung bersama komunitasnya. Dia sudah berjanji, siapa saja yang bisa menolongnya akan dijadikan kekasih. Datanglah si Ogah, gadis kerdil yang menunjukkan jalan utama ke perkampungan. Namun, Ogah tak langsung mengantarnya. Ia masih menahan Bije untuk menghabiskan waktu bersamanya.
Bije mengangguk-anggukan kepalanya.
“Janji ya!”
“Iya.”
“Iya apa?”
“Iya, janji!”
“Janji apa?”
“Mmmm ....”
“Kok, mmm ...? Bilang dong, janjinya apa?”
“Janji bakalan setia.”
“Setia sama siapa?”
“Sama pacar aku, lah.”
“Pacar yang mana!?”
“Duh! Aku pergi dulu ya!” pamit Bije.
“Tuh, kan ... katanya mau setia. Tapi kok pergi, sih!?”
“Aku mau pulang, Ogah.”
“Jangan, Bang!” Ogah memeluk kaki Bije sangat erat.
“Astaga ...! Aku sudah dua hari dua malam di pondok ini bersamamu. Tidak kau beri makan. Lebih baik aku pulang ke rumah. Ummi pasti sudah masak banyak makanan lezat untukku.” Bije akhirnya lelah selama dua hari hanya mendengar celotehan Ogah.
“Bang Bije lapar?” tanya Ogah polos.
“Iyaaaaa ...! Kamu pikir dua hari tidak makan, aku tidak kelaparan? Dua jam saja aku sudah lapar, Ogah!” Bije mulai geram.
“Tapi, kan Ogah sudah bakarin ubi buat Bang Bije.” Ogah menatap sisa pembakaran yang ada di sisi pondok kecil tempat mereka singgah.
Bije menepuk dahinya sendiri. “Ogah sayang ... makan ubi aja nggak buat Bang Bije kenyang. Bang Bije mau balik ke kota dulu ya. Nanti, Bang Bije bawakan makanan yang enak-enak dari sana.”
“Serius, Bang!?” wajah Ogah sumringah.
Bije menganggukan kepalanya. Bergegas pergi meninggalkan Ogah yang merasa bahagia karena Bije akan kembali ke hutan untuk membawakannya banyak makanan enak.
“Bije, kamu ke mana aja?” tanya Said, salah satu temannya yang ikut dalam rombongan pendaki.
“Aku tersesat. Untungnya ada yang nolongin aku,” jawab Bije dengan napas terengah-engah.
“Siapa? Mana orangnya? Kami sudah dua hari khawatir, mencarimu ke mana-mana tidak ketemu. Untungnya kamu sudah kembali ke posko.” Said menatap wajah Bije yang pucat. “Temen-temen, Bije udah ketemu, nih.”
Beberapa teman Bije langsung menghampiri dan merangkul Bije. “Kamu ke mana aja?”
“Aku dua hari dua malam duduk di pondok itu sama cewek. Dia nggak mau aku tinggalin. Susah banget mau pergi sebentar aja.” Bije menunjuk pondok kecil di kaki gunung yang bisa dilihat dengan mudah dari posko, kemudian menenggak air mineral yang diberikan salah seorang temannya.
“Cewek? Siapa?” tanya Said penasaran.
Bije menganggukan kepalanya. “Ada, cewek di hutan. Badannya kecil, kulitnya hitam manis, rambutnya sebahu. Cantik sih, tapi­—”
“Serius!? Di pondok yang itu?” Said memotong pembicaraan Bije.
“Iya, kenapa?”
“Je, selama dua hari kita mondar-mandir nyari kamu. Udaah ratusan kali pondok itu kami singgahi dan nggak ada siapa-siapa,” tutur Said, diiyakan oleh teman yang lain.
Bije terkejut mendengar pernyataan Said. “Serius? Aku di sana dan nggak lihat kalian sama sekali.”
“Kita juga di sana dan nggak lihat kamu sama sekali.”
“Astagfirullah ... aku pacaran sama hantu!?” teriak Bije.
“Pacaran ...!?” teman-teman Bije menyahut serempak.
 Semua saling pandang. Kemudian secepatnya meninggalkan posko. Mereka segera kembali ke kota. Meninggalkan tanda tanya di benak Bije. Bagaimana jika hantu itu menagih janji setianya?


Ditulis di tengah kejenuhan
-Rin Muna-

Kalimantan Timur, 9 Oktober 2018



#DWPF
Clue : Setia/Pergi

Saturday, February 23, 2019

Apa Kata Mereka Tentang Rin Muna?


Eh, hari ini aku tiba-tiba iseng berselancar di Beranda Facebook. Trus, ada banyak postingan seru tentang Challenge-Challenge gitu... Akhirnya, aku ikutin deh buat seru-seruan. Aku pasang status (Eh!? Sekarang namanya udah ganti, bukan Status lagi, tapi Postingan). Hmm ... Oke lah, aku juga akhirnya buat postingan di Facebook, ngikutin challenge-challenge itu. Ingat ya! Challenge-Challenge bacanya celens-celens, bukan kaleng-kaleng! 😂

Dan ini adalah postingan aku di akun Facebook pribadi aku!

Kira-kira ... apa aja ya komentar temen-temen tentang aku? Aku juga penasaran diriku sebenernya seperti apa.  😂

Dan ini ... komentar mereka tentang aku:


Kata Ardiyana Yanna (Tetangga), aku ini kreatif. Wait! Masih mikir kenapa dibilang kreatif? Apa karena aku kere aktif? 😂

Kata Hendy Lazuardy Hendrawan (Penulis/Blogger), yang terlintas dipikirannya Duta Baca. Oke lah ya ... aku emang salah satu Duta Baca. Tapi, aku kan udah kenal lebih dulu sama dia sebelum aku jadi Duta Baca. Kenapa yang diingatnya Duta Baca? Tak apa lah. Setidaknya itu bagian dari kampanye minat baca. Semoga bisa mengemban amanah dengan baik.

Kata Ummy Masita (Adik kelas aku waktu SMP), sama dengan yang dipikirkan oleh Yanna. Hmm ... kalian jodoh sepertinya... 😂
Kata Dalle Doel (Pakde di Plukme), aku ini cantik. Waaah ... langsung gede kepala kalo dibilang cantik. Sampe mau jatuh-jatuh... Oke lah, semua wanita di dunia ini cantik kok. Allah menciptakannya jadi cantik dan harus disyukuri. Nggak boleh dihina, karena menghina ciptaan Allah sama dengan menghina penciptanya.
Kata Asih Nurdiati (Adik Kandung Aku), yang ada dipikirannya adalah Mamanya Lifia. Ini sih bener banget! Kenapa dia nggak terpikir kalau aku ini kakaknya? Apa dia sudah lupa sama kakaknya sendiri? 😂 Aku rasa enggak sih ya. Dia pasti lebih ingat sama Lifia karena dia sayang banget sama keponakannya yang sering dia buat nangis setiap kali dia pulang ke rumah.
Kata Saifur Rohman (Tetangga), yang ada dipikirannya adalah Mbah Har. Kamu tahu nggak Mbah Har itu siapa? Mbah Har itu bapak aku. Yah ... pasti dia ingatnya sama Mbah Har, orang Mbah Har sesepuhnya Kuda Lumping Temanggung Turonggo Lestari Budoyo. Yang nggak pernah absen setiap ada pementasan kesenian Jawa. Bapakku emang demen sama seni musik dan suara. Tapi, entah kenapa anak-anaknya nggak ada yang ketularan satu pun. Aku ... kalau nyanyi selalu nggak ngerti nada. Suara sama musik kejar-kejaran kayak film india. Ah ... kok jadi curhat? 😂

Kata Prayanti Kalvin (Duta Baca Kaltim 2018), TERBAIK.
Duh, tulisannya dikapitalin semua pula, ditambah tanda jempol. Padahal, dia mah yang terbaik. Dia salah satu wanita yang berprestasi dan aktif menginspirasi, menggalakan minat baca di daerah asalnya di Bontang. Aku sering kali liat dia wawancara di radio atau tv Bontang. Sedangkan aku? Aku mah apa atuh? Cuma remahan roti yang udah melempem. 😂
Kata Dede Mulyadi (Tetangga), ada 5 poin. Banyak amat ya? Hahaha ... ini peres deh kayaknya, bawa-bawa nama suami segala. 😂
Kata Muhammad Hendri Syamsudin (Teman Facebook), Cerdas. Kenapa dia bilang aku cerdas ya? Cerdasnya dari mana? Mungkin, karena dia belum pernah ketemu sama aku. Makanya dia bilang aku cerdas. Padahal, aslinya aku tulalit dan o'on banget. Sering nggak nyambung kalo diajak ngomong. Yang kayak gini kok dibilang cerdas, wkwkwkwk.
Kata Anna Aprillia (Teman Mainku), Cantik, kreatid dan pintar segala bidang dll. Wuuuaaa .... Gubrak!!! Ini nyeremin banget yak!? Pintar segala bidang, ini perlu uji kompetensi sepertinya. Karena sebenernya aku nggak paham apa-apa. Cuma demen bergerak doang. 😂
Kata Yenniwati Halim (Perpusda Kaltim), salah satu finalis Duta Baca Kaltim tahun 2018. 😂 Emang iya sih. Karena pertama kali kenal, emang sebagai finalis Duta Baca Kaltim 2018.
Kata Humaira Yuwono (Mantan majikan aku), pinter. Hmm ... ini masih perlu diuji kepinterannya. Soalnya, aku ngerasa nggak pinter sama sekali.

Kata Andria Junius (Duta Baca Kaltim 2018), super woman, multy talented. Hmm ... super woman itu sebenarnya karena kepepet loh, Jo. Karena aku harus ngerjain semuanya sendiri. Akhirnya, aku jadi super woman yang sebenernya nggak super. 😂
Kata Marta Sari (Tetangga), kreatif. Ini komen yang keberapa ya yang bilang aku kreatif? Wkwkwk... apa aku harus ikut ujian seberapa tingkat kreatifitasku? Aku ngerasa biasa-biasa aja, kok dibilang kreatif? 😂
Kata Tri Wulan (Temen Esde), kreatif, cantik, baik dan ceriwis. Wait! Aku gagal fokus sama kata ceriwis. 😂 Aku emang ceriwisnya minta ampun kalau ketemu sama yang ceriwis juga. Kalau ketemunya sama yang pendiam, ya diam juga. 😂 Itu artinya, kamu juga ceriwis kayak aku, Tri.
Kata Setiawan (Temen Esempe), seperti makanan. Asli ... aku dibikin mikir keras sama komentarnya orang yang satu ini. Seperti makanan? (Mikir sambil jalan mondar-mandir). Sampe sekarang masih gagal paham. Apa karena foto profil aku yang katanya mengingatkan sama Rumah Makan? 😂
Kata Abqar N Bagas (Bu Sidah, Guru RA & Tetangga), wanita sejuta ide. Walah ... ini hiperbola banget yak!? Sejuta!? 😂 Seratus aja nggak nyampe, apalagi sejuta. 😂
Kata Libyah (Temen dari Bayi), Wanita super strong, kreatif, cantik, multitalented. Duh ... banyak yang ngomong gini, bikin aku makin keki deh. Apa iya aku sampe segitunya. Perasaan, aku cuma duduk diam di rumah sebagai IRT dan nggak ngapa-ngapain. 😂



Kata Rona Meronastorestyle (Temen Esem A), Mandiri. Hmm... dia emang mengenalku sebagai perempuan mandiri sejak kami sekelas bareng. Aku yang tinggalnya di panti asuhan dan nggak pernah punya uang jajan karena kudu hemat-hemat banget. Cuma dikasih uang jajan 100rb untuk 6 bulan, makanya, aku harus mandiri. Biar nggak nyusahin ortu mulu. Oh ya, btw ... makasiih ya waktu Esem A, kamu sering traktir aku ke kantin. Hehehe ...
Kata Alista Rias (Tetangga), Smart. Ehem! Apa iya? Aku merasa otakku masih kosong dan nggak tau apa-apa. Sampe sekarang aja masih belajar mulu, ngais-ngais ilmu.
Kata Bunda Alya (Guru SMA 2 Balikpapan), Unyu-unyu dan ngangenin. Ah ,,, komen ibu ini bikin aku tersipu. Ternyata ... aku ngangenin ya? Sama ... aku juga kangen ketawa dan candaan bareng Ibu Norhayati Wahab. Ini guru yang keren dan asyik banget! Kalau aku masih Esem A, pasti aku sering banget datengin ibu ke ruang guru buat bercandaan. Biar lupa ngasih nilai ulangan, hihihi.


Oh ya... pas aku lagi nulis ini. Ternyata ada lagi komentar tambahan dari Amy Swan (Teman kerja aku dulu). Ini nih, katanya dia : Sahabat. Teman Kerja. Mama Lifia. Ibu yang hebat . Wanita yang kreatif. Pengkritik paling jujur. Kalau udah asik ngomong kadang lupa berhenti. ðŸ˜œ❤️
Datang ke status Challenge aku jg ya!

Ternyata, dia juga bikin challenge dan bakal aku masukin. ðŸ˜‚ Kalimat terakhirnya emang bener sih. Aku kalo udah ketemu orang, udah asyik ngobrol ngalor-ngidul, bisa lupa berhenti. Tau-tau udah magrib aja gitu. 😂 Ini emang parah dan sering bikin pasangan aku kesel. Makanya, kalo ke mana-mana, dia lebih baik nggak ikut daripada bete nungguin. 😂 Thanks Amy buat komentarnya. Pokoknya, kamu paling The Best deh... Kerja baik-baik di sana ya! Jangan lupa sholat dan selalu jujur dalam bekerja. Insya Allah penuh berkah...



Nah ... itu dia komentar temen-temen tentang aku. Kalian bisa simpulin sendiri deh gimana aku ini. Yang kadang-kadang suka berubah jadi peran orang lain. Yang paling tahu dan paling ngerti adalah orang-orang yang ada di sekitar aku. Karena aku tidak akan pernah bisa menilai diri aku sendiri. Walau ada beberapa orang yang tidak suka. Tapi, masih banyak kok yang sayang sama aku apa adanya. Aku emang sedikit keras kalo bicara, tapi doyan ngakak juga. So, bisa berubah-ubah kayak bunglon sesuai situasi dan kondisi.

Tulisan ini berupa curahan hati dan keseharian aku. Semoga nggak bikin kamu yang baca tulisan ini jadi eneg ya! 
Aku bukan mau menyombongkan diri, aku cuma mau mengabadikan momen ini. Siapa tahu, 50 tahun lagi aku terserang alzheimer akut dan tulisan ini akan jadi pengingat buat aku dan temen-temen di sekitar aku.


Maaf, kalau aku nggak nulis sesuai EBI dan PUEBI. Soalnya, lagi pengen santai aja. Hehehe ...


Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas