Wednesday, December 26, 2018

Juna's Don Juan

pixabay.com



Aku menyandarkan kepalaku pada bingkai jendela yang basah. Menatap rintik hujan yang menyapu setiap jejak masa lalu. Aku suka hujan. Sebab ia datang untuk menyapu jejak kesedihan. Namun, ia tak mampu menghapus bayangan. Bayangan dua orang yang entah sedang apa di luar sana.
Sebelum turun hujan, aku melihat Juna menjemput Mbak Daya. Aku tak banyak bertanya mereka akan ke mana. Mungkin menghabiskan waktu duduk berdua di Kafe atau sekedar makan di pinggir jalan. Aku rasa, kantong Juna yang masih anak sekolah tak cukup tebal untuk membawa Mbak Daya ke tempat-tempat mewah. Atau justru Mbak Daya yang merelakan uangnya melayang untuk mengisi perut Juna? Ah, entahlah. Aku tidak bisa terus mener-nerka.
Aku dan Juna satu kelas. Namun, tak pernah saling sapa. Sejak kepindahannya dari sekolah lama, ia telah banyak mencuri perhatian banyak gadis. Ia tak malu merayu banyak gadis dan sering membuatnya tersipu, bahkan betah berlama-lama menyandar di pundaknya. Tak perlu mendapat gelar pacar untuk bisa bergelayut manja di tubuhnya. Aku sering melihat beberapa cewek datang ke kelas saat jam istirahat hanya untuk mendekati Juna. Entah apa yang ia buat hingga cewek-cewek di sekolah menggilai kehadirannya.
Juna tak sungkan menggoda Mbak Daya, guru cantik di sekolah yang juga kakak kandungku. Tak banyak yang tahu jika Mbak Daya adalah kakakku, termasuk Juna yang sering datang ke rumah dan mengajak Mbak Daya pergi ke luar. Aku tahu, Mbak Daya tidak akan serius menanggapi Juna. Itu sekarang, tidak tahu besok jika hatinya berubah karena rayuan Juna.
Aku tidak menyalahkan Juna sebagai cowok Don Juan atau Casanova, sebab itu adalah pilihan hidupnya dan mungkin satu hal yang membuatnya bahagia. Juga tidak menyalahkan Mbak Daya jika suatu hari ia benar-benar jatuh cinta, sebab dia juga wanita biasa yang mudah tergoda. Sebab, semua kapal pasti akan berlabuh. Jika tidak, pastilah ia karam di tengah lautan.
Aku melipat buku yang sedari tadi aku pegang. Memeluknya sambil menatap rintik hujan yang mulai enggan menyapa pijakan kaki. Ada nama Juna di halaman pertama buku ini. Ya, ini memang buku Juna. Bagaimana bisa aku mendapatkannya atau bagaimana buku ini bisa di tanganku? Sudah pasti bukan sebuah hadiah darinya. Ia memberikannya begitu saja saat memintaku membantunya mengerjakan tugas. Dan tidak pernah lagi menanyakan buku miliknya. Dia terlalu sibuk dengan wanita-wanitanya.
“Eh! Hai...!” Aku mengangkat Ibon yang tiba-tiba bergelayut manja di kakiku. Kucing persia kesayanganku, dengan pita merah menghiasi lehernya. Aku ajak dia menikmati gerimis yang hampir hilang. Aku tahu, Ibon tidak suka hujan. Ia lebih memilih bergelayut manja mencari kehangatan. Aku meletakkannya di atas kasur.
Lamat-lamat aku dengar suara motor berhenti di depan rumahku. Aku melirik jam dinding, jam setengah sebelas malam. Selama inikah aku menghabiskan waktuku untuk melamun tentang Juna? Sejak mereka pergi hingga pulang kembali, aku menghabiskan waktuku untuk memikirkan pria yang sedang menebar cinta ke mana-mana.
“Dek, tolong bukain pintu! Mbak lupa nggak bawa kunci.” Teriakan Mbak Daya terdengar jelas di telingaku.
Aku bergegas menuju pintu, membuka perlahan.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam,” jawabku.
“Ayo masuk Jun! Tolong bikinkan teh hangat untuk Jun!” Mbak Daya menatapku, sedangkan Juna berdiri tepat di belakangnya.
“Apa ini ajakan untuk menginap?” goda Juna sembari menatapku tanpa berkedip, bahkan ia lupa mengatupkan kedua bibirnya.
Aku bergegas ke dapur.
“Mbak Daya nggak pernah bilang kalau punya adik yang cantik dan manis.” Aku mendengar suara Jun dari balik dapur.
“Untuk apa? Supaya kamu bisa menggodanya?” Mbak Daya mendengus sebal.
Juna terkekeh. “Siapa tahu dia jodohku.”
“Semua perempuan kamu bilang begitu.”
Aku keluar dan meletakkan dua cangkir teh di atas meja dengan bersimpuh di lantai.
“Hai, aku boleh—”
“Cepat minum dan cepat pulang!” sergah Mbak Daya.
Aku bergegas masuk ke kamar. Aku dengar tawa renyah dari mulut Juna. Ternyata, Juna tak mengenali penampilanku di rumah. Kemungkinan dia memang tak begitu memperhatikanku. Sebab aku bukan cewek modis seperti yang lain. Aku hanya menghabiskan waktuku bersama buku. Kacamata menghiasi mataku yang minus setengah. Rambutku kuikat sekenanya saja.
“Kamu sungguh tidak mengenali dia?” Suara Mbak Daya terdengar jelas dari kamar, sebab pintu kamar tidak kututup rapat.
Jun menggelengkan kepalanya.
“Karina, teman sekelasmu. Bahkan kamu sering belajar kelompok dengannya kan?” ungkap Mbak Daya. Duh, kenapa Mbak Daya mengungkapkan siapa aku di depan Juna? Sudah sedekat itukah mereka?
“Astaga! Pantes wajahnya familiar. Tapi aku lupa. Beda banget sama di sekolah. Di sekolah cupu banget! Tiap hari pacaran sama buku. Aku nggak berani ngajak ngobrol. Bahkan memperhatikan wajahnya aja aku nggak pernah Mbak.” Jun terlihat membalikkan tubuhnya dari sofa, menatap pintu kamarku. Kupastikan ia tak kan bisa melihatku di balik pintu.
“Sudah, jangan banyak bicara lagi! Cepat habiskan tehmu dan cepat pulang!”

***
“Ternyata kamu di sini. Aku udah cari kamu ke semua ruangan di sekolah ini. Akhirnya, aku bisa juga menemukan tempat persembunyianmu.” Juna tiba-tiba duduk di sebelahku tanpa permisi. Bagaimana bisa Don Juan seperti dia masuk ke perpustakaan sekolah?
“Kamu suka mojok ya?” Juna menatapku yang memang sedang duduk di lantai di sudut ruang perpustakaan.
Aku bergeming, melanjutkan membaca buku Ensiklopedia tentang perkembangbiakan makhluk hidup.
“Kamu suka baca kayak gini? Pengen berkembangbiak juga ya? Aku siap kok.” Juna mendekatkan wajahnya.
Aku terkejut bukan kepalang. Jantungku berdebar tak karuan sebab tingkahnya yang sangat menggelikan.
PLAK!
“Kehabisan wanita buat kamu goda? Hah!?” Aku menyeringai, merasa puas bisa menampar seorang Don Juan sekolahan.
“Kamu jahat banget sih!?” Juna memegangi pipinya, meringis menahan sakit.
“Lebih jahat kamu yang membiarkan hati banyak wanita ketar-ketir karena ulahmu. Kamu pikir mereka boneka-bonekamu? Dan satu lagi, jangan pernah dekati Kakakku lagi, atau—”
“Atau apa?!” Juna mendongakkan kepalanya menatapku yang berdiri di depannya.
BUK!!
Buku Ensiklopedia super tebal mendarat tepat di kepalanya.
“Sialan! Minta dicium memang kamu ya! Kakaknya cantik, kalem, baik. Adiknya freak!” Juna bangkit dari duduknya dan berdiri menatapku penuh kekesalan.
Aku balik menatapnya dengan sengit. “Apa kamu bilang?”
“Freak!” sentak Juna mendekatkan wajahnya ke wajahku.
Aku menginjak kakinya sekuat tenaga, mengangkat lutut kananku tepat mengenai alat vitalnya.
“Aaaauuuu....!” teriakan Juna menggema ke seluruh ruangan sembari memegangi alat vitalnya, terduduk menahan sakit.
Aku segera berlari sebelum ia membalas perbuatanku.
“Awas ya! Kalau sampai aku mandul, kamu harus tanggung jawab!” teriakan Juna masih bisa kudengar dari pintu keluar.
Aku bergegas menaiki tangga kecil di sisi bangunan perpustakaan. Aku berdiri di atas balkon berukuran 3x3 meter. Tidak banyak yang tahu tempat ini, tempat biasa aku menyendiri. Dan kini akan jadi tempatku bersembunyi dari kejaran pria seperti Juna.
“Gila ya itu cewek cepet banget ngilangnya!” Kulihat Juna berlari mengejarku. Celingukan ke sana kemari sementara ia tak akan bisa melihatku. Siapa murid yang tahu di ujung bangunan sekolah yang hanya berisi rak-rak buku, ada balkon yang asyik untuk melihat aktivitas anak-anak sekolah.
Juna terus berjalan menuju ke ruang kelas. Aku yakin, dia pasti mencariku ke kelas. Terlihat bertanya pada beberapa murid lain yang menggelengkan kepalanya.
Aku kembali ke kelas setelah lima menit bel berbunyi, kupastikan guru sudah masuk ke kelas terlebih dahulu sebelum Juna menghujaniku dengan tingkahnya yang menggelikan.
Tiba-tiba Juna sudah duduk manis di kursi sebelahku saat aku masuk. Tersenyum begitu manis. Senyum yang mengandung banyak makna. Jelas ada maksud tertentu di balik senyuman itu. Senyuman yang sengaja dibuat-buat untuk menyembunyikan niat jahatnya.
Selama jam pelajaran, semua baik-baik saja. Aku belajar seperti biasa. Namun, saat jam pelajaran usai dan semua murid meningalkan ruang kelas. Ada hal tak terduga yang terjadi. Juna tiba-tiba menahanku untuk bangkit dari kursi. Bahkan menarik kursiku merapat di kursi duduknya. Membentangkan satu kakinya di atas pahaku.
“Kamu apa-apaan sih!?” Aku menyingkirkan kaki Juna dengan kasar. Membiarkannya mengaduh sebab kakinya terhantup meja.
“Aku suka cewek kasar sepertimu.” Juna menatapku penuh nafsu.
“Semua cewek kamu suka Jun. Kambing cewek aja kamu sukain!” celetukku, secepatnya bangkit untuk meninggalkan Juna.
Gerakan tangan Juna lebih cepat dari gerakanku. Ia kembali menahanku.
“Aku teriak nih!”
“Nggak papa. Teriak aja! Biar semua sekolah tahu kalau kamu sedang tergila-gila denganku.” Jun tersenyum.
“Apa!? Aku nggak pernah tergila-gila denganmu dan tidak akan pernah!” Aku menyeringai tepat di depan hidungnya.
Juna justru mencondongkan tubuhnya dan beraksi ingin menciumku, secepatnya aku menghindarinya.
PLAK!
Tamparan Kedua.
“Dasar Omes! Piktor!” Aku segera bergegas pergi saat ia tertegun sambil memegangi pipinya yang masih panas. Tangannya tak lagi bisa bergerak cepat menahan kepergianku.
Aku berlari secepatnya sebab ia berusaha mengejarku hingga ke parkiran sekolah. Aku tahu, Juna pasti bisa mengejarku dengan sepeda motornya bila aku naik angkot.
“Angkot... Please! Jangan lama datangnya!” batinku sambil berlari keluar dari gerbang sekolah.
Tak lama angkot berhenti dan aku segera menaikinya. Tepat saat motor Juna berjarak lima meter. Hal ini membuat Juna terus mengikuti angkotku. Duh, kenapa jadi begini sih? Apa semua perempuan yang tergila-gila dengannya itu dikejar-kejar dahulu seperti ini? Bagaimana para cewek sekolah tidak tergila-gila jika melihat perjuangan Juna dalam mengejar cewek seperti ini?
“Aku nggak akan berhenti mengejarmu sampai kamu bilang cinta sama aku!” Juna masih duduk di atas motor. Menatapku yang sedang membuka pintu rumah.
“Nggak akan pernah!” Aku segera masuk rumah. Membanting pintu keras-keras. “Dasar cowok gila!” makiku.
“Kenapa pulang sekolah kok marah-marah? Ada siapa di luar?” tanya Mbak Daya yang melihat wajahku terlipat tujuh.
“Cowok gila!” Aku bergegas masuk kamar.
Mbak Daya keluar menemui Juna. Mereka malah asyik mengobrol di teras rumah. Sementara hatiku masih sangat dongkol dengan tingkah Juna hari ini.


Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas