Wednesday, December 1, 2021

Bab 3 - Pukulan untuk Ayah




“Rindu, kamu kenapa?” tanya Edi begitu melihat istrinya terbaring di sofa ruang tamu. Ia terpaksa pulang ke rumah setelah mengetahui kalau istrinya jatuh pingsan di rumahnya.

Rindu hanya mengerdip sekilas. Ia tidak memiliki tenaga untuk menjawab pertanyaan dari suaminya itu.

“Bundamu kenapa, Yu?” tanya Edi.

Ayu hanya menutup wajahnya sambil sesenggukkan.

“Kita ke rumah sakit, sekarang!” ajak Edi sambil mengangkat kepala Rindu.

Rindu menggelengkan kepala perlahan. “Nggak usah! Aku cuma perlu istirahat sebentar aja.”

“Kamu ini kenapa? Ada pikiran yang mengganggumu?” tanya Edi. Ia mengedarkan pandangannya. Menatap satu pembantu dan supir di rumahnya. “Ibu kenapa?”

Dua orang pekerja di rumah keluarga itu tidak berani menjawab pertanyaan dari tuan rumahnya itu. Mereka hanya melirik ke arah Roro Ayu yang terduduk di lantai, tepat di bawah kaki ibunya.

“Mas, tolong telepon si Sonny!” pinta Rindu lirih.

Edi mengangguk. Ia segera merogoh ponsel di saku jasnya dan mencari nomor telepon Sonny yang ada di ponselnya.

“Ayah, jangan! Jangan telepon Sonny!” pinta Ayu sambil meraih tangan ayahnya. Mencegahnya untuk menelepon Sonny. “Jangan, Yah! Aku mohon ...!”

“Sonny itu tunanganmu. Dia harus tahu, Ay!” sahut Rindu sambil berusaha mengumpulkan kekuatannya kembali.

“Ini ada apa?” tanya Edi kebingungan.

“Katakan pada ayahmu, Ayu!” pinta Rindu lirih.

Edi langsung menatap tajam ke arah puterinya yang tiba-tiba terisak begitu saja.

“Ada apa, Ay?” tanya Edi.

“Hiks ... hiks ... hiks ...” Ayu hanya bisa menangis. Ia tidak bisa mengatakan apa pun di depan ayah yang begitu menyayangi dan mencintainya. Selalu mendidiknya menjadi wanita yang baik dan begitu melindunginya.

“Ayu, katakan! Apa yang sudah kamu perbuat sampai bikin bundamu seperti ini?” tanya Edi meninggikan nada suaranya.

Ayu terisak mendengar suara ayahnya yang semakin meninggi.

“Cepat katakan, ini ada apa!?” seru Edi semakin tak sabar.

“Ayu hamil, Yah,” jawab Ayu lirih. Nyaris tak terdengar oleh suara orang-orang yang ada di sana.

“Apa!?” Edi menatap wajah Ayu yang masih terisak di bawahnya.

“Ayu hamil,” jawab Ayu sambil sesenggukan.

DEG!

Edi terpaku di tempatnya. Dadanya tiba-tiba terasa sangat sakit. Ia merasa, mendapat pukulan begitu besar dari puterinya sendiri.

Edi langsung menatap layar ponselnya dan segera menyambungkan   ke nomor telepon Sonny.

“Ayah, tolong jangan bilang ke Sonny!” pinta Ayu.

“Dia harus bertanggung jawab!” sahut Edi penuh amarah dan segera melangkah pergi, menjauh dari puterinya agar ia bisa bicara pada Sonny dengan leluasa.

 

“Halo ...!” sapa Sonny begitu panggilan telepon dari Edi tersambung.

“Kamu bisa pulang ke Surabaya?” tanya Edi pelan.

“Masih banyak pekerjaan, Pa. Minggu depan baru bisa pulang ke Surabaya. Ada apa?” tanya Sonny.

“Papa mau, pernikahan kalian dipercepat. Minggu ini!” pinta Edi.

“Bukankah kita sudah sepakat untuk menikah dua tahun lagi? Aku masih belum menyelesaikan praktik dokter pertamaku, Pa. Masih harus ...”

“Nikah siri pun tidak apa-apa kalau memang status pernikahan akan menghalangi karirmu!” pinta Edi. Ia mencoba untuk tetap tenang meski dalam hatinya berkecamuk.

“Kenapa harus terburu-buru, Pa? Saya ...”

“Gimana nggak keburu-buru kalau kalian berdua saja sudah tidak bisa menahan diri?” sambar Edi.

“Maksud Papa?”

“Ayu hamil. Percepat pernikahan kalian! Papa tunggu kamu dua hari lagi. Papa akan siapkan semuanya di sini. Nggak bisa ditunda, Son. Perut Ayu lama-lama akan membesar," jawab Edi.

“Ha-hamil!?”

“Iya. Apa kamu sebagai tunangannya Ayu, tidak mau bertanggung jawab?” tanya Edi.

Hening.

“Sonny Pratama ...! Apa kamu dengar Papa?”

“Eh!? Dengar, Pa. Aku akan pulang ke Surabaya sore ini.”

“Baguslah.” Edi langsung mematikan panggilan teleponnya. Ia segera masuk kembali ke ruang tamu untuk menghampiri Rindu dan puterinya.

“Sonny akan segera pulang sore ini juga. Begitu dia sampai, langsung menikah saja! Papa akan persiapkan semuanya!” tutur Edi sambil menatap wajah Ayu.

Ayu masih terisak di tempatnya. Ia semakin merasa bersalah karena anak yang ia kandung bukanlah anak dari Sonny. Akankan Sonny menerima anak ini begitu saja? Ia sudah menghancurkan kesucian cinta yang selama ini mereka jaga. Ia tidak punya muka untuk bertemu dengan tunangannya itu.

“Pa, aku tidak mau menikah dengan Sonny,” tutur Ayu lirih.

Edi yang sedang menghubungi beberapa orang untuk membantu menikahkan puterinya, langsung memutar kepalanya menatap Ayu. “Apa? Kamu bilang apa? Dia sudah menghamili kamu dan kamu tidak mau menikah dengan dia, hah!?”

Ayu menarik napas dalam-dalam. “Ini bukan anak Sonny,” ucapnya lirih sambil mengumpulkan kekuatan untuk menerima hukuman dari ayahnya sendiri.

“APA!?” Edi semakin terpukul saat mengetahui jika puterinya hamil dengan pria lain. Ini benar-benar pukulan yang sangat besar baginya. Ia tidak menyangka jika puterinya yang ia anggap baik dengan segudang prestasi, ternyata terlibat dalam pergaulan bebas.

“Papa sudah sering bilang untuk menjauhi Arlita. Teman kamu yang satu itu, memang selalu memberikan pengaruh buruk. Tega sekali kamu melukai hati ayahmu seperti ini!” seru Edi.

“Pa, maafin Ayu ... ini semua nggak seperti yang ayah pikirkan.”

“Ayah dan bundamu ini kurang apa, Yu? Semua yang kamu minta, selalu kami berikan. Apa yang kurang? Materi, pendidikan, kasih sayang ... semuanya kami berikan untuk kamu. Kenapa kamu masih menjajakan diri di luar sana, hah!?” teriak Edi dengan mata memerah, penuh dengan kekecewaan terhadap puteri semata wayangnya itu.

Ayu semakin terisak mendengar kalimat terakhir yang terucap dari bibir ayahnya.

Edi menghela napas. Ia melangkah cepat ke arah dapur dan kembali ke hadapan Ayu dengan sebilah pisau di tangannya.

“Mas Edi ...! Tolong jangan lukai Ayu!” Rindu langsung bangkit dari sofa dan memeluk puterinya. Meski telah membuat orang tuanya terpukul, ia tetap sangat menyayangi puterinya itu. “Dia tetap anak kita, Mas. Jangan lukai dia!”

Edi menarik napas perlahan. Ia mengulurkan bagian tumpul pisau itu ke hadapan wajah Ayu. “Ayah tidak sanggup menahan semua aib keluarga ini, Yu. Ayah sangat malu. Keluarga kita begitu dihormati. Bagaimana jika semua orang tahu kalau puteri kesayangan ayah ini ternyata wanita jalang? Kamu sudah mencoreng nama baik keluarga. Tidak ada gunanya lagi ayahmu ini hidup karena sudah gagal. Daripada kamu berbuat seperti ini, lebih baik kamu bunuh Ayah!”

Ayu menengadahkan kepala sambil menggeleng. Ia terus menangis sambil menatap wajah papanya. Ia langsung menjatuhkan kepalanya tepat di punggung kaki ayahnya itu. “Maafin ayu, Yah! Ayu nggak mau kayak gini. Ayu nggak seperti yang ayah pikirkan. Ayu terpaksa melakukan ini karena orang itu lagi mabuk dan menodai Ayu. Ayu bukan wanita jalang seperti yang ayah bilang,” ucapnya sambil terisak.

Edi menarik napas dalam-dalam. “Kamu diperkosa oleh orang lain?”

Ayu mengangguk-anggukkan kepala.

“Kenapa nggak bilang dari awal? Kita bisa lapor ke polisi kalau kamu sudah mendapatkan pelecehan?”

“Ayu takut, Yah ...! Ayu malu ...!” lirih Ayu sambil terisak.

“Bilang ke Ayah. Siapa orang yang sudah berani melecehkan dan menghamili anak Ayah ini!”

Ayu masih terisak dan tak sanggup menyebut nama pria brengsek yang telah menodainya.

“Ayu, bilang ke kami! Kami pasti akan membantumu,” bisik Rindu sambil merengkuh pundak Ayu agar bangkit dari lantai.

Ayu menarik cairan di hidungnya sambil mengusap air mata. “Dia itu ... Nanda.”

“Nanda? Nanda anaknya Andre?  Teman sekolah kamu yang bajingan itu?” tanya Edi.

Ayu hanya menitikan air mata mendengar pertanyaan dari Edi.

“Sudahlah. Kamu jangan nangis lagi! Aku akan temui Andre dan meminta pertanggungjawaban atas perbuatan puteranya itu!” Edi langsung melangkahkan kakinya keluar dari rumah. Ia menelepon seseorang sambil masuk ke dalam mobilnya.

 

((Bersambung...))

 

Terima kasih sudah jadi sahabat setia bercerita!

Nantikan kisah selanjutnya, ya!

 

 

MuchLove,

@vellanine.tjahjadi

 


 DAFTAR BACAAN :

 Bab 1 - Pesta Malapetaka 

Bab 2 - Bayi yang Tak Diinginkan

Bab 3 - Pukulan untuk Ayah

 Bab 4 - Tak Ingin Berdamai

Bab 5 - Menolak Pernikahan Kontrak

Bab 6 - Hari Pertama Jadi Mantu

Bab 7 - Tak Harmonis

Bab 8 - Mulai Cemburu

Bab 9 - Membangun Hubungan

 ______________________


Dilarang keras menyalin, memperbanyak dan menyebarluaskan konten ini tanpa mencantumkan link atau izin tertulis dari penulis.

©Copyright www.rinmuna.com


 

 ______________________


Dilarang keras menyalin,mengutip, memperbanyak dan menyebarluaskan konten ini tanpa mencantumkan link atau izin tertulis dari penulis.

©Copyright www.rinmuna.com

                                                

 

Monday, November 22, 2021

Oishi Juice x Mie Ayam Bakso Samboja


Setiap kali nulis novel, aku selalu aja kebawa sama karakter yang aku ciptakan sendiri.
Entah ada berapa banyak alter ego yang aku miliki sejak nulis novel. Aku tiba-tiba bisa jadi apa aja dan siapa saja.
Seperti hari ini ...
Akhir-akhir ini, aku tuh suka kebawa sama Rose (Female Lead di novel "I am Here, Mr. Rich") yang suka foto-foto makanan sebelum makan karena bercita-cita jadi foodstylist.
Emangnya mau jadi foodstylist juga?
Ya nggaklah.
Author mah tugasnya hanya menginspirasi. 
Siapa tahu, ada yang terinspirasi untuk jadi foodstylist seperti Rose dan sukses. Nggak menutup kemungkinan kalau narasi cerita itu bisa jadi self-healing dan membantu kita untuk bangkit dan sukses.

Nah, salah satu makanan favorite aku tuh Mie Ayam Bakso. Setiap ke luar, yang dimakan cuma ini. Aku nggak tertarik sama makanan lain kalau udah nemu makanan favorite yang rasanya enak.

Selain dimanjakan sama Mie Ayam Bakso yang enak. Aku juga dimanjakan sama Jus Mangga yang rasanya juga nggak kalah enak. Aku tuh tipe orang yang demen makan. Asal dapet rasanya enak, aku bakal beli lagi dan beli lagi. Tapi kalau lidahku nggak cocok, aku mikir dua kali buat beli lagi. Kalau udah nggak ada pilihan lain aja baru dibeli. Hehehe.

Wah, kenyang banget ya makan semangkuk Mie Ayam Bakso ditambah satu gelas jus? Hahaha. Jangan tanya berat badanku! Aku makin gemuk aja.

Kalau kamu suka sama Jus dan Mie Ayam seperti aku. Kamu bisa mampir ke warung Mie Ayam Bakso dan stand Oishi Juice yang bersebelahan dan tepat berada di depan Era Mart Samboja.

Aku tuh jarang banget cari makanan lain karena nggak cocok di lidah. So, kalau kamu punya rekomendasi makanan yang enak. Kasih tahu aku, ya! Aku pasti masukin ke list kuliner aku selanjutnya.


Sampai di sini cerita kecil dari aku. 
Kamu yang lagi jalan-jalan ke Ibukota Baru. Jangan lupa mampir ke Samboja! 
Siapa tahu, bisa ketemu aku dan kulineran bareng. Hehehe



MuchLove,
@rin.muna

Wednesday, November 17, 2021

Bab 2 - Bayi yang Tak Diinginkan



Satu bulan kemudian ...

Ayu menatap dua garis merah pada testpack di tangannya dengan tubuh gemetaran. Dia adalah gadis yang belum menikah dan tidak pernah melakukan hubungan berlebihan dengan Sonny yang telah menjadi tunangannya setelah berpacaran selama tujuh tahun.

“Aku harus gimana?” tubuh Ayu merosot ke lantai seiring dengan air matanya yang jatuh berderai membasahi pipinya. Ia terus mengutuk dirinya sendiri karena tidak bisa menjaga kesucian cintanya dengan baik. Rasa bersalah pada tunangannya, keluarganya dan sahabatnya ... kini telah menjadi selimut kelam yang akan mengawali penderitaan hidupnya.

Ayu berusaha untuk bangkit dari lantai kamar mandi setelah air matanya nyaris habis dan tidak bisa keluar lagi. Ia menyiram seluruh tubuhnya dengan air di kamar mandi. Membersihkan setiap inchi tubuhnya yang kini terasa sangat kotor. Ia terus menangis setiap kali menggosok tubuhnya yang begitu menjijikkan.

Ayu segera mengganti pakaiannya begitu ia sudah selesai mandi. Memoles wajahnya dengan make-up tipis dan bergegas keluar dari dalam kamarnya.

“Roro Ayu , mau ke mana malam-malam begini?” tanya Bunda Rindu yang melihat puterinya buru-buru melangkah keluar dari rumah.

“Eh!? Ada urusan, Bunda. Mau ketemu sama temen. Bahas kerjaan,” jawab Ayu berdalih. Ia segera berpamitan dan keluar dari dalam rumahnya.

Ayu mengendarai mobilnya perlahan menuju ke Virgina Regency. Ia langsung memarkirkan mobilnya begitu ia sampai di mansion milik keluarga Nanda.

“Malam, Tante ...!” sapa Ayu begitu seorang pelayan membukakan pintu untuknya. Ia langsung menghampiri Tante Nia, mama Nanda.

“Hei, Roro Ayu  ...!? Gimana kabarnya? Sudah lama nggak main ke sini. Mau cari Nanda?”

Ayu mengangguk. “Ada hal penting yang mau aku bicarakan sama dia.”

“Nanda masih di atas. Jam segini, biasanya dia lagi siap-siap mau kencan sama pacarnya. Datengin aja ke kamarnya!”

“Tapi ...” Ayu menggigit bibir sambil menatap lantai dua rumah tersebut.

“Nggak papa. Keburu dia berangkat, nggak sempat bicara lagi sama Nanda. Dia suka marah kalau waktu kencannya diganggu.”

Ayu mengangguk. Ia melangkah perlahan menaiki anak tangga dan menghampiri pintu kamar Nanda. Nanda adalah sahabat baik Sonny. Berteman sejak kelas satu SMA hingga mereka bekerja, tentunya Ayu sudah sangat hafal dengan keadaan rumah pria itu karena sering berkumpul di sini setiap kali Sonny pulang dari Jakarta.

Tok ... tok ... tok ...!

KLEK!

Nanda tertegun saat melihat Ayu tiba-tiba sudah ada di depan kamarnya. Ia langsung tersenyum sambil melipat kedua tangan dengan tubuh bersandar di bibir pintu. “Tumben ke sini? Kangen sama aku? Pengen main lagi kayak malam itu? Ketagihan? Enak mana, punyaku atau punya Sonny?”

Ayu menatap kesal ke arah Nanda. “Sonny bukan cowok brengsek kayak kamu!”

Nanda manggut-manggut. “Iya. Aku percaya. Dia memang alim. Mau apa ke sini? Aku mau jalan sama Lita.” Ia menarik gagang pintu dan menutup pintu kamarnya dari luar.

Ayu memundurkan langkahnya agar Nanda tidak terlalu dekat dengannya. “Aku mau ngomong penting sama kamu.”

“Ngomong aja! Kamu punya waktu dua menit buat ngomong.” Ia menatap arloji di tangan kirinya.

“Nggak perlu selama itu. Aku cuma mau bilang kalau aku ... hamil.”

“Hahaha. Kamu hamil? Buat apa laporan ke aku? Emangnya aku dokter kandungan?” sahut Nanda sambil tertawa lebar.

“Ini anak kamu, Nan.”

Seketika, Nanda menghentikan tawanya. “Anakku?”

Ayu mengangguk.

Nanda menahan tawa sambil menatap wajah Ayu. “Udah banyak cewek yang ngaku-ngaku hamil anakku. Bisa aja, itu anak dari cowok lain. Kamu itu tunangannya Sonny. Mana ada yang bakal percaya kalau itu anakku. Kamu mau buat lelucon?”

“Aku nggak pernah ngelakuin hubungan seperti itu sama siapa pun selain kamu, Nan.”

“Kamu kira, aku percaya? Udahlah, nggak usah bikin lelucon di hadapanku. Nggak lucu, Ay! Kamu jangan pura-pura jadi cewek polos buat dapetin seorang Ananda Putera Perdanakusuma. Cowok paling ganteng, paling kaya dan paling populer di negeri ini. Siapa yang nggak mau jadi pasanganku, hah!? Jangan pakai trik bayi untuk mendapatkanku! Aku masih terlalu muda untuk jadi seorang ayah,” ucap Nanda penuh percaya diri. Ia langsung melangkah melewati tubuh Ayu begitu saja.

“Kamu nggak mau ngakuin anakmu sendiri, Nan?” seru Ayu .

Nanda memutar kepalanya menatap Ayu . “Aku ini masih muda. Nggak mungkin jadi ayah. Kalau memang dia anakku. Gugurkan aja! Toh, kita juga punya pasangan masing-masing,” sahutnya. Ia segera menuruni anak tangga dan bergegas keluar dari rumah karena sudah memiliki janji kencan dengan Arlita, kekasihnya yang juga sahabat baik Roro Ayu .

DEG!

Jantung Ayu  berhenti berdetak begitu mendengar kalau Nanda justru memintanya menggugurkan kandungannya. Hatinya yang sudah luka, kini kembali dilukai oleh pria itu. Ia tidak tahu, apa yang harus ia lakukan saat ini. Bayi di dalam perutnya butuh seorang ayah, tapi ia tidak mungkin meminta pertanggungjawaban pada tunangan yang tidak pernah melakukan hubungan berlebihan dengannya.

Ayu  kembali menitikan air mata sambil melangkah perlahan menuruni anak tangga rumah mewah tersebut.

“Ay, kamu kenapa?” tanya Tante Nia sambil menatap Ayu  yang melangkah perlahan sambil menitikan air mata. “Nanda menyinggung kamu?”

“Eh!?” Ayu  buru-buru mengusap air matanya. “Nggak papa, Tante. Ayu pamit pulang dulu!” Ia langsung berlari keluar dari dalam rumah tersebut dan masuk ke mobilnya.

Ayu  menggenggam setir dan menjatuhkan kepalanya, kemudian terisak kembali karena Nanda tidak mau mengakui jika bayi yang ada di dalam perutnya adalah darah dagingnya. “Aku harus gimana?”

“Ayu , kamu kuat! Kamu kuat! Kalau Nanda nggak mau bertanggung jawab, nggak papa. Kamu punya pekerjaan, kamu nggak akan kesulitan menghidupi anakmu,” tutur Ayu  mencoba menyemangati dirinya sendiri.

“Tapi gimana dengan keluargaku? Gimana kalau bunda dan ayah tahu kalau aku hamil? Aku harus gimana menghadapinya? Aku nggak mungkin bisa menyembunyikan kehamilanku ini terus-menerus,” gumam Ayu . Haruskah ia menggugurkan kandungannya sendiri?

Ayu menarik napas dalam-dalam dan menjalankan mobilnya perlahan tanpa arah hingga larut malam. Ia benar-benar menyesal telah pergi ke pesta ulang tahun Nanda malam itu. Jika waktu bisa diputar, ia ingin berdiam diri di rumah. Menghabiskan waktu untuk bercerita bersama Sonny meski hanya lewat panggilan video.

 

***

 

 

Satu minggu setelahnya ...

“Roro, bunda pinjam pemotong kuku kamu. Bunda lupa taruh punya bunda di mana.” Bunda Rindu masuk ke dalam kamar Ayu.

“Ambil aja di laci nakas!” sahut Ayu yang sedang bercermin sambil menyisir rambutnya.

Bunda Rindu langsung melangkah menghampiri meja nakas dan menarik laci tersebut. Ia mencari pemotong kuku di dalamnya. Namun, matanya tiba-tiba tertuju pada pregnancy test strips bergaris dua merah di sana. Ia meraih benda kecil itu dengan tangan gemetar.

Ayu melebarkan kelopak matanya saat ia teringat kalau ia juga meletakkan testpack ke dalam laci nakas. Ia buru-buru memutar tubuhnya dan berlari menuju ke sana untuk mencegah bundanya mendapatkan benda paling keramat yang ada di kamarnya saat ini.

DEG!

Terlambat. Bunda Rindu sudah memegang testpack itu di tangannya dengan tangan gemetar seperti terserang tremor.

“Bunda, aku ...”

“Kamu hamil?” tanya Bunda Rindu lirih.

“Bunda, aku bisa jelasin semuanya. Aku ...”

“KAMU HAMIL!?” Nada suara Bunda Rindu meninggi karena Ayu berusaha untuk berdalih dan tidak menjawab pertanyaannya.

Ayu terdiam dan menundukkan kepala. Ia meremas jemari tangannya sambil mengangguk kecil.

“Anak siapa? Sonny?” tanya Bunda Rindu.

Ayu tidak menjawab pertanyaan bundanya.

“Jawab, Ro! Kenapa kamu menyembunyikan kehamilan kamu? Kamu dan Sonny sudah bertunangan. Bukannya kalian sendiri yang sepakat untuk tidak menikah sebelum Sonny menyelesaikan koasnya?”

Ayu menundukkan kepala sambil menitikan air mata. Ia tidak sanggup mengungkapkan kebenaran di hadapan orang tuanya sendiri.

“Sonny tahu soal ini?”

Ayu menggeleng.

“Biar bunda yang ngomong langsung sama Sonny. Kalian harus menikah secepatnya!” tutur Bunda Rindu sambil melangkah keluar dari kamar Roro Ayu .

Ayu buru-buru mengejar langkah bundanya. Ia tidak ingin kalau bundanya meminta pertanggungjawaban pada Sonny dan membuat pria itu membencinya. “Bunda, tunggu ...!”

“Bunda, bunda ...! Dengerin Roro dulu! Ini bukan anaknya Sonny.”

“APA!?” Bunda Rindu menghentikan langkahnya. Tubuhnya seakan tersambar petir ribuan volt saat mendengar kalau bayi yang dikandung oleh Roro Ayu  bukanlah anak dari tunangannya. Ia selalu berusaha menjadi orang tua yang baik untuk puterinya. Ia benar-benar merasa gagal saat mengetahui kalau puteri kebanggaannya telah melakukan perbuatan yang begitu hina. Sudah bertunangan, tapi malah hamil dengan pria lain.

“BUNDA ...!” seru Ayu saat tubuh Bunda Rindu tiba-tiba merosot ke lantai. Ia langsung menangkap tubuh bundanya sambil menangis. “Maafin Ay, Bunda ...!” bisiknya lirih sambil menitikan air mata.

“Tell me ...! Siapa ayah dari anak ini?” tanya Bunda Rindu di sisa-sisa tenaganya yang nyaris sirna karena pukulan yang begitu besar dari puteri semata wayangnya.

Ayu terisak sambil memeluk tubuh bundanya. Ia tidak sanggup mengatakan siapa ayah dari bayi yang sedang ia kandung saat ini karena Nanda pun sudah menolak kehadirannya. “Aku nggak tahu, Bunda ...!” lirihnya penuh luka.

 

 

((Bersambung...))

 

Terima kasih sudah jadi sahabat setia bercerita!

Tunggu kelanjutannya di postingan selanjutnya ya...

 

 

MuchLove,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 DAFTAR BACAAN :

 Bab 1 - Pesta Malapetaka 

Bab 2 - Bayi yang Tak Diinginkan

Bab 3 - Pukulan untuk Ayah

 Bab 4 - Tak Ingin Berdamai

Bab 5 - Menolak Pernikahan Kontrak

Bab 6 - Hari Pertama Jadi Mantu

Bab 7 - Tak Harmonis

Bab 8 - Mulai Cemburu

Bab 9 - Membangun Hubungan

 ______________________


Dilarang keras menyalin, memperbanyak dan menyebarluaskan konten ini tanpa mencantumkan link atau izin tertulis dari penulis.

©Copyright www.rinmuna.com


BAB 1 - Pesta Malapetaka

 





 

Ayu  melangkahkan kaki perlahan menghampiri Arlita yang sedang duduk di salah satu bar sambil menikmati vodka. Dentuman musik menggema di seluruh ruangan yang sengaja di-booking untuk Birthday’s Party Ananda Putera Perdanakusuma, kekasih dari Arlita Holsler sekaligus sahabat baik Sonny Pratama.

Ayu  sengaja datang untuk mewakili Sonny karena tunangannya itu masih berada di kota Jakarta. Pekerjaannya sebagai dokter muda, membuat Sonny tak bisa kembali ke Surabaya dan memberikan selamat pada sahabat baiknya yang sedang merayakan ulang tahun ke-24.

“Lit, Nanda mana ya?” tanya Ayu  sambil membawa kotak kado di tangannya. Ia sudah celingukan sejak masuk ke bar tersebut. Tapi tak menemukan sosok Nanda, pria yang sedang merayakan ulang tahun di bar yang ada di salah satu hotel ternama di pusat kota Surabaya.

“Nanda? Lagi main sama temen-temennya kali. Coba aja tanya ke yang lain!”

“Kamu ini pacarnya, kenapa nggak tahu ke mana perginya Nanda?”

“Emangnya aku disuruh ngintilin Nanda dua puluh empat jam? Yang ada, dia eneg dan sebel sama aku. Kayak nggak tahu Nanda aja. Dia mana mau diganggu kalau lagi sama temen-temennya,” sahut Arlita sambil menenggak vodka di hadapannya. “Minum dulu, Ay!”

Ayu  melirik arloji di tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Andai ia tidak dipaksa lembur oleh atasannya, ia tidak mungkin tiba semalam ini. Untungnya, pesta ulang tahun Nanda memang dibuat sampai pagi. Jadi, ia masih punya waktu untuk memberikan hadiah yang sudah ia pilih bersama Sonny.

“Minum dulu, Ay! Nanda marah loh kalau kamu nggak menghargai dia. Pesta semewah ini, harus kamu nikmati!” Arlita merangkul tubuh Ayu  sambil menyodorkan segelas vodka.

Ayu  tersenyum kecil. Ia meletakkan kotak kado yang ia bawa ke atas meja dan meminum segelas vodka yang disodorkan Arlita. “Lit, aku nggak bisa lama-lama. Ini udah malem banget. Kamu tahu, aku nggak nyaman ada di pesta kayak gini.”

Ayu  mengedarkan pandangannya. Semua orang di sana menari bebas sambil minum alkohol. Terlihat sangat bahagia dan riang gembira. Bahkan, ada beberapa wanita yang dengan bangga memperlihatkan tubuhnya yang dirayapi oleh tangan-tangan nakal para pria yang ada di sana.

“Ay, kamu ini udah dewasa. Kenapa sih masih kuno aja? Eh, Sonny juga nggak datang ke kota ini ‘kan? Kamu pilih satu cowok yang ada di sini dan bersenang-senang!” pinta Arlita. “LDR itu nggak enak. Apa enaknya pacaran cuma lewat video call doang?”

Ayu  mengedikkan bahunya. “Nggak, Lit. Aku harus ngantor lagi besok pagi. Nggak bisa tidur terlalu larut.”

“Hei, kamu pemburu dollar banget, sih? Besok hari Minggu, Sayang. Buat apa sih kerja terus?”

“Ini last month, Lit. Di kantor selalu sibuk untuk closing data bulanan. Bos nyuruh aku lembur,” jawab Ayu .

“Hmm ... iya, deh. Kalau bisa, kamu cari pacar yang banyak duitnya dan royal kayak Nanda. Nggak perlu kerja keras. Kamu bisa bersenang-senang setiap hari pakai uang pacar kamu!”

Ayu  tertawa kecil. “Kamu ini ada-ada aja. Aku masih setia sama Sonny. He is a best man for me.”

“Hahaha. Iya, iya. Tujuh tahun LDR, masih setia aja. Kalo aku, udah punya banyak selingkuhan, Yu,” sahut Arlita sambil menenggak vodka di hadapannya. Ia kembali menyodorkan satu gelas vodka ke arah Ayu . “Minum lagi!”

“Aku nggak bisa minum banyak. Aku cari Nanda dulu, ya! Mau kasih kado ini untuk dia. Soalnya, Sonny nggak bisa balik. Aku harus kasih hadiah ini secara langsung ke dia.”

“Minum sekali lagi, Yu! Aku udah capek nuangin minuman ini buat kamu. Kamu nggak menghargai kerja kerasku?” sahut Arlita.

Ayu  menghela napas. Ia meraih gelas vodka dan langsung menenggak habis minuman tersebut.

“Wah ...! Ayu  keren! Lagi! Lagi!” seru beberapa wanita yang muncul di belakang tubuh Arlita.

Ayu  menggelengkan kepalanya. Meski ia sudah mengenal Arlita sejak duduk di bangku SMP, tapi ia tidak begitu dekat dengan wanita itu. Gaya hidup Arlita yang suka mabuk-mabukkan, membuatnya tak nyaman. Ia selalu mengingat pesan bundanya untuk menjaga jarak dengan Arlita meski mereka berteman sangat lama.

“Aku pergi dulu, Lit!” pamit Ayu . Ia buru-buru menyambar kotak kado yang ia letakkan di bar table. Kemudian bergegas pergi. Menyelinap di antara keramaian untuk mencari keberadaan Nanda sambil menahan pening di kepalanya karena reaksi vodka yang ia minum.

“Angga, kamu lihat Nanda?” tanya Ayu  sambil menghampiri Angga dan beberapa teman sepergaulan Nanda yang sedang berkumpul di salah satu meja.

“Nanda? Lagi ke kamar hotel. Katanya mau ganti baju karena ketumpahan bir,” jawab Angga sambil mengacungkan jarinya ke atas. Bar tersebut memang berada di salah satu hotel. Tak heran jika Nanda juga menginap di hotel tersebut.

“Tahu nomor kamarnya?” tanya Ayu .

“Kamar tiga dua empat,” jawab Angga sambil menatap tubuh Ayu  yang berdiri di hadapannya.

“Makasih, Ngga!” Ayu  berbalik. Ia buru-buru melangkahkan kakinya keluar dari bar tersebut. Waktu sudah semakin malam, ia harus bergegas pulang ke rumah dan beristirahat. Ia tidak ingin pergi ke kantor dengan mata panda karena kurang tidur.

“Ngga, itu ceweknya si Sonny ‘kan?” tanya salah seorang pria yang bersama Angga.

Angga mengangguk.

“Cantik banget, Ngga. Kenapa mau sama Sonny yang biasa aja?”

Angga mengedikkan bahu. “Mereka udah pacaran lama banget. Roro Ayu  itu bukan cuma cantik, tapi juga kaya raya dan baik hati. Dari Sonny nggak punya apa-apa sampai bisa jadi dokter, dia selalu nemenin cowok itu berjuang. Beruntung banget si Sonny dapetin dia.”

“Emang bener, sih. Cewek baik emang untuk cowok yang baik. Nggak mungkin cewek baik-baik mau sama cowok bajingan kayak kita-kita. Hahaha.”

“Stok cewek baik di dunia ini makin menipis. Andai aja si Roro mau sama aku, udah aku jadikan istri. Nggak perlu jadi pacar,” sahut Angga.

“Hahaha. Jangan ngimpi!”

 

Sementara itu, Roro melangkahkan kakinya menyusuri koridor hotel sambil menghafal nomor kamar yang disebutkan oleh Angga. Begitu sampai di kamar yang dengan nomor yang tepat, ia langsung mengetuk pintu.

Tok ... tok ... tok ...!

Ayu  menghela napas sambil menunggu Nanda membukakan pintu untuknya. Ia melangkah mondar-mandir, memutar tubuhnya dengan gelisah karena Nanda tak kunjung membukakan pintu. Sementara, ia sudah ingin pulang ke rumahnya.

Tok ... tok ... tok ...!

Ayu  kembali mengetuk pintu tersebut.

“Apa Nanda sudah tidur? Ini Birthday Party dia. Nggak mungkin tidur ‘kan?” gumam Ayu .

KLEK!

“Aargh ...!” teriak Ayu  saat Nanda menyambar pergelangan tangannya dan menarik paksa untuk masuk ke dalam kamar tersebut.

“Sst ...! Jangan teriak!” bisik Nanda sambil menekan tubuh Ayu  di balik pintu yang sudah tertutup rapat.

“Nan ... Da ...!” Suara Ayu  tercekat saat melihat mata Nanda yang tepat berada di hadapannya. Mata itu menatap tajam ke arahnya. Ia bisa melihat dengan jelas meski lampu ruangan itu sangat redup. Hanya lampu tidur di sudut ruangan yang menyala dan membuatnya tidak bisa melihat semua sudut ruangan itu dengan baik.

“I’m waiting you, Baby.” Nanda menangkup wajah Ayu  dan menghisap kuat bibir wanita itu.

Ayu  langsung menjatuhkan kotak kado yang sedari tadi ia genggam erat di tangannya. Ia berusaha mendorong tubuh Nanda yang menciumnya paksa.

“Kamu ...!?” Nanda sangat kesal saat ia mendapat penolakan. Ia kembali menekan tubuh wanita itu dan mencium paksa. Semakin gadis itu memberontak, gairahnya semakin tidak terkendali.

“Nanda ...! Aku Ayu , bulan Arlita ...!” seru Ayu  sambil mendorong tubuh Nanda.

“Ayu ?” Nanda terdiam sesaat. Ia mengerjapkan mata sambil memukul pelan keningnya yang berdenyut. Kepalanya terasa pening karena alat vitalnya sudah berada dalam mode on sejak ia menarik paksa gadis yang ada di hadapannya itu.

Tiga puluh menit lalu, ia baru saja menghisap permen yang mengandung epimedium. Membuatnya sangat bergairah. Terlebih, ia sengaja memasang aroma therapi yang dapat membangkitkan gairah seksualnya karena ia ingin menikmati malam yang indah bersama kekasihnya, Arlita.

“Nan, aku ke sini untuk kasih hadiah dari aku dan Sonny. Sonny nggak bisa ke sini. Jadi, aku yang antar langsung. Sorry! Aku udah ganggu kamu. Aku pulang dulu!” pamit Ayu  sambil meraih gagang pintu dan bersiap untuk pergi.

“Aargh ...!” Ayu  kembali berteriak saat Nanda menarik pergelangan tangannya dengan kasar.

Nanda menarik paksa tubuh Ayu  dan menghempaskannya ke atas tempat tidur. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Mendengar suara Ayu  yang begitu lembut dan sensual, membuatnya tak bisa menahan diri.

“Nan, kamu mau apa?” Ayu  menatap Nanda dengan tubuh gemetaran. Ia menyilangkan kedua tangan di depan dada. Berusaha bergerak mundur untuk menghindari Nanda yang sedang menatapnya seperti Singa kelaparan.

“Kamu yang ngantar dirimu sendiri ke sini,” ucap Nanda sambil tersenyum menatap Ayu . Ia segera melepas kemejanya. Memperlihatkan dadanya yang kekar dengan kotak-kotak teratur di perutnya.

GLEG!

Ayu  menelan ludah melihat tubuh Nanda yang terekspose di hadapannya. Delapan tahun berpacaran dengan Sonny, ia bahkan tidak pernah melihat tubuh pria itu secara langsung. Bagaimana bisa ia menodai matanya sendiri dengan pemandangan yang seharusnya tidak ia lihat?

“Nanda ... jangan, Nan!” seru Ayu  saat Nanda melepas gesper yang melingkar di pinggangnya. Ia bergerak mundur dan terduduk di pojok ranjang hingga terdesak pada headboard. Matanya menatap tubuh Nanda yang sudah berhasil melepas seluruh pakaiannya. Ia bahkan bisa melihat dengan jelas bagian inti kelelakian Nanda yang sudah menegang sempurna.

Nanda langsung menangkap pergelangan kaki Ayu  dan menyeretnya.

“Jangan, Nan! Please ...!” pinta Ayu  sambil berpegangan kuat pada ujung kasur agar tubuhnya tidak tertarik.

Nanda semakin kesal karena Ayu  terus memberontak. Ia naik ke atas ranjang berukuran King sambil menyingkap dress yang dikenakan oleh Ayu . Dengan cepat, ia menurunkan hot pant yang membalut string yang dikenakan oleh Ayu .

“Nanda, kamu jangan gila! Kita bukan ... mmh ... mmh ...” Ayu  menghentikan ucapannya saat telapak tangan Nanda membungkam mulutnya. Ia berusaha menguasai kesadarannya meski ia sendiri dipengaruhi oleh alkohol.

Ayu  menitikan air matanya saat Nanda duduk di atas tubuhnya yang menelungkup. Pria itu membungkam mulut Ayu  dengan telapak tangan kirinya. Sementara, tangan kanannya melingkar erat di tubuh Ayu  hingga ia tidak bisa menggerakkan tubuhnya.

“Nanda, jangan lakuin ini ...!” lirih Ayu  dalam hati sambil terus menitikan air mata. Bayangan wajah Sonny yang selalu menjaga dan menyayanginya dengan tulus, tiba-tiba terlintas di pelupuk mata. Bagaimana jika Sonny tahu kalau ia kehilangan keperawanan di tangan sahabat baiknya sendiri? Ia langsung diselimuti rasa bersalah pada kekasihnya saat Nanda berubah menjadi penguasa tak terkalahkan di ruangan yang hanya disinari lampu tidur warna biru di sudut ruangan.

“Aargh ...! Nan ... don’t touch me!” seru Ayu  saat Nanda melepaskan telapak tangan dari wajahnya.

Nanda semakin tak sabar mendengar teriakan Ayu . Kepalanya semakin pusing dan kesal saat ia kesulitan melakukan penyatuan dengan Ayu .

“Nan, aku ....” Ayu tak sanggup berkata-kata lagi saat Nanda membenamkan tubuhnya dan berubah menjadi penguasa atas semua yang ia miliki. Merenggut hal paling berharga yang seharusnya ia berikan pada pria yang sangat ia cintai dan sedang berjuang bersama menyusun rencana masa depannya.

 Air mata Roro Ayu  menetes dan semua rasa persahabatannya kini berubah jadi kebencian. Nanda telah menghancurkan semuanya detik itu juga. Yang lebih kejamnya lagi, ia tidak berdaya karena Nanda menganggapnya sudah sering melakukan hal seperti dengan tunangannya.

 

 

 ((Bersambung...))

 

Terima kasih sudah jadi sahabat setia bercerita!

Tunggu kelanjutannya di postingan selanjutnya ya...

 

 

MuchLove,

@vellanine.tjahjadi

 



DAFTAR BACAAN :

 Bab 1 - Pesta Malapetaka 

Bab 2 - Bayi yang Tak Diinginkan

Bab 3 - Pukulan untuk Ayah

 Bab 4 - Tak Ingin Berdamai

Bab 5 - Menolak Pernikahan Kontrak

Bab 6 - Hari Pertama Jadi Mantu

Bab 7 - Tak Harmonis

Bab 8 - Mulai Cemburu

Bab 9 - Membangun Hubungan

Bab 10 - Nyaman Bersama Mantan

 ______________________


Dilarang keras menyalin, memperbanyak dan menyebarluaskan konten ini tanpa mencantumkan link atau izin tertulis dari penulis.

©Copyright www.rinmuna.com

 ______________________


Dilarang keras menyalin, memperbanyak dan menyebarluaskan konten ini tanpa mencantumkan link atau izin tertulis dari penulis.

©Copyright www.rinmuna.com

 

 


Senangnya Hadir di Klinik Belajar Tugas dan Ujian Universitas Terbuka


Selasa, 16 November 2021

Hari ini, jadi hari yang paling menegangkan dalam hidupku.
Setelah aku belajar menulis begitu lama hingga novelku bisa menduduki posisi Best Seller. Aku malah mengambil risiko tinggi dengan masuk kuliah di Universitas Terbuka dan mengambil jurusan Sastra Inggris Bidang Minat Penerjemahan. Saat lagi sibuk-sibuknya kejar tayang deadline novel, sibuk juga ngerjain tugas kuliah yang buanyak banget dan selalu deadline.

Kenapa sih ambil kuliah Sastra Inggris?

Yah, agak riskan sebenarnya dengan kemampuan bahasa Inggrisku yang minim banget. Tapi itulah yang bikin aku semangat. Aku pengen bisa bahasa Inggris. Setidaknya, untuk mengajar anak sendiri. Lebih seneng lagi, kalau aku juga bisa terbitkan novel berbahasa Inggris suatu hari nanti. (Ini mimpi, berdoa jadi kenyataan)

Dan hari ini ... aku ikut hadir dalam acara Klinik Belajar Tugas dan Ujian yang diadakan oleh Pokjar Amanah di Hotel Benakutai Balikpapan.

Seneng banget bisa hadir di acara ini.
Meski aku terlambat satu jam karena terkendala hujan deras dan lokasiku ke sana yang membutuhkan waktu hampir dua jam.
Di sini, aku bisa kenal dengan teman-teman baru. Mereka semua ramah. Aku pikir, cum aku doang emak-emak yang ambil kuliah di sana. Ternyata, ada banyak juga yang ambil kuliah meski sudah menikah dan punya anak. Yah, lumayan mengurangi tingkat insecure aku.

Sayangnya, Mahasiswa Prodi Sastra Inggris itu nggak banyak. Aku cuma ketemu sama dua orang temen di sana. Mbak Rani yang super duper bawel dan Melly yang super duper pendiem alias introvert banget.

Meski begitu, tetep seru sih. Ada yang diajak foto-foto bersama.
Aku mah, udah cekrak-cekrek aja tanpa tahu malu. Udah muka paling kucel, paling hitam, paling kampungan dan nggak punya malu juga. Hahaha.
Udahlah. Aku pikir, berteman tidak memandang warna kulit, kok. Biar nggak insecure melulu. Jujur, aku paling takut di depan kamera karena wajahku nggak cocok untuk dipajang.
Akibat dari keterlambatanku kali ini, akhirnya ya nggak punya teman. Semua juga sudah sibuk sama temannya masing-masing. Malu-malu gimana gitu kan? Secara, aku tuh kerjaannya di dalam rumah terus. Jarang bergaul. Jadi, agak sulit deh mau ngomong sama yang lain. So, kalau aku diam dan kehabisan kata-kata ... kamu ajak aku ngomong, ya! Supaya dunia kita ini tidak sepi.

Nah, ini nih temen prodi aku yang ketemu di sana. Mbak Rani yang super duper bawel, penyayang anak (Yang pakai kerudung kuning) karena dia guru bimbel dan private. Satunya lagi si Melly, pendiem, introvert, anak rumahan yang nggak bisa diajak jalan (hihihi).
Jangan tanya aku yang mana. Aku yang tengah, dong. Si kulit cokelat yang manis. Eeeaak ...
Pede amat ya ngomong gitu? Wkwkwk.

Oke. Ini perkenalan dan cerita singkat aku di kegiatan Klinik Belajar ini. Semoga, bisa bermanfaat. Menambah keilmuan dan pertemanan.

Buat kalian yang jurusan Sastra Inggris seperti aku ... komen di bawah, dong! Biar aku punya teman lebih banyak lagi. Yah, kalo kalian sudi berteman denganku, sih.


Salam kenal...!

Jangan lupa tinggalkan komentar!

MuchLove,
@rin.muna



Sunday, November 7, 2021

Self Love

 



Ada sebuah perjalana penuh liku yang hanya bisa kita rasakan sendiri. Mungkin, kamu  tahu bagaimana rasanya berjalan di atas kerikil tajam tanpa alas kaki. Sakit 'kan?
Ada yang lebih sakit dari itu. Ada kaki lain yang menginjak kakimu dan menopangkan hidupnya pada rasa sakit itu tanpa ingin memberimu satu waktu untuk tersenyum.

Selama enam tahun ini, aku benar-benar tidak tahu bagaimana rasanya tidur nyenyak. Terlalu banyak rasa sakit yang harus aku tanggung. Terlebih, orang yang menyakiti adalah orang yang paling dekat dengan diri sendiri. Ibarat sebuah pisau, ia akan lebih mudah melukai jika berada di dekat kita. 

Benar apa kata orang ... orang yang paling berpotensi membuat kita sakit adalah orang yang paling dekat dengan kita. Jika orang yang jauh atau tak kenal sama sekali, mungkin kita akan menjadi acuh tak acuh dengan semua yang terjadi.

Tapi ketika semua rasa sakit itu datang dari orang yang paling dekat, rasanya sangat-sangat menderita. Ingin pergi, tapi tak bisa pergi. Ingin lari, tapi tak punya kekuatan untuk berdiri. Ingin menangis, tapi air mata ini sudah terkuras habis.

Hingga di satu titik, aku menyadari kesalahanku. Aku harus bisa mencintai diriku sendiri sebelum aku mencintai orang lain. Satu hal yang belum pernah aku lakukan dalam hidupku. Selama ini aku memang lebih mencintai orang lain daripada diriku sendiri. Aku melakukan banyak hal untuk keluarga, berjuang dan berkorban tanpa memikirkan kebahagiaanku sendiri. 

Sampai akhirnya, aku sendiri tidak sanggup menahannya.

Aku memilih untuk berjalan seorang diri. Meski tertatih, setidaknya batu terbesar yang menjadi beban terberat dalam hidupku bisa aku lepaskan.

Aku ingin lebih menghargai hidupku sendiri. Membahagiakan diri sendiri dan orang-orang yang menjadi prioritas untukku saat ini. 



Mainan Buatan Si Mbah





Ini kisah sederhana yang ingin kutuliskan untuk masa depan. 
Untuk putera kecilku yang mungkin saja akan membacanya 10 tahun lagi.

Foto yang aku ambil ini adalah salah satu mainan favorite puteraku. Sederhana, tapi penuh makna bagiku.

Ini adalah salah satu mainan yang dibuatkan oleh bapakku. 
Bapakku bukan pensiunan pegawai negeri, bukan mantan karyawan swasta yang punya banyak tabungan untuk manusia. Beliau lahir sebagai petani dan sampai sekarang masih aktif bertani. 
Sebagai petani kecil, tentunya kedua orang tuaku tidak memiliki banyak penghasilan. Bahkan, untuk sekedar membelikan mainan saja, mereka pasti berpikir. Masih ada hal yang harus diprioritaskan, yaitu bahan makanan untuk makan besok.

Aku juga bukan pegawai yang memiliki penghasilan tetap. Kegiatan sehari-hariku hanya menjadi penjahit kecil dengan penghasilan rata-rata hanya dua puluh ribuan setiap harinya. Itulah sebabnya, aku juga harus berhemat dan berhati-hati dalam menggunakan uang. Tidak bisa membelikan banyak mainan untuk anak-anakku.


Saat ini, aku memilih menjadi seorang single mother. Terlalu banyak rasa sakit yang harus aku jalani ketika hidup berumah tangga sampai akhirnya aku memutuskan untuk melepaskan seluruh beban dan rasa sakit ini. 

Selama ini, aku hanya mengandalkan bertahan hidup dari tulisan-tulisanku. Dari pembaca yang berkenan membaca novelku.

Aku tidak punya banyak uang untuk membelikan mainan baru. Terlebih setiap kali membelikannya, pasti langsung dirusak karena sifat puteraku yang memang keras dan perusak nomor satu di dunia.

Sampai akhirnya, aku yang tidak tahu harus membelikan mainan seperti apa yang bisa awet di tangan puteraku. Bapakku dengan telaten membuatkan mainan untuk putera kecilku. Sederhana saja, mainan dari ban mobil bekas yang sudah rusak dan pipa bekas instalasi listrik, dirakit olehnya. Kalau kata bapakku, itu namanya 'gledegan'. Entah kalau di daerah lain, namanya apa.

Meski hanya mainan sederhana dan tak butuh modal banyak, hanya bermodalkan barang bekas, puteraku sangat menyukainya. Setiap harinya, dia akan mendorong 'gledegan' ini sambil berjalan kaki di halaman rumah atau di jalanan depan rumah. 

Terima kasih, Mbah ...!
Si Mbah selalu menyayangi cucunya dengan tulus. Meski tak punya uang untuk membelikan mainan cucunya, tapi selalu punya cara untuk membuatkan mainan untuk cucu-cucu kesayangannya. 

Terkadang, aku merasa bersalah.
Hidupku sudah sangat merepotkan kedua orang tuaku selama belasan tahun. 
Sampai aku menikah, aku justru semakin merepotkan mereka. Merepotkan mereka dengan membantu mengurus dan menghidupi anak-anakku.

Semoga, aku bisa membayarnya dengan sesuatu yang lebih baik dan lebih mulia untuk kalian ... orang tua yang kasihnya takkan hilang sepanjang masa.


Nak, jika 10 tahun kemudian kamu membaca tulisan ini. Ingatlah, ada hal kecil yang lebih berharga dan berarti yang membuatmu bisa hidup hingga membaca tulisan ini...


Much Love,

Rin Muna
 

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas