Showing posts with label Cerpen. Show all posts
Showing posts with label Cerpen. Show all posts

Friday, February 22, 2019

Ngintip Jadwal Timnas U22 - Piala AFF U22 2019

Source: batam.tribunews.com
Hari ini waktuku sedikit luang karena anakku tidak terlalu rewel dan kegiatanku juga tidak ada. Jadi, aku sempatkan berselancar di internet menggunakan smartphone.
Tiba-tiba saja ada email masuk yang cukup menggoda mata untuk membukanya. Yakni, email newsletter tentang Jadwal Timnas U22.
Aku baru tahu kalau ternyata Garuda Muda Indonesia sedang berjuang di laga pertandingan sepak bola. Sebelumnya, aku emang nggak update soal gini-ginian.
Dulu, aku pernah suka banget sama bola waktu umurku sekitar 20 tahun. Itu pun karena beberapa teman ada yang pemain bola dan aku sering mengikuti pertandingan karena permintaannya untuk bisa menonton pertandingan. Sehingga, aku lebih intens berhubungan dengan dunia bola.
Namun, lambat laun rasa suka itu mulai hilang dengan sendirinya. Seiring berjalannya waktu, aku makin banyak kegiatan dan tidak lagi punya waktu untuk mengikuti kegiatan Timnas U22.
Karena ada pemberitahuan tentang jadwal U22, ya sekalian aja aku ngintip-ngintip sedikit tentang Jadwal Timnas U22.

Selamat berjuang mengharumkan nama Indonesia, para Garuda Muda. Terus senangat pantang menyerah, pantang kalah. Kalau masih kalah, berarti harus belajar lagi.
Apa pun hasilnya nanti, semoga tidak menyurutkan semangat adik-adik untuk terus berjuang. Jangan sampai membuat kisruh karena supporter yang fanatik dengan club bolanya.
Setidaknya mereka sudah berusaha, berjuang untuk bangsa dan negara. Apa pun hasilnya, akan tetap kami hargai dan apresiasi....


Silakan baca beritanya di sini:
Hasil Akhir Timnas U22 Indonesia Vs Kamboja. 2 Gol Wanewar Bawa Ke Semifinal Piala AFF U22-2019

Piala AFF U22-2019 Jadwal Timnas Indonesia







Cerpen | Uangnya Ke Mana Ya?

Sumber Gambar: pixabay.com


Hari ini adik sepupuku datang ke rumah. Dia bermaksud menginap beberapa hari karena kami berbeda kota.
Saat dia sedang asyik main gadget, aku mengajaknya untuk keluar sebentar ke jalan provinsi. Sebab, aku memang tinggal di daerah terpencil yang jaraknya sekitar delapan kilometer dari jalan provinsi.
Sepanjang perjalanan, dia ngedumel soal jalanan yang rusak. Aku hanya menanggapi asal-asalan saja.
"Sialan! Nembel jalan kok ya nanggung banget? Putusnya pas di tengah gunung gini. Kenapa nggak dilanjutkan sampe sana sekalian?" umpatnya ketika motor yang kami pakai menghantam gundukan semenisasi sambungan yang terputus di tengah gunung. Sekitar 10 meter, ada lagi gundukan semen tambalan jalan.
"Yah, emang dibikin begitu. Kan lumayan juga, yang 10 meter bisa masuk kantong," celetukku ngasal.
"Asyem ki, malah dikorupsi. Mikirin kantong dewe!"
"Ya iya lah, mikirin kantong dewe. Timbang mikirin kantong orang?" sahutku sambil tertawa terbahak-bahak.
"Otaknya koruptor ya emang gitu. Gak mikirin rakyat kecil!"
"Hehehe ... udahlah jangan ngedumel aja. Rakyat kecil kayak kita ini memang bisanya cuma ngomel doang. Nggak ada yang hiraukan, tetep aja banyak koruptor. Nggak cuma pejabat tinggi, pejabat rendah aja bisa korupsi kalo nggak kuat imannya."
"Iya, sih."
"Padahal daerah ini termasuk daerah kaya loh. Di sini ada perusahaan tambang minyak, tambang batubara, perusahaan kelapa sawit yang lumayan besar. Tapi, pembangunan infrastrukturnya nggak begitu pesat. Uangnya masuk ke mana ya?"
"Nggak tau juga aku, nggak paham politik!" sahut Reza.
"Eh, aku kepikiran sesuatu deh. Gimana kalo kita bikin konten kayak gitu?"
"Konten apaan?"
"Konten buat nyindir pejabat yang korupsi. Ceritanya ... aku jadi pejabat koruptor, kamu jadi rakyat cilik. Kamu berani nggak?" tantangku.
"Berani, lah. Bikin video gitu doangan."
Kami pun menyiapkan perlengkapan video setelah kembali ke rumah.
Kebetulan, sepupuku ini hobi banget nge-vlog walau enggak terkenal.
Naskah dialog juga sudah kami persiapkan untuk membuat video. Sebisa mungkin, kritik terhadap pejabat koruptor bisa tersampaikan dengan baik. Karena aku yang berperan sebagai koruptor. Maka, aku harus membuat orang yang menonton membenci aku sebenci-bencinya. Artinya ... aku berhasil memerankan tokoh koruptor di sini.
Mulai dari korupsi uang seribu rupiah sampai ratusan juta rupiah.
"Jadi koruptor itu enak ya?" tanya Reza usai kami membuat video kreatif.
"Hah!? Sejak kapan korupsi jadi profesi?"
"Lah? Kok profesi sih?"
"Itu tadi kamu bilang jadi koruptor. Biasanya, orang bilang jadi polisi, jadi guru, jadi dokter dan lain-lain. Bukan jadi koruptor!" jelasku.
"Ish ... Mbak ini aneh, lho!" celetuk Reza.
"Hehehe ..." Aku cengengesan.

###

Memang benar, kalau sudah urusan politik, isinya pasti segala tipu daya dan upaya. Yang benar bisa jadi salah, yang salah bisa jadi benar.
Terlebih di era digital yang semakin berkembang dengan pesat. Kita tidak bisa membedakan mana yang jujur dan mana yang berbohong. Bahkan, berita hoax mudah sekali tersebar dan mendoktrin masyarakat luas.
Kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan pemerintah, bisa jadi masyarakatnya juga yang salah. Begitu juga sebaliknya. Semua harus bisa introspeksi diri dan menyadari kekurangan masing-masing agar bisa bersikap lebih baik lagi.

Thursday, February 21, 2019

Cerpen | Jodoh Kedua

Pixabay.com/pexels
Baca tulisan serupa di Kompasiana

"Mbak, apa belum bisa juga sampai sekarang?" Pertanyaan dari mulut cowok yang usianya 4 tahun lebih muda dariku membuat kepalaku berdenyut.
Cowok itu masih saja menatapku dengan senyum yang ... kuakui memang memesona.
"Apa tiga tahun masih kurang?" Belum juga aku menjawab pertanyaan pertamanya, sudah datang pertanyaan berikutnya dengan senyuman khasnya.
"Aku sayang sama Maura seperti anakku sendiri." Ia masih menatapku, menunggu jawaban.
Aku mengalihkan pandanganku pada Maura yang sedang bermain pasir di tepi pantai.
Maura ... gadis kecil berusia 6 tahun yang baru duduk di bangku TK. Dialah gadis kecil yang keluar dari rahimku enam tahun lalu.
Dia menjadi anak yatim sejak 3 tahun lalu. Saat usianya masih kecil, ia harus kehilangan ayahnya karena kecelakaan kerja yang merenggut nyawanya.
Sejak itu juga aku menjadi seorang single parent, merawat dan membesarkan anakku tanpa seorang ayah.
Beberapa orang terdekat menyarankan aku mencari ayah baru untuk Maura. Namun, hatiku begitu berat melakukannya. Aku takut jika aku tak bahagia ketika memilih menikah lagi, atau justru puteriku yang tak bahagia hidup dengan ayah tiri.
Setelah kepergian suamiku, aku tidak pernah dekat pria lain kecuali Lukas Hexam. Pria muda yang kini ada di hadapanku. Dia tidak pernah berusaha menjauh dariku atau pun Maura meskipun dengan segala cara aku mencoba mengusir dan membencinya. "Aku sudah terlanjur cinta pada kalian." Kalimat itu selalu diucapkan Hexam ketika aku memintanya pergi dan membenci.
Selama tiga tahun ia membuktikan kesungguhannya mencintaiku juga Maura.
Selama itu pula aku tidak mampu menerimanya dalam kehidupanku. Apalagi sampai masuk menjadi bagian dari keluarga kecilku. Entahlah ... aku sendiri tidak mampu menggambarkan perasaanku sendiri.
Hexam dengan mudahnya mencuri perhatian Maura. Hampir setiap hari ia datang untuk bermain bersama Maura. Setiap akhir pekan juga ia sempatkan mengajak Maura jalan-jalan seperti sekarang ini. Ia asyik bermain di pantai bersama keponakan Hexam.
Sementara aku sibuk dengan warung nasi yang jadi penyambung hidupku dan anakku satu-satunya. Hexam selalu menyempatkan diri mampir ke warung. Sekedar memesan secangkir teh hangat, kadang juga membantu saat pelanggan warungku sedang banyak.
"Mbak...!" Suara Hexam membuyarkan lamunanku.
"Ya." Aku gelagapan karena terciduk sedang melamun sementara cowok di depanku menunggu sebuah jawaban.
"Mbak, aku serius."
"Kamu terlalu muda buat aku. Lagipula aku ini janda beranak satu. Sedang kamu lelaki bujang yang selayaknya mendapatkan wanita yang jauh lebih baik daripada aku." Lagi-lagi alasan ini yang keluar dari mulutku. Aku yakin, Hexam sudah khatam dengan jawabanku kali ini.
"Aku sudah bilang, aku terlanjur cinta sama mbak dan Maura. Walau banyak di luar sana gadis yang lebih muda dan cantik. Cuma Mbak yang selalu ada di pikiran dan hatiku." Hexam sudah mengatakan ini berkali-kali. Tidak berubah sejak ia ucalkan 2,5 tahun yang lalu. Ia masih menatapku dengan wajah serius.
Aku membalas tatapannya. Hexam yang ada di hadapanku sekarang, bukan laki-laki ingusan berusia 12 tahun. Dia sudah berubah jadi cowok dewasa berusia 26 tahun yang memandangku dengan cara berbeda.
"Mbak, asal mbak tahu. Aku suka sama mbak sejak aku berusia 13 tahun. Aku mengagumi mbak sejak dulu. Tapi, aku sadar kalau aku tidak mungkin bisa bersaing dengan kakak-kakak kelas 2 SMA yang uang jajannya jauh lebih banyak. Saat itu, aku ingin memberikan hadiah spesial buat mbak. Tapi, aku nggak punya uang. Aku nggak mungkin berani mendekati mbak hanya bermodalkan kata-kata bocah ingusan."
Aku hampir tertawa mendengar kalimat terakhirnya.
"Sekarang aku sudah berubah. Aku sudah punya pekerjaan. Sudah punya rumah. Dan aku akan berusaha melakukan apa pun untuk membuat mbak bahagia."
"Apa aku masih kurang mapan?" Lagi-lagi pertanyaan itu ia ajukan dan sudah pasti aku jawab dengan gelengan kepala.
"Terus ... kenapa mbak Naira masih terus menolak aku?"
Duh, ini pertanyaan yang sulit untuk kujawab. Aku tidak punya alasan tepat kenapa aku harus menolak.
"Mbak, apa perjuanganku selama bertahun-tahun masih kurang?"
Aku menggelengkan kepala.
"Terus? Kenapa aku masih ditolak terus sih? Mbak tahu kan kalau aku ngarep banget jadi pasangan hidup mbak?"
Aku menghela napas dalam-dalam. Memejamkan mata dan masih berpikir, kalimat apa yang seharusnya aku katakan pada Hexam? Haruskah aku belajar membuka hati untuk dia?
"Kasih aku waktu..."
"Berapa lama lagi?" Hexam menatapku tajam, membuat aku tertunduk dan tak mampu berkata apa pun.
Ini pertama kalinya aku lihat raut wajahnya begitu tegang dan serius. Biasanya ia selalu penuh dengan candaan. Sampai-sampai aku tidak bisa membedakan mana ucapan yang serius dan mana yang bercanda.
"Sampai ... kamu berhenti memanggilku 'mbak'!" sahutku tanpa menatap wajahnga.
"Serius? Apa itu artinya Mbak Naira .... eh!? Maksudku ... kamu ... mau menerima aku?" Hexam tersenyum, mendekatkan wajahnya ke arahku sembari menaikkan kedua alisnya. Sepertinya dia masih ragu dengan ucapanku.
Aku mengangguk perlahan. "Asal kamu mau berhenti memanggilku 'mbak'!" Aku mengedikkan bahuku.
"Gampang Mbak. Eh!? Maksudku... gampang! Aku bakal lakuin apa aja buat kamu."
"Serius?" sahutku menggoda.
"Iya. Tapi, jangan yang aneh-aneh juga. Yang wajar-wajar aja lah."
"Yang aneh-aneh itu yang seperti apa?" tanyaku sok polos.
"Yah ... seperti minta mobil mewah gitu."
"Jadi? Kalau aku minta mobil mewah, kamu nggak akan berusaha berjuang buat aku?"
"Ish! Nggak gitu maksudnya. Seandainya kamu beneran minta. Aku pasti berusaha keras mendapatkannya. Kalau nggak dapat ya terpaksa aku kasih brosurnya doang," celetuk Hexam.
"Kok brosurnya sih!?" Aku mencubit lengannya yang kekar.
"Abisnya ... minta aneh-aneh aja!" sahut Hexam.
Aku menggelengkan kepala tanda tidak mengerti dengan perasaanku sendiri.
Aku dan Hezam kembali masuk dalam ruang yang sama dari masa lalu yang berbeda.
Perbedaan itulah yang membuat kami saling memahami dan mengerti.

Dan kini aku mengerti...
Kalau jodoh sudah ada di tangan Tuhan. Termasuk jodoh kedua yang kini hadir dalam kehidupanku.
Aku pikir, ketika menikah pertama kalinya ... dia adalah jodohku. Lalu, Tuhan merenggutnya dan memberikan aku jodoh untuk kedua kalinya.
Dia hadir bukan untuk menggantikan singgasana cinta mendiang suamiku dalam hatiku. Tapi ... dia punya ruang sendiri di hatiku yang mampu membuat hatiku menjadi lebih baik. Ada banyak ruang di hatiku dan semuanya spesial dengan caranya masing-masing.
Tuhan ... jika Hexam adalah jodohku yang kedua, maka biarkanlah cinta kami abadi sampai kami tua, sampai kami dengar cucu dan cicit kami mengatakan kami "Pikun".

Ditulis oleh Rin Muna
East Borneo, 17 Februari 2018

Penakata Challenge Time | Horror Scope Books Effect



Tulisan ini telah saya bagikan untuk Penakata.com

Lina merapatkan tubuhnya ke dinding kamar yang berbahan papan kayu. Napasnya tersengal usai berlari dari salah satu ruangan yang berada di lantai dua rumah barunya. Ia baru saja pindah seminggu yang lalu ke rumah ini. Ia harus mencari rumah tinggal yang jauh lebih murah karena kondisi perekonomian keluarganya sedang terpuruk.
Ia mendapati rumah  murah di pinggiran kota yang lumayan sepi. Rumah yang terbuat dari papan, berlantai dua, lama tak berpenghuni. Di halaman rumah terdapat dua pohon beringin dari jenis yang berbeda. Dilihat dari kondisi halaman dan sisa-sisa pot tanaman, sepertinya pemilik rumah terdahulu adalah pecinta bonsai. Bisa jadi, pohon beringin yang kini tinggi menjulang adalah salah satu koleksi yang pada akhirnya tidak terawat.
Dari penuturan warga sekitar, rumah ini terkenal angker. Namun, Lina tak punya pilihan lain selain tinggal di sini. Hingga lima hari lalu, Lina memilih untuk tidak pulang ke rumah sebelum ayahnya sampai ke rumah. Ia tidak ingin sendirian di rumah yang terkenal kisah horornya.
Namun, malam ini Lina tiba-tiba lupa. Ia tertidur sore hari dan terbangun tepat pukul delapan malam. Ia mulai mendengar suara-suara aneh seperti yang ia dengar pada malam-malam sebelumnya. Itulah yang membuat Lina memilih untuk tidur bersama kedua orang tuanya.
"Ayah ... ibu ... please, cepat pulang!" ucap Lina lirih sembari menoleh ke arah pintu yang berderit.
Dari ekor matanya ia menangkap sosok bayangan aneh melangkah di lorong kamarnya. Sosok seperti manusia tapi berkepala kambing. Derap langkahnya semakin mendekat ke arah pintu kamar Lina yang setengah terbuka.
Lina menarik napasnya dalam-dalam dan menahan di dadanya ketika bayangan itu tepat masuk melalui celah pintu kamarnya. Ia makin merapatkan tubuhnya ke dinding. Otaknya berputar cepat mencari cara keluar dari kamar tanpa harus bertemu dengan sosok bayangan yang ia lihat.
Lina memejamkan matanya ketika pintu kamar bergeser, membuatnya semakin terbuka. Tiba-tiba suasana berubah jadi hening, suara langkah kaki itu tak terdengar lagi. Lina membuka mata dan benar saja, sosok bayangan yang hampir masuk ke dalam kamarnya sudah tak ada lagi. Ia buru-buru berlari ke luar dari kamarnya. Menuruni anak tangga yang terbuat dari kayu ulin.
"Kalian siapa?" Lina heran melihat dua anak perempuan berwajah sama yang berdiri di depan pintu ketika ia membuka pintu rumahnya.
"Dari ibu." Salah satu anak perempuan itu menyodorkan rantang susun berisi makanan.
"Oh, rumah kalian yang mana?" tanya Lina.
Gadis kecil itu menunjuk ke arah seberang rumah Lina.
"Kakak boleh ikut ke rumah kalian?" tanya Lina menatap keduanya, "Soalnya, kakak di rumah sendirian. Nungg Ayah sama Ibu pulang di rumah kalian aja."
Kedua gadis itu menganggukkan kepalanya. Mereka kemudian menarik Lina keluar dari halaman rumahnya. Lina terus melangkahkan kaki mengikuti kedua gadis itu tanpa henti. Ia merasakan perjalanan yang sangat lama. Bukankah hanya ke rumah seberang yang seharusnya bisa sampai dalam waktu 5 menit dengan berjalan kaki? Tapi ... Lina merasa tidak sampai-sampai dan kakinya mulai lelah.
"Rumah kalian masih jauh?" tanya Lina dengan napas yang tersengal.
Kedua gadis itu membalikkan tubuhnya, wajah mereka pucat dan tatapannya dingin.
"Kalian siapa?" Lina terkejut mendapati dua gadis kecil itu berubah, terlebih matanya menyala merah. Tanpa pikir panjang, Lina berlari berbalik arah. Ia baru sadar kalau ternyata ia kini berada di dalam hutan, bukan di wilayah pemukiman tempat ia tinggal.
Ia terus berlari sampai ke tepi danau, ia melihat seorang pria sedang menuangkan air ke danau tersebut, di bawahnya ada ikan-ikan yang berterbangan menyambut air yang ditumpahkan.
"Ini apa?" Pikiran Lina semakin tak karuan melihat kejadian aneh yang ia temui malam ini. "Aku di mana?" Dua pertanyaan itu terus bersarang di pikirannya.
Lina duduk bersandar di bawah pohon sembari mengatur napasnya. Ia menutup wajahnya, mencoba mengatur pikirannya.
Beberapa menit kemudian ia membuka matanya dan mendapati ia sudah berbaring di dalam kamarnya. Ia melirik jam dinding yang terpajang di dinding kamarnya, waktu masih menunjukkan pukul delapan malam. Artinya, kejadian aneh yang ia alami hanya mimpi. Lina menarik napas lega dan turun dari ranjangnya.
Ting ... tong ...!
Tiba-tiba bel rumahnya berbunyi. Ia berharap, ayah dan ibunya bisa pulang lebih cepat dari biasanya. Usaha mereka yang terancam bangkrut, membuat mereka sering pulang larut malam.
Lina berlari menuruni anak tangga, secepatnya membukakan pintu.
"Mella? Tumben ke sini malam-malam gini?" Lina mengerutkan keningnya ketika mendapati sahabatnya sudah berdiri di depan pintu dengan tatapan dingin.
"Kamu, nggak papa 'kan?" Lina kembali bertanya karena sahabatnya masih saja bergeming.
"Mel ... Mella?" Lina mulai merasa kurang nyaman dengan wajah Mella yang masih saja dingin, bahkan pucat seperti mayat hidup.
"Kamu kenapa? Ada masalah?" Lina menggoyangkan pundak Mella. Mella menurunkan tangan Lina, tangannya dingin seperti es batu.
Lina tertegun beberapa saat.
Mella membalikkan badannya dan berjalan perlahan keluar dari halaman rumah Lina.
"Mel ... Mella ...!" langkah Lina gontai mengikuti sahabatnya itu. Mella terus berjalan menyusuri jalan-jalan pemukiman. Kemudian ia berhenti di salah satu jembatan.
"Mel, kamu kalau punya masalah cerita dong! Jangan kayak gini! Bunuh diri itu bukan pilihan terbaik. Aku bakal bantu semampu aku." Lina memandang tubuh Mella yang menatap kosong ke arah sungai. Ia khawatir dengan sahabatnya yang sudah berdiri di bibir jembatan.
Mella menoleh ke arah Lina, tersenyum dingin dan menjatuhkan tubuhnya ke bawah jembatan.
"Mella ...!!!" teriak Lina histeris mendapati sahabatnya itu terjun ke bawah jembatan. Ia berlari mendekati bibir jembatan, melongok ke arah sungai yang gelap.
Tanpa pikir panjang, Lina berjalan menuruni sungai yang berada di bawah jembatan lewat jalan setapak yang biasa digunakan warga untuk turun ke sungai. Ia tak berhenti meneriakan nama sahabatnya sembari terus menuruni bukit menuju tepi sungai.
Ia memandangi air sungai yang berkilauan diterpa cahaya bulan. Ia berharap tubuh Mella bisa terlihat walau dalam keadaan apa pun.
BYUR!!!
Tiba-tiba saja keluar makhluk aneh dengan mata menyala. Dua makhluk yang tubuhnya 20 kali lipat dari tubuh Lina. Yang satu memiliki sepasang capit seperti kepiting dan satunya lagi seperti kalajengking. Oh ... bukan, bukan! Bukan seperti, tepatnya itu memang kepiting dan kalajengking raksasa.
Dengan cepat Lina berbalik arah dan berlari memasuki hutan, menghindari kejaran dua makhluk aneh tersebut.
"Ini mimpi. Please, ini mimpi!" celetuknya sambil terus berlari. Ia menjatuhkan tubuhnya ke bibir bukit, merosot dengan cepat menghantam ranting dan anak-anak pohon. Ia merasakan sakit yang luar biasa ketika tangan, kaki dan wajahnya lecet terbentur dan tertusuk tanaman liar. "Sakit! Ini bukan mimpi?" Ia bangkit dan berjalan perlahan, sebisa mungkin dua makhluk besar itu tak lagi mengejarnya. Ia menatap ke atas bukit, kepiting dan kalajengking raksasa itu sudah berjalan menjauh dan tak terlihat lagi. Lina menghela napas lega. Ia bersandar di bawah pohon randu yang menjulang tinggi.
Lina mengusap keringat yang keluar dari sudut-sudut rambutnya. Matanya melirik ke arah luka berdarah di tangan kirinya. Ia berharap, ini hanya mimpi. Sama seperti yang dialaminya sebelum ia terbangun dari tidurnya. Lina memejamkan matanya perlahan, berharap ia kembali ke kamarnya ketika ia membuka mata.
Perlahan Lina membuka mata dan ia masih mendapati tubuhnya bersandar di bawah pohon randu. Ia memukulkan kepala bagian belakangnya ke batang pohon. Kesal!
Ia bangkit, berjalan perlahan mencari arah pulang ke rumah.
Grrr ...!
Lina membalikkan tubuhnya ke arah suara. Ia melihat seekor singa yang berada sekitar lima meter dari tubuhnya. Singa ini seperti makhluk mitologi, berbadan satu dan berkepala tiga.
"Oh ... God!" Ia tak bisa lagi berlari karena lelah dan luka di kakinya. Kali ini ia pasrah, ia memejamkan mata saat makhluk ganas itu siap menerkam tubuhnya.
SYAT ...!
Aaargh ...!
Bruk ...!
Lina membuka matanya, penasaran dengan suara yang ia dengar. Ia mendapati manusia setengah kuda, dengan busur panah di tangannya sedang melawan singa berkepala tiga itu.
Aungan singa semakin menjadi, ia terlihat sangat marah karena tubuhnya tertusuk beberapa anak panah. Dengan cepat manusia setengah kuda itu menarik lengan Lina hingga melayang dan mendarat tepat di atas tubuhnya. Centaur itu membawa Lina berlari menjauh dari singa berkepala tiga.
"Kamu siapa?" tanya Lina yang hanya dibalas dengan tatapan. Makhluk centaur itu tak berkata sedikit pun. Mereka berhenti di salah satu bangunan megah yang berada di tengah hutan.
"Hai ... bagaimana kamu bisa masuk dalam Negeri Zodiak?" Seorang wanita cantik jelita menghampiri Lina.
"Hah!? Negeri Zodiak?" Lina heran dengan apa yang ia alami.
"Namaku Virgo. Ayo, masuk! Lukamu harus disembuhkan." Virgo mengulurkan tangannya. Dengan cepat centaur menurunkan aku dari tubuhnya yang tinggi, tepat di tangan Virgo.
Lina berjalan mengikuti langkah Virgo, perlahan masuk ke istana melalui jembatan panjang yang bawahnya terdapat sungai besar.
"Mereka siapa?" Lina memandangi banyak orang berkumpul di salah satu jembatan lain yang ujungnya terdapat timbangan besar.
"Mereka manusia yang sudah mati, di ujung sana adalah timbangan kebaikan dan keburukan. Untuk menentukan di mana mereka akan tinggal setelah mati." Virgo tersenyum.
"Apa aku sudah mati?"
"Belum."
"Bagaimana aku bisa di sini?" tanya Lina heran.
Virgo mengedikkan bahunya tanda tak mengerti.
"Apa aku bisa pulang?"
"Bisa."
"Caranya?"
"Akan kutunjukkan setelah mengobati lukamu." Mereka memasuki bilik yang tidak terlalu besar.
Lina mendapati manusia bersisik dengan banyak ular di kepalanya. "Dia siapa?" tanya Lina.
"Dia penyembuh kami. Namanya Hydra. Berbaringlah dan lukamu akan sembuh!" perintah Virgo sembari menunjukkan tempat untuk Lina berbaring.
Hydra mendekati Lina dan ular-ular di kepalanya menjulur menyentuh tubuh Lina. Ia merasa sangat geli dan tak karuan. Bagaimana bisa ia bertemu dengan makhluk-makhluk aneh hanya dalam semalam. Ia ingin segera kembali ke rumahnya, berharap malam cepat berganti dengan pagi.
"Pejamkan matamu!" bisik Virgo.
Lina memejamkan matanya perlahan. Ia merasakan tubuhnya digelayuti ular-ular Hydra.
"Aaaargh ...!" teriakan histeris keluar dari mulut Lina kala merasakan gigitan di perutnya. Ia kesakitan bukan kepalang. Tak menyangka kalau ular-ular itu justru memakan tubuhnya.
"Aaaargh ...!" Lina terus berteriak memberontak, menangis histeris,  menepiskan ular-ular yang menggerogoti tubuhnya.
"Lin ... Lina!"
"Lina!"
Lina membuka mata, napasnya tersengal, tubuhnya basah oleh keringat. Ia mendapati tubuhnya sudah berada di kamar.
Ibu memeluknya erat melihat Lina yang tidur sambil berteriak. "Kamu kenapa?"
"Aku mimpi buruk, Bu." Lina mengusap matanya yang basah.
"Kan, Ibu sudah bilang. Jangan tidur magrib. Kamu pasti mimpi yang aneh-aneh."
"Aku ketiduran, Bu."
"Kamu ngapain aja? Kok, bisa ketiduran?"
"Aku baca buku ini." Lina menyodorkan sebuah buku berjudul Horror Scope yang terlihat sudah berusia puluhan tahun. Buku setebal 2 inchi terlihat sangat antik. Ia mendapatkannya dari salah satu perpustakaan pribadi milik teman kuliahnya. Tulisan dan gambar-gambar timbul dalam buku itu, membuat Lina tertarik untuk membuka dan membacanya.
"Kamu ... ada-ada saja. Buku baca seperti ini. Sini!" Ayah Lina menarik buku itu dan melemparkannya ke luar jendela.
"Ayo, turun! Kita makan malam. Ibu sudah belikan makanan kesukaan kamu. Kebetulan ada Mella dan Nauri di bawah. Katanya, mereka akan menginap di sini."
"Ada Mella, Bu?" tanya Lina sumringah.
Ibu dan Ayah Lina menganggukkan kepalanya bersamaan.
"Alhamdulillah ...." Lina berlari secepatnya menghampiri dua sahabatnya dan memeluk mereka erat-erat.
Ayah dan Ibu Lina menggelengkan kepala melihat tingkah aneh puterinya itu.
Lina tersenyum memandangi mereka satu per satu.
"Aku bersyukur ... semua cuma mimpi," batinnya.
Sejak kejadian itu, ia tak berani lagi tidur di waktu senja. Terlebih lagi berada di dalam rumah seorang diri. Ia lebih memilih menginap di rumah Mella atau Nauri. Itu jauh lebih baik daripada harus berada di dalam rumah ditemani mimpi-mimpi aneh.

Ditulis oleh Rin Muna untuk Penakata

Samboja, 20 Februari 2019

Friday, February 15, 2019

Cerpen | Demi Bisa Membaca

Kompasiana
Semilir angin malam menembus kulitku. Sesekali aku mengusap lengan agar rasa hangat bisa menjalar ke tubuhku yang mungil. Aku duduk di tepi gubuk sembari memandang api unggun yang dibuat Bapak beberapa jam lalu. 
Malam semakin larut dan aku belum berhasil memejamkan mata. Sesekali kulihat tubuh mungil adikku yang sudah terlelap di dalam gubuk yang hanya beralas dan berdinding papan bekas. Tak ada penerangan di gubuk ini kecuali api yang dibuat Bapak sejak hari mulai gelap. Bapak dan Mamak juga belum terlelap. Sesekali Bapak menambahkan belahan kayu ulin ke pembakaran setiap kali kayu sudah mulai habis. Dan Mamak memanggang panci berisi air di atasnya. Air yang akan kami gunakan untuk minum setiap harinya.
Sejak kecil aku sudah tinggal di gubuk ini. Gubuk ini bukan milik kami, ini milik pak Burhan. Pemilik sawah yang berbaik hati memberikan gubuk untuk kami tinggal. Bapak dan Emak memang tidak memiliki rumah, terlebih hidup kami yang jauh dari kata cukup. Pak Burhan mengizinkan Bapak mengolah sawah miliknya dan tinggal di gubuk sederhana ini.
"Belum ngantuk?" Mamak menghampiriku, duduk di sisiku.
Aku menggelengkan kepala sembari memeluk sebuah buku usang yang aku temukan di belakang rumah salah seorang warga desa. Buku ini sengaja dibuang dan aku memungutnya.
Aku bercita-cita bersekolah seperti anak-anak seumuranku. Namun, keadaan sulit di keluargaku membuatku harus gigit jari dan hanya membantu Mamak di sawah setiap harinya. Jauh dalam lubuk hatiku, aku ingin sekolah. Seperti yang dirasakan anak-anak berumur 10 tahun sepertiku.
"Dapet buku baru?" tanya Mamak.
Aku mengangguk. Bagiku, mendapatkan buku baru dari bekas buangan orang lain adalah kebahagiaan tersendiri. Rasanya seperti menemukan sebongkah emas berlian. Walau tidak pernah sekolah, aku beruntung karena Mamak mengajariku membaca dan menulis dengan baik. Hanya itu saja,  membaca dan menulis. Soal ilmu pengetahuan, sudah jelas Mamak tidak punya banyak ilmu pengetahuan. Sama sepertiku.
Sebab itulah aku suka sekali membaca. Dengan membaca, aku bisa melihat dunia di luar sana. Walau yang aku baca hanya buku baru yang meruakan buku bekas bagi orang lain atau bahkan memang tak bermakna sama sekali bagi mereka. 
"Maafkan Mamak dan Bapak karena tidak bisa menyekolahkanmu hingga saat ini."
"Nggak papa," jawabku lirih.
Sudah beberapa tahun lalu, kalimat itu keluar dari mulut Mamak dan Bapak. Awalnya, aku marah, sedih, menangis dan tidak bisa menerima kenyataan kalau aku tidak bisa bersekolah karena kedua orang tuaku tidak mampu. Yang ada dalam pikiranku, tidak mungkin Bapak dan Mamak tega tidak menyekolahkanku. Aku terus merengek setiap hari, tetap saja tidak berhasil. Saat ini, aku sudah menerima semuanya. Menerima kenyataan kalau aku memang tidak akan pernah merasakan bangganya memakai seragam sekolah.
"Mak, apa Reno juga tidak akan sekolah seperti aku?" Aku memandang tubuh mungil adikku yang tengah terlelap.
"Mamak belum tahu. Semoga saja Mamak dan Bapak bisa menyekolahkan Reno."
"Apa yang bisa aku bantu supaya Reno bisa sekolah nantinya?" Aku menatap wajah Mamak yang sesekali terlihat terang terkena pancaran cahaya api unggun.
"Kamu sudah terlalu banyak membantu dan mengorbankan masa depanmu. Biarkan kami yang berjuang untuk Reno!" pinta Mamak.
"Kenapa hanya Mamak dan Bapak yang boleh berjuang? Bukankah kita keluarga?" Aku menatap Mamak yang juga memandangku dengan rasa bersalah.
Ia tak mengatakan apa pun, hanya memeluk tubuhku yang mungil. "Tidurlah! Ini sudah malam," bisiknya.
Aku mengangguk, beranjak dari tempat dudukku dan memasuki bilik gubuk yang tidak di sekat. Di dalam bilik justru semakin dingin karena jauh dari perapian. Lantai dan dinding yang terbuat dari papan bekas terdapat banyak sela yang membuat angin berhembus dengan mudahnya dan menusuk-nusuk ke kulit.
Aku menatap wajah adikku kembali yang kini sudah di hadapanku. Aku rapikan posisi selimutnya, selimut dari sarung yang sudah lusuh dengan beberapa jahitan.
Kepalanya beralas bantal yang aku buat sendiri dengan tanganku. Setiap hari aku selalu bermain di bawah pohon randu dan mengambil kapuk-kapuk yang jatuh. Pemiliknya tidak peduli dengan kapuk yang hanya beberapa saja, mereka lebih senang membeli bantal di toko daripada harus capek-capek membuatnya. Berbeda dengan keluargaku yang hanya bisa mencari bahan gratisan. Sebelumnya, aku selalu izin pada pemilik kebun jika ingin meminta sesuatu di kebunnya. Mereka semua baik, tidak ada yang memarahiku. Justru mereka sering menyuruhku memanjat pohon kelapa, menjatuhkan buah-buahnya dan mereka memberikan aku sedikit upah. Upah yang biasanya aku tabung atau aku pakai membelikan jajan untuk Reno.
Aku merebahkan tubuhku di sisi Reno. Menarik selimut yang aku jahit dari kain-kain sisa pemberian orang. Ya, kami sering menerima pakaian dari beberapa warga yang memiliki pakaian lebih. Semuanya masih bagus-bagus dan bisa kami gunakan. Itu jauh lebih baik daripada harus membeli pakaian baru ke pasar. Pasarnya jauh, uangnya juga pasti butuh banyak.
Huft ... kenapa aku tak bisa sebahagia anak-anak lainnya? Takdir yang membuat aku terlahir dari keluarga miskin. Ah, tidak ... tidak! Bapak dan Mamak tidak miskin. Mereka sangat kaya bagiku. Memberikan aku kasih sayang setiap harinya. Mamak juga sering mengajari aku mengaji. Sekarang di usiaku yang sudah 10 tahun, aku sudah menghafal 20 juz Al-Qur'an. 
Setiap hari aku selalu mengaji, karena aku tidak pernah bersekolah. Hanya Mamaj dan Bapak yang menjadi guru mengajiku. Jelas berbeda dengan anak-anak yang bisa bersekolah. Mereka pasti pintar-pintar. Tidak sepertiku yang hanya bisa membaca dan menulis saja.
Aku menatap tumpukan buku yang ada di sudut bilik. Buku-buku itu bukan aku, Mamak atau Bapak yang membelinya. Buku itu hasil dari memungut di tepi jalan, di belakang rumah warga dan di tempat-tempat orang membuang setiap lembaran-lembaran kata itu. Aku senang sekali membaca, bahkan selembar kertas brosur saja aku ambil, aku baca dan simpan di rumah. Sehingga, buku-buku bekas tersebut sudah menumpuk di sudut ruangan. 
Di antara buku-buku itu, ada sebuah kalimat yang masih terngiang di ingatanku. "Membaca adalah jendela dunia".
Ya, aku rasa itu benar. Aku jadi tahu banyak hal dari buku itu. Aku bisa melihat dunia hanya dari buku, tidak dari gubukku yang tak memiliki jendela.
Aku heran, kenapa teman-temanku sering membuang bukunya setiap kali kenaikan kelas. Katanya sudah tidak terpakai lagi. Padahal, buku itu masih bisa dibaca. Ah, mungkin saja isi buku-buku ini sudah berpindah ke otak mereka. Sehingga mereka tak lagi memerlukan buku-buku ini. 
Mereka setiap hari bersekolah, pastinya mereka semua pintar. Berbeda dengabku yang masih terus membaca setiap hari karena aku tidak bersekolah dan tidaj pintar.
Aku masih memeluk buku yang sedari tadi aku bawa. Aku sering membawanya tidur ketika dapat buku baru. Buku ini sangat bagus bagiku. Untuk pertama kalinya, buku ini bukan hasil memungut dari tempat sampah. Buku ini pemberian dari salah satu temanku yang duduk di bangku kelas 4 SD. 
Dia sering mengajakku bermain setiap kali aku mengintip dari luar jendela saat mereka sedang belajar. Dia tahu kalau aku suka membaca. Hanya saja, aku bukan anak yang beruntung bisa mengenyam pendidikan.
"Wardah ... aku punya buku baru. Ayah baru saja membelikan 2 hari yang lalu. Aku sudah membaca beberapa halaman dan sepertinya seru. Ini untukmu!" Irwansyah mengulurkan buku berjudul "Keliling Dunia"
Aku tidak bisa menyembunyikan rasa bahagiaku ketika Irwansyah memberikan buku ini. Aku mengucapkan terima kasih berkali-kali sampai ia bosan mendengarnya. Ini pertama kalinya aku diberi sebuah buku dan aku sangat senang. Buku dengan gambar pesawat dan beberapa gambar orang yang tertawa bahagia ini kini sudah ditanganku.
"Jaga baik-baik buku itu! Suatu hari nanti, kita pasti bisa keliling dunia!" teriak Irwansyah sambil tertawa bahagia.
Aku tahu, itu hanya teriakan mimpi seorang anak kecil. Tidak pernah tahu akan jadi nyata atau tidak. Mungkin saja bisa.jadi kenyataan baginya yang memiliki banhak uang dan cerdas. Tidak berlaku untuk aku, gadis kecil yang tidak tahu apa-apa.
Aku membaca doa sebelum tidur, doa untuk kedua orang tua, doa kebaikan dunia akhirat, Al-Fatihah, Ayat Qursi dan Doa Selamat. Sampai akhirnya aku terlelap dalam mimpi-mimpi indah. Aku bermimpi bisa berkeliling dunia. Mungkin saja mimpi itu datang karena aku membaca buku dan terus membayangkannya.
Keesokan harinya, aku bangun dengab tubuh yang segar. Kembali beraktivitas seperti biasa usai menjalankan ibadah sholat subuh dan mengaji. Aku sedang berusaha menghafalkan juz berikutnya. Sembari membantu Mamak melakukan pekerjaannya di sawah, aku selalu komat-kamit menghafalkan satu lembar naskah Al-Qur'an yang aku baca usai sholat subuh tadi.
Aku suka sekali membaca. Dan aku selalu memungut buku-buku bekas demi bisa membaca. Bahan bacaan terbaikku adalah kitab Al-Qur'an. Sehingga aku senang sekali membaca dan menghafalkannya.
Kata Mamak dan Bapak, ini bekal untukku keliling dunia dan akhirat sekaligus.
Cukup sampai di sini ceritaku hari ini.
Kalau kamu punya buku bacaan ya g bagus  dan tidak dibaca, mending kamu sumbangin aja deh. Terutama untuk anak-anak yang tinggal di pedalaman seperti aku. Hehehe...
  • Ditulis oleh Rin Muna untuk Kompasiana
  • East Borneo, 13 Februari 2019

Friday, February 8, 2019

Banjir dan Si Tajir

Kompasiana


Sudah puluhan tahun Indu Baweh dan keluarganya tinggal di sebuah desa yang berada di area rawa. Setiap hujan deras, rumah Indu Baweh selalu tergenang air. Semua cara sudah dilakukan agar air banjir tidak masuk ke dalam rumahnya. Termasuk menaikkan pondasi rumah setinggi 1,5 meter. 
Sejak meninggikan rumahnya, air tidak lagi masuk ke dalam rumah setiap hujan deras. Namun, tetap saja menggenang di sekeliling rumahnya. Hal ini sudah terjadi sejak puluhan tahun lalu. Terlebih lagi warga yang membangun rumahnya, tidak lagi memikirkan drainase. Beberapa titik selokan dan parit yang seharusnya menampung air saat hujan turun, malah ditutup dan akhirnya banyak titik jembatan mati. Jembatan itu menjadi penghubung arus air dari hulu ke hilir. Namun, tiba-tiba menjadi jembatan mati. Tidak ada air yang mengalir karena dari hulu dan hilir sudah tidak terlihat lagi paritnya, sudah berubah menjadi halaman rumah yang cantik.
Indu Baweh dan keluarganya bisa tidur tenang setiap kali hujan. Walau banjir, tidak masuk ke dalam rumah dan sudah menjadi hal yang biasa. Banjir setinggi 50-70 cm sudah biasa. Juga bagi warga di sekeliling rumah Indu Baweh.
Setahun kemudian, hadir sosok orang yang kaya yang disebut Si Tajir. Karena kekayaan yang dimilikinya, ia membuka tambang batubara di sekitar pemukiman warga sebagai ladang uangnya untuk semakin memperkaya diri. Tidak hanya hutan sebagai resapan air yang digusur, rumah penduduk juga digusur pada akhirnya agar uang si Tajir tetap mengalir deras di kantongnya.
Beberapa bukit sudah berubah jadi lembah. Pohon-pohon yang indah sudah berubah jadi galian tambang batubara. Hal ini sangat dirasakan berbeda bagi Indu Baweh dan keluarganya. Indu Baweh yang usianya sudah tua, seringkali bercerita tentang keindahan desa di masa lalu pada cucu-cucunya.
Bercerita tentang dirinya yang masih bisa mandi di sungai yang airnya jernih, bahkan ikan-ikan pun bisa terlihat dengan jelas di sungai itu.
"Indu ... di mana sungai tempat Indu dan teman-teman bermain?" Etak, salah satu cucu Indu Baweh bertanya. 
"Kau lihat jembatan yang ada di ujung barat desa sana?" Indu Baweh balik bertanya.
"Lihat, Indu."
"Dulu ... di sana ada sungai yang lebar, dalam, dan airnya sangat jernih. Kami biasa mandi di sungai itu."
"Tapi, sekarang sudah tak ada. Sudah rata dengan tanah. Hanya ada jembatannya saja."
"Yah ... itulah. Semua berubah karena tangan manusia juga. Dan semuanya akan berubah selama kita tidak bisa mencintai dan menjaga lingkungan."
"Indu ... mau teh hangat?" tiba-tiba Ara, si cucu paling cantik datang membawa nampan berisi teh hangat dan kudapan.
"Wah ... cantik nian cucu Indu. Pas sekali hujan-hujan begini."
"Indu ... sepertinya air mulai meninggi. Padahal hujan baru satu jam dan tidak begitu deras," keluh Ara.
Benar saja, air datang begitu deras dan tidak dapat dibendung lagi. Menggenangi sekeliling rumah Indu Baweh. Etak buru-buru ke belakang rumah untuk menyelamatkan ternak-ternak peliharaan. Kedua orang tuanya sedang berada di kebun, sehingga ia harus memperhatikan ternak peliharaannya.
"Indu ... kenapa hanya rumah yang lurus dengan rumah kita yang terkena banjir. Rumah Pak Modang yang jaraknya tiga rumah dari rumah kita, baik-baik saja. Bahkan dia tidak meninggikan pondasi rumahnya." Ara duduk di samping Indu Baweh sembari memandangi banjir yang semakin deras dari teras rumahnya.
"Ah, kau ini. Seperti tidak pernah sekolah saja. Kau lihat jalan yang di seberang rumah kita ini." Indu baweh menunjuk dengan dagunya. "Jalan itu harusnya melewati sungai yang ada di sisi rumah kita ini. Jalan yang dipakai untuk hauling batu bara ini seharusnya tidak menimbun sungai yang sudah ada. Mungkin, membuat jembatan itu sulit bagi mereka. Jadi, ditimbun saja supaya proses hauling lancar."
"Lalu, apa hubungannya banjir dengan jalan hauling?" tanya Ara masih bingung.
Indu Baweh mengetuk kepala Ara, membuatnya mengaduh kesakitan. "Air itu harusnya mengalir ke sungai, karena sungainya ditimbun dan dijadikan jalan, akhirnya air itu limpas ke rumah kita."
"Oooo ...." Mulut Ara membesar membentuk huruf O.
"Sepertinya banjir kali ini makin parah. Kalau hujan tidak segera reda, banjir akan masuk ke rumah kita." Indu Baweh memperhatikan ketinggian air yang tinggal 10 sentimeter dari lantai rumahnya.
"Kenapa setiap tahun banjirnya semakin parah, ya?" gumam Ara.
"Ada banyak penyebabnya. Besar kemungkinan karena sungai yang dimatikan alirannya, juga peran serta pengusaha tambang batubara yang membuat lingkungan kita kekurangan resapan air."
"Indu ... jangan salah-salahin tambang batubara. Paman Lapeh kan kerjanya di tambang batubara," celetuk Ara.
"Sebenarnya, Indu tak ingin menyalahkan adanya tambang. Tapi, teorinya sudah ada sejak dulu. Penggundulan hutan bisa menyebabkan longsor dan banjir. Di sekolahmu sekarang sudah tidak diajari lagi seperti itu?" tanya Indu Baweh.
"Diajari, Indu. Tapi ..."
"Lebih penting uang daripada lingkungan kita." Tiba-tiba Narai ikut bergabung dalam pembicaraan.
"Sudah pulang? Lewat mana? Kok, Indu tak melihat."
"Lewat belakang."
"Ara ... buatkan kopi untuk bapakmu!" pinta Indu Baweh.
Ara segera bangkit, menuju ke dapur untuk membuatkan kopi. Sementara Narai dan Indu Baweh terlibat pembicar aan serius soal keadaan lingkungan yang sudah banyak berubah.
"Huft ... musim panas, panasnya terik sekali dan debu tebal. Musim hujan, kebanjiran." Narai menyandarkan tubuhnya di kursi.
"Sudah kau tanya sama Si Tajir? Apa dia bisa membantu mengatasi banjir di pemukiman ini?" tanya Indu Baweh.
"Sudah."
"Lalu, apa hasilnya?"
"Nihil."
"Kenapa?"
"Katanya ... banjir bukan diakibatkan karena adanya tambang. Sebelum ada tambang, wilayah kita sudah terkena banjir."
"Tapi ... banjir semakin parah seperti ini. Lama-lama kita bisa ditenggelamkan oleh banjir kalau perusahaan batubara dan pemerintah desa tidak segera bertindak. Lalu, apa tanggapan aparat desa?" tanya Indu Baweh lagi.
"Mereka berpihak pada pengusaha tambang."
"Oh ... uang memang bisa menguasai segalanya. Si Tajir sekarang sedang bersenang-senang dengan uang hasil tambangnya. Dia tidak memikirkan nasib warga lain yang merasakan dampaknya seperti ini. Suatu saat, dia akan membayar semuanya. Alam yang akan marah dan membalasnya." Indu Baweh terlihat geram. Bahkan kulit-kulit tua yang menutupi wajahnya tidak bisa menyembunyikan kegeramannya.
"Indu ... tak usahlah kita terus mengeluh! Orang kecil seperti kita ini tidak akan ada yang mendengarkan. Percuma kita mengomel ke sana kemari. Yang berkuasa tetaplah yang punya uang banyak seperti Si Tajir itu.
Indu Baweh manggut-manggut. "Ya, Si Tajir sedang mencoba bermusuhan dengan alam. Ada saatnya alam akan membalas perbuatan Si Tajir dan orang-orang yang seperti dia. Dan Indu yakin ... ketika alam marah, bukan hanya Si Tajir dan antek-anteknya yang jadi korban. Tapi, kita juga yang ada di sekitarnya karena tidak bisa mencegah perbuatan mereka melukai alam." Gigi-gigi Indu Baweh terdengar berkerut menahan emosi.
"Indu ... sabar. Kita hanya perlu berdoa. Semoga mereka disadarkan dan bisa mencintai alam dengan baik."
"Narai ... mereka tidak akan pernah sadar selama uang adalah nomor satu dalam hidup mereka. Bahkan mereka memuja uang melebihi Tuhan."
Narai mulai pusing melihat Indu Baweh yang selalu sibuk mengurusi setiap perubahan yang terjadi di sekitarnya.
"Indu ... sudah tengok si Elok?" Narai mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Kenapa si Elok?" Indu Baweh balik bertanya.
"Dia sakit."
"Sejak kapan? Tak ada yang beritahu Indu. Nanti, antar Indu tengok si Elok!" pinta Indu Baweh.
Narai menganggukkan kepalanya. Tak lama, Ara datang membawakan secangkir kopi bersama dengan Etak. Mereka akhirnya terlibat dalam obrolan seru. Indu Baweh selalu mengaitkan dengan keadaan alam setiap kali Narai bertanya pada Ara dan Etak mengenai sekolah mereka.
Indu Baweh memang sudah tua. Tidak ada pekerjaan lain yang bisa ia lakukan selain mengamati dan menganalisa keadaan sekitarnya. Bahkan, beberapa orang menyebutnya setress atau gila. Beberapa kali Indu Baweh memaki kepala desa karena beberapa infrastruktur tidak berfungsi dengan baik. Ia juga sempat menemui Si Tajir hanya untuk memaki dan mengutuk perbuatannya merusak alam.
Semua warga mengerti dan tidak ada yang berani melawan Indu Baweh. Indu Baweh hanya seorang nenek renta yang butuh seseorang untuk mendengarkan cerita dan keluhan-keluhannya yang oleh sebagian orang dianggap gila. Sebagian lagi menganggap Indu Baweh adalah nenek tua yang cerdas dan bijaksana dalam beberapa hal.

Ada hal yang tidak bisa kita lawan. Ada hal yang tidak bisa kita ubah. Yakni, perubahan yang terjadi di sekitar kita. Semua ditakdirkan untuk berubah setiap detiknya dan kita tidak bisa melawan perubahan. Semuanya memang akan berubah menuju kehancuran, seperti yang telah difirmankan oleh Allah.
 Kiamat (kehancuran) itu pasti.


Ditulis oleh Rin Muna untuk Dunia...
East Borneo, 8 Februari 2019

Saturday, January 26, 2019

Cerita Somplak : Menemui Pangeran Textra di Pulau Pengasingan

Pixabay.com

"Rin ... kamu tengokin Pangeran Textra di Pulau Pengasingan!" perintah Mbak Daya.
"Nggak mau!" Aku mengangkat kedua pundakku sambil memonyongkan bibir sepanjang-panjangnya.
"Loh!? Kamu harus tahu bagaimana kondisinya di sana."
"Males, Mbak. Di sana nggak ada apa-apa. Nggak ada rumah, nggak ada manusia. Biar aja Pangeran Textra jadi Tarzan di sana."
"Muza masih mencari keberadaan Pangeran Radh. Kalau ada dia, dia pasti semangat menemui Pangeran Textra."
"Hmmm ..." Aku asyik saja mengunyah ciplukan yang dihidangkan di tengah santapan makan siang istana negeri somplak.
"Kamu beneran nggak mau?" tanya Mbak Daya sekali lagi.
"Nggak mau."
"Oke. Kalau gitu, kuda putihmu Mbak pakai untuk menemui Pangeran Textra."
"Eh!? Enak aja! Nggak boleh! Aku aja yang ke sana." Aku beringsut pergi ke kandang kuda sebelum mbak Daya mengambil kuda putih kesayanganku.
"Rin, kamu nggak pernah ganti baju? Dari tahun lalu, pakai gaun putih itu terus," celetuk dayang Vera yang tiba-tiba muncul. Ia datang untuk memberi makan kuda pink milik Pangeran Textra. Di kandang kuda istana, kudanya full color. Punya mbak Daya, kudanya warna ungu. Punya Muza, kudanya warna kuning. Tapi sedang tidak ada di kandangnya karena Muza asyik mencari keberadaan Pangeran Radh. Sedangkan kuda yang berwarna cokelat, semua milik para prajurit. Ada 2.500 kuda cokelat yang ada di istana ini. Mereka kuda yang terlatih untuk berperang bersama para prajurit.
"Emangnya mau perang sama siapa?" batinku dalam hati. Bukannya negeri ini adem ayem aman tentram sak lawase. Eh!?
"Enak aja! Ganti lah. Aku punya 1.500 gaun putih yang modelnya sama. Sehari ganti 5 kali." Aku merengut membalas celetukan dayang Vera.
"Ooh ... sama semua ya?"
"Iya."
"Emange nggak bosen?" tanya dayang Vera lagi.
"Nggak. Kamu sendiri, nggak bosen pakai baju itu-itu terus?" Aku balik bertanya sambil memandangi pakaian dayang milik Vera.
"Ini 'kan seragam dayang."
"Oh ... ya sudahlah. Nggak perlu bahas baju. Ntar gak kelar-kelar. Aku mau ke Pulau Pengasingan." Aku menaiki kuda setelah memastikan semua perlengkapan kuda terpasang dengan baik.
"Mau ketemu Pangeran Textra ya?" tanya dayang Vera.
"Iya. Kenapa? Mau nitip sesuatu?" Aku memandang dayang Vera yang berdiri di sisi kuda putih milikku, sementara aku sudah nangkring di atas punggung kuda.
Vera menganggukkan kepalanya. "Tunggu sebentar ya!" pintanya kemudian berlari memasuki lorong istana.
Tak berapa lama, dayang Vera kembali dengan membawa bungkusan kain yang lumayan besar.
"Apa ini?" tanyaku keheranan.
"Berikan saja pada Pangeran!"
"Gede amat! Isinya apa?" tanyaku heran. Dayang Vera langsung mengikatkan bungkusan itu pada besi yang berada di bagian belakang tempat dudukku.
"Eh!? Jangan diikat di situ. Taruh depan sini aja!" pintaku. " Bisa oleng kudaku, berat sebelah."
"Oke." dayang Vera melemparkan bungkusan itu ke tanganku.
"Ya ampun! Berat banget! Isinya apa ini?" tanyaku penasaran.
"Kasih aja ke Pangeran Textra."
"Seberat ini dan kamu nggak mau ngasih tahu aku? Mending aku tinggal aja deh." Aku bersiap melemparkan kembali bungkusan itu ke lantai.
"Jangan! Itu isinya pakaian dan makanan untuk Pangeran Textra."
"Sebanyak ini?"
Dayang Vera mengangguk.
"Awas, ya! Kalo ketahuan Mbak Daya, kamu ngirim pakaian dan makanan sebanyak ini untuk Pangeran Textra. Kamu bakalan Kreeek." Aku meletakkan telapak tanganku tepat di leher untuk menakuti dayang Vera.
"Jangan sampai Ratu Daya tahu. Saya mohon!" Dayang Vera merapatkan kedua telapaknya untuk memohon.
"Hmm." Aku langsung memacu kudaku menuju Pulau Pengasingan.
Sesampainya di sana, aku mengitari pulau sampai tujuh kali untuk mencari keberadaan Pangeran Textra. Belum juga aku temukan. Sampai hari beranjak sore, Pangeran Textra masih belum terlihat batang hidungnya.
"Duh, jangan-jangan Pangeran di makan binatang buas?" celetukku ngasal. Tapi, setauku tidak ada binatang buas di sini. Aku pernah diasingkan di sini beberapa waktu lalu karena merobohkan menara istana. Semuanya baik-baik saja.
Ada banyak kemungkinan yang bisa terjadi. Bisa saja Pangeran Textra kabur dari tempat ini. Atau dimakan buaya sungai yang kebetulah lewat? Ah, rasanya nggak mungkin kalau buaya makan buaya.
"Pangeran!!!" Akhirnya aku berteriak agar Pangeran Textra menyadari kedatanganku.
"Pangeran ... aku bawain makanan enak loh. Kalau nggak mau muncul, terpaksa deh makanannya aku bawa balik ke istana." Aku masih berputar-putar dengan kudaku sambil berteriak.
"Jangan!" Tiba-tiba aku mendengar suara Pangeran Textra. Aku memandang ke sekeliling, tidak ada siapa-siapa. Hanya pepohonan yang rimbun dan beberapa pohon besar.
"Kok, nggak ada orangnya? Jangan-jangan pangeran udah jadi hantu?" Aku mengusap tengkuk yang mulai merinding.
"Siluman takut sama hantu? Hahahaha ...." Akhirnya aku dapati Pangeran Textra yang sedang tertawa terbahak-bahak di atas pohon kelapa.
"Pangeran!? Ngapain di situ?" teriakku.
"Ambil kelapa muda. Kamu mau?"
"Boleh."
Pangeran Textra langsung melempari aku dengan buah kelapa muda. Aku sampai kebingungan menghindarinya. Satu buah kelapa tepat menancap di ujung pedangku. Kemudian, Pangeran Textra turun dengan cepat.
"Kamu bawa makanan apa?" tanya Pangeran Textra saat sudah dekat denganku.
"Nih!" Aku melemparkan bungkusan yang diberikan dayang Vera.
"Berat banget!" celetuk Pangeran Textra yang sampai terhuyung-huyung menerima bungkusan kain itu.
"Berarti banyak makanannya."
"Kok, tumben banget kamu ke sini bawakan makanan sebanyak ini?"
"Itu titipan dayang Vera. Aku mah ogah bawain makanan buat Pangeran. Bukannya Pangeran udah survive banget di tempat ini?"
"Tega amat sih? Katanya, kamu cinta sama aku?"
"Itu dulu. Sekarang ... aku mau coba jatuh cinta sama Pangeran Radh. Mudahan Muza cepat nemuin Pangeran Radh." Aku turun dari kuda.
"Apa? Jatuh cinta kok coba-coba?"
"Yah, siapa tahu aja Pangeran Radh membalas cintaku juga."
"Bukannya aku juga sudah membalas cintamu?"
"Kapan?"
"Kapan ya?" Pangeran Textra nyengir sembari menggaruk kepalanya yang memang sudah gatal-gatal karena tidak mandi.
"Lagian, aku mah ogah kalau harus bersaing sama kuda, sama tikus, sama kucing buat ngerebutin cinta seorang Pangeran Textra. Jelas aja Pangeran milihnya aku kalau saingannya binatang semua." Aku membuka satu buah kelapa yang sudah menancap di ujung pedangku. Meminum airnya dan merasakan kesegaran di kerongkonganku. Sementara Pangeran Textra juga sibuk membuka bungkusan dari dayang Vera.
"Wah ... ini makanan kesukaan aku!" Pangeran Textra langsung melahap 3 bungkus nasi padang kesukaannya.
Aku mengerutkan keningku, heran melihat Pangeran yang makan dengan lahapnya.
"Laper banget ya?"
Pangeran menganggukkan kepalanya dengan mulut penuh makanan.
"Ya udah. Pemberian dayang Vera sepertinya cukup untuk sebulan ke depan. Aku pamit pulang." Aku beranjak dari tempat dudukku. Melihat matahari yang mulai tenggelam di bawah air laut. Warnanya indah, berkilauan seperti emas.
"Kok, pergi?" tanya Pangeran.
"Tugasku hanya memastikan kondisi Pangeran baik-baik saja."
"Aku nggak baik-baik saja."
"Maksudnya."
"Aku kesepian. Temani aku dulu!" pinta Pangeran Textra dengan mulut yang masih mengunyah makanan.
"Pangeran ... bukankah pangeran dikirim ke sini memang untuk sendirian? Supaya tidak membuat gaduh negeri."
"Kamu yang punya akses ke tempat ini. Tidakkah kamu kasihan melihat aku yang sekarang kurus kering seperti ini?" Pangeran Textra bangkit dan berdiri di hadapanku.
Aku memandangi tubuh Pangeran dari ujung kaki sampai ujung rambut. Aku mengernyitkan dahiku. Kurus keringkah tubuhnya? Aku tidak yakin. Sepertinya berat badannya justru naik. Badannya terlihat lebih gempal daripada masih mengurus kerajaan. Aku menahan tawa melihat tingkah Pangeran Textra. Sepertinya ... dia bukan tubuhnya yang kurus. Tapi, hatinya yang kurus karena tak terurus. Biasa ditemani dengan banyak dayang dan wanita-wanita cantik. Sekarang harus sendirian di Pulau Pengasingan tanpa bisa keluar. Hihihi...
"Oke. Aku temani sampai matahari benar-benar tenggelam." Aku tersenyum.
"Nah, gitu dong!" Pangeran Textra tiba-tiba merangkulku.
"Udah berapa hari nggak mandi?" Aku nyengir karena mencium bau badannya yang sangat menyengat. Entah bau apa yang melekat di tubuhnya. Bikin aku mual dan mau muntah.
"Loh? Kenapa mual-mual gitu? Aku belum ngapa-ngapain kamu, kok sudah hamil?" goda Pangeran Textra.
"Nggak usah bercanda! Nggak lucu! Mandiiiiiiiii.....!!!! Bau banget....!!! Uweeek....!"
"Aku setiap hari mandi. Tapi nggak ada baju ganti. Untungnya dayang Vera si dayangku tercinta pengertian banget bawain aku pakaian." Pangeran Textra menatap genit sembari menggigit bibirnya.
"Ya sudah. Aku mandi dulu. Jangan ngintip ya!" Pangeran Textra menarik beberapa lembar kain dan berlari menuju sungai.
Sementara aku duduk kembali di salah satu kayu mati sambil memandangi pantai. Kebetulan sekali pulau ini berada di tengah-tengah laut. Pangeran Textra tidak bisa berenang dan tidak memiliki akses untuk keluar masuk. Berbeda denganku yang bisa keluar masuk dengan kapal kerajaan. Pulau ini juga sebenarnya di jaga oleh prajurit di pintu masuk.
Matahari mulai tenggelam. Aku mengumpulkan ranting kayu dan menyalakan api dengan batu sembari menunggu Pangeran Textra kembali.
Sudah 3 kali aku mengganti ranting kayu yang terbakar, Pangeran Textra belum juga kembali. Matahari sudah berganti dengan rembulan yang sudah meninggi dan berada tepat di atas kepala. Aku merebahkan tubuhku di atas kain yang sudah aku gelar. Menunggu Pangeran datang sambil menghitung bintang yang bertebaran di langit. Iseng amat sih aku? Ngitungin bintang? Hadeeeh ....
Aku putuskan untuk mengambil satu bintang, menggenggamnya dengan tangan kananku dan aku mengeluarkan bola-bola cahaya yang beterbangan di atas kepalaku.
"Gimana? Udah nggak bau kan?" Tiba-tiba Pengeran Textra sudah duduk di sampingku.
Emang sih ... nggak bau sebusuk tadi, tapi bau amis malah tercium dari tubuhnya. "Bau amis!" celetukku.
"Oh ... iya. Aku dapet ikaaan!" Pangeran Textra mengangkat ranting pohon yang dipakai untuk menyusun ikan-ikan, diangkat tepat di atas wajahku.
"Apaan sih!?" Aku langsung bangkit. "Bau tau!"
"Bukannya kamu juga biasa makan ikan kayak gini? Ingat nggak waktu pertama kali kita ketemu? Kamu lagi makan ikan dari kolam kerajaan? Ikan-ikan kesayanganku itu."
"Iyaa..."
"Ya udah. Bakar gih! Aku laper!" perintah Pangeran Textra.
"Baru aja ngabisin 3 bungkus nasi padang. Udah laper lagi?"
Pangeran Textra hanya meringis.
"Pantesan gendut!!" umpatku.
"Cepet! Bakarin ikannya!" perintahnya lagi.
"Ogah, ah!"
"Kamu mau membantah titah Pangeran!? Hah!?"
"Apaan sih!?" Aku menyambar ikan yang ada di tangan Pangeran Textra. Berjalan mendekati perapian dan membakarnya.
"Hmm ... malam ini indah banget ya?" Pangeran Textra merebahkan diri di atas kain yang tadinya aku pakai untuk berbaring. Ia memandangi langit luas yang bertaburan dengan bintang-bintang. Bola-bola cahaya milikku melingkar mengelilingi kami.
"Ini bola cahayamu?" tanya Pangeran Textra.
Aku tak menghiraukan ucapannya, fokus pada ikan yang aku bakar. Untungnya Pangeran membawa ikan yang sudah dibersihkan. Tinggal bakar doang. Kalau masih disuruh bersihin ikan, kutaruh memang pedangku di lehernya.
"Kamu sengaja bikin suasana romantis untuk kita berdua ya? Supaya aku jatuh cinta sama kamu?" tanya Pangeran tanpa menoleh ke arahku, ia masih terus memandangi langit sambil sesekali melemparkan pandangannya pada bola-bola cahaya milikku.
"Nggak!" Aku bangkit dan menyambar satu bola cahaya milikku, memasukkannya ke dalam ikat pinggang dan seketika semuanya menghilang.
"Loh? Kenapa? Kan jadi gelap?" Pangeran Textra mengangkat tubuhnya sembari memandangiku.
"Ada api. Ada cahaya bulan. Gelap dari mananya?" celetukku sambil melemparkan ikan yang sudah matang.
"Tidak bisakah kamu memberikannya dengan baik? Seperti para dayang melayaniku?" Pangeran menangkap ikan itu agar tidak jatuh ke pasir.
"Aku bukan dayang!"
"Oh... iya... kamu mau jadi selirku ya? Atau permaisuriku?" goda Pangeran Textra.
Aku hanya diam.
"Hmm ... ternyata gelap kayak gini juga lebih romantis ya? Kamu suka yang gelap-gelap ya?" Pangeran Textra menghampiriku.
"Udah mateng semua. Aku pulang!" Aku bergegas melangkahkan kaki menuju kuda yang aku ikat tidak jauh dari tempat kami bercengkerama.
"Pangeran!!" teriakku saat aku tidak bisa melangkahkan kakiku. Ia menginjak salah satu sampur dan membuat langkahku tertahan.
"Kamu tau nggak, apa yang akan terjadi kalau hanya ada satu laki-laki dan perempuan di satu tempat yang sama dalam kegelapan seperti ini?" Pangeran menarik sampur dengan tangannya.
"Nggak tau." Aku menarik sampur yang ia pegang dengan kasar dan membuat Pangeran tersungkur karena tidak kuat menahannya.
"Aduh...!"
Aku menahan tawa melihat ia mengaduh. "Kapok!"
Dengan cepat aku menaiki kuda dan memacunya dengan cepat, menerobos kegelapan malam untuk kembali ke istana kerajaan Negeri Somplak.




Ditulis oleh Rin Muna
Hanya untuk hiburan
Samboja, 26 Januari 2019


Wednesday, January 23, 2019

Laut Membawa Pergi Cintaku

Dok. Pribadi
Pada senja aku serahkan setiap doa dan harapanku. Menikmati kerinduan sembari memandang lembayung senja. Berharap dia akan kembali, setelah ribuan hari tak pernah lagi kulihat senyumnya.

Di sini, aku mengenang cerita kita yang tak tahu akan berakhir seperti apa. Kau pergi bersama laut, tanpa pesan ...
Aku masih di sini, berharap kamu akan kembali mewarnai setiap langkahku, langkah kita...

Kini ... aku sendiri. Berdiri dengan satu kaki tanpamu lagi. Dua pasang kaki penuh bahagia pernah berada di sini, mengukir kisah di atas pasir-pasir yang berkilauan ditempa sang mentari. Dua pasang mata penuh cinta pernah bersama di sini, menatap senja penuh harapan akan cinta dan kasih yang akan menyatu.

Hari itu ... saat kamu melempar senyum di antara sinar lampu dan rembulan. Berucap manis dan tak jarang menghadirkan tawa. Saat tawa indah di tepi pantai itu baru saja terukir, laut menyapunya dan aku tak pernah melihatmu lagi, tak pernah mendengar suaramu lagi.

Aku terbangun dari gelap, menatap semua keindahan yang tiba-tiba hancur. Bahkan aku tak mampu berdiri. Tubuhku lemas, kakiku terjepit reruntuhan bangunan saat aku ditemukan. Peristiwa yang merenggut puluhan nyawa dan merenggut kaki kananku. Juga merenggut laki-laki yang paling aku cintai. Entah di mana ... sampai kini tak kutemui peristirahatan terakhirnya. Masih adakah dia di sini? Kenapa tidak segera menemuiku? Aku rindu...
Aku rindu pada jemari yang selalu mengusap lembut pipi dan rambutku.
Tak bisakah kamu kembali untukku?
Kenapa engkau begitu setia pada laut hingga tak pernah lagi kembali?
Apa laut telah membuatmu jatuh cinta? Hingga lupa kalau kamu pernah mencintaiku?
Aku masih di sini ... menunggumu entah sampai kapan ... Aku akan tetap menunggu sampai kamu bilang "Aku datang untukmu." atau kamu bilang, "Berhentilah menunggu!"
Kembalilah...!
Aku butuh kepastian.

Aku masih di sini... ribuan hari kulalui, berdiri dengan satu kaki dan berharap kau akan datang menghampiri.
Tak peduli teriakan orang yang mengatakan aku gila. Menunggumu yang tak akan pernah lagi kembali. Mereka bilang kamu sudah mati, bagiku tidak. Kamu masih hidup dan akan tetap hidup, dalam hati ini.

"Rin ... ayo pulang!" Seseorang membuyarkan lamunanku.
"Sebentar."
"Mau sampai kapan di sini?"
"Sampai matahari benar-benar tenggelam." Aku menjawab tanpa menoleh sedikitpun.
Dia hanya menarik napas perlahan dan menghembuskannya tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya.
"Rin, sudah setahun yang lalu dan Tirta tak pernah kembali. Tidak bisakah kamu menerima kenyataan kalau dia sudah meninggal?" Pria itu kembali mengajakku bicara.
Aku menatapnya sejenak dengan ekor mataku. Aku terdiam, menunggu matahari benar-benar tenggelam.
"Kamu tahu, Tirta selalu berpesan agar aku menjagamu ketika dia pergi jauh. Aku masih di sini, karena dia sahabatku dan aku akan menjaga amanah yang dia percayakan untukku."
Aku menghela napas dan memejamkan mataku sejenak. Tak memerdulikan kalimat yang terus keluar dari bibir Arya.
"Airin ... percayalah! Dia pasti akan bahagia melihatmu bisa hidup bahagia. Kembalilah jadi Airin yang dulu. Airin yang ceria, yang tak pernah mengeluh bahkan menangis. Tirta pasti akan sangat terluka jika melihatmu seperti ini."
Aku tak menjawab. Kali ini matahari sudah tenggelam sempurna. Aku membalikkan tubuhku, berjalan perlahan dengan tongkat kaki yang menopang tubuhku. Aku bisa mendengar langkah kaki Arya mengikutiku dari belakang.
Sejak kejadian tsunami setahun lalu, keluarga dan teman-temanku tak ada yang selamat kecuali Arya. Dan dia yang setiap hari menemani langkahku. Arya, sahabat dekat Tirta. Banyak hal yang sudah kita lalui bersama. Aku tidak bisa membuka hatiku untuk Arya.
Bagiku, Arya selalu mengingatkanku pada masa lalu, mengingatkanku pada Tirta. Aku ingin pergi jauh darinya. Supaya aku bisa lupakan semuanya.

Maafkan aku, Arya...!
Ada kisah yang lebih indah menunggu kita di luar sana. Kita hanya perlu memilih jalan masing-masing...




Ditulis oleh Rin Muna
Samboja, 23 Januari 2018


#fiksi
#cerpen

Wednesday, January 16, 2019

Ingin Kutahu Hatimu

Ilustrasi Gambar by Rin Muna


Aku memarkirkan motorku tepat di depan halaman salah satu bengkel yang ada di kota Balikpapan.
"Kak!" Aku menghampiri seorang cowok yang sedang sibuk memperbaiki sepeda motor pelanggannya.
"Hei, tumben main ke sini." Cowok itu langsung berdiri menatapku, mengelap tangannya sambil tersenyum.
"Nggak bawain kakak makanan?" 
Aku menggelengkan kepala. Biasanya aku main ke rumah Kak Ari membawakan cemilan kesukaannya. Tapi, kali ini aku ke bengkel dengan tangan kosong. Sepertinya ia sudah membaca kalau aku sedang ada keperluan penting.
"Ada apa emangnya? Nggak biasanya kamu ke sini. Mukamu serius banget gitu." Kak Ari mendengus ke arahku.
"Aku mau nanya sesuatu sama Kakak."
"Oh ya ... mau tanya apa?"
"Erick ngelamar aku." Aku menatap wajah Kak Ari. Tak ada ekspresi apa pun. Tatapannya datar, aku tidak bisa mengerti apakah dia bahagia atau justru merasa aneh mendengar pernyataanku.
"Bagus, dong." Kak Ari kembali berjongkok dan sibuk memperbaiki motor pelanggannya.
"Kak ..."
"Hmm ...."
"Menurut Kakak, dia gimana?"
Tak ada jawaban, masih sibuk memutar baut dengan kunci Y miliknya.
"Kak."
"Apa?"
"Menurut Kakak, dia gimana?"
"Gimana apanya?"
"Cocok nggak sama aku?"
"Cocok," jawabnya masih sibuk mengutak-atik motor pelanggannya.
"Apanya yang cocok?"
Kak Ari mengangkat kedua pundaknya.
"Kakak kok gitu sih? Aku serius. Aku belum tahu gimana Erick secara dekat. Gimana pribadinya, kehidupannya dia. Kak Ari kan sahabat Erick dari SMA. Pasti Kak Ari bisa kasih aku saran, sebaiknya aku terima dia atau aku tolak?" Aku menyandarkan tubuhku di dinding sambil menatap wajah Kak Ari.
Aku tidak bisa mengerti, ekspresi wajahnya datar. Tidak ada rasa senang atau sedih ketika aku menyampaikan kalau aku dilamar oleh Erick. Mungkin, dia hanya sekedar kaget sejenak. Selama ini, hampir setiap hari aku menghabiskan waktu bersama Kak Ari. Tidak ada perasaan suka atau sayang. Dia menganggapku sebagai adik, begitu pula sebaliknya. 
Biasanya, dia selalu ceria. Hal yang selalu membuatku tersenyum mengingatnya adalah ketika ia mengusap atau mengacak-acak rambutku. 
Aku tidak punya kakak kandung, karena itu aku merasa perhatiannya istimewa. Mungkin, ada saatnya kita akan sama-sama kehilangan. Aku yang kehilangan dia sebagai kakak, dan dia yang kehilangan aku sebagai adik.
Ah, apa iya dia akan merasa kehilangan aku? Rasanya ... dia tidak akan seperti itu. Kalau dilihat dari wajahnya, dia akan baik-baik saja. Bahkan mungkin dengan mudahnya melupakan aku.
"Kak, aku masih ragu sama dia."
Kak Ari mendongakkan kepalanya menatapku. "Kenapa?"
"Entahlah ...." Aku mengangkat pundakku. Berharap, dia akan mengatakan "Jangan terima lamaran Erick!"
Ah, tapi tidak mungkin dia akan mengatakan itu. Aku bukan bagian penting di kehidupannya. 
"Kakak pernah bilang, akan jadi orang pertama yang ngelindungi aku kalau ada yang nyakitin. Seandainya aku terima dia dan aku tidak bahagia karena dia menyakiti aku. Apa kata-kata itu masih berlaku?" Aku menatap Kak Ari, menahan air mataku agar tidak jatuh.

Kak Ari menghampiriku dan menggenggam kedua pundakku. "Dek, Kakak sayang kamu seperti adiknya Kakak sendiri. Tapi, ketika kamu sudah memilih untuk berkeluarga. Kakak bukan siapa-siapa kamu lagi. Erick yang akan menjaga kamu. Percayalah!”
“Tapi, Kak—”
“Laki-laki yang berani melamar kamu, artinya dia serius sayang sama kamu.” Kak Ari tersenyum menatapku.
“Sebelum aku terima dia, aku mau kakak ceritakan sama aku, semua keburukan dia.”
“Maaf ... untuk itu Kakak nggak bisa.”
“Oke. Kalau emang Kakak nggak bisa ceritain ke aku. Kalau sampai aku nggak bahagia sama dia. Kakak adalah orang pertama yang harus bertanggung jawab!” ucapku ketus sambil berlalu pergi.
“Dek ...!” Aku dengar ia masih memanggilku. Aku hanya menoleh kesal, berjalan menuju motorku dan berlalu pergi.
Kak ... bukan itu yang mau aku dengar. Setelah sekian lama kita menghabiskan waktu bareng. Setelah sekian banyak hal yang kita lewati bareng. Kenapa sampai hari ini, bahkan di saat aku harus memilih dengan yang lain. Kamu masih tetap sama, menyayangiku sebagai adik. Sementara hatiku mulai berubah. Aku ingin kita ada hubungan lebih, bukan sekedar bersahabat. Setelah semua perhatian yang kamu berikan buat aku. Apa salah bila akhirnya aku benar-benar jatuh cinta. Kamulah yang selalu aku rindukan untuk mengisi hari dan hatiku.
Kak ... mungkin ini terakhir kali kita akan bertemu dan saling sapa. Jujur, aku kecewa. Kalau kamu menganggapku sebagai adik, kenapa tidak ada rona bahagia dari wajahmu? Kalau kamu merasakan hal yang sama denganku, kenapa kamu tidak pernah mengungkapkan itu?
Aku berhenti sejenak mengendarai motor, merogoh kertas-kertas sketsa wajah yang aku buat untuk Kak Ari. Aku sobek dan kubuang di tempat pembuangan sampah. Aku ingin melupakan semuanya. Semua yang pernah aku lewati bersamanya.
Aku tinggalkan kertas itu bersama hujan yang tiba-tiba tumpah dari langit. Aku menangis bersama hujan. Supaya tidak ada satupun yang melihat air mataku. Air mata ini adalah awal luka di hatiku. Mungkin, masih ada hal-hal lain yang lebih menyakitkan yang akan aku hadapi.
Rin, kamu akan baik-baik saja. Kamu wanita hebat dan kuat,” batinku menyemangati diriku sendiri.
Aku melajukan motorku pulang ke rumah dan mendapati Erick sedang menunggu kedatanganku.
“Kenapa hujan-hujanan?” tanyanya heran. Ia tahu kalau aku tidak suka hujan-hujanan.
“Aku nggak enak badan. Sebaiknya kamu pulang.” Aku bergegas masuk rumah, menutup pintu rapat-rapat. Meninggalkan Erick yang terpaku sendirian di depan rumah. Setelah aku pastikan ia pulang, aku menangis sejadi-jadinya di dalam rumah. Aku tidak tahu, apa yang harus aku lakukan besok. Aku harap Tuhan tunjukkan jalan menuju bahagia.



Ditulis oleh Rin Muna
Samboja, 16 Januari 2019


Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas