Novel
Labels
Akrostik
Artikel
Belajar Bahasa Inggris
Belajar Nulis
Berita
Cerpen
Daily
Dongeng
Ekonomi & Bisnis
English Course
Fashion
Fizzo
Kompetisi Menulis
Kuliner
Literature
Materi Nulis
My Experience
Novel MLB
Novel ILY Ustadz
Novelme
Opini
Pendidikan
Prestasi
Puisi
Ranting Ranti
Review Aplikasi
Review Drama
Review Novel
Rumah Literasi Kreatif
Sastra
Social and Humanity
Wisata
Tuesday, January 1, 2019
Thursday, December 27, 2018
Seventeen - "Kemarin" : 2 Tahun Menciptakan Luka
Lagu Kemarin ciptaan Sang Gitaris Herman Sikumbang yang diposting di Youtube pada tanggal 21 Desember 2016 ini menjadi salah satu lagu paling menyedihkan pada bulan Desember 2018. Tepat 2 tahun lagu ini dirilis menjadi sebuah moment yang tak kan terlupakan oleh vokalis Seventeen yang berhasil selamat dari Tsunami Banten.
Riefian Fajarsyah atau yang sering disapa Ifan Seventeen ini sedang manggung di salah satu acara family gathering yang diadakan oleh salah satu perusahaan BUMN di Pantai Tanjung Lesung. Ifan menjadi salah satu korban yang selamat dari Tsunami Banten pada sabtu malam, 22 Desember 2018 ini . Sementara semua personel seventeen meninggal dalam kejadian tersebut.
Pada tanggal 23 Desember 2018, Ifan Seventeen mengunggah sebuah video yang menyatakan bahwa ia kehilangan istri dan teman-temannya bandnya. Sementara Bani Seventeen (Bassis) dan Oki Wijaya dinyatakan meninggal dunia.
Tak lama kemudian, Ifan Seventeen menggunggah postingan yang menyatakan bahwa Herman (Gitaris) juga menjadi korban Tsunami Banten.
Pada tanggal 24 Desember 2018, Ifan mengungkapkan bahwa ia tak dapat mengantarkan sahabatnya hingga peristirahatan terakhir dikarenakan masih harus mencari keberadaan Dylan Sahara (Istri) dan Andi (Drumer). Andi ditemukan meninggal dunia pada tanggal 24 Desember 2018 bersamaan dengan istri Ifan Seventeen, Dylan Sahara.
Kisah seventeen ini kemudian menjadikan salah satu lagu Seventeen yang berjudul "Kemarin" kembali viral. Pasalnya, lagu ini sangat mirip dengan kejadian tsunami yang menimpa Band Seventeen dan hanya menyisakan salah satu personelnya yakni Ifan Seventeen.
Bisakah waktu diputar ulang? Karena sebagian dari kita, sadar atau tidak, kadang menginginkan kenangan indah terulang. Setidaknya bisa mengulangi rasa bahagia dengan orang ya sama. Tapi apa jadinya jika orang tersebut sudah tiada?
Kalimat di atas adalah kalimat yang dituliskan pada lagu "Kemarin" di Official Music Video yang diunggah di Youtube 2 tahun yang lalu.
Single lagu "Kemarin" merupakan kisah nyata yang kembali menjadi nyata. Lagu ini nyata menggambarkan betapa sang penyanyi kehilangan orang-orang yang dicintainya sekaligus.
Semua orang pasti akan merasakan sakitnya kehilangan, hanya waktu dan caranya yang berbeda-beda. Seperti bagaimana Ifan Seventeen begitu tegar menghadapi cobaan yang menimpanya. Walau tidak bisa disembunyikan bahwa luka dihatinya begitu dalam.
Ifan juga menyatakan "Pamit" kepada seluruh teman-teman dan pihak-pihak yang bekerja sama dengan Seventeen.
Ada satu kalimat dari Ifan yang membuat hatiku begitu terenyuh. "Sahabat Sepanggung Sehidup Semati"- Seventeen.
Semoga kejadian ini tidak membuat Ifan berhenti berkarya. Ada begitu banyak orang yang mendoakan Ifan agar tetap tabah. Juga mendoakan almarhum dan almarumah yang lebih disayang oleh Allah untuk kembali ke sisi-Nya.
Film Batman : Gotham by Gaslight
Thriller:
Nonton Film Full Online, klik link di bawah ini:
Batman : Gotham by Gaslight
In an alternative Victorian Age Gotham City, Batman begins his war on crime while he investigates a new series of murders by Jack the Ripper.
Tagline: | As the Ripper stalks Gotham City, the Dark Knight reveals the face of terror. |
Pemain: | Anthony Stewart Head, Bob Joles, Bruce Greenwood, Bruce Timm, Chris Cox, David Forseth, Grey DeLisle, Jennifer Carpenter, John DiMaggio, Kari Wuhrer, Lincoln Melcher, Scott Patterson, Tara Strong, William Salyers, Yuri Lowenthal |
Direksi: | Sam Liu |
Negara: | USA |
Rilis: | 12 Jan 2018 |
Bahasa: | English |
Anggaran: | $ 10.000.000,00 |
Sumber : indoxx1.org
Wednesday, December 26, 2018
Nostalgia Masa SMA
pixabay.com |
Hari ini, aku bertemu dengan salah satu kawan
sekolahku di salah satu Kafe. Di mana secara kebetulan kami selalu sekelas
semenjak SMP hingga SMA. Saat ini ia bekerja di Jakarta. Aku tidak tahu
tepatnya apa, yang jelas dia lulusan Teknik Sipil dan masih ada hubungannya
dengan pembangunan gedung. Dan sekarang dia sedang cuti, hingga menyempatkan
waktu untuk menemuiku.
“Kamu nggak bosan sekelas mulu sama Puguh?”
celetuk salah seorang teman kala itu.
Aku tidak merasa bosan. Sebab aku dan Puguh
tidak terlalu dekat juga tidak terlalu jauh. Buatku, dia hanya sekedar pematik
semangat belajarku. Sebab puguh memiliki kecerdasan yang lebih dibanding dengan
murid lain. Dan dia selalu menjadi sainganku. Aku dan dia selalu berebut
peringkat satu. Jika aku peringkat satu, sudah pasti dia yang peringkat dua.
Begitu juga sebaliknya.
Aku tidak ingin bercerita tentang puguh. Sebab
tak ada yang menarik darinya. Lebih menarik diriku, walau terkesan memaksakan
diri. Aku ingin bercerita tentang bagaimana kesanku masuk SMA bersama Puguh.
Nah loh? Kok Puguh lagi sih? Ya, sebab dia teman sekelasku sejak kelas 1 SMP.
Jadi, mau tak mau aku memang harus menyeret dia ke dalam cerita masa SMA-ku.
“Rin, kamu ingat nggak waktu pertama kali
masuk SMA. Kamu terkenal karena bisa mendapat predikat sebagai siswa MOS
terbaik.” Puguh menundukkan kepala sambil terkikik geli.
“Apa!? Itu memalukan!” Aku menyeringai. Ia
senang sekali mengejekku dengan predikat siswa MOS terbaik.
“Tapi, beneran kan!?”
“Iya. Tapi itu memalukan. Semua orang
melihatku menangis di sepanjang koridor.”
“Itu artinya Kakak Osis berhasil mengerjaimu.
Dan kamu beruntung berdiri di depan podium dengan penghargaan kalung bawang.
Bersama Kakak Kelas yang kamu idolakan itu.” Lagi-lagi Puguh tertawa kecil di
sela pembicaraan kami.
Aku memonyongkan bibirku. Wajahku memerah
karena tersipu. Mengingat kakak kelas idolaku. Kakak kelas yang mendapat
penghargaan sebagai Kakak Osis terbaik, hasil polling dari seluruh siswa
peserta MOS.
Ya, aku mulai mengidolakannya sejak itu.
Terlebih lagi dia punya sederet prestasi yang membuat mataku selalu memunculkan
simbol love love setiap kali melihatnya. Ia tak hanya pintar secara akademik.
Namun ia juga punya sederet prestasi lainnya. Seperti saat ia menjadi Kapten
Paskibraka dan berhasil meraih juara 1 tingkat Provinsi. Itu sangat
membanggakan. Bukan hanya itu, dia juga aktif dalam seni musik Tingkilan yang
juga berhasil menyabet Juara 1 kompetisi Tingkilan antar sekolah se-Kalimantan
Timur.
Dia juga vokalis Band Metal yang lihai bermain
gitar juga Drum. Apa sih alat musik yang dia tidak bisa? Aku lihat dia bisa
memainkan semuanya dengan baik. Terlebih lagi ketika dia beraksi mengeluarkan
suara Scream-nya yang khas. Itu keren banget buatku! Sebagian wanita tidak suka
dengan Band Metal terlebih lagi saat vokalis mengeluarkan suara Scream-nya. Aku
justru sangat terpesona. Itu laki banget!
“Woi...! Malah ngelamun. Pulang yuk udah
malam!” Puguh membuyarkan lamunanku tentang kenangan masa SMA.
“Eh... Oh... Iya!” Aku meraih tas yang
kuletakkan di kursi sebelahku.
“Mau ku antar?” Puguh menatapku menggoda.
“Ke sini bawa motor sendiri-sendiri. Camana
mau ngantarkan? Hadeuuuh...!” Aku memutar bola mataku.
Puguh tertawa lepas. Kami kembali ke rumah
masing-masing.
Juna's Don Juan
pixabay.com |
Aku menyandarkan kepalaku pada bingkai jendela
yang basah. Menatap rintik hujan yang menyapu setiap jejak masa lalu. Aku suka
hujan. Sebab ia datang untuk menyapu jejak kesedihan. Namun, ia tak mampu
menghapus bayangan. Bayangan dua orang yang entah sedang apa di luar sana.
Sebelum turun hujan, aku melihat Juna
menjemput Mbak Daya. Aku tak banyak bertanya mereka akan ke mana. Mungkin
menghabiskan waktu duduk berdua di Kafe atau sekedar makan di pinggir jalan.
Aku rasa, kantong Juna yang masih anak sekolah tak cukup tebal untuk membawa
Mbak Daya ke tempat-tempat mewah. Atau justru Mbak Daya yang merelakan uangnya
melayang untuk mengisi perut Juna? Ah, entahlah. Aku tidak bisa terus
mener-nerka.
Aku dan Juna satu kelas. Namun, tak pernah
saling sapa. Sejak kepindahannya dari sekolah lama, ia telah banyak mencuri
perhatian banyak gadis. Ia tak malu merayu banyak gadis dan sering membuatnya
tersipu, bahkan betah berlama-lama menyandar di pundaknya. Tak perlu mendapat
gelar pacar untuk bisa bergelayut manja di tubuhnya. Aku sering melihat
beberapa cewek datang ke kelas saat jam istirahat hanya untuk mendekati Juna.
Entah apa yang ia buat hingga cewek-cewek di sekolah menggilai kehadirannya.
Juna tak sungkan menggoda Mbak Daya, guru
cantik di sekolah yang juga kakak kandungku. Tak banyak yang tahu jika Mbak
Daya adalah kakakku, termasuk Juna yang sering datang ke rumah dan mengajak
Mbak Daya pergi ke luar. Aku tahu, Mbak Daya tidak akan serius menanggapi Juna.
Itu sekarang, tidak tahu besok jika hatinya berubah karena rayuan Juna.
Aku tidak menyalahkan Juna sebagai cowok Don
Juan atau Casanova, sebab itu adalah pilihan hidupnya dan mungkin satu hal yang
membuatnya bahagia. Juga tidak menyalahkan Mbak Daya jika suatu hari ia
benar-benar jatuh cinta, sebab dia juga wanita biasa yang mudah tergoda. Sebab,
semua kapal pasti akan berlabuh. Jika tidak, pastilah ia karam di tengah
lautan.
Aku melipat buku yang sedari tadi aku pegang.
Memeluknya sambil menatap rintik hujan yang mulai enggan menyapa pijakan kaki.
Ada nama Juna di halaman pertama buku ini. Ya, ini memang buku Juna. Bagaimana
bisa aku mendapatkannya atau bagaimana buku ini bisa di tanganku? Sudah pasti
bukan sebuah hadiah darinya. Ia memberikannya begitu saja saat memintaku
membantunya mengerjakan tugas. Dan tidak pernah lagi menanyakan buku miliknya.
Dia terlalu sibuk dengan wanita-wanitanya.
“Eh! Hai...!” Aku mengangkat Ibon yang
tiba-tiba bergelayut manja di kakiku. Kucing persia kesayanganku, dengan pita
merah menghiasi lehernya. Aku ajak dia menikmati gerimis yang hampir hilang.
Aku tahu, Ibon tidak suka hujan. Ia lebih memilih bergelayut manja mencari
kehangatan. Aku meletakkannya di atas kasur.
Lamat-lamat aku dengar suara motor berhenti di
depan rumahku. Aku melirik jam dinding, jam setengah sebelas malam. Selama
inikah aku menghabiskan waktuku untuk melamun tentang Juna? Sejak mereka pergi
hingga pulang kembali, aku menghabiskan waktuku untuk memikirkan pria yang
sedang menebar cinta ke mana-mana.
“Dek, tolong bukain pintu! Mbak lupa nggak
bawa kunci.” Teriakan Mbak Daya terdengar jelas di telingaku.
Aku bergegas menuju pintu, membuka perlahan.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam,” jawabku.
“Ayo masuk Jun! Tolong bikinkan teh hangat
untuk Jun!” Mbak Daya menatapku, sedangkan Juna berdiri tepat di belakangnya.
“Apa ini ajakan untuk menginap?” goda Juna
sembari menatapku tanpa berkedip, bahkan ia lupa mengatupkan kedua bibirnya.
Aku bergegas ke dapur.
“Mbak Daya nggak pernah bilang kalau punya
adik yang cantik dan manis.” Aku mendengar suara Jun dari balik dapur.
“Untuk apa? Supaya kamu bisa menggodanya?”
Mbak Daya mendengus sebal.
Juna terkekeh. “Siapa tahu dia jodohku.”
“Semua perempuan kamu bilang begitu.”
Aku keluar dan meletakkan dua cangkir teh di
atas meja dengan bersimpuh di lantai.
“Hai, aku boleh—”
“Cepat minum dan cepat pulang!” sergah Mbak
Daya.
Aku bergegas masuk ke kamar. Aku dengar tawa
renyah dari mulut Juna. Ternyata, Juna tak mengenali penampilanku di rumah.
Kemungkinan dia memang tak begitu memperhatikanku. Sebab aku bukan cewek modis
seperti yang lain. Aku hanya menghabiskan waktuku bersama buku. Kacamata
menghiasi mataku yang minus setengah. Rambutku kuikat sekenanya saja.
“Kamu sungguh tidak mengenali dia?” Suara Mbak
Daya terdengar jelas dari kamar, sebab pintu kamar tidak kututup rapat.
Jun menggelengkan kepalanya.
“Karina, teman sekelasmu. Bahkan kamu sering
belajar kelompok dengannya kan?” ungkap Mbak Daya. Duh, kenapa Mbak Daya
mengungkapkan siapa aku di depan Juna? Sudah sedekat itukah mereka?
“Astaga! Pantes wajahnya familiar. Tapi aku
lupa. Beda banget sama di sekolah. Di sekolah cupu banget! Tiap hari pacaran
sama buku. Aku nggak berani ngajak ngobrol. Bahkan memperhatikan wajahnya aja
aku nggak pernah Mbak.” Jun terlihat membalikkan tubuhnya dari sofa, menatap
pintu kamarku. Kupastikan ia tak kan bisa melihatku di balik pintu.
“Sudah, jangan banyak bicara lagi! Cepat
habiskan tehmu dan cepat pulang!”
***
“Ternyata kamu di sini. Aku udah cari kamu ke
semua ruangan di sekolah ini. Akhirnya, aku bisa juga menemukan tempat persembunyianmu.”
Juna tiba-tiba duduk di sebelahku tanpa permisi. Bagaimana bisa Don Juan
seperti dia masuk ke perpustakaan sekolah?
“Kamu suka mojok ya?” Juna menatapku yang
memang sedang duduk di lantai di sudut ruang perpustakaan.
Aku bergeming, melanjutkan membaca buku
Ensiklopedia tentang perkembangbiakan makhluk hidup.
“Kamu suka baca kayak gini? Pengen
berkembangbiak juga ya? Aku siap kok.” Juna mendekatkan wajahnya.
Aku terkejut bukan kepalang. Jantungku
berdebar tak karuan sebab tingkahnya yang sangat menggelikan.
PLAK!
“Kehabisan wanita buat kamu goda? Hah!?” Aku
menyeringai, merasa puas bisa menampar seorang Don Juan sekolahan.
“Kamu jahat banget sih!?” Juna memegangi
pipinya, meringis menahan sakit.
“Lebih jahat kamu yang membiarkan hati banyak
wanita ketar-ketir karena ulahmu. Kamu pikir mereka boneka-bonekamu? Dan satu
lagi, jangan pernah dekati Kakakku lagi, atau—”
“Atau apa?!” Juna mendongakkan kepalanya
menatapku yang berdiri di depannya.
BUK!!
Buku Ensiklopedia super tebal mendarat tepat di
kepalanya.
“Sialan! Minta dicium memang kamu ya! Kakaknya
cantik, kalem, baik. Adiknya freak!” Juna bangkit dari duduknya dan berdiri
menatapku penuh kekesalan.
Aku balik menatapnya dengan sengit. “Apa kamu
bilang?”
“Freak!” sentak Juna mendekatkan wajahnya ke
wajahku.
Aku menginjak kakinya sekuat tenaga,
mengangkat lutut kananku tepat mengenai alat vitalnya.
“Aaaauuuu....!” teriakan Juna menggema ke
seluruh ruangan sembari memegangi alat vitalnya, terduduk menahan sakit.
Aku segera berlari sebelum ia membalas
perbuatanku.
“Awas ya! Kalau sampai aku mandul, kamu harus
tanggung jawab!” teriakan Juna masih bisa kudengar dari pintu keluar.
Aku bergegas menaiki tangga kecil di sisi
bangunan perpustakaan. Aku berdiri di atas balkon berukuran 3x3 meter. Tidak banyak
yang tahu tempat ini, tempat biasa aku menyendiri. Dan kini akan jadi tempatku
bersembunyi dari kejaran pria seperti Juna.
“Gila ya itu cewek cepet banget ngilangnya!”
Kulihat Juna berlari mengejarku. Celingukan ke sana kemari sementara ia tak
akan bisa melihatku. Siapa murid yang tahu di ujung bangunan sekolah yang hanya
berisi rak-rak buku, ada balkon yang asyik untuk melihat aktivitas anak-anak
sekolah.
Juna terus berjalan menuju ke ruang kelas. Aku
yakin, dia pasti mencariku ke kelas. Terlihat bertanya pada beberapa murid lain
yang menggelengkan kepalanya.
Aku kembali ke kelas setelah lima menit bel
berbunyi, kupastikan guru sudah masuk ke kelas terlebih dahulu sebelum Juna
menghujaniku dengan tingkahnya yang menggelikan.
Tiba-tiba Juna sudah duduk manis di kursi
sebelahku saat aku masuk. Tersenyum begitu manis. Senyum yang mengandung banyak
makna. Jelas ada maksud tertentu di balik senyuman itu. Senyuman yang sengaja
dibuat-buat untuk menyembunyikan niat jahatnya.
Selama jam pelajaran, semua baik-baik saja.
Aku belajar seperti biasa. Namun, saat jam pelajaran usai dan semua murid
meningalkan ruang kelas. Ada hal tak terduga yang terjadi. Juna tiba-tiba
menahanku untuk bangkit dari kursi. Bahkan menarik kursiku merapat di kursi
duduknya. Membentangkan satu kakinya di atas pahaku.
“Kamu apa-apaan sih!?” Aku menyingkirkan kaki
Juna dengan kasar. Membiarkannya mengaduh sebab kakinya terhantup meja.
“Aku suka cewek kasar sepertimu.” Juna
menatapku penuh nafsu.
“Semua cewek kamu suka Jun. Kambing cewek aja
kamu sukain!” celetukku, secepatnya bangkit untuk meninggalkan Juna.
Gerakan tangan Juna lebih cepat dari
gerakanku. Ia kembali menahanku.
“Aku teriak nih!”
“Nggak papa. Teriak aja! Biar semua sekolah
tahu kalau kamu sedang tergila-gila denganku.” Jun tersenyum.
“Apa!? Aku nggak pernah tergila-gila denganmu
dan tidak akan pernah!” Aku menyeringai tepat di depan hidungnya.
Juna justru mencondongkan tubuhnya dan beraksi
ingin menciumku, secepatnya aku menghindarinya.
PLAK!
Tamparan Kedua.
“Dasar Omes! Piktor!” Aku segera bergegas
pergi saat ia tertegun sambil memegangi pipinya yang masih panas. Tangannya tak
lagi bisa bergerak cepat menahan kepergianku.
Aku berlari secepatnya sebab ia berusaha
mengejarku hingga ke parkiran sekolah. Aku tahu, Juna pasti bisa mengejarku
dengan sepeda motornya bila aku naik angkot.
“Angkot... Please! Jangan lama datangnya!” batinku
sambil berlari keluar dari gerbang sekolah.
Tak lama angkot berhenti dan aku segera
menaikinya. Tepat saat motor Juna berjarak lima meter. Hal ini membuat Juna
terus mengikuti angkotku. Duh, kenapa jadi begini sih? Apa semua perempuan yang
tergila-gila dengannya itu dikejar-kejar dahulu seperti ini? Bagaimana para
cewek sekolah tidak tergila-gila jika melihat perjuangan Juna dalam mengejar
cewek seperti ini?
“Aku nggak akan berhenti mengejarmu sampai
kamu bilang cinta sama aku!” Juna masih duduk di atas motor. Menatapku yang
sedang membuka pintu rumah.
“Nggak akan pernah!” Aku segera masuk rumah.
Membanting pintu keras-keras. “Dasar cowok gila!” makiku.
“Kenapa pulang sekolah kok marah-marah? Ada
siapa di luar?” tanya Mbak Daya yang melihat wajahku terlipat tujuh.
“Cowok gila!” Aku bergegas masuk kamar.
Mbak Daya keluar menemui Juna. Mereka malah
asyik mengobrol di teras rumah. Sementara hatiku masih sangat dongkol dengan
tingkah Juna hari ini.
Hantu di Langit Kamarku
Hantu di Langit Kamarku
pixabay.com |
Aku merebahkan tubuhku di atas kasur. Menatap
langit-langit kamar. Mataku masih sembab.
Sesekali bayangan semu bergelayut di
langit-langit kamarku.
Kadang ia tertawa, kadang ia menangis, kadang
ia merintih.
Senyum dan tawa itu, sungguh menyayat hati.
Terlebih lagi senyum itu bukan lagi milikku.
Sesekali ia menangis, memohon maaf atas
kesalahannya.
Aku menatapnya, sesekali bayangan itu hilang
lalu muncul kembali.
Dia pernah mengajakku bercanda. Kami tertawa,
menari bersama.
Dia pernah mengajakku bermimpi, membangun
istana indah di negeri sendiri.
Namun, tiba-tiba dia hanya menjadi bayangan
yang terus menghantuiku.
Bergelayut manja di pelupuk mata dan langit
kamarku.
Sungguh, aku ingin menghancurkannya.
Menghilangkan dia dari hari-hariku...
Dia terlalu semu untuk aku sentuh.
Andai waktu bisa kuputar kembali, aku memilih
untuk tidak pernah mengenalnya.
Dia itu seperti hantu yang datang tiba-tiba
mengetuk pintu hatiku, hanya untuk menyayat dinding-dinding hati ini. Kemudian
pergi begitu saja tanpa kata.
Bagiku, kini dia hanyalah hantu.
Yang selalu bergelayut di langit-langit
kamarku.
Tanpa tahu bagaimana mengusirnya.
Dia selalu mengganggu tidurku, selalu mengusik
hatiku.
Sebab aku masih cinta.
Dan kini ia mencintai dia...
Mantan, kamu adalah hantu paling menakutkan
dalam hidupku.
Masih lebih baik aku bercengkerama dengan
kuntilanak yang selalu tertawa.
Atau bersahabat dengan tuyul yang bisa
mencarikan aku banyak uang.
Kamu itu seperti genderuwo, lebih menyeramkan
dari itu...
Aku mohon, pergilah bayang-bayang masa
laluku...!
Terlalu perih...
Terlalu sakit untuk menatapmu.
Menatap cerita kita yang indah kemudian pecah
berkeping-keping.
Melukai hati yang hanya bisa merintih...
Tak mampu membuatmu kembali. Hanya bisa
menangis melihatmu bahagia bersama si dia.
Antara Surabaya-Balikpapan
Sumber Ilustrasi : Kumparan.com |
“Rin, tolong ya!” Pak Bayu memakai rompi
kerjanya. Menyempatkan diri untuk masuk ke ruanganku sejenak sebelum berangkat
tugas ke area pengeboran lepas pantai.
“Beres Pak!” Aku masih sibuk dengan laporanku,
namun aku sempatkan untuk bisa mendengar dengan baik setiap kalimat yang keluar
dari mulut Pak Bayu.
Tak lama kemudian, Pak Bayu bergegas menuju
Helipad. Aku bisa melihatnya dari jendela ruanganku di lantai lima. Aku adalah
Assistant Chief Clerk yang mengurusi Administrasi. Aku memang dekat dengan
beberapa rekan, sebab sifatku yang memang senang berceloteh dan bersosialisai.
Hari ini, Pak Bayu pasti menjalankan tugas
dengan gelisah. Sebab, menurut perkiraan dokter istrinya akan melahirkan. Dia
belum mendapat jatah cuti, terlebih lagi pekerjaan memang sedang
padat-padatnya.
Bu Ana, istri Pak bayu usianya dua tahun lebih
tua dari usiaku. Dan sedang menanti kelahiran anak pertama mereka. Aku cukup
dekat dengan Bu Ana. Sebab sebelum mereka menikah, Bu Ana sering berkunjung ke
Balikpapan. Namun semenjak berbadan dua, ia lebih memilih untuk menetap di
Surabaya, di kediaman orang tuanya.
Pak Bayu juga asli orang Surabaya. Di
Balikpapan hanya melaksanakan tugas kerja. Dan sudah pasti demi anak istri. Di
lokasi pengeboran lepas pantai, masih sangat susah sinyal. Hingga besar
kemungkinan Pak Bayu akan mendapat kabar terlambat, atau bahkan tidak
mendapatkan kabar sama sekali. Sejak keberangkatannya ke lokasi pagi hari, ia
sudah terlihat gelisah.
Aku menatap ke luar jendela. Menghela napas
perlahan. Menatap Awan yang bergelayut di atas lautan. Dari ruangan ini, aku
bisa leluasa memandang pantai Balikpapan. Ombak-ombak kecil terkadang senada
dengan bentuk awan di atasnya. Aku sedikit terenyuh dengan kisah Pak Bayu,
sebenarnya bukan hanya dia saja. Tapi, beberapa karyawan juga mengalami hal
ini. Bedanya, Pak Bayu adalah supervisor yang punya hak lebih dari karyawan
lainnya.
Hari mulai petang, belum ada tanda-tanda Bu
Ana menghubungiku. Aku mondar-mandir di teras kantor. Gelisah. Duh, aku saja
segelisah ini. Bagaimana dengan Pak Bayu yang menanti di lepas pantai sana?
Akhirnya, kuputuskan untuk menelepon Bu Ana
terlebih dahulu. Beberapa kali aku hubungi, tidak diangkat.
“Assalamu’alaikum...!” Suara asing dari
seberang sana menjawab telponku.
“Wa’alaikumussalam. Bu Ana ada? Saya teman
kantor Bapak. Mau menanyakan kabar Bu Ana, soalnya Bapak lagi ke area lepas
pantai—”
“Pantas saja sulit Ibu hubungi. Tolong
sampaikan pada Bayu, Ana mau melahirkan. Ini sedang di ruang persalinan di
Rumah Sakit.” Sudah jelas yang menelepon adalah orang tua Bu Ana.
“Oke Bu. Saya langsung ke area pengeboran
temui Bapak.” Aku menutup telepon tanpa basa-basi lagi. Sudah saking paniknya.
Aku berkali-kali berlari masuk ke ruangan untuk mengambil barang yang selalu
saja tertinggal.
Aku berlari menuju Helipad. Mencari Operator
Helikopter yang biasa membawa kami menuju ke area pengeboran lepas pantai.
Namun, aku tak mendapatinya sebab hari sudah petang dan aku tidak mengajukan
permintaan untuk berjaga-jaga hingga petang. Kemungkinan Shift berikutnya bisa terlambat
datang.
Aku kembali ke kantor. Meminta kunci salah
satu SpeedBoat pada Security. Aku tak punya banyak waktu jika harus menelpon
operator Heli dan menunggunya. Lebih baik aku bawa SpeedBoat seorang diri. Itu
lebih baik dan lebih cepat. Sebab aku wanita, dua orang karyawan pria bergegas
menyusulku dengan membawa satu SpeedBoat lainnya. Semua tahu kepanikanku.
Aku segera menjemput Pak Bayu. Membawanya ke
Bandara agar secepatnya terbang ke Surabaya. Tak peduli ia masih mengenakan
seragam kerja. Dia jauh lebih panik dariku, jauh lebih khawatir.