Wednesday, January 16, 2019

Ingin Kutahu Hatimu

Ilustrasi Gambar by Rin Muna


Aku memarkirkan motorku tepat di depan halaman salah satu bengkel yang ada di kota Balikpapan.
"Kak!" Aku menghampiri seorang cowok yang sedang sibuk memperbaiki sepeda motor pelanggannya.
"Hei, tumben main ke sini." Cowok itu langsung berdiri menatapku, mengelap tangannya sambil tersenyum.
"Nggak bawain kakak makanan?" 
Aku menggelengkan kepala. Biasanya aku main ke rumah Kak Ari membawakan cemilan kesukaannya. Tapi, kali ini aku ke bengkel dengan tangan kosong. Sepertinya ia sudah membaca kalau aku sedang ada keperluan penting.
"Ada apa emangnya? Nggak biasanya kamu ke sini. Mukamu serius banget gitu." Kak Ari mendengus ke arahku.
"Aku mau nanya sesuatu sama Kakak."
"Oh ya ... mau tanya apa?"
"Erick ngelamar aku." Aku menatap wajah Kak Ari. Tak ada ekspresi apa pun. Tatapannya datar, aku tidak bisa mengerti apakah dia bahagia atau justru merasa aneh mendengar pernyataanku.
"Bagus, dong." Kak Ari kembali berjongkok dan sibuk memperbaiki motor pelanggannya.
"Kak ..."
"Hmm ...."
"Menurut Kakak, dia gimana?"
Tak ada jawaban, masih sibuk memutar baut dengan kunci Y miliknya.
"Kak."
"Apa?"
"Menurut Kakak, dia gimana?"
"Gimana apanya?"
"Cocok nggak sama aku?"
"Cocok," jawabnya masih sibuk mengutak-atik motor pelanggannya.
"Apanya yang cocok?"
Kak Ari mengangkat kedua pundaknya.
"Kakak kok gitu sih? Aku serius. Aku belum tahu gimana Erick secara dekat. Gimana pribadinya, kehidupannya dia. Kak Ari kan sahabat Erick dari SMA. Pasti Kak Ari bisa kasih aku saran, sebaiknya aku terima dia atau aku tolak?" Aku menyandarkan tubuhku di dinding sambil menatap wajah Kak Ari.
Aku tidak bisa mengerti, ekspresi wajahnya datar. Tidak ada rasa senang atau sedih ketika aku menyampaikan kalau aku dilamar oleh Erick. Mungkin, dia hanya sekedar kaget sejenak. Selama ini, hampir setiap hari aku menghabiskan waktu bersama Kak Ari. Tidak ada perasaan suka atau sayang. Dia menganggapku sebagai adik, begitu pula sebaliknya. 
Biasanya, dia selalu ceria. Hal yang selalu membuatku tersenyum mengingatnya adalah ketika ia mengusap atau mengacak-acak rambutku. 
Aku tidak punya kakak kandung, karena itu aku merasa perhatiannya istimewa. Mungkin, ada saatnya kita akan sama-sama kehilangan. Aku yang kehilangan dia sebagai kakak, dan dia yang kehilangan aku sebagai adik.
Ah, apa iya dia akan merasa kehilangan aku? Rasanya ... dia tidak akan seperti itu. Kalau dilihat dari wajahnya, dia akan baik-baik saja. Bahkan mungkin dengan mudahnya melupakan aku.
"Kak, aku masih ragu sama dia."
Kak Ari mendongakkan kepalanya menatapku. "Kenapa?"
"Entahlah ...." Aku mengangkat pundakku. Berharap, dia akan mengatakan "Jangan terima lamaran Erick!"
Ah, tapi tidak mungkin dia akan mengatakan itu. Aku bukan bagian penting di kehidupannya. 
"Kakak pernah bilang, akan jadi orang pertama yang ngelindungi aku kalau ada yang nyakitin. Seandainya aku terima dia dan aku tidak bahagia karena dia menyakiti aku. Apa kata-kata itu masih berlaku?" Aku menatap Kak Ari, menahan air mataku agar tidak jatuh.

Kak Ari menghampiriku dan menggenggam kedua pundakku. "Dek, Kakak sayang kamu seperti adiknya Kakak sendiri. Tapi, ketika kamu sudah memilih untuk berkeluarga. Kakak bukan siapa-siapa kamu lagi. Erick yang akan menjaga kamu. Percayalah!”
“Tapi, Kak—”
“Laki-laki yang berani melamar kamu, artinya dia serius sayang sama kamu.” Kak Ari tersenyum menatapku.
“Sebelum aku terima dia, aku mau kakak ceritakan sama aku, semua keburukan dia.”
“Maaf ... untuk itu Kakak nggak bisa.”
“Oke. Kalau emang Kakak nggak bisa ceritain ke aku. Kalau sampai aku nggak bahagia sama dia. Kakak adalah orang pertama yang harus bertanggung jawab!” ucapku ketus sambil berlalu pergi.
“Dek ...!” Aku dengar ia masih memanggilku. Aku hanya menoleh kesal, berjalan menuju motorku dan berlalu pergi.
Kak ... bukan itu yang mau aku dengar. Setelah sekian lama kita menghabiskan waktu bareng. Setelah sekian banyak hal yang kita lewati bareng. Kenapa sampai hari ini, bahkan di saat aku harus memilih dengan yang lain. Kamu masih tetap sama, menyayangiku sebagai adik. Sementara hatiku mulai berubah. Aku ingin kita ada hubungan lebih, bukan sekedar bersahabat. Setelah semua perhatian yang kamu berikan buat aku. Apa salah bila akhirnya aku benar-benar jatuh cinta. Kamulah yang selalu aku rindukan untuk mengisi hari dan hatiku.
Kak ... mungkin ini terakhir kali kita akan bertemu dan saling sapa. Jujur, aku kecewa. Kalau kamu menganggapku sebagai adik, kenapa tidak ada rona bahagia dari wajahmu? Kalau kamu merasakan hal yang sama denganku, kenapa kamu tidak pernah mengungkapkan itu?
Aku berhenti sejenak mengendarai motor, merogoh kertas-kertas sketsa wajah yang aku buat untuk Kak Ari. Aku sobek dan kubuang di tempat pembuangan sampah. Aku ingin melupakan semuanya. Semua yang pernah aku lewati bersamanya.
Aku tinggalkan kertas itu bersama hujan yang tiba-tiba tumpah dari langit. Aku menangis bersama hujan. Supaya tidak ada satupun yang melihat air mataku. Air mata ini adalah awal luka di hatiku. Mungkin, masih ada hal-hal lain yang lebih menyakitkan yang akan aku hadapi.
Rin, kamu akan baik-baik saja. Kamu wanita hebat dan kuat,” batinku menyemangati diriku sendiri.
Aku melajukan motorku pulang ke rumah dan mendapati Erick sedang menunggu kedatanganku.
“Kenapa hujan-hujanan?” tanyanya heran. Ia tahu kalau aku tidak suka hujan-hujanan.
“Aku nggak enak badan. Sebaiknya kamu pulang.” Aku bergegas masuk rumah, menutup pintu rapat-rapat. Meninggalkan Erick yang terpaku sendirian di depan rumah. Setelah aku pastikan ia pulang, aku menangis sejadi-jadinya di dalam rumah. Aku tidak tahu, apa yang harus aku lakukan besok. Aku harap Tuhan tunjukkan jalan menuju bahagia.



Ditulis oleh Rin Muna
Samboja, 16 Januari 2019


Lokasi: Semboja, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Indonesia

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas