Thursday, December 27, 2018

Seventeen - "Kemarin" : 2 Tahun Menciptakan Luka

Lagu Kemarin ciptaan Sang Gitaris Herman Sikumbang yang diposting di Youtube pada tanggal 21 Desember 2016 ini menjadi salah satu lagu paling menyedihkan pada bulan Desember 2018. Tepat 2 tahun lagu ini dirilis menjadi sebuah moment yang tak kan terlupakan oleh vokalis Seventeen yang berhasil selamat dari Tsunami Banten.
Riefian Fajarsyah atau yang sering disapa Ifan Seventeen ini sedang manggung di salah satu acara family gathering yang diadakan oleh salah satu perusahaan BUMN di Pantai Tanjung Lesung. Ifan menjadi salah satu korban yang selamat dari Tsunami Banten pada sabtu malam, 22 Desember 2018 ini . Sementara semua personel seventeen meninggal dalam kejadian tersebut.

Pada tanggal 23 Desember 2018, Ifan Seventeen mengunggah sebuah video yang menyatakan bahwa ia kehilangan istri dan teman-temannya bandnya. Sementara Bani Seventeen (Bassis) dan Oki Wijaya dinyatakan meninggal dunia.

Tak lama kemudian, Ifan Seventeen menggunggah postingan yang menyatakan bahwa Herman (Gitaris) juga menjadi korban Tsunami Banten.
Pada tanggal 24 Desember 2018, Ifan mengungkapkan bahwa ia tak dapat mengantarkan sahabatnya hingga peristirahatan terakhir dikarenakan masih harus mencari keberadaan Dylan Sahara (Istri) dan Andi (Drumer). Andi ditemukan meninggal dunia pada tanggal 24 Desember 2018 bersamaan dengan istri Ifan Seventeen, Dylan Sahara.


Kisah seventeen ini kemudian menjadikan salah satu lagu Seventeen yang berjudul "Kemarin" kembali viral. Pasalnya, lagu ini sangat mirip dengan kejadian tsunami yang menimpa Band Seventeen dan hanya menyisakan salah satu personelnya yakni Ifan Seventeen.

Bisakah waktu diputar ulang? Karena sebagian dari kita, sadar atau tidak, kadang menginginkan kenangan indah terulang. Setidaknya bisa mengulangi rasa bahagia dengan orang ya sama. Tapi apa jadinya jika orang tersebut sudah tiada?

Kalimat di atas adalah kalimat yang dituliskan pada lagu "Kemarin" di Official Music Video yang diunggah di Youtube 2 tahun yang lalu.
Single lagu "Kemarin" merupakan kisah nyata yang kembali menjadi nyata. Lagu ini nyata menggambarkan betapa sang penyanyi kehilangan orang-orang yang dicintainya sekaligus. 
Semua orang pasti akan merasakan sakitnya kehilangan, hanya waktu dan caranya yang berbeda-beda. Seperti bagaimana Ifan Seventeen begitu tegar menghadapi cobaan yang menimpanya. Walau tidak bisa disembunyikan bahwa luka dihatinya begitu dalam.

Ifan juga menyatakan "Pamit" kepada seluruh teman-teman dan pihak-pihak yang bekerja sama dengan Seventeen.

Ada satu kalimat dari Ifan yang membuat hatiku begitu terenyuh. "Sahabat Sepanggung Sehidup Semati"- Seventeen.

Semoga kejadian ini tidak membuat Ifan berhenti berkarya. Ada begitu banyak orang yang mendoakan Ifan agar tetap tabah. Juga mendoakan almarhum dan almarumah yang lebih disayang oleh Allah untuk kembali ke sisi-Nya.





Film Batman : Gotham by Gaslight

Thriller:


Nonton Film Full Online, klik link di bawah ini:

Batman : Gotham by Gaslight

In an alternative Victorian Age Gotham City, Batman begins his war on crime while he investigates a new series of murders by Jack the Ripper.
Tagline:As the Ripper stalks Gotham City, the Dark Knight reveals the face of terror.
Pemain:
Direksi:
Negara:
Rilis:12 Jan 2018
Bahasa:English
Anggaran:$ 10.000.000,00

Sumber : indoxx1.org


Wednesday, December 26, 2018

Nostalgia Masa SMA

pixabay.com



Hari ini, aku bertemu dengan salah satu kawan sekolahku di salah satu Kafe. Di mana secara kebetulan kami selalu sekelas semenjak SMP hingga SMA. Saat ini ia bekerja di Jakarta. Aku tidak tahu tepatnya apa, yang jelas dia lulusan Teknik Sipil dan masih ada hubungannya dengan pembangunan gedung. Dan sekarang dia sedang cuti, hingga menyempatkan waktu untuk menemuiku.
“Kamu nggak bosan sekelas mulu sama Puguh?” celetuk salah seorang teman kala itu.
Aku tidak merasa bosan. Sebab aku dan Puguh tidak terlalu dekat juga tidak terlalu jauh. Buatku, dia hanya sekedar pematik semangat belajarku. Sebab puguh memiliki kecerdasan yang lebih dibanding dengan murid lain. Dan dia selalu menjadi sainganku. Aku dan dia selalu berebut peringkat satu. Jika aku peringkat satu, sudah pasti dia yang peringkat dua. Begitu juga sebaliknya.
Aku tidak ingin bercerita tentang puguh. Sebab tak ada yang menarik darinya. Lebih menarik diriku, walau terkesan memaksakan diri. Aku ingin bercerita tentang bagaimana kesanku masuk SMA bersama Puguh. Nah loh? Kok Puguh lagi sih? Ya, sebab dia teman sekelasku sejak kelas 1 SMP. Jadi, mau tak mau aku memang harus menyeret dia ke dalam cerita masa SMA-ku.
“Rin, kamu ingat nggak waktu pertama kali masuk SMA. Kamu terkenal karena bisa mendapat predikat sebagai siswa MOS terbaik.” Puguh menundukkan kepala sambil terkikik geli.
“Apa!? Itu memalukan!” Aku menyeringai. Ia senang sekali mengejekku dengan predikat siswa MOS terbaik.
“Tapi, beneran kan!?”
“Iya. Tapi itu memalukan. Semua orang melihatku menangis di sepanjang koridor.”
“Itu artinya Kakak Osis berhasil mengerjaimu. Dan kamu beruntung berdiri di depan podium dengan penghargaan kalung bawang. Bersama Kakak Kelas yang kamu idolakan itu.” Lagi-lagi Puguh tertawa kecil di sela pembicaraan kami.
Aku memonyongkan bibirku. Wajahku memerah karena tersipu. Mengingat kakak kelas idolaku. Kakak kelas yang mendapat penghargaan sebagai Kakak Osis terbaik, hasil polling dari seluruh siswa peserta MOS.
Ya, aku mulai mengidolakannya sejak itu. Terlebih lagi dia punya sederet prestasi yang membuat mataku selalu memunculkan simbol love love setiap kali melihatnya. Ia tak hanya pintar secara akademik. Namun ia juga punya sederet prestasi lainnya. Seperti saat ia menjadi Kapten Paskibraka dan berhasil meraih juara 1 tingkat Provinsi. Itu sangat membanggakan. Bukan hanya itu, dia juga aktif dalam seni musik Tingkilan yang juga berhasil menyabet Juara 1 kompetisi Tingkilan antar sekolah se-Kalimantan Timur.
Dia juga vokalis Band Metal yang lihai bermain gitar juga Drum. Apa sih alat musik yang dia tidak bisa? Aku lihat dia bisa memainkan semuanya dengan baik. Terlebih lagi ketika dia beraksi mengeluarkan suara Scream-nya yang khas. Itu keren banget buatku! Sebagian wanita tidak suka dengan Band Metal terlebih lagi saat vokalis mengeluarkan suara Scream-nya. Aku justru sangat terpesona. Itu laki banget!
“Woi...! Malah ngelamun. Pulang yuk udah malam!” Puguh membuyarkan lamunanku tentang kenangan masa SMA.
“Eh... Oh... Iya!” Aku meraih tas yang kuletakkan di kursi sebelahku.
“Mau ku antar?” Puguh menatapku menggoda.
“Ke sini bawa motor sendiri-sendiri. Camana mau ngantarkan? Hadeuuuh...!” Aku memutar bola mataku.
Puguh tertawa lepas. Kami kembali ke rumah masing-masing.

Juna's Don Juan

pixabay.com



Aku menyandarkan kepalaku pada bingkai jendela yang basah. Menatap rintik hujan yang menyapu setiap jejak masa lalu. Aku suka hujan. Sebab ia datang untuk menyapu jejak kesedihan. Namun, ia tak mampu menghapus bayangan. Bayangan dua orang yang entah sedang apa di luar sana.
Sebelum turun hujan, aku melihat Juna menjemput Mbak Daya. Aku tak banyak bertanya mereka akan ke mana. Mungkin menghabiskan waktu duduk berdua di Kafe atau sekedar makan di pinggir jalan. Aku rasa, kantong Juna yang masih anak sekolah tak cukup tebal untuk membawa Mbak Daya ke tempat-tempat mewah. Atau justru Mbak Daya yang merelakan uangnya melayang untuk mengisi perut Juna? Ah, entahlah. Aku tidak bisa terus mener-nerka.
Aku dan Juna satu kelas. Namun, tak pernah saling sapa. Sejak kepindahannya dari sekolah lama, ia telah banyak mencuri perhatian banyak gadis. Ia tak malu merayu banyak gadis dan sering membuatnya tersipu, bahkan betah berlama-lama menyandar di pundaknya. Tak perlu mendapat gelar pacar untuk bisa bergelayut manja di tubuhnya. Aku sering melihat beberapa cewek datang ke kelas saat jam istirahat hanya untuk mendekati Juna. Entah apa yang ia buat hingga cewek-cewek di sekolah menggilai kehadirannya.
Juna tak sungkan menggoda Mbak Daya, guru cantik di sekolah yang juga kakak kandungku. Tak banyak yang tahu jika Mbak Daya adalah kakakku, termasuk Juna yang sering datang ke rumah dan mengajak Mbak Daya pergi ke luar. Aku tahu, Mbak Daya tidak akan serius menanggapi Juna. Itu sekarang, tidak tahu besok jika hatinya berubah karena rayuan Juna.
Aku tidak menyalahkan Juna sebagai cowok Don Juan atau Casanova, sebab itu adalah pilihan hidupnya dan mungkin satu hal yang membuatnya bahagia. Juga tidak menyalahkan Mbak Daya jika suatu hari ia benar-benar jatuh cinta, sebab dia juga wanita biasa yang mudah tergoda. Sebab, semua kapal pasti akan berlabuh. Jika tidak, pastilah ia karam di tengah lautan.
Aku melipat buku yang sedari tadi aku pegang. Memeluknya sambil menatap rintik hujan yang mulai enggan menyapa pijakan kaki. Ada nama Juna di halaman pertama buku ini. Ya, ini memang buku Juna. Bagaimana bisa aku mendapatkannya atau bagaimana buku ini bisa di tanganku? Sudah pasti bukan sebuah hadiah darinya. Ia memberikannya begitu saja saat memintaku membantunya mengerjakan tugas. Dan tidak pernah lagi menanyakan buku miliknya. Dia terlalu sibuk dengan wanita-wanitanya.
“Eh! Hai...!” Aku mengangkat Ibon yang tiba-tiba bergelayut manja di kakiku. Kucing persia kesayanganku, dengan pita merah menghiasi lehernya. Aku ajak dia menikmati gerimis yang hampir hilang. Aku tahu, Ibon tidak suka hujan. Ia lebih memilih bergelayut manja mencari kehangatan. Aku meletakkannya di atas kasur.
Lamat-lamat aku dengar suara motor berhenti di depan rumahku. Aku melirik jam dinding, jam setengah sebelas malam. Selama inikah aku menghabiskan waktuku untuk melamun tentang Juna? Sejak mereka pergi hingga pulang kembali, aku menghabiskan waktuku untuk memikirkan pria yang sedang menebar cinta ke mana-mana.
“Dek, tolong bukain pintu! Mbak lupa nggak bawa kunci.” Teriakan Mbak Daya terdengar jelas di telingaku.
Aku bergegas menuju pintu, membuka perlahan.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam,” jawabku.
“Ayo masuk Jun! Tolong bikinkan teh hangat untuk Jun!” Mbak Daya menatapku, sedangkan Juna berdiri tepat di belakangnya.
“Apa ini ajakan untuk menginap?” goda Juna sembari menatapku tanpa berkedip, bahkan ia lupa mengatupkan kedua bibirnya.
Aku bergegas ke dapur.
“Mbak Daya nggak pernah bilang kalau punya adik yang cantik dan manis.” Aku mendengar suara Jun dari balik dapur.
“Untuk apa? Supaya kamu bisa menggodanya?” Mbak Daya mendengus sebal.
Juna terkekeh. “Siapa tahu dia jodohku.”
“Semua perempuan kamu bilang begitu.”
Aku keluar dan meletakkan dua cangkir teh di atas meja dengan bersimpuh di lantai.
“Hai, aku boleh—”
“Cepat minum dan cepat pulang!” sergah Mbak Daya.
Aku bergegas masuk ke kamar. Aku dengar tawa renyah dari mulut Juna. Ternyata, Juna tak mengenali penampilanku di rumah. Kemungkinan dia memang tak begitu memperhatikanku. Sebab aku bukan cewek modis seperti yang lain. Aku hanya menghabiskan waktuku bersama buku. Kacamata menghiasi mataku yang minus setengah. Rambutku kuikat sekenanya saja.
“Kamu sungguh tidak mengenali dia?” Suara Mbak Daya terdengar jelas dari kamar, sebab pintu kamar tidak kututup rapat.
Jun menggelengkan kepalanya.
“Karina, teman sekelasmu. Bahkan kamu sering belajar kelompok dengannya kan?” ungkap Mbak Daya. Duh, kenapa Mbak Daya mengungkapkan siapa aku di depan Juna? Sudah sedekat itukah mereka?
“Astaga! Pantes wajahnya familiar. Tapi aku lupa. Beda banget sama di sekolah. Di sekolah cupu banget! Tiap hari pacaran sama buku. Aku nggak berani ngajak ngobrol. Bahkan memperhatikan wajahnya aja aku nggak pernah Mbak.” Jun terlihat membalikkan tubuhnya dari sofa, menatap pintu kamarku. Kupastikan ia tak kan bisa melihatku di balik pintu.
“Sudah, jangan banyak bicara lagi! Cepat habiskan tehmu dan cepat pulang!”

***
“Ternyata kamu di sini. Aku udah cari kamu ke semua ruangan di sekolah ini. Akhirnya, aku bisa juga menemukan tempat persembunyianmu.” Juna tiba-tiba duduk di sebelahku tanpa permisi. Bagaimana bisa Don Juan seperti dia masuk ke perpustakaan sekolah?
“Kamu suka mojok ya?” Juna menatapku yang memang sedang duduk di lantai di sudut ruang perpustakaan.
Aku bergeming, melanjutkan membaca buku Ensiklopedia tentang perkembangbiakan makhluk hidup.
“Kamu suka baca kayak gini? Pengen berkembangbiak juga ya? Aku siap kok.” Juna mendekatkan wajahnya.
Aku terkejut bukan kepalang. Jantungku berdebar tak karuan sebab tingkahnya yang sangat menggelikan.
PLAK!
“Kehabisan wanita buat kamu goda? Hah!?” Aku menyeringai, merasa puas bisa menampar seorang Don Juan sekolahan.
“Kamu jahat banget sih!?” Juna memegangi pipinya, meringis menahan sakit.
“Lebih jahat kamu yang membiarkan hati banyak wanita ketar-ketir karena ulahmu. Kamu pikir mereka boneka-bonekamu? Dan satu lagi, jangan pernah dekati Kakakku lagi, atau—”
“Atau apa?!” Juna mendongakkan kepalanya menatapku yang berdiri di depannya.
BUK!!
Buku Ensiklopedia super tebal mendarat tepat di kepalanya.
“Sialan! Minta dicium memang kamu ya! Kakaknya cantik, kalem, baik. Adiknya freak!” Juna bangkit dari duduknya dan berdiri menatapku penuh kekesalan.
Aku balik menatapnya dengan sengit. “Apa kamu bilang?”
“Freak!” sentak Juna mendekatkan wajahnya ke wajahku.
Aku menginjak kakinya sekuat tenaga, mengangkat lutut kananku tepat mengenai alat vitalnya.
“Aaaauuuu....!” teriakan Juna menggema ke seluruh ruangan sembari memegangi alat vitalnya, terduduk menahan sakit.
Aku segera berlari sebelum ia membalas perbuatanku.
“Awas ya! Kalau sampai aku mandul, kamu harus tanggung jawab!” teriakan Juna masih bisa kudengar dari pintu keluar.
Aku bergegas menaiki tangga kecil di sisi bangunan perpustakaan. Aku berdiri di atas balkon berukuran 3x3 meter. Tidak banyak yang tahu tempat ini, tempat biasa aku menyendiri. Dan kini akan jadi tempatku bersembunyi dari kejaran pria seperti Juna.
“Gila ya itu cewek cepet banget ngilangnya!” Kulihat Juna berlari mengejarku. Celingukan ke sana kemari sementara ia tak akan bisa melihatku. Siapa murid yang tahu di ujung bangunan sekolah yang hanya berisi rak-rak buku, ada balkon yang asyik untuk melihat aktivitas anak-anak sekolah.
Juna terus berjalan menuju ke ruang kelas. Aku yakin, dia pasti mencariku ke kelas. Terlihat bertanya pada beberapa murid lain yang menggelengkan kepalanya.
Aku kembali ke kelas setelah lima menit bel berbunyi, kupastikan guru sudah masuk ke kelas terlebih dahulu sebelum Juna menghujaniku dengan tingkahnya yang menggelikan.
Tiba-tiba Juna sudah duduk manis di kursi sebelahku saat aku masuk. Tersenyum begitu manis. Senyum yang mengandung banyak makna. Jelas ada maksud tertentu di balik senyuman itu. Senyuman yang sengaja dibuat-buat untuk menyembunyikan niat jahatnya.
Selama jam pelajaran, semua baik-baik saja. Aku belajar seperti biasa. Namun, saat jam pelajaran usai dan semua murid meningalkan ruang kelas. Ada hal tak terduga yang terjadi. Juna tiba-tiba menahanku untuk bangkit dari kursi. Bahkan menarik kursiku merapat di kursi duduknya. Membentangkan satu kakinya di atas pahaku.
“Kamu apa-apaan sih!?” Aku menyingkirkan kaki Juna dengan kasar. Membiarkannya mengaduh sebab kakinya terhantup meja.
“Aku suka cewek kasar sepertimu.” Juna menatapku penuh nafsu.
“Semua cewek kamu suka Jun. Kambing cewek aja kamu sukain!” celetukku, secepatnya bangkit untuk meninggalkan Juna.
Gerakan tangan Juna lebih cepat dari gerakanku. Ia kembali menahanku.
“Aku teriak nih!”
“Nggak papa. Teriak aja! Biar semua sekolah tahu kalau kamu sedang tergila-gila denganku.” Jun tersenyum.
“Apa!? Aku nggak pernah tergila-gila denganmu dan tidak akan pernah!” Aku menyeringai tepat di depan hidungnya.
Juna justru mencondongkan tubuhnya dan beraksi ingin menciumku, secepatnya aku menghindarinya.
PLAK!
Tamparan Kedua.
“Dasar Omes! Piktor!” Aku segera bergegas pergi saat ia tertegun sambil memegangi pipinya yang masih panas. Tangannya tak lagi bisa bergerak cepat menahan kepergianku.
Aku berlari secepatnya sebab ia berusaha mengejarku hingga ke parkiran sekolah. Aku tahu, Juna pasti bisa mengejarku dengan sepeda motornya bila aku naik angkot.
“Angkot... Please! Jangan lama datangnya!” batinku sambil berlari keluar dari gerbang sekolah.
Tak lama angkot berhenti dan aku segera menaikinya. Tepat saat motor Juna berjarak lima meter. Hal ini membuat Juna terus mengikuti angkotku. Duh, kenapa jadi begini sih? Apa semua perempuan yang tergila-gila dengannya itu dikejar-kejar dahulu seperti ini? Bagaimana para cewek sekolah tidak tergila-gila jika melihat perjuangan Juna dalam mengejar cewek seperti ini?
“Aku nggak akan berhenti mengejarmu sampai kamu bilang cinta sama aku!” Juna masih duduk di atas motor. Menatapku yang sedang membuka pintu rumah.
“Nggak akan pernah!” Aku segera masuk rumah. Membanting pintu keras-keras. “Dasar cowok gila!” makiku.
“Kenapa pulang sekolah kok marah-marah? Ada siapa di luar?” tanya Mbak Daya yang melihat wajahku terlipat tujuh.
“Cowok gila!” Aku bergegas masuk kamar.
Mbak Daya keluar menemui Juna. Mereka malah asyik mengobrol di teras rumah. Sementara hatiku masih sangat dongkol dengan tingkah Juna hari ini.


Hantu di Langit Kamarku


Hantu di Langit Kamarku
pixabay.com


Aku merebahkan tubuhku di atas kasur. Menatap langit-langit kamar. Mataku masih sembab.
Sesekali bayangan semu bergelayut di langit-langit kamarku.
Kadang ia tertawa, kadang ia menangis, kadang ia merintih.
Senyum dan tawa itu, sungguh menyayat hati. Terlebih lagi senyum itu bukan lagi milikku.
Sesekali ia menangis, memohon maaf atas kesalahannya.

Aku menatapnya, sesekali bayangan itu hilang lalu muncul kembali.
Dia pernah mengajakku bercanda. Kami tertawa, menari bersama.
Dia pernah mengajakku bermimpi, membangun istana indah di negeri sendiri.

Namun, tiba-tiba dia hanya menjadi bayangan yang terus menghantuiku.
Bergelayut manja di pelupuk mata dan langit kamarku.
Sungguh, aku ingin menghancurkannya. Menghilangkan dia dari hari-hariku...
Dia terlalu semu untuk aku sentuh.

Andai waktu bisa kuputar kembali, aku memilih untuk tidak pernah mengenalnya.
Dia itu seperti hantu yang datang tiba-tiba mengetuk pintu hatiku, hanya untuk menyayat dinding-dinding hati ini. Kemudian pergi begitu saja tanpa kata.
Bagiku, kini dia hanyalah hantu.
Yang selalu bergelayut di langit-langit kamarku.
Tanpa tahu bagaimana mengusirnya.
Dia selalu mengganggu tidurku, selalu mengusik hatiku.
Sebab aku masih cinta.
Dan kini ia mencintai dia...

Mantan, kamu adalah hantu paling menakutkan dalam hidupku.
Masih lebih baik aku bercengkerama dengan kuntilanak yang selalu tertawa.
Atau bersahabat dengan tuyul yang bisa mencarikan aku banyak uang.
Kamu itu seperti genderuwo, lebih menyeramkan dari itu...

Aku mohon, pergilah bayang-bayang masa laluku...!
Terlalu perih...
Terlalu sakit untuk menatapmu.
Menatap cerita kita yang indah kemudian pecah berkeping-keping.
Melukai hati yang hanya bisa merintih...
Tak mampu membuatmu kembali. Hanya bisa menangis melihatmu bahagia bersama si dia.

Antara Surabaya-Balikpapan

Sumber Ilustrasi : Kumparan.com


“Rin, tolong ya!” Pak Bayu memakai rompi kerjanya. Menyempatkan diri untuk masuk ke ruanganku sejenak sebelum berangkat tugas ke area pengeboran lepas pantai.
“Beres Pak!” Aku masih sibuk dengan laporanku, namun aku sempatkan untuk bisa mendengar dengan baik setiap kalimat yang keluar dari mulut Pak Bayu.
Tak lama kemudian, Pak Bayu bergegas menuju Helipad. Aku bisa melihatnya dari jendela ruanganku di lantai lima. Aku adalah Assistant Chief Clerk yang mengurusi Administrasi. Aku memang dekat dengan beberapa rekan, sebab sifatku yang memang senang berceloteh dan bersosialisai.
Hari ini, Pak Bayu pasti menjalankan tugas dengan gelisah. Sebab, menurut perkiraan dokter istrinya akan melahirkan. Dia belum mendapat jatah cuti, terlebih lagi pekerjaan memang sedang padat-padatnya.
Bu Ana, istri Pak bayu usianya dua tahun lebih tua dari usiaku. Dan sedang menanti kelahiran anak pertama mereka. Aku cukup dekat dengan Bu Ana. Sebab sebelum mereka menikah, Bu Ana sering berkunjung ke Balikpapan. Namun semenjak berbadan dua, ia lebih memilih untuk menetap di Surabaya, di kediaman orang tuanya.
Pak Bayu juga asli orang Surabaya. Di Balikpapan hanya melaksanakan tugas kerja. Dan sudah pasti demi anak istri. Di lokasi pengeboran lepas pantai, masih sangat susah sinyal. Hingga besar kemungkinan Pak Bayu akan mendapat kabar terlambat, atau bahkan tidak mendapatkan kabar sama sekali. Sejak keberangkatannya ke lokasi pagi hari, ia sudah terlihat gelisah.
Aku menatap ke luar jendela. Menghela napas perlahan. Menatap Awan yang bergelayut di atas lautan. Dari ruangan ini, aku bisa leluasa memandang pantai Balikpapan. Ombak-ombak kecil terkadang senada dengan bentuk awan di atasnya. Aku sedikit terenyuh dengan kisah Pak Bayu, sebenarnya bukan hanya dia saja. Tapi, beberapa karyawan juga mengalami hal ini. Bedanya, Pak Bayu adalah supervisor yang punya hak lebih dari karyawan lainnya.
Hari mulai petang, belum ada tanda-tanda Bu Ana menghubungiku. Aku mondar-mandir di teras kantor. Gelisah. Duh, aku saja segelisah ini. Bagaimana dengan Pak Bayu yang menanti di lepas pantai sana?
Akhirnya, kuputuskan untuk menelepon Bu Ana terlebih dahulu. Beberapa kali aku hubungi, tidak diangkat.
“Assalamu’alaikum...!” Suara asing dari seberang sana menjawab telponku.
“Wa’alaikumussalam. Bu Ana ada? Saya teman kantor Bapak. Mau menanyakan kabar Bu Ana, soalnya Bapak lagi ke area lepas pantai—”
“Pantas saja sulit Ibu hubungi. Tolong sampaikan pada Bayu, Ana mau melahirkan. Ini sedang di ruang persalinan di Rumah Sakit.” Sudah jelas yang menelepon adalah orang tua Bu Ana.
“Oke Bu. Saya langsung ke area pengeboran temui Bapak.” Aku menutup telepon tanpa basa-basi lagi. Sudah saking paniknya. Aku berkali-kali berlari masuk ke ruangan untuk mengambil barang yang selalu saja tertinggal.
Aku berlari menuju Helipad. Mencari Operator Helikopter yang biasa membawa kami menuju ke area pengeboran lepas pantai. Namun, aku tak mendapatinya sebab hari sudah petang dan aku tidak mengajukan permintaan untuk berjaga-jaga hingga petang. Kemungkinan Shift berikutnya bisa terlambat datang.
Aku kembali ke kantor. Meminta kunci salah satu SpeedBoat pada Security. Aku tak punya banyak waktu jika harus menelpon operator Heli dan menunggunya. Lebih baik aku bawa SpeedBoat seorang diri. Itu lebih baik dan lebih cepat. Sebab aku wanita, dua orang karyawan pria bergegas menyusulku dengan membawa satu SpeedBoat lainnya. Semua tahu kepanikanku.
Aku segera menjemput Pak Bayu. Membawanya ke Bandara agar secepatnya terbang ke Surabaya. Tak peduli ia masih mengenakan seragam kerja. Dia jauh lebih panik dariku, jauh lebih khawatir.



Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas