Wednesday, December 26, 2018

Antara Surabaya-Balikpapan

Sumber Ilustrasi : Kumparan.com


“Rin, tolong ya!” Pak Bayu memakai rompi kerjanya. Menyempatkan diri untuk masuk ke ruanganku sejenak sebelum berangkat tugas ke area pengeboran lepas pantai.
“Beres Pak!” Aku masih sibuk dengan laporanku, namun aku sempatkan untuk bisa mendengar dengan baik setiap kalimat yang keluar dari mulut Pak Bayu.
Tak lama kemudian, Pak Bayu bergegas menuju Helipad. Aku bisa melihatnya dari jendela ruanganku di lantai lima. Aku adalah Assistant Chief Clerk yang mengurusi Administrasi. Aku memang dekat dengan beberapa rekan, sebab sifatku yang memang senang berceloteh dan bersosialisai.
Hari ini, Pak Bayu pasti menjalankan tugas dengan gelisah. Sebab, menurut perkiraan dokter istrinya akan melahirkan. Dia belum mendapat jatah cuti, terlebih lagi pekerjaan memang sedang padat-padatnya.
Bu Ana, istri Pak bayu usianya dua tahun lebih tua dari usiaku. Dan sedang menanti kelahiran anak pertama mereka. Aku cukup dekat dengan Bu Ana. Sebab sebelum mereka menikah, Bu Ana sering berkunjung ke Balikpapan. Namun semenjak berbadan dua, ia lebih memilih untuk menetap di Surabaya, di kediaman orang tuanya.
Pak Bayu juga asli orang Surabaya. Di Balikpapan hanya melaksanakan tugas kerja. Dan sudah pasti demi anak istri. Di lokasi pengeboran lepas pantai, masih sangat susah sinyal. Hingga besar kemungkinan Pak Bayu akan mendapat kabar terlambat, atau bahkan tidak mendapatkan kabar sama sekali. Sejak keberangkatannya ke lokasi pagi hari, ia sudah terlihat gelisah.
Aku menatap ke luar jendela. Menghela napas perlahan. Menatap Awan yang bergelayut di atas lautan. Dari ruangan ini, aku bisa leluasa memandang pantai Balikpapan. Ombak-ombak kecil terkadang senada dengan bentuk awan di atasnya. Aku sedikit terenyuh dengan kisah Pak Bayu, sebenarnya bukan hanya dia saja. Tapi, beberapa karyawan juga mengalami hal ini. Bedanya, Pak Bayu adalah supervisor yang punya hak lebih dari karyawan lainnya.
Hari mulai petang, belum ada tanda-tanda Bu Ana menghubungiku. Aku mondar-mandir di teras kantor. Gelisah. Duh, aku saja segelisah ini. Bagaimana dengan Pak Bayu yang menanti di lepas pantai sana?
Akhirnya, kuputuskan untuk menelepon Bu Ana terlebih dahulu. Beberapa kali aku hubungi, tidak diangkat.
“Assalamu’alaikum...!” Suara asing dari seberang sana menjawab telponku.
“Wa’alaikumussalam. Bu Ana ada? Saya teman kantor Bapak. Mau menanyakan kabar Bu Ana, soalnya Bapak lagi ke area lepas pantai—”
“Pantas saja sulit Ibu hubungi. Tolong sampaikan pada Bayu, Ana mau melahirkan. Ini sedang di ruang persalinan di Rumah Sakit.” Sudah jelas yang menelepon adalah orang tua Bu Ana.
“Oke Bu. Saya langsung ke area pengeboran temui Bapak.” Aku menutup telepon tanpa basa-basi lagi. Sudah saking paniknya. Aku berkali-kali berlari masuk ke ruangan untuk mengambil barang yang selalu saja tertinggal.
Aku berlari menuju Helipad. Mencari Operator Helikopter yang biasa membawa kami menuju ke area pengeboran lepas pantai. Namun, aku tak mendapatinya sebab hari sudah petang dan aku tidak mengajukan permintaan untuk berjaga-jaga hingga petang. Kemungkinan Shift berikutnya bisa terlambat datang.
Aku kembali ke kantor. Meminta kunci salah satu SpeedBoat pada Security. Aku tak punya banyak waktu jika harus menelpon operator Heli dan menunggunya. Lebih baik aku bawa SpeedBoat seorang diri. Itu lebih baik dan lebih cepat. Sebab aku wanita, dua orang karyawan pria bergegas menyusulku dengan membawa satu SpeedBoat lainnya. Semua tahu kepanikanku.
Aku segera menjemput Pak Bayu. Membawanya ke Bandara agar secepatnya terbang ke Surabaya. Tak peduli ia masih mengenakan seragam kerja. Dia jauh lebih panik dariku, jauh lebih khawatir.



Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas