Showing posts with label Cerpen. Show all posts
Showing posts with label Cerpen. Show all posts

Saturday, January 26, 2019

Cerita Somplak : Menemui Pangeran Textra di Pulau Pengasingan

Pixabay.com

"Rin ... kamu tengokin Pangeran Textra di Pulau Pengasingan!" perintah Mbak Daya.
"Nggak mau!" Aku mengangkat kedua pundakku sambil memonyongkan bibir sepanjang-panjangnya.
"Loh!? Kamu harus tahu bagaimana kondisinya di sana."
"Males, Mbak. Di sana nggak ada apa-apa. Nggak ada rumah, nggak ada manusia. Biar aja Pangeran Textra jadi Tarzan di sana."
"Muza masih mencari keberadaan Pangeran Radh. Kalau ada dia, dia pasti semangat menemui Pangeran Textra."
"Hmmm ..." Aku asyik saja mengunyah ciplukan yang dihidangkan di tengah santapan makan siang istana negeri somplak.
"Kamu beneran nggak mau?" tanya Mbak Daya sekali lagi.
"Nggak mau."
"Oke. Kalau gitu, kuda putihmu Mbak pakai untuk menemui Pangeran Textra."
"Eh!? Enak aja! Nggak boleh! Aku aja yang ke sana." Aku beringsut pergi ke kandang kuda sebelum mbak Daya mengambil kuda putih kesayanganku.
"Rin, kamu nggak pernah ganti baju? Dari tahun lalu, pakai gaun putih itu terus," celetuk dayang Vera yang tiba-tiba muncul. Ia datang untuk memberi makan kuda pink milik Pangeran Textra. Di kandang kuda istana, kudanya full color. Punya mbak Daya, kudanya warna ungu. Punya Muza, kudanya warna kuning. Tapi sedang tidak ada di kandangnya karena Muza asyik mencari keberadaan Pangeran Radh. Sedangkan kuda yang berwarna cokelat, semua milik para prajurit. Ada 2.500 kuda cokelat yang ada di istana ini. Mereka kuda yang terlatih untuk berperang bersama para prajurit.
"Emangnya mau perang sama siapa?" batinku dalam hati. Bukannya negeri ini adem ayem aman tentram sak lawase. Eh!?
"Enak aja! Ganti lah. Aku punya 1.500 gaun putih yang modelnya sama. Sehari ganti 5 kali." Aku merengut membalas celetukan dayang Vera.
"Ooh ... sama semua ya?"
"Iya."
"Emange nggak bosen?" tanya dayang Vera lagi.
"Nggak. Kamu sendiri, nggak bosen pakai baju itu-itu terus?" Aku balik bertanya sambil memandangi pakaian dayang milik Vera.
"Ini 'kan seragam dayang."
"Oh ... ya sudahlah. Nggak perlu bahas baju. Ntar gak kelar-kelar. Aku mau ke Pulau Pengasingan." Aku menaiki kuda setelah memastikan semua perlengkapan kuda terpasang dengan baik.
"Mau ketemu Pangeran Textra ya?" tanya dayang Vera.
"Iya. Kenapa? Mau nitip sesuatu?" Aku memandang dayang Vera yang berdiri di sisi kuda putih milikku, sementara aku sudah nangkring di atas punggung kuda.
Vera menganggukkan kepalanya. "Tunggu sebentar ya!" pintanya kemudian berlari memasuki lorong istana.
Tak berapa lama, dayang Vera kembali dengan membawa bungkusan kain yang lumayan besar.
"Apa ini?" tanyaku keheranan.
"Berikan saja pada Pangeran!"
"Gede amat! Isinya apa?" tanyaku heran. Dayang Vera langsung mengikatkan bungkusan itu pada besi yang berada di bagian belakang tempat dudukku.
"Eh!? Jangan diikat di situ. Taruh depan sini aja!" pintaku. " Bisa oleng kudaku, berat sebelah."
"Oke." dayang Vera melemparkan bungkusan itu ke tanganku.
"Ya ampun! Berat banget! Isinya apa ini?" tanyaku penasaran.
"Kasih aja ke Pangeran Textra."
"Seberat ini dan kamu nggak mau ngasih tahu aku? Mending aku tinggal aja deh." Aku bersiap melemparkan kembali bungkusan itu ke lantai.
"Jangan! Itu isinya pakaian dan makanan untuk Pangeran Textra."
"Sebanyak ini?"
Dayang Vera mengangguk.
"Awas, ya! Kalo ketahuan Mbak Daya, kamu ngirim pakaian dan makanan sebanyak ini untuk Pangeran Textra. Kamu bakalan Kreeek." Aku meletakkan telapak tanganku tepat di leher untuk menakuti dayang Vera.
"Jangan sampai Ratu Daya tahu. Saya mohon!" Dayang Vera merapatkan kedua telapaknya untuk memohon.
"Hmm." Aku langsung memacu kudaku menuju Pulau Pengasingan.
Sesampainya di sana, aku mengitari pulau sampai tujuh kali untuk mencari keberadaan Pangeran Textra. Belum juga aku temukan. Sampai hari beranjak sore, Pangeran Textra masih belum terlihat batang hidungnya.
"Duh, jangan-jangan Pangeran di makan binatang buas?" celetukku ngasal. Tapi, setauku tidak ada binatang buas di sini. Aku pernah diasingkan di sini beberapa waktu lalu karena merobohkan menara istana. Semuanya baik-baik saja.
Ada banyak kemungkinan yang bisa terjadi. Bisa saja Pangeran Textra kabur dari tempat ini. Atau dimakan buaya sungai yang kebetulah lewat? Ah, rasanya nggak mungkin kalau buaya makan buaya.
"Pangeran!!!" Akhirnya aku berteriak agar Pangeran Textra menyadari kedatanganku.
"Pangeran ... aku bawain makanan enak loh. Kalau nggak mau muncul, terpaksa deh makanannya aku bawa balik ke istana." Aku masih berputar-putar dengan kudaku sambil berteriak.
"Jangan!" Tiba-tiba aku mendengar suara Pangeran Textra. Aku memandang ke sekeliling, tidak ada siapa-siapa. Hanya pepohonan yang rimbun dan beberapa pohon besar.
"Kok, nggak ada orangnya? Jangan-jangan pangeran udah jadi hantu?" Aku mengusap tengkuk yang mulai merinding.
"Siluman takut sama hantu? Hahahaha ...." Akhirnya aku dapati Pangeran Textra yang sedang tertawa terbahak-bahak di atas pohon kelapa.
"Pangeran!? Ngapain di situ?" teriakku.
"Ambil kelapa muda. Kamu mau?"
"Boleh."
Pangeran Textra langsung melempari aku dengan buah kelapa muda. Aku sampai kebingungan menghindarinya. Satu buah kelapa tepat menancap di ujung pedangku. Kemudian, Pangeran Textra turun dengan cepat.
"Kamu bawa makanan apa?" tanya Pangeran Textra saat sudah dekat denganku.
"Nih!" Aku melemparkan bungkusan yang diberikan dayang Vera.
"Berat banget!" celetuk Pangeran Textra yang sampai terhuyung-huyung menerima bungkusan kain itu.
"Berarti banyak makanannya."
"Kok, tumben banget kamu ke sini bawakan makanan sebanyak ini?"
"Itu titipan dayang Vera. Aku mah ogah bawain makanan buat Pangeran. Bukannya Pangeran udah survive banget di tempat ini?"
"Tega amat sih? Katanya, kamu cinta sama aku?"
"Itu dulu. Sekarang ... aku mau coba jatuh cinta sama Pangeran Radh. Mudahan Muza cepat nemuin Pangeran Radh." Aku turun dari kuda.
"Apa? Jatuh cinta kok coba-coba?"
"Yah, siapa tahu aja Pangeran Radh membalas cintaku juga."
"Bukannya aku juga sudah membalas cintamu?"
"Kapan?"
"Kapan ya?" Pangeran Textra nyengir sembari menggaruk kepalanya yang memang sudah gatal-gatal karena tidak mandi.
"Lagian, aku mah ogah kalau harus bersaing sama kuda, sama tikus, sama kucing buat ngerebutin cinta seorang Pangeran Textra. Jelas aja Pangeran milihnya aku kalau saingannya binatang semua." Aku membuka satu buah kelapa yang sudah menancap di ujung pedangku. Meminum airnya dan merasakan kesegaran di kerongkonganku. Sementara Pangeran Textra juga sibuk membuka bungkusan dari dayang Vera.
"Wah ... ini makanan kesukaan aku!" Pangeran Textra langsung melahap 3 bungkus nasi padang kesukaannya.
Aku mengerutkan keningku, heran melihat Pangeran yang makan dengan lahapnya.
"Laper banget ya?"
Pangeran menganggukkan kepalanya dengan mulut penuh makanan.
"Ya udah. Pemberian dayang Vera sepertinya cukup untuk sebulan ke depan. Aku pamit pulang." Aku beranjak dari tempat dudukku. Melihat matahari yang mulai tenggelam di bawah air laut. Warnanya indah, berkilauan seperti emas.
"Kok, pergi?" tanya Pangeran.
"Tugasku hanya memastikan kondisi Pangeran baik-baik saja."
"Aku nggak baik-baik saja."
"Maksudnya."
"Aku kesepian. Temani aku dulu!" pinta Pangeran Textra dengan mulut yang masih mengunyah makanan.
"Pangeran ... bukankah pangeran dikirim ke sini memang untuk sendirian? Supaya tidak membuat gaduh negeri."
"Kamu yang punya akses ke tempat ini. Tidakkah kamu kasihan melihat aku yang sekarang kurus kering seperti ini?" Pangeran Textra bangkit dan berdiri di hadapanku.
Aku memandangi tubuh Pangeran dari ujung kaki sampai ujung rambut. Aku mengernyitkan dahiku. Kurus keringkah tubuhnya? Aku tidak yakin. Sepertinya berat badannya justru naik. Badannya terlihat lebih gempal daripada masih mengurus kerajaan. Aku menahan tawa melihat tingkah Pangeran Textra. Sepertinya ... dia bukan tubuhnya yang kurus. Tapi, hatinya yang kurus karena tak terurus. Biasa ditemani dengan banyak dayang dan wanita-wanita cantik. Sekarang harus sendirian di Pulau Pengasingan tanpa bisa keluar. Hihihi...
"Oke. Aku temani sampai matahari benar-benar tenggelam." Aku tersenyum.
"Nah, gitu dong!" Pangeran Textra tiba-tiba merangkulku.
"Udah berapa hari nggak mandi?" Aku nyengir karena mencium bau badannya yang sangat menyengat. Entah bau apa yang melekat di tubuhnya. Bikin aku mual dan mau muntah.
"Loh? Kenapa mual-mual gitu? Aku belum ngapa-ngapain kamu, kok sudah hamil?" goda Pangeran Textra.
"Nggak usah bercanda! Nggak lucu! Mandiiiiiiiii.....!!!! Bau banget....!!! Uweeek....!"
"Aku setiap hari mandi. Tapi nggak ada baju ganti. Untungnya dayang Vera si dayangku tercinta pengertian banget bawain aku pakaian." Pangeran Textra menatap genit sembari menggigit bibirnya.
"Ya sudah. Aku mandi dulu. Jangan ngintip ya!" Pangeran Textra menarik beberapa lembar kain dan berlari menuju sungai.
Sementara aku duduk kembali di salah satu kayu mati sambil memandangi pantai. Kebetulan sekali pulau ini berada di tengah-tengah laut. Pangeran Textra tidak bisa berenang dan tidak memiliki akses untuk keluar masuk. Berbeda denganku yang bisa keluar masuk dengan kapal kerajaan. Pulau ini juga sebenarnya di jaga oleh prajurit di pintu masuk.
Matahari mulai tenggelam. Aku mengumpulkan ranting kayu dan menyalakan api dengan batu sembari menunggu Pangeran Textra kembali.
Sudah 3 kali aku mengganti ranting kayu yang terbakar, Pangeran Textra belum juga kembali. Matahari sudah berganti dengan rembulan yang sudah meninggi dan berada tepat di atas kepala. Aku merebahkan tubuhku di atas kain yang sudah aku gelar. Menunggu Pangeran datang sambil menghitung bintang yang bertebaran di langit. Iseng amat sih aku? Ngitungin bintang? Hadeeeh ....
Aku putuskan untuk mengambil satu bintang, menggenggamnya dengan tangan kananku dan aku mengeluarkan bola-bola cahaya yang beterbangan di atas kepalaku.
"Gimana? Udah nggak bau kan?" Tiba-tiba Pengeran Textra sudah duduk di sampingku.
Emang sih ... nggak bau sebusuk tadi, tapi bau amis malah tercium dari tubuhnya. "Bau amis!" celetukku.
"Oh ... iya. Aku dapet ikaaan!" Pangeran Textra mengangkat ranting pohon yang dipakai untuk menyusun ikan-ikan, diangkat tepat di atas wajahku.
"Apaan sih!?" Aku langsung bangkit. "Bau tau!"
"Bukannya kamu juga biasa makan ikan kayak gini? Ingat nggak waktu pertama kali kita ketemu? Kamu lagi makan ikan dari kolam kerajaan? Ikan-ikan kesayanganku itu."
"Iyaa..."
"Ya udah. Bakar gih! Aku laper!" perintah Pangeran Textra.
"Baru aja ngabisin 3 bungkus nasi padang. Udah laper lagi?"
Pangeran Textra hanya meringis.
"Pantesan gendut!!" umpatku.
"Cepet! Bakarin ikannya!" perintahnya lagi.
"Ogah, ah!"
"Kamu mau membantah titah Pangeran!? Hah!?"
"Apaan sih!?" Aku menyambar ikan yang ada di tangan Pangeran Textra. Berjalan mendekati perapian dan membakarnya.
"Hmm ... malam ini indah banget ya?" Pangeran Textra merebahkan diri di atas kain yang tadinya aku pakai untuk berbaring. Ia memandangi langit luas yang bertaburan dengan bintang-bintang. Bola-bola cahaya milikku melingkar mengelilingi kami.
"Ini bola cahayamu?" tanya Pangeran Textra.
Aku tak menghiraukan ucapannya, fokus pada ikan yang aku bakar. Untungnya Pangeran membawa ikan yang sudah dibersihkan. Tinggal bakar doang. Kalau masih disuruh bersihin ikan, kutaruh memang pedangku di lehernya.
"Kamu sengaja bikin suasana romantis untuk kita berdua ya? Supaya aku jatuh cinta sama kamu?" tanya Pangeran tanpa menoleh ke arahku, ia masih terus memandangi langit sambil sesekali melemparkan pandangannya pada bola-bola cahaya milikku.
"Nggak!" Aku bangkit dan menyambar satu bola cahaya milikku, memasukkannya ke dalam ikat pinggang dan seketika semuanya menghilang.
"Loh? Kenapa? Kan jadi gelap?" Pangeran Textra mengangkat tubuhnya sembari memandangiku.
"Ada api. Ada cahaya bulan. Gelap dari mananya?" celetukku sambil melemparkan ikan yang sudah matang.
"Tidak bisakah kamu memberikannya dengan baik? Seperti para dayang melayaniku?" Pangeran menangkap ikan itu agar tidak jatuh ke pasir.
"Aku bukan dayang!"
"Oh... iya... kamu mau jadi selirku ya? Atau permaisuriku?" goda Pangeran Textra.
Aku hanya diam.
"Hmm ... ternyata gelap kayak gini juga lebih romantis ya? Kamu suka yang gelap-gelap ya?" Pangeran Textra menghampiriku.
"Udah mateng semua. Aku pulang!" Aku bergegas melangkahkan kaki menuju kuda yang aku ikat tidak jauh dari tempat kami bercengkerama.
"Pangeran!!" teriakku saat aku tidak bisa melangkahkan kakiku. Ia menginjak salah satu sampur dan membuat langkahku tertahan.
"Kamu tau nggak, apa yang akan terjadi kalau hanya ada satu laki-laki dan perempuan di satu tempat yang sama dalam kegelapan seperti ini?" Pangeran menarik sampur dengan tangannya.
"Nggak tau." Aku menarik sampur yang ia pegang dengan kasar dan membuat Pangeran tersungkur karena tidak kuat menahannya.
"Aduh...!"
Aku menahan tawa melihat ia mengaduh. "Kapok!"
Dengan cepat aku menaiki kuda dan memacunya dengan cepat, menerobos kegelapan malam untuk kembali ke istana kerajaan Negeri Somplak.




Ditulis oleh Rin Muna
Hanya untuk hiburan
Samboja, 26 Januari 2019


Wednesday, January 23, 2019

Laut Membawa Pergi Cintaku

Dok. Pribadi
Pada senja aku serahkan setiap doa dan harapanku. Menikmati kerinduan sembari memandang lembayung senja. Berharap dia akan kembali, setelah ribuan hari tak pernah lagi kulihat senyumnya.

Di sini, aku mengenang cerita kita yang tak tahu akan berakhir seperti apa. Kau pergi bersama laut, tanpa pesan ...
Aku masih di sini, berharap kamu akan kembali mewarnai setiap langkahku, langkah kita...

Kini ... aku sendiri. Berdiri dengan satu kaki tanpamu lagi. Dua pasang kaki penuh bahagia pernah berada di sini, mengukir kisah di atas pasir-pasir yang berkilauan ditempa sang mentari. Dua pasang mata penuh cinta pernah bersama di sini, menatap senja penuh harapan akan cinta dan kasih yang akan menyatu.

Hari itu ... saat kamu melempar senyum di antara sinar lampu dan rembulan. Berucap manis dan tak jarang menghadirkan tawa. Saat tawa indah di tepi pantai itu baru saja terukir, laut menyapunya dan aku tak pernah melihatmu lagi, tak pernah mendengar suaramu lagi.

Aku terbangun dari gelap, menatap semua keindahan yang tiba-tiba hancur. Bahkan aku tak mampu berdiri. Tubuhku lemas, kakiku terjepit reruntuhan bangunan saat aku ditemukan. Peristiwa yang merenggut puluhan nyawa dan merenggut kaki kananku. Juga merenggut laki-laki yang paling aku cintai. Entah di mana ... sampai kini tak kutemui peristirahatan terakhirnya. Masih adakah dia di sini? Kenapa tidak segera menemuiku? Aku rindu...
Aku rindu pada jemari yang selalu mengusap lembut pipi dan rambutku.
Tak bisakah kamu kembali untukku?
Kenapa engkau begitu setia pada laut hingga tak pernah lagi kembali?
Apa laut telah membuatmu jatuh cinta? Hingga lupa kalau kamu pernah mencintaiku?
Aku masih di sini ... menunggumu entah sampai kapan ... Aku akan tetap menunggu sampai kamu bilang "Aku datang untukmu." atau kamu bilang, "Berhentilah menunggu!"
Kembalilah...!
Aku butuh kepastian.

Aku masih di sini... ribuan hari kulalui, berdiri dengan satu kaki dan berharap kau akan datang menghampiri.
Tak peduli teriakan orang yang mengatakan aku gila. Menunggumu yang tak akan pernah lagi kembali. Mereka bilang kamu sudah mati, bagiku tidak. Kamu masih hidup dan akan tetap hidup, dalam hati ini.

"Rin ... ayo pulang!" Seseorang membuyarkan lamunanku.
"Sebentar."
"Mau sampai kapan di sini?"
"Sampai matahari benar-benar tenggelam." Aku menjawab tanpa menoleh sedikitpun.
Dia hanya menarik napas perlahan dan menghembuskannya tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya.
"Rin, sudah setahun yang lalu dan Tirta tak pernah kembali. Tidak bisakah kamu menerima kenyataan kalau dia sudah meninggal?" Pria itu kembali mengajakku bicara.
Aku menatapnya sejenak dengan ekor mataku. Aku terdiam, menunggu matahari benar-benar tenggelam.
"Kamu tahu, Tirta selalu berpesan agar aku menjagamu ketika dia pergi jauh. Aku masih di sini, karena dia sahabatku dan aku akan menjaga amanah yang dia percayakan untukku."
Aku menghela napas dan memejamkan mataku sejenak. Tak memerdulikan kalimat yang terus keluar dari bibir Arya.
"Airin ... percayalah! Dia pasti akan bahagia melihatmu bisa hidup bahagia. Kembalilah jadi Airin yang dulu. Airin yang ceria, yang tak pernah mengeluh bahkan menangis. Tirta pasti akan sangat terluka jika melihatmu seperti ini."
Aku tak menjawab. Kali ini matahari sudah tenggelam sempurna. Aku membalikkan tubuhku, berjalan perlahan dengan tongkat kaki yang menopang tubuhku. Aku bisa mendengar langkah kaki Arya mengikutiku dari belakang.
Sejak kejadian tsunami setahun lalu, keluarga dan teman-temanku tak ada yang selamat kecuali Arya. Dan dia yang setiap hari menemani langkahku. Arya, sahabat dekat Tirta. Banyak hal yang sudah kita lalui bersama. Aku tidak bisa membuka hatiku untuk Arya.
Bagiku, Arya selalu mengingatkanku pada masa lalu, mengingatkanku pada Tirta. Aku ingin pergi jauh darinya. Supaya aku bisa lupakan semuanya.

Maafkan aku, Arya...!
Ada kisah yang lebih indah menunggu kita di luar sana. Kita hanya perlu memilih jalan masing-masing...




Ditulis oleh Rin Muna
Samboja, 23 Januari 2018


#fiksi
#cerpen

Wednesday, January 16, 2019

Ingin Kutahu Hatimu

Ilustrasi Gambar by Rin Muna


Aku memarkirkan motorku tepat di depan halaman salah satu bengkel yang ada di kota Balikpapan.
"Kak!" Aku menghampiri seorang cowok yang sedang sibuk memperbaiki sepeda motor pelanggannya.
"Hei, tumben main ke sini." Cowok itu langsung berdiri menatapku, mengelap tangannya sambil tersenyum.
"Nggak bawain kakak makanan?" 
Aku menggelengkan kepala. Biasanya aku main ke rumah Kak Ari membawakan cemilan kesukaannya. Tapi, kali ini aku ke bengkel dengan tangan kosong. Sepertinya ia sudah membaca kalau aku sedang ada keperluan penting.
"Ada apa emangnya? Nggak biasanya kamu ke sini. Mukamu serius banget gitu." Kak Ari mendengus ke arahku.
"Aku mau nanya sesuatu sama Kakak."
"Oh ya ... mau tanya apa?"
"Erick ngelamar aku." Aku menatap wajah Kak Ari. Tak ada ekspresi apa pun. Tatapannya datar, aku tidak bisa mengerti apakah dia bahagia atau justru merasa aneh mendengar pernyataanku.
"Bagus, dong." Kak Ari kembali berjongkok dan sibuk memperbaiki motor pelanggannya.
"Kak ..."
"Hmm ...."
"Menurut Kakak, dia gimana?"
Tak ada jawaban, masih sibuk memutar baut dengan kunci Y miliknya.
"Kak."
"Apa?"
"Menurut Kakak, dia gimana?"
"Gimana apanya?"
"Cocok nggak sama aku?"
"Cocok," jawabnya masih sibuk mengutak-atik motor pelanggannya.
"Apanya yang cocok?"
Kak Ari mengangkat kedua pundaknya.
"Kakak kok gitu sih? Aku serius. Aku belum tahu gimana Erick secara dekat. Gimana pribadinya, kehidupannya dia. Kak Ari kan sahabat Erick dari SMA. Pasti Kak Ari bisa kasih aku saran, sebaiknya aku terima dia atau aku tolak?" Aku menyandarkan tubuhku di dinding sambil menatap wajah Kak Ari.
Aku tidak bisa mengerti, ekspresi wajahnya datar. Tidak ada rasa senang atau sedih ketika aku menyampaikan kalau aku dilamar oleh Erick. Mungkin, dia hanya sekedar kaget sejenak. Selama ini, hampir setiap hari aku menghabiskan waktu bersama Kak Ari. Tidak ada perasaan suka atau sayang. Dia menganggapku sebagai adik, begitu pula sebaliknya. 
Biasanya, dia selalu ceria. Hal yang selalu membuatku tersenyum mengingatnya adalah ketika ia mengusap atau mengacak-acak rambutku. 
Aku tidak punya kakak kandung, karena itu aku merasa perhatiannya istimewa. Mungkin, ada saatnya kita akan sama-sama kehilangan. Aku yang kehilangan dia sebagai kakak, dan dia yang kehilangan aku sebagai adik.
Ah, apa iya dia akan merasa kehilangan aku? Rasanya ... dia tidak akan seperti itu. Kalau dilihat dari wajahnya, dia akan baik-baik saja. Bahkan mungkin dengan mudahnya melupakan aku.
"Kak, aku masih ragu sama dia."
Kak Ari mendongakkan kepalanya menatapku. "Kenapa?"
"Entahlah ...." Aku mengangkat pundakku. Berharap, dia akan mengatakan "Jangan terima lamaran Erick!"
Ah, tapi tidak mungkin dia akan mengatakan itu. Aku bukan bagian penting di kehidupannya. 
"Kakak pernah bilang, akan jadi orang pertama yang ngelindungi aku kalau ada yang nyakitin. Seandainya aku terima dia dan aku tidak bahagia karena dia menyakiti aku. Apa kata-kata itu masih berlaku?" Aku menatap Kak Ari, menahan air mataku agar tidak jatuh.

Kak Ari menghampiriku dan menggenggam kedua pundakku. "Dek, Kakak sayang kamu seperti adiknya Kakak sendiri. Tapi, ketika kamu sudah memilih untuk berkeluarga. Kakak bukan siapa-siapa kamu lagi. Erick yang akan menjaga kamu. Percayalah!”
“Tapi, Kak—”
“Laki-laki yang berani melamar kamu, artinya dia serius sayang sama kamu.” Kak Ari tersenyum menatapku.
“Sebelum aku terima dia, aku mau kakak ceritakan sama aku, semua keburukan dia.”
“Maaf ... untuk itu Kakak nggak bisa.”
“Oke. Kalau emang Kakak nggak bisa ceritain ke aku. Kalau sampai aku nggak bahagia sama dia. Kakak adalah orang pertama yang harus bertanggung jawab!” ucapku ketus sambil berlalu pergi.
“Dek ...!” Aku dengar ia masih memanggilku. Aku hanya menoleh kesal, berjalan menuju motorku dan berlalu pergi.
Kak ... bukan itu yang mau aku dengar. Setelah sekian lama kita menghabiskan waktu bareng. Setelah sekian banyak hal yang kita lewati bareng. Kenapa sampai hari ini, bahkan di saat aku harus memilih dengan yang lain. Kamu masih tetap sama, menyayangiku sebagai adik. Sementara hatiku mulai berubah. Aku ingin kita ada hubungan lebih, bukan sekedar bersahabat. Setelah semua perhatian yang kamu berikan buat aku. Apa salah bila akhirnya aku benar-benar jatuh cinta. Kamulah yang selalu aku rindukan untuk mengisi hari dan hatiku.
Kak ... mungkin ini terakhir kali kita akan bertemu dan saling sapa. Jujur, aku kecewa. Kalau kamu menganggapku sebagai adik, kenapa tidak ada rona bahagia dari wajahmu? Kalau kamu merasakan hal yang sama denganku, kenapa kamu tidak pernah mengungkapkan itu?
Aku berhenti sejenak mengendarai motor, merogoh kertas-kertas sketsa wajah yang aku buat untuk Kak Ari. Aku sobek dan kubuang di tempat pembuangan sampah. Aku ingin melupakan semuanya. Semua yang pernah aku lewati bersamanya.
Aku tinggalkan kertas itu bersama hujan yang tiba-tiba tumpah dari langit. Aku menangis bersama hujan. Supaya tidak ada satupun yang melihat air mataku. Air mata ini adalah awal luka di hatiku. Mungkin, masih ada hal-hal lain yang lebih menyakitkan yang akan aku hadapi.
Rin, kamu akan baik-baik saja. Kamu wanita hebat dan kuat,” batinku menyemangati diriku sendiri.
Aku melajukan motorku pulang ke rumah dan mendapati Erick sedang menunggu kedatanganku.
“Kenapa hujan-hujanan?” tanyanya heran. Ia tahu kalau aku tidak suka hujan-hujanan.
“Aku nggak enak badan. Sebaiknya kamu pulang.” Aku bergegas masuk rumah, menutup pintu rapat-rapat. Meninggalkan Erick yang terpaku sendirian di depan rumah. Setelah aku pastikan ia pulang, aku menangis sejadi-jadinya di dalam rumah. Aku tidak tahu, apa yang harus aku lakukan besok. Aku harap Tuhan tunjukkan jalan menuju bahagia.



Ditulis oleh Rin Muna
Samboja, 16 Januari 2019


Tuesday, January 15, 2019

With You Love



Hari yang pernah kita lewati tidak akan kembali lagi. Itulah sebabnya kenapa aku di 
sini. Melangkahkan kaki bersamamu ke suatu tempat yang akan membuat kita ingat bahwa kita pernah berjalan bersama, berbagi rasa suka dan duka.
Tak banyak waktu yang bisa habiskan bersama. Terkadang aku sibuk dengan duniaku, kamu pun sama. Kita punya dunia masing-masing. Namun, bukan berarti kita tidak akan pernah saling bertemu. Kita akan tetap bersama meski bola kehidupan kita berbeda warna.
Ada hal yang tak bisa kita sentuh bersama. Ada hal yang tidak bisa kita raih bersama. Ada mimpi-mimpi yang harus kita kejar. Namun, bukan berarti kita harus berhenti bicara hanya karena sibuk mengejar mimpi.
Kita pernah ada di masa di mana kita pernag menangis bersama hanya karena berebut permen.
Kita pernah ada di masa di mana kita pernah merasakan sakitnya perubahan menjadi remaja.
Kita pernah sama-sama merasakan apa itu cinta, dikhianati dan dikecewakan.
Hanya cara dan warnanya saja yang berbeda.
Kita pernah bersama-sama makan sepiring berdua, makan mie instan dengan piring kaleng. Yang ketika piring itu bersentuhan dengan sendok, gigi-gigiku ngilu mendengarnya.
Kita pernah tidur bersama di atas kasur yang hanya berukuran 50×200 cm. Sempit, sesak, tapi kita bahagia.
Kita pernah tinggal dalam satu atap yang menghijau. Yang menjamin kita makan dan minum setiap hari. Yang menjamin kita akan mendapatkan pendidikan yang layak. Yang menjamin kedudukan kita sama dengan manusia yang lainnya.
Kita pernah merasa jenuh.
Kita pernah merasa lelah.
Yang terkadang memicu perdebatan dan pertengkaran.
Terlalu banyak kisah yang kita lalui bersama. Hingga tak mampu kutumpahkan dalam kata-kata.
Hanya angin yang membawanya berkelana menyusuri dunia. Berhembus dari pantai ke tanjung, dari tanjung ke teluk, dari teluk ke gunung. Kemudian terbang tinggi ke langit. Bersama para malaikat yang jadi pembawa kebahagiaan dan kesedihan. Dia pula yang membawa cerita kita abadi di atas langit.
Jadikan cerita kita abadi...
Dan kita bangun istana-istana bahagia di langit luas...
Bersamamu...
Kita mencipta cerita cinta nan bahagia...
Teruntuk sahabatku...
ER.
Rin Muna
15 Januari 2019

Wednesday, December 26, 2018

Juna's Don Juan

pixabay.com



Aku menyandarkan kepalaku pada bingkai jendela yang basah. Menatap rintik hujan yang menyapu setiap jejak masa lalu. Aku suka hujan. Sebab ia datang untuk menyapu jejak kesedihan. Namun, ia tak mampu menghapus bayangan. Bayangan dua orang yang entah sedang apa di luar sana.
Sebelum turun hujan, aku melihat Juna menjemput Mbak Daya. Aku tak banyak bertanya mereka akan ke mana. Mungkin menghabiskan waktu duduk berdua di Kafe atau sekedar makan di pinggir jalan. Aku rasa, kantong Juna yang masih anak sekolah tak cukup tebal untuk membawa Mbak Daya ke tempat-tempat mewah. Atau justru Mbak Daya yang merelakan uangnya melayang untuk mengisi perut Juna? Ah, entahlah. Aku tidak bisa terus mener-nerka.
Aku dan Juna satu kelas. Namun, tak pernah saling sapa. Sejak kepindahannya dari sekolah lama, ia telah banyak mencuri perhatian banyak gadis. Ia tak malu merayu banyak gadis dan sering membuatnya tersipu, bahkan betah berlama-lama menyandar di pundaknya. Tak perlu mendapat gelar pacar untuk bisa bergelayut manja di tubuhnya. Aku sering melihat beberapa cewek datang ke kelas saat jam istirahat hanya untuk mendekati Juna. Entah apa yang ia buat hingga cewek-cewek di sekolah menggilai kehadirannya.
Juna tak sungkan menggoda Mbak Daya, guru cantik di sekolah yang juga kakak kandungku. Tak banyak yang tahu jika Mbak Daya adalah kakakku, termasuk Juna yang sering datang ke rumah dan mengajak Mbak Daya pergi ke luar. Aku tahu, Mbak Daya tidak akan serius menanggapi Juna. Itu sekarang, tidak tahu besok jika hatinya berubah karena rayuan Juna.
Aku tidak menyalahkan Juna sebagai cowok Don Juan atau Casanova, sebab itu adalah pilihan hidupnya dan mungkin satu hal yang membuatnya bahagia. Juga tidak menyalahkan Mbak Daya jika suatu hari ia benar-benar jatuh cinta, sebab dia juga wanita biasa yang mudah tergoda. Sebab, semua kapal pasti akan berlabuh. Jika tidak, pastilah ia karam di tengah lautan.
Aku melipat buku yang sedari tadi aku pegang. Memeluknya sambil menatap rintik hujan yang mulai enggan menyapa pijakan kaki. Ada nama Juna di halaman pertama buku ini. Ya, ini memang buku Juna. Bagaimana bisa aku mendapatkannya atau bagaimana buku ini bisa di tanganku? Sudah pasti bukan sebuah hadiah darinya. Ia memberikannya begitu saja saat memintaku membantunya mengerjakan tugas. Dan tidak pernah lagi menanyakan buku miliknya. Dia terlalu sibuk dengan wanita-wanitanya.
“Eh! Hai...!” Aku mengangkat Ibon yang tiba-tiba bergelayut manja di kakiku. Kucing persia kesayanganku, dengan pita merah menghiasi lehernya. Aku ajak dia menikmati gerimis yang hampir hilang. Aku tahu, Ibon tidak suka hujan. Ia lebih memilih bergelayut manja mencari kehangatan. Aku meletakkannya di atas kasur.
Lamat-lamat aku dengar suara motor berhenti di depan rumahku. Aku melirik jam dinding, jam setengah sebelas malam. Selama inikah aku menghabiskan waktuku untuk melamun tentang Juna? Sejak mereka pergi hingga pulang kembali, aku menghabiskan waktuku untuk memikirkan pria yang sedang menebar cinta ke mana-mana.
“Dek, tolong bukain pintu! Mbak lupa nggak bawa kunci.” Teriakan Mbak Daya terdengar jelas di telingaku.
Aku bergegas menuju pintu, membuka perlahan.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam,” jawabku.
“Ayo masuk Jun! Tolong bikinkan teh hangat untuk Jun!” Mbak Daya menatapku, sedangkan Juna berdiri tepat di belakangnya.
“Apa ini ajakan untuk menginap?” goda Juna sembari menatapku tanpa berkedip, bahkan ia lupa mengatupkan kedua bibirnya.
Aku bergegas ke dapur.
“Mbak Daya nggak pernah bilang kalau punya adik yang cantik dan manis.” Aku mendengar suara Jun dari balik dapur.
“Untuk apa? Supaya kamu bisa menggodanya?” Mbak Daya mendengus sebal.
Juna terkekeh. “Siapa tahu dia jodohku.”
“Semua perempuan kamu bilang begitu.”
Aku keluar dan meletakkan dua cangkir teh di atas meja dengan bersimpuh di lantai.
“Hai, aku boleh—”
“Cepat minum dan cepat pulang!” sergah Mbak Daya.
Aku bergegas masuk ke kamar. Aku dengar tawa renyah dari mulut Juna. Ternyata, Juna tak mengenali penampilanku di rumah. Kemungkinan dia memang tak begitu memperhatikanku. Sebab aku bukan cewek modis seperti yang lain. Aku hanya menghabiskan waktuku bersama buku. Kacamata menghiasi mataku yang minus setengah. Rambutku kuikat sekenanya saja.
“Kamu sungguh tidak mengenali dia?” Suara Mbak Daya terdengar jelas dari kamar, sebab pintu kamar tidak kututup rapat.
Jun menggelengkan kepalanya.
“Karina, teman sekelasmu. Bahkan kamu sering belajar kelompok dengannya kan?” ungkap Mbak Daya. Duh, kenapa Mbak Daya mengungkapkan siapa aku di depan Juna? Sudah sedekat itukah mereka?
“Astaga! Pantes wajahnya familiar. Tapi aku lupa. Beda banget sama di sekolah. Di sekolah cupu banget! Tiap hari pacaran sama buku. Aku nggak berani ngajak ngobrol. Bahkan memperhatikan wajahnya aja aku nggak pernah Mbak.” Jun terlihat membalikkan tubuhnya dari sofa, menatap pintu kamarku. Kupastikan ia tak kan bisa melihatku di balik pintu.
“Sudah, jangan banyak bicara lagi! Cepat habiskan tehmu dan cepat pulang!”

***
“Ternyata kamu di sini. Aku udah cari kamu ke semua ruangan di sekolah ini. Akhirnya, aku bisa juga menemukan tempat persembunyianmu.” Juna tiba-tiba duduk di sebelahku tanpa permisi. Bagaimana bisa Don Juan seperti dia masuk ke perpustakaan sekolah?
“Kamu suka mojok ya?” Juna menatapku yang memang sedang duduk di lantai di sudut ruang perpustakaan.
Aku bergeming, melanjutkan membaca buku Ensiklopedia tentang perkembangbiakan makhluk hidup.
“Kamu suka baca kayak gini? Pengen berkembangbiak juga ya? Aku siap kok.” Juna mendekatkan wajahnya.
Aku terkejut bukan kepalang. Jantungku berdebar tak karuan sebab tingkahnya yang sangat menggelikan.
PLAK!
“Kehabisan wanita buat kamu goda? Hah!?” Aku menyeringai, merasa puas bisa menampar seorang Don Juan sekolahan.
“Kamu jahat banget sih!?” Juna memegangi pipinya, meringis menahan sakit.
“Lebih jahat kamu yang membiarkan hati banyak wanita ketar-ketir karena ulahmu. Kamu pikir mereka boneka-bonekamu? Dan satu lagi, jangan pernah dekati Kakakku lagi, atau—”
“Atau apa?!” Juna mendongakkan kepalanya menatapku yang berdiri di depannya.
BUK!!
Buku Ensiklopedia super tebal mendarat tepat di kepalanya.
“Sialan! Minta dicium memang kamu ya! Kakaknya cantik, kalem, baik. Adiknya freak!” Juna bangkit dari duduknya dan berdiri menatapku penuh kekesalan.
Aku balik menatapnya dengan sengit. “Apa kamu bilang?”
“Freak!” sentak Juna mendekatkan wajahnya ke wajahku.
Aku menginjak kakinya sekuat tenaga, mengangkat lutut kananku tepat mengenai alat vitalnya.
“Aaaauuuu....!” teriakan Juna menggema ke seluruh ruangan sembari memegangi alat vitalnya, terduduk menahan sakit.
Aku segera berlari sebelum ia membalas perbuatanku.
“Awas ya! Kalau sampai aku mandul, kamu harus tanggung jawab!” teriakan Juna masih bisa kudengar dari pintu keluar.
Aku bergegas menaiki tangga kecil di sisi bangunan perpustakaan. Aku berdiri di atas balkon berukuran 3x3 meter. Tidak banyak yang tahu tempat ini, tempat biasa aku menyendiri. Dan kini akan jadi tempatku bersembunyi dari kejaran pria seperti Juna.
“Gila ya itu cewek cepet banget ngilangnya!” Kulihat Juna berlari mengejarku. Celingukan ke sana kemari sementara ia tak akan bisa melihatku. Siapa murid yang tahu di ujung bangunan sekolah yang hanya berisi rak-rak buku, ada balkon yang asyik untuk melihat aktivitas anak-anak sekolah.
Juna terus berjalan menuju ke ruang kelas. Aku yakin, dia pasti mencariku ke kelas. Terlihat bertanya pada beberapa murid lain yang menggelengkan kepalanya.
Aku kembali ke kelas setelah lima menit bel berbunyi, kupastikan guru sudah masuk ke kelas terlebih dahulu sebelum Juna menghujaniku dengan tingkahnya yang menggelikan.
Tiba-tiba Juna sudah duduk manis di kursi sebelahku saat aku masuk. Tersenyum begitu manis. Senyum yang mengandung banyak makna. Jelas ada maksud tertentu di balik senyuman itu. Senyuman yang sengaja dibuat-buat untuk menyembunyikan niat jahatnya.
Selama jam pelajaran, semua baik-baik saja. Aku belajar seperti biasa. Namun, saat jam pelajaran usai dan semua murid meningalkan ruang kelas. Ada hal tak terduga yang terjadi. Juna tiba-tiba menahanku untuk bangkit dari kursi. Bahkan menarik kursiku merapat di kursi duduknya. Membentangkan satu kakinya di atas pahaku.
“Kamu apa-apaan sih!?” Aku menyingkirkan kaki Juna dengan kasar. Membiarkannya mengaduh sebab kakinya terhantup meja.
“Aku suka cewek kasar sepertimu.” Juna menatapku penuh nafsu.
“Semua cewek kamu suka Jun. Kambing cewek aja kamu sukain!” celetukku, secepatnya bangkit untuk meninggalkan Juna.
Gerakan tangan Juna lebih cepat dari gerakanku. Ia kembali menahanku.
“Aku teriak nih!”
“Nggak papa. Teriak aja! Biar semua sekolah tahu kalau kamu sedang tergila-gila denganku.” Jun tersenyum.
“Apa!? Aku nggak pernah tergila-gila denganmu dan tidak akan pernah!” Aku menyeringai tepat di depan hidungnya.
Juna justru mencondongkan tubuhnya dan beraksi ingin menciumku, secepatnya aku menghindarinya.
PLAK!
Tamparan Kedua.
“Dasar Omes! Piktor!” Aku segera bergegas pergi saat ia tertegun sambil memegangi pipinya yang masih panas. Tangannya tak lagi bisa bergerak cepat menahan kepergianku.
Aku berlari secepatnya sebab ia berusaha mengejarku hingga ke parkiran sekolah. Aku tahu, Juna pasti bisa mengejarku dengan sepeda motornya bila aku naik angkot.
“Angkot... Please! Jangan lama datangnya!” batinku sambil berlari keluar dari gerbang sekolah.
Tak lama angkot berhenti dan aku segera menaikinya. Tepat saat motor Juna berjarak lima meter. Hal ini membuat Juna terus mengikuti angkotku. Duh, kenapa jadi begini sih? Apa semua perempuan yang tergila-gila dengannya itu dikejar-kejar dahulu seperti ini? Bagaimana para cewek sekolah tidak tergila-gila jika melihat perjuangan Juna dalam mengejar cewek seperti ini?
“Aku nggak akan berhenti mengejarmu sampai kamu bilang cinta sama aku!” Juna masih duduk di atas motor. Menatapku yang sedang membuka pintu rumah.
“Nggak akan pernah!” Aku segera masuk rumah. Membanting pintu keras-keras. “Dasar cowok gila!” makiku.
“Kenapa pulang sekolah kok marah-marah? Ada siapa di luar?” tanya Mbak Daya yang melihat wajahku terlipat tujuh.
“Cowok gila!” Aku bergegas masuk kamar.
Mbak Daya keluar menemui Juna. Mereka malah asyik mengobrol di teras rumah. Sementara hatiku masih sangat dongkol dengan tingkah Juna hari ini.


Hantu di Langit Kamarku


Hantu di Langit Kamarku
pixabay.com


Aku merebahkan tubuhku di atas kasur. Menatap langit-langit kamar. Mataku masih sembab.
Sesekali bayangan semu bergelayut di langit-langit kamarku.
Kadang ia tertawa, kadang ia menangis, kadang ia merintih.
Senyum dan tawa itu, sungguh menyayat hati. Terlebih lagi senyum itu bukan lagi milikku.
Sesekali ia menangis, memohon maaf atas kesalahannya.

Aku menatapnya, sesekali bayangan itu hilang lalu muncul kembali.
Dia pernah mengajakku bercanda. Kami tertawa, menari bersama.
Dia pernah mengajakku bermimpi, membangun istana indah di negeri sendiri.

Namun, tiba-tiba dia hanya menjadi bayangan yang terus menghantuiku.
Bergelayut manja di pelupuk mata dan langit kamarku.
Sungguh, aku ingin menghancurkannya. Menghilangkan dia dari hari-hariku...
Dia terlalu semu untuk aku sentuh.

Andai waktu bisa kuputar kembali, aku memilih untuk tidak pernah mengenalnya.
Dia itu seperti hantu yang datang tiba-tiba mengetuk pintu hatiku, hanya untuk menyayat dinding-dinding hati ini. Kemudian pergi begitu saja tanpa kata.
Bagiku, kini dia hanyalah hantu.
Yang selalu bergelayut di langit-langit kamarku.
Tanpa tahu bagaimana mengusirnya.
Dia selalu mengganggu tidurku, selalu mengusik hatiku.
Sebab aku masih cinta.
Dan kini ia mencintai dia...

Mantan, kamu adalah hantu paling menakutkan dalam hidupku.
Masih lebih baik aku bercengkerama dengan kuntilanak yang selalu tertawa.
Atau bersahabat dengan tuyul yang bisa mencarikan aku banyak uang.
Kamu itu seperti genderuwo, lebih menyeramkan dari itu...

Aku mohon, pergilah bayang-bayang masa laluku...!
Terlalu perih...
Terlalu sakit untuk menatapmu.
Menatap cerita kita yang indah kemudian pecah berkeping-keping.
Melukai hati yang hanya bisa merintih...
Tak mampu membuatmu kembali. Hanya bisa menangis melihatmu bahagia bersama si dia.

Antara Surabaya-Balikpapan

Sumber Ilustrasi : Kumparan.com


“Rin, tolong ya!” Pak Bayu memakai rompi kerjanya. Menyempatkan diri untuk masuk ke ruanganku sejenak sebelum berangkat tugas ke area pengeboran lepas pantai.
“Beres Pak!” Aku masih sibuk dengan laporanku, namun aku sempatkan untuk bisa mendengar dengan baik setiap kalimat yang keluar dari mulut Pak Bayu.
Tak lama kemudian, Pak Bayu bergegas menuju Helipad. Aku bisa melihatnya dari jendela ruanganku di lantai lima. Aku adalah Assistant Chief Clerk yang mengurusi Administrasi. Aku memang dekat dengan beberapa rekan, sebab sifatku yang memang senang berceloteh dan bersosialisai.
Hari ini, Pak Bayu pasti menjalankan tugas dengan gelisah. Sebab, menurut perkiraan dokter istrinya akan melahirkan. Dia belum mendapat jatah cuti, terlebih lagi pekerjaan memang sedang padat-padatnya.
Bu Ana, istri Pak bayu usianya dua tahun lebih tua dari usiaku. Dan sedang menanti kelahiran anak pertama mereka. Aku cukup dekat dengan Bu Ana. Sebab sebelum mereka menikah, Bu Ana sering berkunjung ke Balikpapan. Namun semenjak berbadan dua, ia lebih memilih untuk menetap di Surabaya, di kediaman orang tuanya.
Pak Bayu juga asli orang Surabaya. Di Balikpapan hanya melaksanakan tugas kerja. Dan sudah pasti demi anak istri. Di lokasi pengeboran lepas pantai, masih sangat susah sinyal. Hingga besar kemungkinan Pak Bayu akan mendapat kabar terlambat, atau bahkan tidak mendapatkan kabar sama sekali. Sejak keberangkatannya ke lokasi pagi hari, ia sudah terlihat gelisah.
Aku menatap ke luar jendela. Menghela napas perlahan. Menatap Awan yang bergelayut di atas lautan. Dari ruangan ini, aku bisa leluasa memandang pantai Balikpapan. Ombak-ombak kecil terkadang senada dengan bentuk awan di atasnya. Aku sedikit terenyuh dengan kisah Pak Bayu, sebenarnya bukan hanya dia saja. Tapi, beberapa karyawan juga mengalami hal ini. Bedanya, Pak Bayu adalah supervisor yang punya hak lebih dari karyawan lainnya.
Hari mulai petang, belum ada tanda-tanda Bu Ana menghubungiku. Aku mondar-mandir di teras kantor. Gelisah. Duh, aku saja segelisah ini. Bagaimana dengan Pak Bayu yang menanti di lepas pantai sana?
Akhirnya, kuputuskan untuk menelepon Bu Ana terlebih dahulu. Beberapa kali aku hubungi, tidak diangkat.
“Assalamu’alaikum...!” Suara asing dari seberang sana menjawab telponku.
“Wa’alaikumussalam. Bu Ana ada? Saya teman kantor Bapak. Mau menanyakan kabar Bu Ana, soalnya Bapak lagi ke area lepas pantai—”
“Pantas saja sulit Ibu hubungi. Tolong sampaikan pada Bayu, Ana mau melahirkan. Ini sedang di ruang persalinan di Rumah Sakit.” Sudah jelas yang menelepon adalah orang tua Bu Ana.
“Oke Bu. Saya langsung ke area pengeboran temui Bapak.” Aku menutup telepon tanpa basa-basi lagi. Sudah saking paniknya. Aku berkali-kali berlari masuk ke ruangan untuk mengambil barang yang selalu saja tertinggal.
Aku berlari menuju Helipad. Mencari Operator Helikopter yang biasa membawa kami menuju ke area pengeboran lepas pantai. Namun, aku tak mendapatinya sebab hari sudah petang dan aku tidak mengajukan permintaan untuk berjaga-jaga hingga petang. Kemungkinan Shift berikutnya bisa terlambat datang.
Aku kembali ke kantor. Meminta kunci salah satu SpeedBoat pada Security. Aku tak punya banyak waktu jika harus menelpon operator Heli dan menunggunya. Lebih baik aku bawa SpeedBoat seorang diri. Itu lebih baik dan lebih cepat. Sebab aku wanita, dua orang karyawan pria bergegas menyusulku dengan membawa satu SpeedBoat lainnya. Semua tahu kepanikanku.
Aku segera menjemput Pak Bayu. Membawanya ke Bandara agar secepatnya terbang ke Surabaya. Tak peduli ia masih mengenakan seragam kerja. Dia jauh lebih panik dariku, jauh lebih khawatir.



Thursday, November 9, 2017

Cerpen "Casual Love"


Aku duduk di salah satu meja restoran. Restoran yang terletak di pusat perbelanjaan ini sangat ramai dikunjungi orang. Bahkan aku bisa dengan jelas melihat orang yang berlalu-lalang untuk berbelanja atau hanya sekedar jalan-jalan saja. Aku perhatikan gadis-gadis yang lewat atau bahkan yang duduk di restoran itu juga. Zaman sekarang ini, banyak perempuan yang mengumbar auratnya, bahkan terkadang membuat bulu kudukku berdiri ketika melihat seorang wanita berpakaian super seksi. Hal yang normal untuk seorang laki-laki. Namun perasaan itu segera kutepiskan. Ada juga wanita yang berhijab tapi makeupnya menor banget, dengan alis cetar membahana seperti menggunakan spidol dan bibir merah merona. Dan masih banyak lagi kulihat wanita-wanita yang sedang ngikuti tren masa kini. Tren yang semakin gila kurasa. Kemudian, pandanganku tertuju pada salah satu meja panjang. Beberapa wanita baru saja duduk memesan makanan. Di saat semua sibuk dengan smartphone-nya. Salah satu wanita kulihat tidak memegang handphone. Dia hanya memperhatikan ke enam temannya yang sibuk sendiri dengan handphone. Sambil sesekali melihat ke arah meja resepsionis atau melihat ke sekeliling restoran. Bahkan pandangan mata kami sempat bertemu dalam sepersekian detik. 

Aku heran, ternyata masih ada gadis sesederhana dia? Bahkan ketika semua sibuk dengan gadget, dia asyik menikmati sekitarnya tanpa memegang gadget. Penampilannya juga sederhana, hanya dengan celana jeans warna biru dan kaos oblong putih yang sedikit longgar alias tidak ketat di badannya. Rambutnya lurus terurai hingga bahunya. Wajahnya terlihat alami tanpa make up. Memang dia tidak secantik teman-temannya yang menggunakan make up. Tapi, kesederhanaannya lah yang membuat hatiku terenyuh dan bahkan aku tidak mengalihkan pandanganku dari wajahnya. Ku perhatikan setiap gerakannya, bahkan senyumnya yang sangat manis ketika menanggapi candaan teman-temannya. Entah apa yang mereka bicarakan aku tak begitu mendengarnya karena jarak kami lumayan jauh. Ku lihat matanya memperhatikan sekeliling dan kali ini tepat bertatapan dengan mataku. Aku yang duduk sendirian di meja paling pojok. Tiba-tiba jantungku seolah berhenti berdetak, apa benar dia melihatku juga? Cukup lama dia tidak mengalihkan pandangannya. Dan itu membuatku jadi salting. Kemudian aku berpura-pura menyerutup minuman yang tersaji di atas meja untuk mengalihkan rasa saltingku. Tak berapa lama aku meliriknya kembali dan dia sedang menempelkan sebuah smartphone iphone 6s di telinganya. Sepertinya dia menerima telepon dari seseorang. Kemudian dia letakkan kembali smartphone itu ke dalam tasnya. Aku pikir dia sendiri yang tidak main handphone karena tidak punya. Ternyata dia punya lebih mahal dari teman-temannya yang hanya menggunakan smartphone android merk biasa. Wanita itu membuatku kagum dengan kesederhanaannya. Ah, entah kenapa aku jadi penasaran ingin mengenalnya atau sekedar menyapanya. Tapi, jantungku justru berdegup kencang. Telapak tanganku berkeringat, padahal aku masih duduk diam dan baru berniat untuk menyapanya. Perasaan apa ini? Aku belum pernah merasakannya. Aku yang biasanya begitu mudah menaklukan para gadis. Sekarang jadi tak berdaya. Apa aku jatuh cinta? Oh tidak! Tidak mungkin aku jatuh cinta dengan seorang gadis yang biasa saja. Bahkan menyapanya saja aku belum pernah. Aku mengetuk-ngetuk meja dengan ujung jemariku untuk menghilangkan rasa grogiku. Tak lama kemudian gadis itu bergegas pergi seorang diri dan meninggalkan teman-temannya. Aku pun segera menuju kasir untuk membayar makananku dan mengikuti langkahnya dengan santai agar tidak ada yang curiga kalau aku membuntutinya. Kulihat dia berjalan kaki keluar dari tempat parkir. Artinya dia pasti tidak naik kendaraan pribadi. Aku bergegas menstarter motorku dan mengejar langkahnya.
"Mba mau ke mana?" tanyaku setelah berada tepat di sisinya yang sedang menunggu kendaraan umum melintas.
"Mau pulang Mas." jawabnya.
"Mau saya antarkan?" tanyaku kemudian.
"Nggak usah Mas. Saya naik angkot aja." jawabnya sambil memberhentikan salah satu angkot yang kebetulan sedang melintas.

Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi dan membiarkannya pergi begitu saja. Entahlah, aku tak bisa mengendalikan jantungku yang berdegup sangat kencang ketika berbicara dengannya. Tak seperti biasanya yang dengan mudahnya merayu perempuan dan bikin mereka klepek-klepek. Kali ini dia sangat cuek, sepertinya dia sama sekali tidak tertarik dengan ketampananku ataupun dengan kendaraan yang kubawa. Biasanya nih, kalau cewek lihat cowok ganteng pake motor Ninja udah histeris duluan minta diboncengin. Tapi, kali ini perempuan yang aku temui cuek-cuek aja. Sepertinya dia tidak begitu tertarik denganku. Apa karena dia sudah punya pacar ya? Ah, pikiranku semakin kacau balau. Aku memacu motorku dan bergegas pulang ke rumah.
Sesampainya di rumah aku merebahkan diri ke atas tempat tidur. Sambil menatap langit-langit kamar, kubayangkan wajah dan senyumannya dari kejauhan. Pemandangan di restoran siang tadi terus terbayang di wajahku. Ah, tidak mungkin aku suka pada gadis yang biasa saja, gadis yang sangat casual. Semua perempuan yang aku kenal memiliki selera tinggi dan penampilan yang sangat menarik. Kenapa aku justru tertarik pada gadis yang biasa saja? Aku berjalan menuju balkon. Melihat beberapa orang lalu lalang membeli sate yang sedang ngetem tepat si seberang rumahku. Mataku kemudian tertuju pada seorang gadis yang baru keluar dari pintu rumah seberangku dengan mengenakan jaket warna hijau lumut. Itukan gadis yang aku temui tadi siang? Dia tetanggaku? Ternyata sangat dekat sekali.
“Emang kalau jodoh nggak kemana.” Celetukku sambil bergegas turun dari kamar dan langsung keluar rumah.
“Paklek, kenal nggak sama cewek yang barusan pake jaket hijau lumut?” tanyaku pada Paklek Sate langganan komplek.
“Oh,,, yang barusan beli sate?” tanya Paklek.
“Iya Paklek.”
“Lah kok tumben nanyain? Biasanya makan sate bareng di sini nggak pernah nanya.” Tanya Paklek heran.
Hah? Aku makin melongo. Apa iya gadis itu sering makan di sini juga? Apa aku yang nggak begitu perhatikan ya?
“Duduk aja dulu Mas, saya bikinkan satenya. Sebentar lagi gadis itu pasti ke sini lagi. Soalnya dia kalo beli di bawa pulang itu buat ibunya. Kalo dia pasti makannya langsung di sini.” Tutur Paklek.

Belum lima menit gadis itu benar-benar keluar dari rumahnya dan duduk tepat di sampingku, memesan satu porsi sate ayam. Kuperhatikan wajahnya dari dekat, aku seperti pernah melihatnya. Wajahnya familiar di ingatanku tapi aku tetap tidak tahu dia ini siapa. Atau memang aku yang sudah terlalu silau dengan penampilan wah seorang perempuan sehingga aku tidak pernah memperhatikannya.
“Mas, kok lihatin saya seperti itu?” tanya gadis itu.
“Eh,,, Nggak papa. Kamu tinggalnya di sini? Kok baru lihat ya?” tanyaku gugup.
Gadis itu tertawa. “Mas Aryo... Sering banget saya lihat Mas Aryo makan di sini. Bahkan di tempat makan yang lain juga. Ya nggak lihat lah orang Mas Aryo kalau makan kan sudah ada yang nemenin, cantik-cantik pula.”
“Ah masa sih? Kamu juga cantik kok.”
“Iya, karena aku kan perempuan. Kalau laki-laki pasti ganteng.” Sahutnya sambil meraih seporsi sate yang ia pesan.
“Serius. Kamu itu cantiknya alami.”
Gadis itu hanya tersenyum.
“Oh ya, nama kamu siapa?” tanyaku penasaran.
“Tetangga bertahun-tahun masa nggak ingat sama aku. Aku Sonya.” Jawab gadis itu.
“Hah!? Kamu beneran Sonya?” tanyaku kaget. Yang aku tahu Sonya itu tomboi, pake kacamata dan rambutnya selalu pendek seperti laki-laki. “Aku pikir kamu sepupu atau sodaranya Sonya, soalnya Sonya yang aku kenal nggak kayak gini.” Tuturku sambil memperhatikan setiap detil perubahan yang terjadi padanya. Dan kami pun asyik bercerita tentang banyak hal.
Hari-hari berikutnya aku lebih banyak menghabiskan waktu bersama Sonya. Dia perempuan yang sederhana, kami punya waktu bersama untuk jogging, makan siang bareng ataupun sekedar menemaninya pergi latihan. Sekali saja dia tidak pernah mengajakku ke mall. Belanja apa yang dia inginkan seperti perempuan-perempuan lain yang pernah kudekati. Beberapa panggilan telepon, sms, whatsapp dan sejenisnya dari wanita-wanita yang pernah kudekati tak lagi kuhiraukan. Ada yang marah-marah tanpa sebab karena sekian banyak chat hanya kubaca. Aku mulai malas meladeni mereka. Bukan pacar, hanya dekat saja. Tapi sering kali mengajakku jalan ke mall atau ke salon. Benar-benar dunia perempuan yang membosankan.

Aku lebih nyaman jalan dengan Sonya. Penampilannya simpel, sangat casual. Tidak pernah merengek dan bermanja-manja. Selalu ceria setiap bersamanya. Bahkan aku sama sekali tidak pernah mendapat telepon atau sms dari dia saat kami sedang tidak bersama. Justru tanganku yang gatal ingin terus meneleponnya. Terkadang dia marah saat menjelang tidur dan aku masih mengganggunya. Atau saat dia sedang jam belajar dan aku sibuk menelepon atau sms. Aku sering senyum-senyum sendiri mengingat wajah manyunnya saat ketemu sambil mengomel ‘Jangan telepon aku di jam belajar!’ atau ‘Jangan ganggu aku malam-malam!’. Sederhana sekali, tapi aku tidak pernah bisa melupakannya walau hanya sedetik.
“Son, kamu mau nggak temenin aku nonton? Ada film baru.” Ajakku memberanikan diri. Ini bukan pertama kalinya aku mengajaknya nonton. Selama 6 bulan kedekatan kami, dia selalu menolak jika ku ajak nonton atau sekedar makan malam di luar.
“Nggak ah, aku nggak suka nonton di bioskop.” Jawab Sonya.
“Jadi sukanya nonton di mana?” tanyaku.
“Nggak di mana-mana. Aku nggak tertarik nonton film, menghabiskan waktu 2 jam hanya untuk duduk manis mantengin layar film. Buat aku itu membosankan banget.” Celetuknya.
Aku terdiam sejenak. Berpikir. Apa yang disukai Sonya? Apa cuma makan malam di kedai sate keliling di depan rumah? Kan nggak keren banget kalau aku nyatain perasaanku di sini. Nggak romantis. Kira-kira ke mana ya Sonya mau kuajak jalan? Tempat yang tidak membosankan? Tempat yang selalu bikin ceria.
“Kamu pengen banget ya nonton film itu?” tanya Sonya yang menyadari lamunanku.
“Eh,,, nggak juga sih.” Jawabku sambil melahap sate yang sudah lama terhidang di depanku.
“Trus?”
“Aku pengen aja sekali-kali jalan bareng sama kamu. Nonton film, makan malam atau jalan-jalan ke tempat yang romantis.” Jawabku.
“Seperti cewek-cewek yang selalu kamu dekati? Aku bukan mereka Mas. Aku nggak suka pergi nonton, aku nggak suka makan malam berdua, aku nggak suka menghabiskan waktu jalan-jalan berdua aja. Sementara kita cuma diam. Cuma saling pandang kayak drama sinetron. Aku tipe orang yang suka keramaian. Ngumpul sama keluarga besar, sama teman-teman. Sekedar barbeque atau seru-seruan yang lain. Aku lebih senang jalan ke pasar malam, ke pantai, ke tempat outbond atau ....” ucapan Sonya terhenti saat aku dengan cepat meraih tangannya.
“Kenapa?”
“Kamu suka pasar malam kan? Ayo kita ke sana!” ajakku bergegas.
“Nggak sekarang juga, ini udah malam.”
“Baru juga jam tujuh.” Seretku sambil berlalu pergi. Tak lupa aku tinggalkan uang untuk bayar 2 porsi sate yang sudah kami makan.
“Kembaliannya Mas!” teriak Paklek.
“Ambil aja.”
Aku bergegas masuk ke halaman rumah untuk mengambil mobil.
“Nggak usah pake mobil Mas. Kan pasar malam dekat aja di lapangan komplek. Kita jalan kaki aja lebih seru.” Ucap Sonya saat aku memintanya naik ke mobil.
Aku melongo mendengar ucapan Sonya. Bergegas aku kembalikan mobil ke garasi dan berlari masuk rumah untuk mengambil kunci. Mama dan Papa sempat bertanya karena aku terlihat terburu-buru.
“Pa, aku pinjem jaket Papa.” Aku langsung meraih jaket Papa yang ia letakkan di atas kursi ruang keluarga.
“Kamu kenapa kok terburu-buru begitu?” tanya Papa.
“Mau jalan Pa sama Sonya.”
“Tapi kenapa harus lari-lari gitu. Badan kamu kan bisa berkeringat. Masa jalan sama cewek badannya keringatan kan bau.” Celetuk Mama.
Aku mencium kedua ketiakku bergantian untuk memastikan badanku tidak bau. “Masalahnya Sonya ngajak jalan kaki aja. Nggak mau pake mobil atau motor. Tadi sudah ambil mobil dan harus Aryo balikin lagi ke garasi.” Aku langsung bergegas pergi setelah jaket papa terpasang di tubuhku.
“Lama ya?” tanyaku pada Sonya yang masih menunggu di pekarangan rumah.
Sonya menggeleng. Kami segera bergegas menuju lapangan komplek perumahan yang sedang ada pasar malam. Pasar malam ini selalu berpindah. Terkadang beberapa bulan lagi baru ada di komplek kami. Dan lamanya hanya seminggu. Aku lihat dia sangat asyik mencoba beberapa kuliner sambil terus minta di foto. Juga mencoba semua permainan yang ada. Ini kali pertama aku ke pasar malam lagi setelah 15 tahun tidak pernah menginjakkan kaki di pasar tradisional penuh keceriaan ini. Ini juga pertama kalinya aku merasa sangat bahagia. Tertawa dan berteriak sepuasnya. Bahkan tanpa sadar kami saling berangkulan dan bergandengan tangan dengan asyiknya. Mungkin Sonya tidak sadar karena saking senangnya. Biasanya ia paling tak mau aku menyentuh tangannya, apalagi sampai bergandengan dan berangkulan seperti ini.
“Capek banget.” Tutur Sonya saat kami berjalan pulang. Ia duduk di trotoar sambil meminum es cendol.
“Masih kuat jalan?” tanyaku yang melihat napasnya tersengal.
“Masih lah. Bentar aku habisin amunisiku dulu.” Tuturnya sambil menyerot es cendol sampai habis dan segera berdiri kembali.
“Aku bahagia banget malam ini. Makasih ya!” ucap Sonya memegang pundakku sambil berjalan beriringan.
“Iya sama-sama. Aku juga bahagia bisa ngabisin waktu malam ini sama kamu dan lihat kamu bahagia banget.”
Sonya tertawa kecil. “Aouw...!” aku terkejut mendengar teriakan Sonya yang terjerembab di selokan. Selokan ini sudah ditutupi dengan besi sehingga bisa dipakai untuk berjalan. Tapi, ada beberapa besi yang sudah patah dan membuat berlubang. Kaki kiri Sonya tepat masuk ke dalam sela-sela besi yang rusak. Aku bergegas menarik kakinya keluar dari selokan. “Sakit.” Ucapnya kemudian setelah ku lihat beberapa goresan di kakinya. Sepertinya besi-besi selokan yang rusak melukai kakinya.
“Bisa berdiri?” tanyaku sambil memapahnya untuk berdiri.
“Bisa kayaknya, cuma lecet-lecet aja kok.” Jawab Sonya sambil berusaha berdiri. “Aduh, sepertinya kaki kanan aku yang keseleo saat nahan tadi.” Tuturnya kemudian.
“Ya udah sini aku gendong.” Tuturku sambil berjongkok menawarkan punggungku.
“Nggak usah. Kaki kiri aku masih bisa dipakai jalan kok, cuma lecet-lecet aja.”
“Udah, cepet naik! Kalau jalan sendiri nanti lama sampe rumahnya. Ini udah jam setengah 12 loh. Nanti Mama sama Papa kamu marah pulangnya kemalaman.”
Tanpa protes lagi Sonya langsung naik ke punggungku. Aku berjalan perlahan, tubuh Sonya semakin lama semakin berat.
“Kamu berat banget sih.” Celetukku. Tidak ada respon dari Sonya. Ternyata dia tertidur, mungkin karena kelelahan.
“Kalian darimana?” orang tua Sonya sudah menunggu dan panik karena sudah malam mereka belum pulang juga.
“Tadi Sonya pengen ke pasar malam tante. Jadi saya ajak ke sana jalan kaki.” Jawabku sambil menidurkan Sonya di sofa ruang tamu.
“Itu kenapa kaki Sonya berdarahan?” tanya Papa Sonya.
“Tadi dia terjerembab di selokan Om. Kakinya lecet kena besi selokan yang rusak.” Jawabku.
“Kok bisa? Kamu ngajak jalan anak saya nggak bisa jaga dia.” Sentak Papa Sonya.
“Sudah Pa, jangan di marahin!” pinta Mama Sonya.
“Yo, tolong pindahin Sonya ke kamarnya ya di lantai dua. Soalnya tante sama Om pasti nggak kuat gendong dia lagi.” Pinta Mama Sonya. “Bi, bawakan air hangat sama handuk ke kamar Sonya ya!” pintanya kemudian pada asisten rumah tangga mereka.
Aku bergegas membawa Sonya yang masih tertidur ke kamarnya diikuti dengan langkah Bibi Sarti.
“Ini Mas air sama handuknya.” Bibi Sarti menyodorkan ember kecil berisi air hangat setelah aku selesai meletakkan tubuh Sonya di atas kasur.
“Ada obat bi?” tanyaku sambil membersihkan luka di kaki kiri Sonya.
Bibi Sarti mengangguk dan bergegas pergi mengambil obat.
“Aouw..!” teriak Sonya terbangun. “Perih.” Katanya saat aku menempelkan handuk hangat untuk membersihkan lukanya.
“Aku kok sudah di sini?” tanyanya sambil mengangkat tubuhnya untuk duduk.
“Kamu tadi ketiduran. Capek banget ya? Tidurnya sampai ngorok loh.” Ucapku bercanda.
Sonya hanya tersenyum menganggapi candaanku. Aku masih terus membersihkan kaki Sonya dengan teliti. Bibi Sarti sudah kembali dengan membawa kotak obat dan berlalu pergi lagi. Sonya meringis menahan sakit saat aku memberikan cairan iodine pada lukanya.
“Aku nggak bisa urut kaki kanan kamu. Nggak ngerti caranya. Besok aku panggilkan tukang urut buat urut kaki kamu yang keseleo ya.” Tuturku kemudian.
“Makasih ya Mas.”
“Aku yang makasih sama kamu. Karena malam ini adalah malam paling bahagia yang aku punya seumur hidupku.”
“Gombal.”
“Kok Gombal sih?”
“Iya, bukannya bahagia itu kalau makan malam romantis sama cewek-cewek cantik di kota ini? Setiap jalan sama cewek selalu bilang hal yang sama.”
“Suer deh, baru sekali ngomong gini sama kamu doang.”
“Kenapa cuma sama aku doang? Bukannya Mas Aryo sudah...” ucapan Sonya terhenti ketika dengan spontan aku meletakkan jari telunjuk di bibirnya.
“Karena kamu beda. Gayamu yang casual, hari-harimu yang casual, hidupmu yang casual dan selera casual kamu bikin aku bener-bener jatuh cinta sama kamu. Bisa saja aku jatuh cinta sama Shinta, cewek yang super cantik bak model dengan dandanan yang supermodis. Tapi itu tidak terjadi. Tuhan menjatuhkan cintaku sama kamu. Cewek casual yang bikin aku gelisah dan uring-uringan setiap hari. Aku tau ini bukan tempat yang tepat untuk nyatain perasaan aku. Aku nggak pernah berhasil ngajak kamu makan di restoran yang romantis. Tapi ini saat yang tepat untuk aku tau gimana perasaan kamu sama aku. Kamu mau kan jadi ...” ucapanku terhenti. Aku bingung harus bilang apa. Jadi pacar? Jadi istri? Jadi pendamping hidup? Jadi teman hidup? Atau apa ya yang keren dan mengesankan.
“Jadi apa Mas?” tanya Sonya sambil memandangi wajahku.
Aku gugup untuk mengatakannya. “Aku bingung jadi apa ya?” kataku nervous. “Kalau jadi istri nggak mungkin, kamu kan masih kuliah. Kalau jadi pacar, rasanya aneh karena aku sudah dewasa. Kata pacar kan cocoknya buat anak remaja. Kalau jadi pendamping hidup, nggak keren. Bibi Sarti pun bisa dampingin hidup aku dari kecil sampai sekarang. ...” Kataku terus nyerocos.
Sonya tertawa mendengar pernyataanku.
“Kok malah tertawa?”
“Lucu aja. Mas Aryo yang terkenal playboy dan don juan nggak ngerti nyatain cinta kayak gimana?” katanya sambil tertawa.
“Lah, kamu cinta nggak sama aku?” tanyaku kemudian.
“Nggak tau.”
“Kok, nggak tau?”
“Yah, kan tadi Mas Aryo belum selesaikan pertanyaan yang pertama? Aku mau dijadikan apa? Dijadikan pembantu kayak Bi Sarti?” tanyanya.
Aku menggeleng. Menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Kali ini aku benar-benar keki. Sonya memang tidak suka basa-basi. Selalu to the point dan bikin aku salting nggak karuan. Aku masih berpikir sampai dapat kata-kata yang tepat untuk kukatakan.
“Jadi?” tanya Sonya lagi.
Aku menggenggam kedua tangan Sonya sambil menarik napas sebelum aku akhirnya mengatakan “Kamu mau kan jadi satu-satunya wanita yang aku cintai seumur hidupku?”
Sonya tersenyum “Kalau itu aku mau.” Jawabnya kemudian.
“Beneran?” tanyaku kegiarangan sampai-sampai tak sengaja aku menyenggol kaki Sonya dan membuatnya mengaduh kesakitan.
“Sampai ketemu besok ya. Tidur yang nyenyak! Aku pulang dulu,” ucapku sambil bergegas pergi meninggalkan rumah Sonya dengan senyum sumringah yang tidak dapat kusembunyikan dari siapapun.


______________________________
🅒 Copyright.
Karya ini dilindungi undang-undang.
Dilarang menyalin atau menyebarluaskan tanpa mencantumkan nama penulis.




Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas