Wednesday, October 18, 2023

Cerpen "I am Jessica" karya Vella Nine

 




“JESS, YOU ARE KILLER!”

“JESSICA KILL NIRMA!”

“JESSICA IS A KILLER. SHE KILL HER BESTFRIEND CRUELLY!”

 

Teriakan ratusan orang itu masih terus terngiang-ngiang di telinga Jessica. Sudah berlalu begitu lama sejak ia mendapatkan tuduhan sebagai pembunuh dari sahabatnya sendiri. Ia harus menjalani sidang yang menyakitkan selama berbulan-bulan. Ia harus mendekam di dalam penjara selama berbulan-bulan hingga hakim menjatuhkan vonis 20 tahun penjara kepadanya.

Lima tahun lalu, Jessica yang tinggal dan bekerja di Ausie, memilih pulang ke Indonesia untuk menikmati libur tahun Baru bersama keluarganya. Sudah cukup lama ia tak pulang ke Indonesia. Biasanya, ia menjalani liburan bersama sang kekasih. Tapi sayang, hubungannya dengan sang kekasih kandas begitu saja karena pria itu telah berselingkuh dengan wanita lain. Pikirannya kacau, pekerjaannya menjadi tidak baik-baik saja. Ia sudah tak tahan dengan sikap sang pacar yang tidak ingin ia tinggalkan, tapi juga tak ingin meninggalkan wanita-wanita simpanannya.

Dalam waktu liburan yang begitu singkat, Jessica menghabiskan waktu bersama keluarga. Sesekali ia bertemu dengan teman-temannya yang ada di Indonesia untuk sekedar melepas kerinduan.

Hari di mana ia bertemu dengan sahabatnya adalah hari tersial dalam hidupnya. Nirma mengajaknya bertemu di salah satu kafe yang ada di pusat kota Jakarta. Semuanya berjalan normal seperti biasa. Tak ada firasat buruk apa pun yang akan terjadi pada hari itu.

Sampai akhirnya ... Nirma meninggal dunia setelah meminum ice coffee yang dipesankan Jessica terlebih dahulu. Jessica tidak berpikiran apa pun. Ia hanya ingin memesankan minuman lebih dulu, agar ia bisa gantian mentraktir sahabatnya itu.

Sore di kafe itu berubah menjadi malapetaka bagi Jessica. Ia sangat kebingungan dan tidak tahu harus berbuat apa karena sebelumnya tidak pernah ada dalam situasi seperti itu.

Jessica sangat sedih karena harus kehilangan sahabat baiknya, tepat di depan matanya sendiri. Belum sempat ia menghabiskan air matanya, tiba-tiba ia dituduh sebagai satu-satunya orang yang membunuh Nirma.

Sungguh, begitu hancur seluruh hari dan jiwa Jessica. Darah di seluruh tubuhnya seolah berhenti begitu saja. Air mata yang harusnya mengalir deras untuk menunjukkan kesedihannya, justru terbendung oleh rasa sakit yang tak terkira.

Tubuh mungil Jessica seolah sedang disambar petir ribuan volt ketika semua orang berteriak bahwa ia adalah seorang pembunuh.

Kenapa semua orang menganggapku sebagai pembunuh? Haruskah aku mengakui kesalahan yang tidak pernah aku lakukan? Sungguh, aku sangat takut menghadapi dunia. Teriakan mereka sungguh sangat menyakitkan. Membuatku tak ingin hidup, membuatku tak sanggup bicara, membunuh mentalku hingga aku hidup seperti mayat.

Jika bukan karena mama, wanita yang telah melahirkanku, aku tidak akan setegar ini menghadapinya. Aku ingin buktikan kepada wanita yang telah melahirkanku, bahwa aku bukanlah seorang pembunuh. Tapi semua ahli berpendapat bahwa aku bersalah dan terbukti menaruh racun di kopi Nirma. Aku tidak tahu, dari mana datangnya racun itu. Dan kenapa harus Nirma? Kenapa semua orang tiba-tiba menuduhku. Sekeras apa pun aku berusaha membela diri, mereka tetap menganggapku sebagai seorang pembunuh.

Jika aku memang seorang pembunuh, bukankah terlalu bodoh jika aku membunuh sahabatku sendiri di tengah keramaian? Bukankah hal itu bisa aku lakukan saat kami hanya satu mobil berdua? Toh, hukumannya akan tetap sama jika aku membunuhnya dan dituduh sebagai pembunuhnya? Lalu, kenapa orang-orang itu begitu jahat memperlakukanku. Sungguh, aku tidak tahu apa pun. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Aku tidak tahu kenapa Nirma mati.

Jessica kini hanya bisa menjalani hari-harinya di dalam ruang yang sepi. Hanya bercengkerama dengan dinding yang usang. Sesekali kecoa mengajaknya bercanda. Sesekali para semut menggelitiki tubuhnya. Sesekali dinginnya angin menyapa.

Jessica rindu dengan sinar mentari. Ia rindu dengan udara bebas. Ia rindu dengan teman-teman dan keluarganya. Tapi ia tidak bisa apa-apa. Vonis 20 tahun penjara, telah merenggut seluruh kebebasan masa mudanya. Ia masih harus menunggu lima belas tahun lagi untuk bebas dari tahanan.

Lima belas tahun lagi, waktu yang masih sangat lama. Jika ia tidak dipenjara dan sudah menikah, mungkin ia sudah bisa bercengkerama dengan anak-anaknya yang sudah beranjak remaja. Sayangnya, semua impiannya itu direnggut begitu saja oleh orang-orang yang ia juga tidak tahu siapa.

“Jessica, mengakulah jika kamu yang membunuh Nirma dan kamu akan mendapatkan kebebasan!”

Jessica menggelengkan kepala. Kalimat itu terus terngiang-ngiang di kepalanya. Sudah puluhan bahkan ratusan kali ia dengar kalimat itu. Tapi ia tak pernah mau melakukannya. Ia tidak pernah membunuh Nirma. Ia tidak akan pernah mengakui kesalahan yang tidak pernah ia lakukan.

Jessica sangat takut menghadapi dunia luar. Ia tidak ingin dianggap sebagai pembunuh dan dikucilkan dunia. Bukankah menyandang kata “pembunuh” sama saja sedang hidup dalam penjara sosial?

Biarlah aku tinggal di penjara selama 20 tahun asalkan aku tidak selalu dianggap sebagai pembunuh Nirma. Biarlah aku dipenjara selamanya, karena aku sudah terlalu takut menghadapi kejamnya dunia di luar sana.”

Jessica tak akan sanggup mengakui dirinya sebagai pembunuh Nirma. Sungguh, pembunuh yang sesungguhnya adalah Tuhan. Dialah yang mencabut nyawa semua orang. Tapi tak ada yang satu pun yang berani menghakiminya. Bahkan berlutut bersujud kepada-Nya. Lalu, kenapa semua orang harus menghakimi Jessica? Bukankah Nirma tidak akan meninggal jika Tuhan tidak berkendak, sekalipun ia menenggak sebotol racun? Bukankah semua orang bisa meninggal meski sedang tidur sekalipun, jika Tuhan telah berkehendak?

Nir, aku tahu kamu pasti mendengar tangisku selama 2.500 hari sejak aku kehilangan kamu. Kamu yang paling tahu seperti apa kebenarannya. Aku mohon, bantulah aku! Tunjukkan jalan kebenaran dengan caramu! Aku hanya bisa mengharapkan keajaiban dari Tuhan dan seluruh makhluk ciptaan-Nya.

Jika aku boleh memilih, aku akan memilih untuk mati. Supaya aku bisa bercengkerama dengan Nirma seperti biasanya. Supaya aku bisa bercerita dengan Nirma tentang ketidakadilan di dunia ini. Supaya aku bisa bercanda dengan Nirma dan saling menertawakan betapa bodohnya manusia yang saling menghakimi.

Jessica tak pernah absen menitikan air matanya setiap malam. Tapi ia terus berusaha menguatkan dirinya sendiri. Karena ia tahu, tak ada satu pun orang yang bisa jadi sandaran. Tak ada orang yang akan menguatkan dirinya. Bahkan, ia masih harus menguatkan kedua orang tuanya dalam kelemahan yang ia miliki.

“I am Jessica, not a killer!”

 


________________________________


Cerita ini hanyalah fiktif belaka. 

Aku persembahkan untuk Jessica Kumala Wongso yang saat ini masih berada di dalam penjara. Semoga, Jessica fiksi karyaku bisa menjadi sahabat bercerita dan berbagi penderitaan tentang bagaimana rasanya diasingkan dunia atas kesalahan yang tidak pernah diperbuat.





 

 

 

 


0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas