Showing posts with label Cerpen. Show all posts
Showing posts with label Cerpen. Show all posts

Tuesday, February 26, 2019

[Fabel] Damai Itu Indah

ezeepoints.id

“Ggrrh...!” Kaka menyeringai ke arah Tian.
Tian telah siap menerima serangan dari Kaka, Si Badak yang akan menyerang dengan culanya. Sementara Tian sudah mengasah tanduknya tajam.
“Stop! Ada apa ini?” Bhin Bhin tiba-tiba datang sembari mematuki tubuh Tian.
“Aduh! Kenapa kamu mematuki tubuhku?” Tian Si Rusa jantan berteriak kesakitan.
“Jika tidak aku lakukan, tandukmu akan melukai Kaka.” Bhin Bhin bertengger di atas punggung Tian.
“Kenapa tidak mematuki tubuh Kaka? Bisa saja culanya melukaiku. Kenapa kamu membela Kaka?” Tian memutar kepalanya. Mencoba meraih tubuh Bhin-Bhin, namun ia hanya mampu berputar-putar mengelilingi tubuhnya sendiri.
“Aku tidak membela Kaka. Hanya saja kulit Kaka terlalu keras untukku. Paruhku yang cantik ini bisa rusak.” Bhin Bhin mengelus paruh dengan sayap kanannya.
Kaka terkekeh menyaksikan perdebatan antara Tian Si Rusa dan Bhin Bhin Si Burung Cendrawasih yang elok.
“Kamu mengolokku lagi?” Tian menyeruduk hidung Kaka dengan ujung tanduknya.
“Sebenarnya ada apa dengan kalian?” Bhin Bhin mencoba menengahi.
“Kaka telah mencuri makananku!”
“Aku tidak mencuri. Aku menemukannya di bawah pohon.” Suara besar Kaka terdengar khas.
“Aku sedang mengumpulkannya. Dan kamu mencurinya!” teriak Tian.
“Tidak! Aku menemukannya.”
“Kamu mencurinya!”
“Aku menemukannya.”
Tian dan Kaka sama-sama keukeuh dengan pendapatnya.
“Sudahlah! Jangan berkelahi! Bagaimana jika kalian berlomba saja?”
“Berlomba? Maksudmu apa Bhin Bhin?” Tian menatap Bhin Bhin.
“Daripada kalian berkelahi, kalian tidak akan mendapatkan apa-apa selain luka dan cedera. Lebih baik kalian berlomba. Siapa yang kalah harus mencarikan makanan untuk yang menang. Dan kalian harus berdamai!” Bhin Bhin mengepakkan sayapnya. Terbang dan bertengger di pucuk pohon yang tinggi.
“Baiklah. Lomba apa Bhin Bhin?” tanya Tian dan Kaka bersamaan.
“Di seberang sana ada pohon emas. Kalian harus bisa memetik buah emas. Kalian harus melewati tiga gunung tinggi, sungai dan hutan. Kalian harus bisa bekerjasama untuk mendapatkannya. Aku akan mengawasi kalian dari udara.”
“Baiklah.” Tian dan Kaka bersiap untuk menerjang hutan, sungai dan gunung demi mendapat buah emas.
Setelah melewati satu gunung tertinggi. Tian dan Kaka harus melewati sungai yang terbentang luas.
“Bagaimana menyebrangi sungai sebesar ini?” Tian dan Kaka berputar-putar mencari ide.
Sementara Bhin Bhin mengamati dari atas pepohonan.
“Bagaimana jika minta bantuan Bhin Bhin untuk membawa kita terbang?” bisik Kaka.
“Tidak mungkin! Bhin Bhin tidak akan sanggup membawa kita berdua terbang bersamanya. Membawa tandukku saja dia tidak akan kuat.” Tian berputar-putar mengelilingi Kaka.
“Ahaa... bagaimana jika menggunakan batang kayu untuk menyeberang?” Tian mendapati batang kayu teronggok di dekat mereka.
“Bagaimana caranya?” tanya Kaka.
“Kekuatanmu tidak diragukan lagi Badak. Ayo segera angkat batang kayu besar itu ke sungai! Kita akan menggunakannya untuk menyeberang!” pinta Tian. Kaka bergegas menunjukkan kekuatannya.
Mereka berhasil menyeberang sungai dengan susah payah. Kembali berjalan menyusuri hutan dan gunung.
“Ayo cepat!” Tian meneriaki Kaka yang mulai tertinggal jauh.
“Aku tidak bisa berlari secepat dirimu!” Kaka melangkahkan kakinya perlahan. Langkahnya mulai berat.
Tian berlutut di tanah. Menunggu Kaka menaiki gunung secara perlahan.
“Kenapa kamu berhenti?” tanya Bhin Bhin dari balik dedaunan.
“Aku akan menunggunya.”
“Bukankah lebih baik jika kamu sampai duluan? Kamu memiliki kecepatan!”
Tian menggeleng. “Kaka sudah membantuku menyeberangi sungai. Aku memiliki kecepatan, tapi aku tak punya kekuatan untuk menggendong Kaka.”
“Aku senang kamu mulai menyadarinya. Teman harus saling bekerja sama.” Bhin Bhin kembali terbang dari ranting ke ranting.
Tian dan Kaka mulai menikmati perjalanan mereka. Bercengkerama sembari bernyanyi hingga lupa jika mereka sedang bersaing atau berkelahi.
Tak terasa, Tian dan Kaka sudah sampai di pohon emas yang mereka tuju. Pohonnya sangat tinggi dan besar. Buahnya berkilauan.
“Bagaimana cara mengambilnya? Bukankah di antara kita tidak ada yang bisa memanjat pohon?” Kaka terduduk lemas.
Tian berputar-putar mengelilingi tubuh Kaka sembari mencari ide.
“Ayo jangan menyerah! Burung yang tidak bisa berenang saja bisa menangkap ikan di lautan!” teriak Bhin Bhin sembari berputar-putar di atas pohon emas.
“Bagaimana caranya? Kami tidak bisa memanjat!” balas Tian berteriak.
“Cicak tidak punya sayap dan tidak bisa terbang. Tapi dia bisa menangkap nyamuk. Ayo pikirkan caranya!” Bhin Bhin masih menyemangati Tian dan Kaka.
Tian dan Kaka berdiam diri. Berpikir cukup lama di bawah pohon emas. Tiupan angin kencang berhasil menjatuhkan satu buah emas dari pohonnya. Buahnya menggelundung ke bawah gunung dan tak sempat mereka kejar.
“Apa kita harus menunggu buahnya jatuh lagi?” tanya Kaka.
“Baik. Ayo kita tunggu!”
Berhari-hari mereka mengharapkan angin kencang datang lagi. Namun yang diharapkan tak kunjung datang.
“Bagaimana jika aku goyangkan saja pohon ini? Tapi, buahnya pasti akan menggelundung lagi ke bawah gunung.” Kaka menatap pohon emas yang berada di atas gunung.
“Aha..! Benar sekali! Ayo kamu goyangkan saja! Kamu memiliki kekuatan yang besar. Pasti bisa menjatuhkan buah emas ini. Sedang aku memiliki kecepatan dalam berlari. Aku akan bersiap mengejar buah yang jatuh.” Tian bersemangat.
Kaka mengangguk. Mereka bersiap untuk melakukan aksinya. Kaka menyeruduk pohon emas dan berhasil menjatuhkan buah emas yang sudah matang. Tian berlari secepat mungkin untuk mengejar buah-buah yang jatuh.
Tian mengumpulkan buah emas di bawah pohon. “Akhirnya kita berhasil mendapatkannya.” Tian dan Kaka saling berpelukan.
Bhin Bhin menghampiri mereka. “Lebih indah jika kalian bekerja sama bukan? Damai itu indah. Jangan berkelahi hanya karena makanan! Rakus hanya membuatmu kenyang sebentar saja. Sedangkan perdamaian dan persahabatan akan membuatmu bahagia selamanya.”
Tian dan Kaka menatap Bhin Bhin bersamaan, “Terima kasih Bhin Bhin sudah mengingatkan kami!”
Bhin Bhin mengerdipkan sebelah matanya. Terbang meninggalkan Tian dan Kaka yang akhirnya hidup damai berdampingan hingga anak cucu mereka.

[Cerpen] - Bije Ogah Love



Source: pixabay.com/pixel2013


“Sayang, kamu janji bakalan setia sama aku, kan?” Ogah menatap Bije, pria yang tak sengaja menjadi kekasihnya. Bije tersesat saat melakukan pendakian ke gunung bersama komunitasnya. Dia sudah berjanji, siapa saja yang bisa menolongnya akan dijadikan kekasih. Datanglah si Ogah, gadis kerdil yang menunjukkan jalan utama ke perkampungan. Namun, Ogah tak langsung mengantarnya. Ia masih menahan Bije untuk menghabiskan waktu bersamanya.
Bije mengangguk-anggukan kepalanya.
“Janji ya!”
“Iya.”
“Iya apa?”
“Iya, janji!”
“Janji apa?”
“Mmmm ....”
“Kok, mmm ...? Bilang dong, janjinya apa?”
“Janji bakalan setia.”
“Setia sama siapa?”
“Sama pacar aku, lah.”
“Pacar yang mana!?”
“Duh! Aku pergi dulu ya!” pamit Bije.
“Tuh, kan ... katanya mau setia. Tapi kok pergi, sih!?”
“Aku mau pulang, Ogah.”
“Jangan, Bang!” Ogah memeluk kaki Bije sangat erat.
“Astaga ...! Aku sudah dua hari dua malam di pondok ini bersamamu. Tidak kau beri makan. Lebih baik aku pulang ke rumah. Ummi pasti sudah masak banyak makanan lezat untukku.” Bije akhirnya lelah selama dua hari hanya mendengar celotehan Ogah.
“Bang Bije lapar?” tanya Ogah polos.
“Iyaaaaa ...! Kamu pikir dua hari tidak makan, aku tidak kelaparan? Dua jam saja aku sudah lapar, Ogah!” Bije mulai geram.
“Tapi, kan Ogah sudah bakarin ubi buat Bang Bije.” Ogah menatap sisa pembakaran yang ada di sisi pondok kecil tempat mereka singgah.
Bije menepuk dahinya sendiri. “Ogah sayang ... makan ubi aja nggak buat Bang Bije kenyang. Bang Bije mau balik ke kota dulu ya. Nanti, Bang Bije bawakan makanan yang enak-enak dari sana.”
“Serius, Bang!?” wajah Ogah sumringah.
Bije menganggukan kepalanya. Bergegas pergi meninggalkan Ogah yang merasa bahagia karena Bije akan kembali ke hutan untuk membawakannya banyak makanan enak.
“Bije, kamu ke mana aja?” tanya Said, salah satu temannya yang ikut dalam rombongan pendaki.
“Aku tersesat. Untungnya ada yang nolongin aku,” jawab Bije dengan napas terengah-engah.
“Siapa? Mana orangnya? Kami sudah dua hari khawatir, mencarimu ke mana-mana tidak ketemu. Untungnya kamu sudah kembali ke posko.” Said menatap wajah Bije yang pucat. “Temen-temen, Bije udah ketemu, nih.”
Beberapa teman Bije langsung menghampiri dan merangkul Bije. “Kamu ke mana aja?”
“Aku dua hari dua malam duduk di pondok itu sama cewek. Dia nggak mau aku tinggalin. Susah banget mau pergi sebentar aja.” Bije menunjuk pondok kecil di kaki gunung yang bisa dilihat dengan mudah dari posko, kemudian menenggak air mineral yang diberikan salah seorang temannya.
“Cewek? Siapa?” tanya Said penasaran.
Bije menganggukan kepalanya. “Ada, cewek di hutan. Badannya kecil, kulitnya hitam manis, rambutnya sebahu. Cantik sih, tapi­—”
“Serius!? Di pondok yang itu?” Said memotong pembicaraan Bije.
“Iya, kenapa?”
“Je, selama dua hari kita mondar-mandir nyari kamu. Udaah ratusan kali pondok itu kami singgahi dan nggak ada siapa-siapa,” tutur Said, diiyakan oleh teman yang lain.
Bije terkejut mendengar pernyataan Said. “Serius? Aku di sana dan nggak lihat kalian sama sekali.”
“Kita juga di sana dan nggak lihat kamu sama sekali.”
“Astagfirullah ... aku pacaran sama hantu!?” teriak Bije.
“Pacaran ...!?” teman-teman Bije menyahut serempak.
 Semua saling pandang. Kemudian secepatnya meninggalkan posko. Mereka segera kembali ke kota. Meninggalkan tanda tanya di benak Bije. Bagaimana jika hantu itu menagih janji setianya?


Ditulis di tengah kejenuhan
-Rin Muna-

Kalimantan Timur, 9 Oktober 2018



#DWPF
Clue : Setia/Pergi

Saturday, February 23, 2019

Apa Kata Mereka Tentang Rin Muna?


Eh, hari ini aku tiba-tiba iseng berselancar di Beranda Facebook. Trus, ada banyak postingan seru tentang Challenge-Challenge gitu... Akhirnya, aku ikutin deh buat seru-seruan. Aku pasang status (Eh!? Sekarang namanya udah ganti, bukan Status lagi, tapi Postingan). Hmm ... Oke lah, aku juga akhirnya buat postingan di Facebook, ngikutin challenge-challenge itu. Ingat ya! Challenge-Challenge bacanya celens-celens, bukan kaleng-kaleng! 😂

Dan ini adalah postingan aku di akun Facebook pribadi aku!

Kira-kira ... apa aja ya komentar temen-temen tentang aku? Aku juga penasaran diriku sebenernya seperti apa.  😂

Dan ini ... komentar mereka tentang aku:


Kata Ardiyana Yanna (Tetangga), aku ini kreatif. Wait! Masih mikir kenapa dibilang kreatif? Apa karena aku kere aktif? 😂

Kata Hendy Lazuardy Hendrawan (Penulis/Blogger), yang terlintas dipikirannya Duta Baca. Oke lah ya ... aku emang salah satu Duta Baca. Tapi, aku kan udah kenal lebih dulu sama dia sebelum aku jadi Duta Baca. Kenapa yang diingatnya Duta Baca? Tak apa lah. Setidaknya itu bagian dari kampanye minat baca. Semoga bisa mengemban amanah dengan baik.

Kata Ummy Masita (Adik kelas aku waktu SMP), sama dengan yang dipikirkan oleh Yanna. Hmm ... kalian jodoh sepertinya... 😂
Kata Dalle Doel (Pakde di Plukme), aku ini cantik. Waaah ... langsung gede kepala kalo dibilang cantik. Sampe mau jatuh-jatuh... Oke lah, semua wanita di dunia ini cantik kok. Allah menciptakannya jadi cantik dan harus disyukuri. Nggak boleh dihina, karena menghina ciptaan Allah sama dengan menghina penciptanya.
Kata Asih Nurdiati (Adik Kandung Aku), yang ada dipikirannya adalah Mamanya Lifia. Ini sih bener banget! Kenapa dia nggak terpikir kalau aku ini kakaknya? Apa dia sudah lupa sama kakaknya sendiri? 😂 Aku rasa enggak sih ya. Dia pasti lebih ingat sama Lifia karena dia sayang banget sama keponakannya yang sering dia buat nangis setiap kali dia pulang ke rumah.
Kata Saifur Rohman (Tetangga), yang ada dipikirannya adalah Mbah Har. Kamu tahu nggak Mbah Har itu siapa? Mbah Har itu bapak aku. Yah ... pasti dia ingatnya sama Mbah Har, orang Mbah Har sesepuhnya Kuda Lumping Temanggung Turonggo Lestari Budoyo. Yang nggak pernah absen setiap ada pementasan kesenian Jawa. Bapakku emang demen sama seni musik dan suara. Tapi, entah kenapa anak-anaknya nggak ada yang ketularan satu pun. Aku ... kalau nyanyi selalu nggak ngerti nada. Suara sama musik kejar-kejaran kayak film india. Ah ... kok jadi curhat? 😂

Kata Prayanti Kalvin (Duta Baca Kaltim 2018), TERBAIK.
Duh, tulisannya dikapitalin semua pula, ditambah tanda jempol. Padahal, dia mah yang terbaik. Dia salah satu wanita yang berprestasi dan aktif menginspirasi, menggalakan minat baca di daerah asalnya di Bontang. Aku sering kali liat dia wawancara di radio atau tv Bontang. Sedangkan aku? Aku mah apa atuh? Cuma remahan roti yang udah melempem. 😂
Kata Dede Mulyadi (Tetangga), ada 5 poin. Banyak amat ya? Hahaha ... ini peres deh kayaknya, bawa-bawa nama suami segala. 😂
Kata Muhammad Hendri Syamsudin (Teman Facebook), Cerdas. Kenapa dia bilang aku cerdas ya? Cerdasnya dari mana? Mungkin, karena dia belum pernah ketemu sama aku. Makanya dia bilang aku cerdas. Padahal, aslinya aku tulalit dan o'on banget. Sering nggak nyambung kalo diajak ngomong. Yang kayak gini kok dibilang cerdas, wkwkwkwk.
Kata Anna Aprillia (Teman Mainku), Cantik, kreatid dan pintar segala bidang dll. Wuuuaaa .... Gubrak!!! Ini nyeremin banget yak!? Pintar segala bidang, ini perlu uji kompetensi sepertinya. Karena sebenernya aku nggak paham apa-apa. Cuma demen bergerak doang. 😂
Kata Yenniwati Halim (Perpusda Kaltim), salah satu finalis Duta Baca Kaltim tahun 2018. 😂 Emang iya sih. Karena pertama kali kenal, emang sebagai finalis Duta Baca Kaltim 2018.
Kata Humaira Yuwono (Mantan majikan aku), pinter. Hmm ... ini masih perlu diuji kepinterannya. Soalnya, aku ngerasa nggak pinter sama sekali.

Kata Andria Junius (Duta Baca Kaltim 2018), super woman, multy talented. Hmm ... super woman itu sebenarnya karena kepepet loh, Jo. Karena aku harus ngerjain semuanya sendiri. Akhirnya, aku jadi super woman yang sebenernya nggak super. 😂
Kata Marta Sari (Tetangga), kreatif. Ini komen yang keberapa ya yang bilang aku kreatif? Wkwkwk... apa aku harus ikut ujian seberapa tingkat kreatifitasku? Aku ngerasa biasa-biasa aja, kok dibilang kreatif? 😂
Kata Tri Wulan (Temen Esde), kreatif, cantik, baik dan ceriwis. Wait! Aku gagal fokus sama kata ceriwis. 😂 Aku emang ceriwisnya minta ampun kalau ketemu sama yang ceriwis juga. Kalau ketemunya sama yang pendiam, ya diam juga. 😂 Itu artinya, kamu juga ceriwis kayak aku, Tri.
Kata Setiawan (Temen Esempe), seperti makanan. Asli ... aku dibikin mikir keras sama komentarnya orang yang satu ini. Seperti makanan? (Mikir sambil jalan mondar-mandir). Sampe sekarang masih gagal paham. Apa karena foto profil aku yang katanya mengingatkan sama Rumah Makan? 😂
Kata Abqar N Bagas (Bu Sidah, Guru RA & Tetangga), wanita sejuta ide. Walah ... ini hiperbola banget yak!? Sejuta!? 😂 Seratus aja nggak nyampe, apalagi sejuta. 😂
Kata Libyah (Temen dari Bayi), Wanita super strong, kreatif, cantik, multitalented. Duh ... banyak yang ngomong gini, bikin aku makin keki deh. Apa iya aku sampe segitunya. Perasaan, aku cuma duduk diam di rumah sebagai IRT dan nggak ngapa-ngapain. 😂



Kata Rona Meronastorestyle (Temen Esem A), Mandiri. Hmm... dia emang mengenalku sebagai perempuan mandiri sejak kami sekelas bareng. Aku yang tinggalnya di panti asuhan dan nggak pernah punya uang jajan karena kudu hemat-hemat banget. Cuma dikasih uang jajan 100rb untuk 6 bulan, makanya, aku harus mandiri. Biar nggak nyusahin ortu mulu. Oh ya, btw ... makasiih ya waktu Esem A, kamu sering traktir aku ke kantin. Hehehe ...
Kata Alista Rias (Tetangga), Smart. Ehem! Apa iya? Aku merasa otakku masih kosong dan nggak tau apa-apa. Sampe sekarang aja masih belajar mulu, ngais-ngais ilmu.
Kata Bunda Alya (Guru SMA 2 Balikpapan), Unyu-unyu dan ngangenin. Ah ,,, komen ibu ini bikin aku tersipu. Ternyata ... aku ngangenin ya? Sama ... aku juga kangen ketawa dan candaan bareng Ibu Norhayati Wahab. Ini guru yang keren dan asyik banget! Kalau aku masih Esem A, pasti aku sering banget datengin ibu ke ruang guru buat bercandaan. Biar lupa ngasih nilai ulangan, hihihi.


Oh ya... pas aku lagi nulis ini. Ternyata ada lagi komentar tambahan dari Amy Swan (Teman kerja aku dulu). Ini nih, katanya dia : Sahabat. Teman Kerja. Mama Lifia. Ibu yang hebat . Wanita yang kreatif. Pengkritik paling jujur. Kalau udah asik ngomong kadang lupa berhenti. ðŸ˜œ❤️
Datang ke status Challenge aku jg ya!

Ternyata, dia juga bikin challenge dan bakal aku masukin. ðŸ˜‚ Kalimat terakhirnya emang bener sih. Aku kalo udah ketemu orang, udah asyik ngobrol ngalor-ngidul, bisa lupa berhenti. Tau-tau udah magrib aja gitu. 😂 Ini emang parah dan sering bikin pasangan aku kesel. Makanya, kalo ke mana-mana, dia lebih baik nggak ikut daripada bete nungguin. 😂 Thanks Amy buat komentarnya. Pokoknya, kamu paling The Best deh... Kerja baik-baik di sana ya! Jangan lupa sholat dan selalu jujur dalam bekerja. Insya Allah penuh berkah...



Nah ... itu dia komentar temen-temen tentang aku. Kalian bisa simpulin sendiri deh gimana aku ini. Yang kadang-kadang suka berubah jadi peran orang lain. Yang paling tahu dan paling ngerti adalah orang-orang yang ada di sekitar aku. Karena aku tidak akan pernah bisa menilai diri aku sendiri. Walau ada beberapa orang yang tidak suka. Tapi, masih banyak kok yang sayang sama aku apa adanya. Aku emang sedikit keras kalo bicara, tapi doyan ngakak juga. So, bisa berubah-ubah kayak bunglon sesuai situasi dan kondisi.

Tulisan ini berupa curahan hati dan keseharian aku. Semoga nggak bikin kamu yang baca tulisan ini jadi eneg ya! 
Aku bukan mau menyombongkan diri, aku cuma mau mengabadikan momen ini. Siapa tahu, 50 tahun lagi aku terserang alzheimer akut dan tulisan ini akan jadi pengingat buat aku dan temen-temen di sekitar aku.


Maaf, kalau aku nggak nulis sesuai EBI dan PUEBI. Soalnya, lagi pengen santai aja. Hehehe ...


Friday, February 22, 2019

Ngintip Jadwal Timnas U22 - Piala AFF U22 2019

Source: batam.tribunews.com
Hari ini waktuku sedikit luang karena anakku tidak terlalu rewel dan kegiatanku juga tidak ada. Jadi, aku sempatkan berselancar di internet menggunakan smartphone.
Tiba-tiba saja ada email masuk yang cukup menggoda mata untuk membukanya. Yakni, email newsletter tentang Jadwal Timnas U22.
Aku baru tahu kalau ternyata Garuda Muda Indonesia sedang berjuang di laga pertandingan sepak bola. Sebelumnya, aku emang nggak update soal gini-ginian.
Dulu, aku pernah suka banget sama bola waktu umurku sekitar 20 tahun. Itu pun karena beberapa teman ada yang pemain bola dan aku sering mengikuti pertandingan karena permintaannya untuk bisa menonton pertandingan. Sehingga, aku lebih intens berhubungan dengan dunia bola.
Namun, lambat laun rasa suka itu mulai hilang dengan sendirinya. Seiring berjalannya waktu, aku makin banyak kegiatan dan tidak lagi punya waktu untuk mengikuti kegiatan Timnas U22.
Karena ada pemberitahuan tentang jadwal U22, ya sekalian aja aku ngintip-ngintip sedikit tentang Jadwal Timnas U22.

Selamat berjuang mengharumkan nama Indonesia, para Garuda Muda. Terus senangat pantang menyerah, pantang kalah. Kalau masih kalah, berarti harus belajar lagi.
Apa pun hasilnya nanti, semoga tidak menyurutkan semangat adik-adik untuk terus berjuang. Jangan sampai membuat kisruh karena supporter yang fanatik dengan club bolanya.
Setidaknya mereka sudah berusaha, berjuang untuk bangsa dan negara. Apa pun hasilnya, akan tetap kami hargai dan apresiasi....


Silakan baca beritanya di sini:
Hasil Akhir Timnas U22 Indonesia Vs Kamboja. 2 Gol Wanewar Bawa Ke Semifinal Piala AFF U22-2019

Piala AFF U22-2019 Jadwal Timnas Indonesia







Cerpen | Uangnya Ke Mana Ya?

Sumber Gambar: pixabay.com


Hari ini adik sepupuku datang ke rumah. Dia bermaksud menginap beberapa hari karena kami berbeda kota.
Saat dia sedang asyik main gadget, aku mengajaknya untuk keluar sebentar ke jalan provinsi. Sebab, aku memang tinggal di daerah terpencil yang jaraknya sekitar delapan kilometer dari jalan provinsi.
Sepanjang perjalanan, dia ngedumel soal jalanan yang rusak. Aku hanya menanggapi asal-asalan saja.
"Sialan! Nembel jalan kok ya nanggung banget? Putusnya pas di tengah gunung gini. Kenapa nggak dilanjutkan sampe sana sekalian?" umpatnya ketika motor yang kami pakai menghantam gundukan semenisasi sambungan yang terputus di tengah gunung. Sekitar 10 meter, ada lagi gundukan semen tambalan jalan.
"Yah, emang dibikin begitu. Kan lumayan juga, yang 10 meter bisa masuk kantong," celetukku ngasal.
"Asyem ki, malah dikorupsi. Mikirin kantong dewe!"
"Ya iya lah, mikirin kantong dewe. Timbang mikirin kantong orang?" sahutku sambil tertawa terbahak-bahak.
"Otaknya koruptor ya emang gitu. Gak mikirin rakyat kecil!"
"Hehehe ... udahlah jangan ngedumel aja. Rakyat kecil kayak kita ini memang bisanya cuma ngomel doang. Nggak ada yang hiraukan, tetep aja banyak koruptor. Nggak cuma pejabat tinggi, pejabat rendah aja bisa korupsi kalo nggak kuat imannya."
"Iya, sih."
"Padahal daerah ini termasuk daerah kaya loh. Di sini ada perusahaan tambang minyak, tambang batubara, perusahaan kelapa sawit yang lumayan besar. Tapi, pembangunan infrastrukturnya nggak begitu pesat. Uangnya masuk ke mana ya?"
"Nggak tau juga aku, nggak paham politik!" sahut Reza.
"Eh, aku kepikiran sesuatu deh. Gimana kalo kita bikin konten kayak gitu?"
"Konten apaan?"
"Konten buat nyindir pejabat yang korupsi. Ceritanya ... aku jadi pejabat koruptor, kamu jadi rakyat cilik. Kamu berani nggak?" tantangku.
"Berani, lah. Bikin video gitu doangan."
Kami pun menyiapkan perlengkapan video setelah kembali ke rumah.
Kebetulan, sepupuku ini hobi banget nge-vlog walau enggak terkenal.
Naskah dialog juga sudah kami persiapkan untuk membuat video. Sebisa mungkin, kritik terhadap pejabat koruptor bisa tersampaikan dengan baik. Karena aku yang berperan sebagai koruptor. Maka, aku harus membuat orang yang menonton membenci aku sebenci-bencinya. Artinya ... aku berhasil memerankan tokoh koruptor di sini.
Mulai dari korupsi uang seribu rupiah sampai ratusan juta rupiah.
"Jadi koruptor itu enak ya?" tanya Reza usai kami membuat video kreatif.
"Hah!? Sejak kapan korupsi jadi profesi?"
"Lah? Kok profesi sih?"
"Itu tadi kamu bilang jadi koruptor. Biasanya, orang bilang jadi polisi, jadi guru, jadi dokter dan lain-lain. Bukan jadi koruptor!" jelasku.
"Ish ... Mbak ini aneh, lho!" celetuk Reza.
"Hehehe ..." Aku cengengesan.

###

Memang benar, kalau sudah urusan politik, isinya pasti segala tipu daya dan upaya. Yang benar bisa jadi salah, yang salah bisa jadi benar.
Terlebih di era digital yang semakin berkembang dengan pesat. Kita tidak bisa membedakan mana yang jujur dan mana yang berbohong. Bahkan, berita hoax mudah sekali tersebar dan mendoktrin masyarakat luas.
Kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan pemerintah, bisa jadi masyarakatnya juga yang salah. Begitu juga sebaliknya. Semua harus bisa introspeksi diri dan menyadari kekurangan masing-masing agar bisa bersikap lebih baik lagi.

Thursday, February 21, 2019

Cerpen | Jodoh Kedua

Pixabay.com/pexels
Baca tulisan serupa di Kompasiana

"Mbak, apa belum bisa juga sampai sekarang?" Pertanyaan dari mulut cowok yang usianya 4 tahun lebih muda dariku membuat kepalaku berdenyut.
Cowok itu masih saja menatapku dengan senyum yang ... kuakui memang memesona.
"Apa tiga tahun masih kurang?" Belum juga aku menjawab pertanyaan pertamanya, sudah datang pertanyaan berikutnya dengan senyuman khasnya.
"Aku sayang sama Maura seperti anakku sendiri." Ia masih menatapku, menunggu jawaban.
Aku mengalihkan pandanganku pada Maura yang sedang bermain pasir di tepi pantai.
Maura ... gadis kecil berusia 6 tahun yang baru duduk di bangku TK. Dialah gadis kecil yang keluar dari rahimku enam tahun lalu.
Dia menjadi anak yatim sejak 3 tahun lalu. Saat usianya masih kecil, ia harus kehilangan ayahnya karena kecelakaan kerja yang merenggut nyawanya.
Sejak itu juga aku menjadi seorang single parent, merawat dan membesarkan anakku tanpa seorang ayah.
Beberapa orang terdekat menyarankan aku mencari ayah baru untuk Maura. Namun, hatiku begitu berat melakukannya. Aku takut jika aku tak bahagia ketika memilih menikah lagi, atau justru puteriku yang tak bahagia hidup dengan ayah tiri.
Setelah kepergian suamiku, aku tidak pernah dekat pria lain kecuali Lukas Hexam. Pria muda yang kini ada di hadapanku. Dia tidak pernah berusaha menjauh dariku atau pun Maura meskipun dengan segala cara aku mencoba mengusir dan membencinya. "Aku sudah terlanjur cinta pada kalian." Kalimat itu selalu diucapkan Hexam ketika aku memintanya pergi dan membenci.
Selama tiga tahun ia membuktikan kesungguhannya mencintaiku juga Maura.
Selama itu pula aku tidak mampu menerimanya dalam kehidupanku. Apalagi sampai masuk menjadi bagian dari keluarga kecilku. Entahlah ... aku sendiri tidak mampu menggambarkan perasaanku sendiri.
Hexam dengan mudahnya mencuri perhatian Maura. Hampir setiap hari ia datang untuk bermain bersama Maura. Setiap akhir pekan juga ia sempatkan mengajak Maura jalan-jalan seperti sekarang ini. Ia asyik bermain di pantai bersama keponakan Hexam.
Sementara aku sibuk dengan warung nasi yang jadi penyambung hidupku dan anakku satu-satunya. Hexam selalu menyempatkan diri mampir ke warung. Sekedar memesan secangkir teh hangat, kadang juga membantu saat pelanggan warungku sedang banyak.
"Mbak...!" Suara Hexam membuyarkan lamunanku.
"Ya." Aku gelagapan karena terciduk sedang melamun sementara cowok di depanku menunggu sebuah jawaban.
"Mbak, aku serius."
"Kamu terlalu muda buat aku. Lagipula aku ini janda beranak satu. Sedang kamu lelaki bujang yang selayaknya mendapatkan wanita yang jauh lebih baik daripada aku." Lagi-lagi alasan ini yang keluar dari mulutku. Aku yakin, Hexam sudah khatam dengan jawabanku kali ini.
"Aku sudah bilang, aku terlanjur cinta sama mbak dan Maura. Walau banyak di luar sana gadis yang lebih muda dan cantik. Cuma Mbak yang selalu ada di pikiran dan hatiku." Hexam sudah mengatakan ini berkali-kali. Tidak berubah sejak ia ucalkan 2,5 tahun yang lalu. Ia masih menatapku dengan wajah serius.
Aku membalas tatapannya. Hexam yang ada di hadapanku sekarang, bukan laki-laki ingusan berusia 12 tahun. Dia sudah berubah jadi cowok dewasa berusia 26 tahun yang memandangku dengan cara berbeda.
"Mbak, asal mbak tahu. Aku suka sama mbak sejak aku berusia 13 tahun. Aku mengagumi mbak sejak dulu. Tapi, aku sadar kalau aku tidak mungkin bisa bersaing dengan kakak-kakak kelas 2 SMA yang uang jajannya jauh lebih banyak. Saat itu, aku ingin memberikan hadiah spesial buat mbak. Tapi, aku nggak punya uang. Aku nggak mungkin berani mendekati mbak hanya bermodalkan kata-kata bocah ingusan."
Aku hampir tertawa mendengar kalimat terakhirnya.
"Sekarang aku sudah berubah. Aku sudah punya pekerjaan. Sudah punya rumah. Dan aku akan berusaha melakukan apa pun untuk membuat mbak bahagia."
"Apa aku masih kurang mapan?" Lagi-lagi pertanyaan itu ia ajukan dan sudah pasti aku jawab dengan gelengan kepala.
"Terus ... kenapa mbak Naira masih terus menolak aku?"
Duh, ini pertanyaan yang sulit untuk kujawab. Aku tidak punya alasan tepat kenapa aku harus menolak.
"Mbak, apa perjuanganku selama bertahun-tahun masih kurang?"
Aku menggelengkan kepala.
"Terus? Kenapa aku masih ditolak terus sih? Mbak tahu kan kalau aku ngarep banget jadi pasangan hidup mbak?"
Aku menghela napas dalam-dalam. Memejamkan mata dan masih berpikir, kalimat apa yang seharusnya aku katakan pada Hexam? Haruskah aku belajar membuka hati untuk dia?
"Kasih aku waktu..."
"Berapa lama lagi?" Hexam menatapku tajam, membuat aku tertunduk dan tak mampu berkata apa pun.
Ini pertama kalinya aku lihat raut wajahnya begitu tegang dan serius. Biasanya ia selalu penuh dengan candaan. Sampai-sampai aku tidak bisa membedakan mana ucapan yang serius dan mana yang bercanda.
"Sampai ... kamu berhenti memanggilku 'mbak'!" sahutku tanpa menatap wajahnga.
"Serius? Apa itu artinya Mbak Naira .... eh!? Maksudku ... kamu ... mau menerima aku?" Hexam tersenyum, mendekatkan wajahnya ke arahku sembari menaikkan kedua alisnya. Sepertinya dia masih ragu dengan ucapanku.
Aku mengangguk perlahan. "Asal kamu mau berhenti memanggilku 'mbak'!" Aku mengedikkan bahuku.
"Gampang Mbak. Eh!? Maksudku... gampang! Aku bakal lakuin apa aja buat kamu."
"Serius?" sahutku menggoda.
"Iya. Tapi, jangan yang aneh-aneh juga. Yang wajar-wajar aja lah."
"Yang aneh-aneh itu yang seperti apa?" tanyaku sok polos.
"Yah ... seperti minta mobil mewah gitu."
"Jadi? Kalau aku minta mobil mewah, kamu nggak akan berusaha berjuang buat aku?"
"Ish! Nggak gitu maksudnya. Seandainya kamu beneran minta. Aku pasti berusaha keras mendapatkannya. Kalau nggak dapat ya terpaksa aku kasih brosurnya doang," celetuk Hexam.
"Kok brosurnya sih!?" Aku mencubit lengannya yang kekar.
"Abisnya ... minta aneh-aneh aja!" sahut Hexam.
Aku menggelengkan kepala tanda tidak mengerti dengan perasaanku sendiri.
Aku dan Hezam kembali masuk dalam ruang yang sama dari masa lalu yang berbeda.
Perbedaan itulah yang membuat kami saling memahami dan mengerti.

Dan kini aku mengerti...
Kalau jodoh sudah ada di tangan Tuhan. Termasuk jodoh kedua yang kini hadir dalam kehidupanku.
Aku pikir, ketika menikah pertama kalinya ... dia adalah jodohku. Lalu, Tuhan merenggutnya dan memberikan aku jodoh untuk kedua kalinya.
Dia hadir bukan untuk menggantikan singgasana cinta mendiang suamiku dalam hatiku. Tapi ... dia punya ruang sendiri di hatiku yang mampu membuat hatiku menjadi lebih baik. Ada banyak ruang di hatiku dan semuanya spesial dengan caranya masing-masing.
Tuhan ... jika Hexam adalah jodohku yang kedua, maka biarkanlah cinta kami abadi sampai kami tua, sampai kami dengar cucu dan cicit kami mengatakan kami "Pikun".

Ditulis oleh Rin Muna
East Borneo, 17 Februari 2018

Penakata Challenge Time | Horror Scope Books Effect



Tulisan ini telah saya bagikan untuk Penakata.com

Lina merapatkan tubuhnya ke dinding kamar yang berbahan papan kayu. Napasnya tersengal usai berlari dari salah satu ruangan yang berada di lantai dua rumah barunya. Ia baru saja pindah seminggu yang lalu ke rumah ini. Ia harus mencari rumah tinggal yang jauh lebih murah karena kondisi perekonomian keluarganya sedang terpuruk.
Ia mendapati rumah  murah di pinggiran kota yang lumayan sepi. Rumah yang terbuat dari papan, berlantai dua, lama tak berpenghuni. Di halaman rumah terdapat dua pohon beringin dari jenis yang berbeda. Dilihat dari kondisi halaman dan sisa-sisa pot tanaman, sepertinya pemilik rumah terdahulu adalah pecinta bonsai. Bisa jadi, pohon beringin yang kini tinggi menjulang adalah salah satu koleksi yang pada akhirnya tidak terawat.
Dari penuturan warga sekitar, rumah ini terkenal angker. Namun, Lina tak punya pilihan lain selain tinggal di sini. Hingga lima hari lalu, Lina memilih untuk tidak pulang ke rumah sebelum ayahnya sampai ke rumah. Ia tidak ingin sendirian di rumah yang terkenal kisah horornya.
Namun, malam ini Lina tiba-tiba lupa. Ia tertidur sore hari dan terbangun tepat pukul delapan malam. Ia mulai mendengar suara-suara aneh seperti yang ia dengar pada malam-malam sebelumnya. Itulah yang membuat Lina memilih untuk tidur bersama kedua orang tuanya.
"Ayah ... ibu ... please, cepat pulang!" ucap Lina lirih sembari menoleh ke arah pintu yang berderit.
Dari ekor matanya ia menangkap sosok bayangan aneh melangkah di lorong kamarnya. Sosok seperti manusia tapi berkepala kambing. Derap langkahnya semakin mendekat ke arah pintu kamar Lina yang setengah terbuka.
Lina menarik napasnya dalam-dalam dan menahan di dadanya ketika bayangan itu tepat masuk melalui celah pintu kamarnya. Ia makin merapatkan tubuhnya ke dinding. Otaknya berputar cepat mencari cara keluar dari kamar tanpa harus bertemu dengan sosok bayangan yang ia lihat.
Lina memejamkan matanya ketika pintu kamar bergeser, membuatnya semakin terbuka. Tiba-tiba suasana berubah jadi hening, suara langkah kaki itu tak terdengar lagi. Lina membuka mata dan benar saja, sosok bayangan yang hampir masuk ke dalam kamarnya sudah tak ada lagi. Ia buru-buru berlari ke luar dari kamarnya. Menuruni anak tangga yang terbuat dari kayu ulin.
"Kalian siapa?" Lina heran melihat dua anak perempuan berwajah sama yang berdiri di depan pintu ketika ia membuka pintu rumahnya.
"Dari ibu." Salah satu anak perempuan itu menyodorkan rantang susun berisi makanan.
"Oh, rumah kalian yang mana?" tanya Lina.
Gadis kecil itu menunjuk ke arah seberang rumah Lina.
"Kakak boleh ikut ke rumah kalian?" tanya Lina menatap keduanya, "Soalnya, kakak di rumah sendirian. Nungg Ayah sama Ibu pulang di rumah kalian aja."
Kedua gadis itu menganggukkan kepalanya. Mereka kemudian menarik Lina keluar dari halaman rumahnya. Lina terus melangkahkan kaki mengikuti kedua gadis itu tanpa henti. Ia merasakan perjalanan yang sangat lama. Bukankah hanya ke rumah seberang yang seharusnya bisa sampai dalam waktu 5 menit dengan berjalan kaki? Tapi ... Lina merasa tidak sampai-sampai dan kakinya mulai lelah.
"Rumah kalian masih jauh?" tanya Lina dengan napas yang tersengal.
Kedua gadis itu membalikkan tubuhnya, wajah mereka pucat dan tatapannya dingin.
"Kalian siapa?" Lina terkejut mendapati dua gadis kecil itu berubah, terlebih matanya menyala merah. Tanpa pikir panjang, Lina berlari berbalik arah. Ia baru sadar kalau ternyata ia kini berada di dalam hutan, bukan di wilayah pemukiman tempat ia tinggal.
Ia terus berlari sampai ke tepi danau, ia melihat seorang pria sedang menuangkan air ke danau tersebut, di bawahnya ada ikan-ikan yang berterbangan menyambut air yang ditumpahkan.
"Ini apa?" Pikiran Lina semakin tak karuan melihat kejadian aneh yang ia temui malam ini. "Aku di mana?" Dua pertanyaan itu terus bersarang di pikirannya.
Lina duduk bersandar di bawah pohon sembari mengatur napasnya. Ia menutup wajahnya, mencoba mengatur pikirannya.
Beberapa menit kemudian ia membuka matanya dan mendapati ia sudah berbaring di dalam kamarnya. Ia melirik jam dinding yang terpajang di dinding kamarnya, waktu masih menunjukkan pukul delapan malam. Artinya, kejadian aneh yang ia alami hanya mimpi. Lina menarik napas lega dan turun dari ranjangnya.
Ting ... tong ...!
Tiba-tiba bel rumahnya berbunyi. Ia berharap, ayah dan ibunya bisa pulang lebih cepat dari biasanya. Usaha mereka yang terancam bangkrut, membuat mereka sering pulang larut malam.
Lina berlari menuruni anak tangga, secepatnya membukakan pintu.
"Mella? Tumben ke sini malam-malam gini?" Lina mengerutkan keningnya ketika mendapati sahabatnya sudah berdiri di depan pintu dengan tatapan dingin.
"Kamu, nggak papa 'kan?" Lina kembali bertanya karena sahabatnya masih saja bergeming.
"Mel ... Mella?" Lina mulai merasa kurang nyaman dengan wajah Mella yang masih saja dingin, bahkan pucat seperti mayat hidup.
"Kamu kenapa? Ada masalah?" Lina menggoyangkan pundak Mella. Mella menurunkan tangan Lina, tangannya dingin seperti es batu.
Lina tertegun beberapa saat.
Mella membalikkan badannya dan berjalan perlahan keluar dari halaman rumah Lina.
"Mel ... Mella ...!" langkah Lina gontai mengikuti sahabatnya itu. Mella terus berjalan menyusuri jalan-jalan pemukiman. Kemudian ia berhenti di salah satu jembatan.
"Mel, kamu kalau punya masalah cerita dong! Jangan kayak gini! Bunuh diri itu bukan pilihan terbaik. Aku bakal bantu semampu aku." Lina memandang tubuh Mella yang menatap kosong ke arah sungai. Ia khawatir dengan sahabatnya yang sudah berdiri di bibir jembatan.
Mella menoleh ke arah Lina, tersenyum dingin dan menjatuhkan tubuhnya ke bawah jembatan.
"Mella ...!!!" teriak Lina histeris mendapati sahabatnya itu terjun ke bawah jembatan. Ia berlari mendekati bibir jembatan, melongok ke arah sungai yang gelap.
Tanpa pikir panjang, Lina berjalan menuruni sungai yang berada di bawah jembatan lewat jalan setapak yang biasa digunakan warga untuk turun ke sungai. Ia tak berhenti meneriakan nama sahabatnya sembari terus menuruni bukit menuju tepi sungai.
Ia memandangi air sungai yang berkilauan diterpa cahaya bulan. Ia berharap tubuh Mella bisa terlihat walau dalam keadaan apa pun.
BYUR!!!
Tiba-tiba saja keluar makhluk aneh dengan mata menyala. Dua makhluk yang tubuhnya 20 kali lipat dari tubuh Lina. Yang satu memiliki sepasang capit seperti kepiting dan satunya lagi seperti kalajengking. Oh ... bukan, bukan! Bukan seperti, tepatnya itu memang kepiting dan kalajengking raksasa.
Dengan cepat Lina berbalik arah dan berlari memasuki hutan, menghindari kejaran dua makhluk aneh tersebut.
"Ini mimpi. Please, ini mimpi!" celetuknya sambil terus berlari. Ia menjatuhkan tubuhnya ke bibir bukit, merosot dengan cepat menghantam ranting dan anak-anak pohon. Ia merasakan sakit yang luar biasa ketika tangan, kaki dan wajahnya lecet terbentur dan tertusuk tanaman liar. "Sakit! Ini bukan mimpi?" Ia bangkit dan berjalan perlahan, sebisa mungkin dua makhluk besar itu tak lagi mengejarnya. Ia menatap ke atas bukit, kepiting dan kalajengking raksasa itu sudah berjalan menjauh dan tak terlihat lagi. Lina menghela napas lega. Ia bersandar di bawah pohon randu yang menjulang tinggi.
Lina mengusap keringat yang keluar dari sudut-sudut rambutnya. Matanya melirik ke arah luka berdarah di tangan kirinya. Ia berharap, ini hanya mimpi. Sama seperti yang dialaminya sebelum ia terbangun dari tidurnya. Lina memejamkan matanya perlahan, berharap ia kembali ke kamarnya ketika ia membuka mata.
Perlahan Lina membuka mata dan ia masih mendapati tubuhnya bersandar di bawah pohon randu. Ia memukulkan kepala bagian belakangnya ke batang pohon. Kesal!
Ia bangkit, berjalan perlahan mencari arah pulang ke rumah.
Grrr ...!
Lina membalikkan tubuhnya ke arah suara. Ia melihat seekor singa yang berada sekitar lima meter dari tubuhnya. Singa ini seperti makhluk mitologi, berbadan satu dan berkepala tiga.
"Oh ... God!" Ia tak bisa lagi berlari karena lelah dan luka di kakinya. Kali ini ia pasrah, ia memejamkan mata saat makhluk ganas itu siap menerkam tubuhnya.
SYAT ...!
Aaargh ...!
Bruk ...!
Lina membuka matanya, penasaran dengan suara yang ia dengar. Ia mendapati manusia setengah kuda, dengan busur panah di tangannya sedang melawan singa berkepala tiga itu.
Aungan singa semakin menjadi, ia terlihat sangat marah karena tubuhnya tertusuk beberapa anak panah. Dengan cepat manusia setengah kuda itu menarik lengan Lina hingga melayang dan mendarat tepat di atas tubuhnya. Centaur itu membawa Lina berlari menjauh dari singa berkepala tiga.
"Kamu siapa?" tanya Lina yang hanya dibalas dengan tatapan. Makhluk centaur itu tak berkata sedikit pun. Mereka berhenti di salah satu bangunan megah yang berada di tengah hutan.
"Hai ... bagaimana kamu bisa masuk dalam Negeri Zodiak?" Seorang wanita cantik jelita menghampiri Lina.
"Hah!? Negeri Zodiak?" Lina heran dengan apa yang ia alami.
"Namaku Virgo. Ayo, masuk! Lukamu harus disembuhkan." Virgo mengulurkan tangannya. Dengan cepat centaur menurunkan aku dari tubuhnya yang tinggi, tepat di tangan Virgo.
Lina berjalan mengikuti langkah Virgo, perlahan masuk ke istana melalui jembatan panjang yang bawahnya terdapat sungai besar.
"Mereka siapa?" Lina memandangi banyak orang berkumpul di salah satu jembatan lain yang ujungnya terdapat timbangan besar.
"Mereka manusia yang sudah mati, di ujung sana adalah timbangan kebaikan dan keburukan. Untuk menentukan di mana mereka akan tinggal setelah mati." Virgo tersenyum.
"Apa aku sudah mati?"
"Belum."
"Bagaimana aku bisa di sini?" tanya Lina heran.
Virgo mengedikkan bahunya tanda tak mengerti.
"Apa aku bisa pulang?"
"Bisa."
"Caranya?"
"Akan kutunjukkan setelah mengobati lukamu." Mereka memasuki bilik yang tidak terlalu besar.
Lina mendapati manusia bersisik dengan banyak ular di kepalanya. "Dia siapa?" tanya Lina.
"Dia penyembuh kami. Namanya Hydra. Berbaringlah dan lukamu akan sembuh!" perintah Virgo sembari menunjukkan tempat untuk Lina berbaring.
Hydra mendekati Lina dan ular-ular di kepalanya menjulur menyentuh tubuh Lina. Ia merasa sangat geli dan tak karuan. Bagaimana bisa ia bertemu dengan makhluk-makhluk aneh hanya dalam semalam. Ia ingin segera kembali ke rumahnya, berharap malam cepat berganti dengan pagi.
"Pejamkan matamu!" bisik Virgo.
Lina memejamkan matanya perlahan. Ia merasakan tubuhnya digelayuti ular-ular Hydra.
"Aaaargh ...!" teriakan histeris keluar dari mulut Lina kala merasakan gigitan di perutnya. Ia kesakitan bukan kepalang. Tak menyangka kalau ular-ular itu justru memakan tubuhnya.
"Aaaargh ...!" Lina terus berteriak memberontak, menangis histeris,  menepiskan ular-ular yang menggerogoti tubuhnya.
"Lin ... Lina!"
"Lina!"
Lina membuka mata, napasnya tersengal, tubuhnya basah oleh keringat. Ia mendapati tubuhnya sudah berada di kamar.
Ibu memeluknya erat melihat Lina yang tidur sambil berteriak. "Kamu kenapa?"
"Aku mimpi buruk, Bu." Lina mengusap matanya yang basah.
"Kan, Ibu sudah bilang. Jangan tidur magrib. Kamu pasti mimpi yang aneh-aneh."
"Aku ketiduran, Bu."
"Kamu ngapain aja? Kok, bisa ketiduran?"
"Aku baca buku ini." Lina menyodorkan sebuah buku berjudul Horror Scope yang terlihat sudah berusia puluhan tahun. Buku setebal 2 inchi terlihat sangat antik. Ia mendapatkannya dari salah satu perpustakaan pribadi milik teman kuliahnya. Tulisan dan gambar-gambar timbul dalam buku itu, membuat Lina tertarik untuk membuka dan membacanya.
"Kamu ... ada-ada saja. Buku baca seperti ini. Sini!" Ayah Lina menarik buku itu dan melemparkannya ke luar jendela.
"Ayo, turun! Kita makan malam. Ibu sudah belikan makanan kesukaan kamu. Kebetulan ada Mella dan Nauri di bawah. Katanya, mereka akan menginap di sini."
"Ada Mella, Bu?" tanya Lina sumringah.
Ibu dan Ayah Lina menganggukkan kepalanya bersamaan.
"Alhamdulillah ...." Lina berlari secepatnya menghampiri dua sahabatnya dan memeluk mereka erat-erat.
Ayah dan Ibu Lina menggelengkan kepala melihat tingkah aneh puterinya itu.
Lina tersenyum memandangi mereka satu per satu.
"Aku bersyukur ... semua cuma mimpi," batinnya.
Sejak kejadian itu, ia tak berani lagi tidur di waktu senja. Terlebih lagi berada di dalam rumah seorang diri. Ia lebih memilih menginap di rumah Mella atau Nauri. Itu jauh lebih baik daripada harus berada di dalam rumah ditemani mimpi-mimpi aneh.

Ditulis oleh Rin Muna untuk Penakata

Samboja, 20 Februari 2019

Friday, February 15, 2019

Cerpen | Demi Bisa Membaca

Kompasiana
Semilir angin malam menembus kulitku. Sesekali aku mengusap lengan agar rasa hangat bisa menjalar ke tubuhku yang mungil. Aku duduk di tepi gubuk sembari memandang api unggun yang dibuat Bapak beberapa jam lalu. 
Malam semakin larut dan aku belum berhasil memejamkan mata. Sesekali kulihat tubuh mungil adikku yang sudah terlelap di dalam gubuk yang hanya beralas dan berdinding papan bekas. Tak ada penerangan di gubuk ini kecuali api yang dibuat Bapak sejak hari mulai gelap. Bapak dan Mamak juga belum terlelap. Sesekali Bapak menambahkan belahan kayu ulin ke pembakaran setiap kali kayu sudah mulai habis. Dan Mamak memanggang panci berisi air di atasnya. Air yang akan kami gunakan untuk minum setiap harinya.
Sejak kecil aku sudah tinggal di gubuk ini. Gubuk ini bukan milik kami, ini milik pak Burhan. Pemilik sawah yang berbaik hati memberikan gubuk untuk kami tinggal. Bapak dan Emak memang tidak memiliki rumah, terlebih hidup kami yang jauh dari kata cukup. Pak Burhan mengizinkan Bapak mengolah sawah miliknya dan tinggal di gubuk sederhana ini.
"Belum ngantuk?" Mamak menghampiriku, duduk di sisiku.
Aku menggelengkan kepala sembari memeluk sebuah buku usang yang aku temukan di belakang rumah salah seorang warga desa. Buku ini sengaja dibuang dan aku memungutnya.
Aku bercita-cita bersekolah seperti anak-anak seumuranku. Namun, keadaan sulit di keluargaku membuatku harus gigit jari dan hanya membantu Mamak di sawah setiap harinya. Jauh dalam lubuk hatiku, aku ingin sekolah. Seperti yang dirasakan anak-anak berumur 10 tahun sepertiku.
"Dapet buku baru?" tanya Mamak.
Aku mengangguk. Bagiku, mendapatkan buku baru dari bekas buangan orang lain adalah kebahagiaan tersendiri. Rasanya seperti menemukan sebongkah emas berlian. Walau tidak pernah sekolah, aku beruntung karena Mamak mengajariku membaca dan menulis dengan baik. Hanya itu saja,  membaca dan menulis. Soal ilmu pengetahuan, sudah jelas Mamak tidak punya banyak ilmu pengetahuan. Sama sepertiku.
Sebab itulah aku suka sekali membaca. Dengan membaca, aku bisa melihat dunia di luar sana. Walau yang aku baca hanya buku baru yang meruakan buku bekas bagi orang lain atau bahkan memang tak bermakna sama sekali bagi mereka. 
"Maafkan Mamak dan Bapak karena tidak bisa menyekolahkanmu hingga saat ini."
"Nggak papa," jawabku lirih.
Sudah beberapa tahun lalu, kalimat itu keluar dari mulut Mamak dan Bapak. Awalnya, aku marah, sedih, menangis dan tidak bisa menerima kenyataan kalau aku tidak bisa bersekolah karena kedua orang tuaku tidak mampu. Yang ada dalam pikiranku, tidak mungkin Bapak dan Mamak tega tidak menyekolahkanku. Aku terus merengek setiap hari, tetap saja tidak berhasil. Saat ini, aku sudah menerima semuanya. Menerima kenyataan kalau aku memang tidak akan pernah merasakan bangganya memakai seragam sekolah.
"Mak, apa Reno juga tidak akan sekolah seperti aku?" Aku memandang tubuh mungil adikku yang tengah terlelap.
"Mamak belum tahu. Semoga saja Mamak dan Bapak bisa menyekolahkan Reno."
"Apa yang bisa aku bantu supaya Reno bisa sekolah nantinya?" Aku menatap wajah Mamak yang sesekali terlihat terang terkena pancaran cahaya api unggun.
"Kamu sudah terlalu banyak membantu dan mengorbankan masa depanmu. Biarkan kami yang berjuang untuk Reno!" pinta Mamak.
"Kenapa hanya Mamak dan Bapak yang boleh berjuang? Bukankah kita keluarga?" Aku menatap Mamak yang juga memandangku dengan rasa bersalah.
Ia tak mengatakan apa pun, hanya memeluk tubuhku yang mungil. "Tidurlah! Ini sudah malam," bisiknya.
Aku mengangguk, beranjak dari tempat dudukku dan memasuki bilik gubuk yang tidak di sekat. Di dalam bilik justru semakin dingin karena jauh dari perapian. Lantai dan dinding yang terbuat dari papan bekas terdapat banyak sela yang membuat angin berhembus dengan mudahnya dan menusuk-nusuk ke kulit.
Aku menatap wajah adikku kembali yang kini sudah di hadapanku. Aku rapikan posisi selimutnya, selimut dari sarung yang sudah lusuh dengan beberapa jahitan.
Kepalanya beralas bantal yang aku buat sendiri dengan tanganku. Setiap hari aku selalu bermain di bawah pohon randu dan mengambil kapuk-kapuk yang jatuh. Pemiliknya tidak peduli dengan kapuk yang hanya beberapa saja, mereka lebih senang membeli bantal di toko daripada harus capek-capek membuatnya. Berbeda dengan keluargaku yang hanya bisa mencari bahan gratisan. Sebelumnya, aku selalu izin pada pemilik kebun jika ingin meminta sesuatu di kebunnya. Mereka semua baik, tidak ada yang memarahiku. Justru mereka sering menyuruhku memanjat pohon kelapa, menjatuhkan buah-buahnya dan mereka memberikan aku sedikit upah. Upah yang biasanya aku tabung atau aku pakai membelikan jajan untuk Reno.
Aku merebahkan tubuhku di sisi Reno. Menarik selimut yang aku jahit dari kain-kain sisa pemberian orang. Ya, kami sering menerima pakaian dari beberapa warga yang memiliki pakaian lebih. Semuanya masih bagus-bagus dan bisa kami gunakan. Itu jauh lebih baik daripada harus membeli pakaian baru ke pasar. Pasarnya jauh, uangnya juga pasti butuh banyak.
Huft ... kenapa aku tak bisa sebahagia anak-anak lainnya? Takdir yang membuat aku terlahir dari keluarga miskin. Ah, tidak ... tidak! Bapak dan Mamak tidak miskin. Mereka sangat kaya bagiku. Memberikan aku kasih sayang setiap harinya. Mamak juga sering mengajari aku mengaji. Sekarang di usiaku yang sudah 10 tahun, aku sudah menghafal 20 juz Al-Qur'an. 
Setiap hari aku selalu mengaji, karena aku tidak pernah bersekolah. Hanya Mamaj dan Bapak yang menjadi guru mengajiku. Jelas berbeda dengan anak-anak yang bisa bersekolah. Mereka pasti pintar-pintar. Tidak sepertiku yang hanya bisa membaca dan menulis saja.
Aku menatap tumpukan buku yang ada di sudut bilik. Buku-buku itu bukan aku, Mamak atau Bapak yang membelinya. Buku itu hasil dari memungut di tepi jalan, di belakang rumah warga dan di tempat-tempat orang membuang setiap lembaran-lembaran kata itu. Aku senang sekali membaca, bahkan selembar kertas brosur saja aku ambil, aku baca dan simpan di rumah. Sehingga, buku-buku bekas tersebut sudah menumpuk di sudut ruangan. 
Di antara buku-buku itu, ada sebuah kalimat yang masih terngiang di ingatanku. "Membaca adalah jendela dunia".
Ya, aku rasa itu benar. Aku jadi tahu banyak hal dari buku itu. Aku bisa melihat dunia hanya dari buku, tidak dari gubukku yang tak memiliki jendela.
Aku heran, kenapa teman-temanku sering membuang bukunya setiap kali kenaikan kelas. Katanya sudah tidak terpakai lagi. Padahal, buku itu masih bisa dibaca. Ah, mungkin saja isi buku-buku ini sudah berpindah ke otak mereka. Sehingga mereka tak lagi memerlukan buku-buku ini. 
Mereka setiap hari bersekolah, pastinya mereka semua pintar. Berbeda dengabku yang masih terus membaca setiap hari karena aku tidak bersekolah dan tidaj pintar.
Aku masih memeluk buku yang sedari tadi aku bawa. Aku sering membawanya tidur ketika dapat buku baru. Buku ini sangat bagus bagiku. Untuk pertama kalinya, buku ini bukan hasil memungut dari tempat sampah. Buku ini pemberian dari salah satu temanku yang duduk di bangku kelas 4 SD. 
Dia sering mengajakku bermain setiap kali aku mengintip dari luar jendela saat mereka sedang belajar. Dia tahu kalau aku suka membaca. Hanya saja, aku bukan anak yang beruntung bisa mengenyam pendidikan.
"Wardah ... aku punya buku baru. Ayah baru saja membelikan 2 hari yang lalu. Aku sudah membaca beberapa halaman dan sepertinya seru. Ini untukmu!" Irwansyah mengulurkan buku berjudul "Keliling Dunia"
Aku tidak bisa menyembunyikan rasa bahagiaku ketika Irwansyah memberikan buku ini. Aku mengucapkan terima kasih berkali-kali sampai ia bosan mendengarnya. Ini pertama kalinya aku diberi sebuah buku dan aku sangat senang. Buku dengan gambar pesawat dan beberapa gambar orang yang tertawa bahagia ini kini sudah ditanganku.
"Jaga baik-baik buku itu! Suatu hari nanti, kita pasti bisa keliling dunia!" teriak Irwansyah sambil tertawa bahagia.
Aku tahu, itu hanya teriakan mimpi seorang anak kecil. Tidak pernah tahu akan jadi nyata atau tidak. Mungkin saja bisa.jadi kenyataan baginya yang memiliki banhak uang dan cerdas. Tidak berlaku untuk aku, gadis kecil yang tidak tahu apa-apa.
Aku membaca doa sebelum tidur, doa untuk kedua orang tua, doa kebaikan dunia akhirat, Al-Fatihah, Ayat Qursi dan Doa Selamat. Sampai akhirnya aku terlelap dalam mimpi-mimpi indah. Aku bermimpi bisa berkeliling dunia. Mungkin saja mimpi itu datang karena aku membaca buku dan terus membayangkannya.
Keesokan harinya, aku bangun dengab tubuh yang segar. Kembali beraktivitas seperti biasa usai menjalankan ibadah sholat subuh dan mengaji. Aku sedang berusaha menghafalkan juz berikutnya. Sembari membantu Mamak melakukan pekerjaannya di sawah, aku selalu komat-kamit menghafalkan satu lembar naskah Al-Qur'an yang aku baca usai sholat subuh tadi.
Aku suka sekali membaca. Dan aku selalu memungut buku-buku bekas demi bisa membaca. Bahan bacaan terbaikku adalah kitab Al-Qur'an. Sehingga aku senang sekali membaca dan menghafalkannya.
Kata Mamak dan Bapak, ini bekal untukku keliling dunia dan akhirat sekaligus.
Cukup sampai di sini ceritaku hari ini.
Kalau kamu punya buku bacaan ya g bagus  dan tidak dibaca, mending kamu sumbangin aja deh. Terutama untuk anak-anak yang tinggal di pedalaman seperti aku. Hehehe...
  • Ditulis oleh Rin Muna untuk Kompasiana
  • East Borneo, 13 Februari 2019

Friday, February 8, 2019

Banjir dan Si Tajir

Kompasiana


Sudah puluhan tahun Indu Baweh dan keluarganya tinggal di sebuah desa yang berada di area rawa. Setiap hujan deras, rumah Indu Baweh selalu tergenang air. Semua cara sudah dilakukan agar air banjir tidak masuk ke dalam rumahnya. Termasuk menaikkan pondasi rumah setinggi 1,5 meter. 
Sejak meninggikan rumahnya, air tidak lagi masuk ke dalam rumah setiap hujan deras. Namun, tetap saja menggenang di sekeliling rumahnya. Hal ini sudah terjadi sejak puluhan tahun lalu. Terlebih lagi warga yang membangun rumahnya, tidak lagi memikirkan drainase. Beberapa titik selokan dan parit yang seharusnya menampung air saat hujan turun, malah ditutup dan akhirnya banyak titik jembatan mati. Jembatan itu menjadi penghubung arus air dari hulu ke hilir. Namun, tiba-tiba menjadi jembatan mati. Tidak ada air yang mengalir karena dari hulu dan hilir sudah tidak terlihat lagi paritnya, sudah berubah menjadi halaman rumah yang cantik.
Indu Baweh dan keluarganya bisa tidur tenang setiap kali hujan. Walau banjir, tidak masuk ke dalam rumah dan sudah menjadi hal yang biasa. Banjir setinggi 50-70 cm sudah biasa. Juga bagi warga di sekeliling rumah Indu Baweh.
Setahun kemudian, hadir sosok orang yang kaya yang disebut Si Tajir. Karena kekayaan yang dimilikinya, ia membuka tambang batubara di sekitar pemukiman warga sebagai ladang uangnya untuk semakin memperkaya diri. Tidak hanya hutan sebagai resapan air yang digusur, rumah penduduk juga digusur pada akhirnya agar uang si Tajir tetap mengalir deras di kantongnya.
Beberapa bukit sudah berubah jadi lembah. Pohon-pohon yang indah sudah berubah jadi galian tambang batubara. Hal ini sangat dirasakan berbeda bagi Indu Baweh dan keluarganya. Indu Baweh yang usianya sudah tua, seringkali bercerita tentang keindahan desa di masa lalu pada cucu-cucunya.
Bercerita tentang dirinya yang masih bisa mandi di sungai yang airnya jernih, bahkan ikan-ikan pun bisa terlihat dengan jelas di sungai itu.
"Indu ... di mana sungai tempat Indu dan teman-teman bermain?" Etak, salah satu cucu Indu Baweh bertanya. 
"Kau lihat jembatan yang ada di ujung barat desa sana?" Indu Baweh balik bertanya.
"Lihat, Indu."
"Dulu ... di sana ada sungai yang lebar, dalam, dan airnya sangat jernih. Kami biasa mandi di sungai itu."
"Tapi, sekarang sudah tak ada. Sudah rata dengan tanah. Hanya ada jembatannya saja."
"Yah ... itulah. Semua berubah karena tangan manusia juga. Dan semuanya akan berubah selama kita tidak bisa mencintai dan menjaga lingkungan."
"Indu ... mau teh hangat?" tiba-tiba Ara, si cucu paling cantik datang membawa nampan berisi teh hangat dan kudapan.
"Wah ... cantik nian cucu Indu. Pas sekali hujan-hujan begini."
"Indu ... sepertinya air mulai meninggi. Padahal hujan baru satu jam dan tidak begitu deras," keluh Ara.
Benar saja, air datang begitu deras dan tidak dapat dibendung lagi. Menggenangi sekeliling rumah Indu Baweh. Etak buru-buru ke belakang rumah untuk menyelamatkan ternak-ternak peliharaan. Kedua orang tuanya sedang berada di kebun, sehingga ia harus memperhatikan ternak peliharaannya.
"Indu ... kenapa hanya rumah yang lurus dengan rumah kita yang terkena banjir. Rumah Pak Modang yang jaraknya tiga rumah dari rumah kita, baik-baik saja. Bahkan dia tidak meninggikan pondasi rumahnya." Ara duduk di samping Indu Baweh sembari memandangi banjir yang semakin deras dari teras rumahnya.
"Ah, kau ini. Seperti tidak pernah sekolah saja. Kau lihat jalan yang di seberang rumah kita ini." Indu baweh menunjuk dengan dagunya. "Jalan itu harusnya melewati sungai yang ada di sisi rumah kita ini. Jalan yang dipakai untuk hauling batu bara ini seharusnya tidak menimbun sungai yang sudah ada. Mungkin, membuat jembatan itu sulit bagi mereka. Jadi, ditimbun saja supaya proses hauling lancar."
"Lalu, apa hubungannya banjir dengan jalan hauling?" tanya Ara masih bingung.
Indu Baweh mengetuk kepala Ara, membuatnya mengaduh kesakitan. "Air itu harusnya mengalir ke sungai, karena sungainya ditimbun dan dijadikan jalan, akhirnya air itu limpas ke rumah kita."
"Oooo ...." Mulut Ara membesar membentuk huruf O.
"Sepertinya banjir kali ini makin parah. Kalau hujan tidak segera reda, banjir akan masuk ke rumah kita." Indu Baweh memperhatikan ketinggian air yang tinggal 10 sentimeter dari lantai rumahnya.
"Kenapa setiap tahun banjirnya semakin parah, ya?" gumam Ara.
"Ada banyak penyebabnya. Besar kemungkinan karena sungai yang dimatikan alirannya, juga peran serta pengusaha tambang batubara yang membuat lingkungan kita kekurangan resapan air."
"Indu ... jangan salah-salahin tambang batubara. Paman Lapeh kan kerjanya di tambang batubara," celetuk Ara.
"Sebenarnya, Indu tak ingin menyalahkan adanya tambang. Tapi, teorinya sudah ada sejak dulu. Penggundulan hutan bisa menyebabkan longsor dan banjir. Di sekolahmu sekarang sudah tidak diajari lagi seperti itu?" tanya Indu Baweh.
"Diajari, Indu. Tapi ..."
"Lebih penting uang daripada lingkungan kita." Tiba-tiba Narai ikut bergabung dalam pembicaraan.
"Sudah pulang? Lewat mana? Kok, Indu tak melihat."
"Lewat belakang."
"Ara ... buatkan kopi untuk bapakmu!" pinta Indu Baweh.
Ara segera bangkit, menuju ke dapur untuk membuatkan kopi. Sementara Narai dan Indu Baweh terlibat pembicar aan serius soal keadaan lingkungan yang sudah banyak berubah.
"Huft ... musim panas, panasnya terik sekali dan debu tebal. Musim hujan, kebanjiran." Narai menyandarkan tubuhnya di kursi.
"Sudah kau tanya sama Si Tajir? Apa dia bisa membantu mengatasi banjir di pemukiman ini?" tanya Indu Baweh.
"Sudah."
"Lalu, apa hasilnya?"
"Nihil."
"Kenapa?"
"Katanya ... banjir bukan diakibatkan karena adanya tambang. Sebelum ada tambang, wilayah kita sudah terkena banjir."
"Tapi ... banjir semakin parah seperti ini. Lama-lama kita bisa ditenggelamkan oleh banjir kalau perusahaan batubara dan pemerintah desa tidak segera bertindak. Lalu, apa tanggapan aparat desa?" tanya Indu Baweh lagi.
"Mereka berpihak pada pengusaha tambang."
"Oh ... uang memang bisa menguasai segalanya. Si Tajir sekarang sedang bersenang-senang dengan uang hasil tambangnya. Dia tidak memikirkan nasib warga lain yang merasakan dampaknya seperti ini. Suatu saat, dia akan membayar semuanya. Alam yang akan marah dan membalasnya." Indu Baweh terlihat geram. Bahkan kulit-kulit tua yang menutupi wajahnya tidak bisa menyembunyikan kegeramannya.
"Indu ... tak usahlah kita terus mengeluh! Orang kecil seperti kita ini tidak akan ada yang mendengarkan. Percuma kita mengomel ke sana kemari. Yang berkuasa tetaplah yang punya uang banyak seperti Si Tajir itu.
Indu Baweh manggut-manggut. "Ya, Si Tajir sedang mencoba bermusuhan dengan alam. Ada saatnya alam akan membalas perbuatan Si Tajir dan orang-orang yang seperti dia. Dan Indu yakin ... ketika alam marah, bukan hanya Si Tajir dan antek-anteknya yang jadi korban. Tapi, kita juga yang ada di sekitarnya karena tidak bisa mencegah perbuatan mereka melukai alam." Gigi-gigi Indu Baweh terdengar berkerut menahan emosi.
"Indu ... sabar. Kita hanya perlu berdoa. Semoga mereka disadarkan dan bisa mencintai alam dengan baik."
"Narai ... mereka tidak akan pernah sadar selama uang adalah nomor satu dalam hidup mereka. Bahkan mereka memuja uang melebihi Tuhan."
Narai mulai pusing melihat Indu Baweh yang selalu sibuk mengurusi setiap perubahan yang terjadi di sekitarnya.
"Indu ... sudah tengok si Elok?" Narai mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Kenapa si Elok?" Indu Baweh balik bertanya.
"Dia sakit."
"Sejak kapan? Tak ada yang beritahu Indu. Nanti, antar Indu tengok si Elok!" pinta Indu Baweh.
Narai menganggukkan kepalanya. Tak lama, Ara datang membawakan secangkir kopi bersama dengan Etak. Mereka akhirnya terlibat dalam obrolan seru. Indu Baweh selalu mengaitkan dengan keadaan alam setiap kali Narai bertanya pada Ara dan Etak mengenai sekolah mereka.
Indu Baweh memang sudah tua. Tidak ada pekerjaan lain yang bisa ia lakukan selain mengamati dan menganalisa keadaan sekitarnya. Bahkan, beberapa orang menyebutnya setress atau gila. Beberapa kali Indu Baweh memaki kepala desa karena beberapa infrastruktur tidak berfungsi dengan baik. Ia juga sempat menemui Si Tajir hanya untuk memaki dan mengutuk perbuatannya merusak alam.
Semua warga mengerti dan tidak ada yang berani melawan Indu Baweh. Indu Baweh hanya seorang nenek renta yang butuh seseorang untuk mendengarkan cerita dan keluhan-keluhannya yang oleh sebagian orang dianggap gila. Sebagian lagi menganggap Indu Baweh adalah nenek tua yang cerdas dan bijaksana dalam beberapa hal.

Ada hal yang tidak bisa kita lawan. Ada hal yang tidak bisa kita ubah. Yakni, perubahan yang terjadi di sekitar kita. Semua ditakdirkan untuk berubah setiap detiknya dan kita tidak bisa melawan perubahan. Semuanya memang akan berubah menuju kehancuran, seperti yang telah difirmankan oleh Allah.
 Kiamat (kehancuran) itu pasti.


Ditulis oleh Rin Muna untuk Dunia...
East Borneo, 8 Februari 2019

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas