Sasint |
Enam tahun lalu aku bertandang ke salah satu
rumah temanku. Dia jauh lebih dewasa dibanding denganku. Usianya terpaut 8
tahun lebih tua dariku.
“Lagi apa Kak?” Aku memperhatikan Kak Dini
yang sibuk menata pot-pot bunga di halaman rumahnya.
“Lagi pengen ganti suasana aja.” Kak Dini
masih sibuk memindahkan pot satu per satu.
“Din, hati-hati angkatin potnya!” teriak Abah
dari sisi rumah.
“Iya, Bah.” Kak Dini tersenyum menatap Abah.
Aku bergegas membantu Kak Dini.
“Ini taruh mana, Kak?” tanyaku sembari mengangkat
pot berisi tanaman bunga mawar merah.
“Di pojok sana aja!” Abah menunjuk ke pojok
halaman.
“Abah... itu kan bunga mawar. Masa ditaruh di
pojokan?” Kak Dini memprotes keinginan Abah.
“Itu banyak durinya. Nanti kalau cucu-cucu
Abah main, bahaya!” sahut Abah.
Kak Dini merengut. “Ini kan bunganya bagus.
Abah tega banget sih ditaruh di pojokan!”
“Itu bahaya buat anak kecil. Kamu ini dikasih
tahu malah ngelawan abah!” sentak Abah.
Kak Dini terdiam. Mengikuti semua keinginan
dan perintah Abah tanpa protes lagi.
“Sabar ya Kak. Aku ngerawat orang tua juga
suka kayak gitu kok.” Aku mengelus pundak Kak Dini.
“Iya. Aku sabar kok. Orang tua memang selalu
seperti itu. Sedewasa apapun kita, dia akan tetap menganggap kita sebagai anak
kecilnya.”
Kata-kata Kak Dini terus terngiang di
telingaku hingga sekarang.
Memang benar. Orang tua akan selalu menganggap
anaknya seperti anak kecil. Apapun yang akan kita kerjakan, tak pernah lepas
dari komentarnya. Seperti saat kita sedang belajar berjalan, orang tua akan
selalu khawatir dan selalu berkata “Hati-hati”. Saat kita belajar mengendarai
sepeda, orang tua akan selalu mengingatkan untuk berhati-hati. Dan masih ada
banyak aktivitas kita yang tak lepas dari orang tua.
Kadang kita merasa kesal saat sudah dewasa
tapi orang tua selalu saja cerewet dengan hal-hal sepele. Seperti saat kita
jalan sama teman-teman, suara orang tua yang paling lantang memberikan
rambu-rambu.
Bahkan saat kita sedang belajar masak saja,
orang tua akan memberikan komentar bagaimana cara merebus air yang benar.
Padahal sudah kita lakukan setiap hari. Itulah naluri orang tua yang masih
terus menunjukkan kasih sayang seperti saat kita masih kecil. Ia tak pernah
menganggap kita benar-benar dewasa.
Rasa kesal itu hilang dengan sendirinya saat
aku sudah menjadi orang tua muda. Aku banyak belajar dari anakku. Dia lah
sumber cinta dan kebahagiaan kami.
Aku sangat menyayanginya. Ingin memeluknya
setiap detik, ingin menciuminya setiap saat. Tak ada niat sedikitpun untuk
jauh-jauh darinya. Entah perasaan apa? Mungkin itulah yang dinamakan buah hati.
Begitu lekat di dalam hati, setiap nafas-nafas yang terhembus dari dirinya.
Aku selalu membayangkan dua puluh tahun ke
depan. Apakah anakku masih mau aku ciumi? Apakah dia masih mau aku dekap
seperti ini? Bisa jadi akan ada seseorang yang menggantikan posisi orang tua
saat anak sudah dewasa. Seseorang yang akan merebut cinta kasih dan
perhatiannya. Bukan lagi orang tua yang ingin ia dekap. Tapi seseorang yang
akan menghabiskan sisa hidup bersamanya.
Aku akan merindukan masa kecil anakku. Masa di
mana dia selalu memeluk kami saat dia ketakutan. Masa di mana dia selalu
memanggil nama kali saat dia butuh kawan bermain. Masa di mana dia selalu
memanggil kami saat dia lapar. Masa di mana dia selalu merengek saat dia
menginginkan sesuatu. Kami dengan senang hati menyuguhkan bergelas-gelas cinta
dan kasih untuknya.
Pesan untuk anak-anakku kelak...
Nak...
sedewasa apapun dirimu, kami tetap menganggapmu anak kecil yang selalu ingin
kami timang-timang.
Nak...
sedewasa apapun dirimu, kami akan tetap menganggapmu anak kecil yang selalu
ingin kami manja.
Nak...
sedewasa apapun dirimu, naluri kami tetaplah menyayangimu sebagai malaikat
kecil kami.
Nak...
sedewasa apapun dirimu, jangan pernah memaki kami dengan kata-kata yang menyakitkan
kami.
Nak...
sedewasa apapun dirimu, jangan pernah membenci kami hanya karena kami cerewet.
Nak...
sedewasa apapun dirimu, jangan pernah melangkahi kepala kami sekalipun kami
adalah orang tua yang bodoh.
Nak...
sedewasa apapun dirimu, jangan pernah membusungkan dada di hadapan kami yang
hanya bisa membungkuk di hadapanmu.
Nak...
sedewasa apapun dirimu, jangan pernah lupa jika yang membuatmu hidup adalah dua
mata air, yakni air mata ibu dan air susu ibu.
Ditulis oleh Rin Muna
East Borneo, 22 Juni 2018