Thursday, February 11, 2021

Cerpen | Tegar

 


Aku berjalan perlahan menyusuri tepi pantai. Ku nikmati semilir angin kecil yang meniup rambutku perlahan. Sambil mendengarkan lagu-lagu melow dari earphoneku.  Ku pandangi jauh sinar mentari di tengah lautan yang hampir meredup, bersembunyi ke peraduannya. Sesekali aku memainkan pasir-pasir yang kupijak dengan kakiku. Aku teringat akan masa laluku, saat aku kehilangan orang yang sangat aku cintai. Di pantai inilah tempat terakhir aku bertemu dengannya, sebelum ia pergi jauh meninggalkanku.

Tiga tahun lalu di  Pantai ini…

“Bee… jangan sedih!  Semua akan baik-baik saja,” ucap Raka yang selalu memanggilku dengan panggilan “Bee”.

“Tapi kamu pasti kembali lagi kan?” tanyaku tak dapat menahan air mata yang telah terbendung sejak beberapa menit yang lalu.

“Iya…  aku janji akan kembali lagi buat kamu. Kamu akan setia menungguku kan?” tanya Raka.

“Aku pasti setia menunggu kamu, tak perlu  kamu memintanya, aku pasti akan setia untukmu.” jawabku sambil bersandar di bahunya.

“Terima kasih Bee… aku harap cinta kita kan tetap abadi, dan kita bisa bertemu kembali.” tutur Raka perlahan.

“Aku tak berharap seperti itu, aku berharap kita  tak pernah  berpisah.” sahutku sambil menangis.

Raka memelukku erat, membiarkan aku menangis di pelukannya. Memberikan aku begitu banyak kekuatan untuk bertahan dengan kesetiaanku.  Dia berusaha memberikan aku kekuatan untuk dapat berpisah dalam jarak yang jauh, memberiku ketegaran saat menyaksikan kepergiannya di Bandara. Dia berikan aku keyakinan bahwa suatu saat dia pasti akan kembali untukku… Setahun berlalu…  semuanya berjalan baik-baik saja. Tapi tidak setelah kehidupanku berubah. Kedua orangtuaku meninggal karena kecelakaan. Aku harus pindah dari rumahku dan tinggal bersama nenekku. Selang beberapa bulan, aku kehilangan kontak dengan Raka karena handphoneku hilang saat aku di jalan. Hingga dua tahun lebih berlalu, aku tak pernah mendapatkan kabar tentang Raka. Aku bukan lagi gadis yang istimewa yang dikenal Raka. Aku tak punya apa-apa lagi  saat Bisnis ayahku mengalami kebangkrutan. Apalagi setelah beberapa bulan Ayahku bangkrut, beliau harus meninggal bersama dengan ibuku tercinta.

“Hai…”! teguran seseorang membuyarkan lamunanku tentang masa laluku.

Aku hanya tersenyum menanggapinya, karena aku tak mengenalnya.

“Kenapa melamun sendirian di sini?” tanya orang itu.

“Tidak apa-apa, hanya ingin menikmati semilir angin sore di sini.” sahutku.

  Oh…ya? Tapi sepertinya kamu tak menikmatinya?” sahut lelaki itu.

“Maksudnya?” tanyaku heran.

“Raut wajahmu menyimpan kedukaan, bisakah kamu berbagi denganku?” pinta lelaki itu.

Aku memandangi wajah lelaki itu dengan seksama, tapi aku tak mengenalnya.

“Maaf… aku harus pulang sekarang.” jawabku sambil meraih sandal yang sengaja ku letakkan di sampingku.

Lelaki itu hanya tersenyum menanggapinya.

Aku harus bergegas pergi karena nenekku sedang sakit, aku harus kembali ke rumah untuk merawatnya. Aku tidak bisa meninggalkannya terlalu lama.

“Nenek… sudah minum obat?” tanyaku pada nenek.

Nenek hanya mengangguk di atas pembaringannya. Aku memeriksanya dan memberikannya makan terlebih dahulu.

“Ya ampun,,, obat nenek habis.” celetukku dalam hati.

Aku harus bagaimana? Aku sudah tidak punya uang lagi untuk membeli obat, hutang di warung untuk makan sehari-hari pun belum bisa aku lunasi.

“Kamu tidak usah membelikan obat lagi untuk nenek ya!” pinta nenek yang menyadari keadaanku.

“Nggak Nek, nenek harus tetep minum obat, nenek harus sembuh.!” pintaku kembali.

“Nenek tahu, kamu pasti tidak punya uang  untuk membeli obat.” ucap nenek.

“Ada Nek.” jawabku berbohong.

“Kamu jangan berbohong pada nenek, nenek sudah tahu semuanya. Nenek sudah agak baikan, tidak perlu minum obat terus.” jawab nenek.

“Nenek jangan begitu, nenek harus tetap minum obat, nenek harus sembuh.!” pintaku.

“Nenek tidak apa-apa, lebih baik uangnya untuk melunasi hutang-hutangmu di warung Bu Riah.” sahut Nenek.

“Nenek tau darimana kalau…?” ucapanku terhenti.

“Tadi  Bu Riah ke sini menagih hutang. Kenapa kamu tidak bilang sama nenek kalau kamu sudah tidak bekerja lagi?” tanya Nenek lembut.

“Maafkan aku Nek, aku tidak bermaksud membohongi Nenek, aku hanya tidak ingin menjadi beban pikiran Nenek. Aku memang sudah tidak  bekerja lagi beberapa bulan ini, Aku belum dapat penggantinya Nek.” ucapku lirih.

“Sudahlah, kamu tidak usah memikirkan nenek. Nenek ini memang sudah tua, sudah sakit-sakitan, memang sudah waktunya nenek kembali pada Tuhan.” ucap Nenek perlahan.

Aku menghambur ke pelukkan Nenek. “Nggak Nek! Nenek nggak boleh pergi. Nenek nggak boleh tinggalin Riby sendirian. Riby nggak punya siapa-siapa lagi selain nenek.” isakku di pelukkan Nenek.

“Kamu ini cucu nenek yang paling hebat! Nggak boleh nangis. Nenek ini semakin lama semakin tua, wajar saja kalau Nenek sakit-sakitan. Seandainya Nenek pergi,  itu karena  Allah menyayangi nenek dan kamu.” ucap nenek perlahan sambil mengusap air mataku.

Aku menangis terisak. Aku tak sanggup jika harus hidup sebatang kara. Aku  tak punya kakak, tak punya adik, tak punya orangtua. Haruskah aku kehilangan  Nenek yang selama ini hidup  bersamaku. Aku bingung harus bersikap seperti apa. Kenapa begitu banyak cobaan yang di berikan Tuhan. Sekuat apapun aku mencoba bertahan dengan kepedihan ini, suatu saat aku pasti  akan terjatuh. Aku sangat lelah dengan semua ini. Tuhan… Aku  mohon panjangkan umur  Nenekku… Jangan biarkan aku  seorang diri menghadapi cobaan ini. Dan jika memang harus Engkau ambil Dia, tempatkanlah Ia di surga terindahmu Ya Allah. Tempatkanlah ia  bersama kedua orang tuaku….

Aku memeluk tubuh nenek dengan erat. Aku tak ingin kehilangan dia. Dia yang selama ini telah menemani dan memberikan aku ketegaran serta kekuatan untuk menjalani hidup ini.

Aku berjalan perlahan ke warung Bu Riah. Aku harap dia mau berbaik hati memberikan hutangan untuk makan besok.

“Permisi Bu…!” sapaku ketika sampai di warung Bu Riah.

“Eh… Riby… mau bayar hutang ya?” tanya Bu Riah sinis.

“Maaf Bu, saya belum bisa bayar hutangnya.” jawabku pelan.

“Oh… jadi ke sini mau hutang lagi ya?” tanya Bu Riah dengan nada tinggi.

Aku mengangguk perlahan. Aku tertunduk malu. Sebenarnya aku sangat malu harus berhutang terus. Tapi harus kulakukan, karena nenek butuh obat dan makan. Sementara aku tak punya pekerjaan.

“Enak aja…!” sentak Bu Riah sambil mendorong tubuhku hingga tersungkur. “Kamu itu nggak punya malu ya! Hutang kamu sudah terlalu banyak. Kapan kamu bisa membayarnya? Warung saya bisa bangkrut kalau kamu tak pernah membayar hutang-hutangmu.” bentak  Bu Riah di depanku.

Air mataku menetes perlahan. Aku malu sekali  dengan ibu-ibu tetangga yang memandangku.

“Bu… tolong  saya  Bu, nenek saya sedang sakit. Dia butuh makan dan butuh  obat.” rengekku sambil bersungkur di kaki Bu  Riah. Aku tak peduli semua orang berkerumunan melihatku.

“Eh…! Saya nggak peduli dengan nenekmu yang sudah bau tanah itu. Kamu pikir warung saya ini lembaga sosial?” sentak Bu Riah sambil mendorong tubuhku.

“Ibu…! Saya mohon Bu…!” pintaku sambil memegangi kembali kaki Bu Riah dan bersujud memohon.

“Aaaarghh…!” teriak Bu Riah sambil menendang wajahku.

Aku sontak kaget dengan apa yang dilakukan Bu Riah padaku. Aku tak menyangka dia akan semarah ini padaku. Aku sadar, sudah terlalu banyak hutangku pada  Bu Riah. Tapi haruskah ia menendang wajahku seperti  ini.

“Pergi kamu dari warung saya!” usir Bu  Riah.

Orang-orang hanya memandangiku, mereka tak berani untuk membelaku.

“Astagfirullah…Riby..!” tiba-tiba datang seorang wanita setengah baya memelukku.

“Oh… ternyata ada juga yang kasihan  sama anak ini!?” teriak Bu Riah. “Bawa pergi bocah ini  dari sini!” pintanya.

“Tidak  seharusnya ibu bersikap seperti ini pada Riby!” ucap Bu Ratih sambil mengusap darah yang keluar dari mulut dan hidungku.

“Memangnya kamu bisa apa? Apa kamu bisa membayarkan semua hutang anak ini?” tanya Bu  Riah.

“Saya memang tidak sekaya kamu, tapi  perlakuan kamu  ini salah. Saya bisa laporkan kamu ke polisi.” sahut Bu   Ratih.

“Apa? Jadi kamu menyalahkan saya? Mau menjebloskan saya ke penjara? Haahaahahaa… Nggak mungkin bisa! Saya punya uang banyak, hukum bisa saya beli.” sentak  Bu Riah.

“Astagfirullah… Istigfar Bu…! Ibu itu sudah kelewatan. Kesombongan Ibu itu yang akan menjatuhkan  Ibu nantinya.” tutur  Bu  Ratih.

Bu Riah tersenyum sinis. “Kamu itu orang miskin! Nggak berguna. Lebih baik kamu pergi dari sini! Bikin kotor tempat saya aja!”

“Keterlaluan…!” sentak seseorang dengan tiba-tiba dengan nada tinggi.

“Oh… ternyata ada yang bela kamu lagi Rib?” tutur Bu Riah sambil melotot ke wajahku.

“Kamu  siapanya Riby?” tanya Bu Riah pada lelaki itu.

“Saya memang bukan siapa-siapanya. Tapi  saya punya hati nuraini untuk membela orang yang lemah.” jawab lelaki itu.

“Membela? Memangnya kamu bisa apa?” tanya Bu Riah sambil memandangi lelaki itu dari ujung rambut hingga ujung kaki. “Penampilan kamu saja seperti  ini, pasti orang miskin juga ya?”

“Itu bukan urusan anda. Berapa jumlah hutang anak itu pada Ibu?” tanya lelaki itu.

“Sangat banyak!  Orang miskin seperti kamu pasti nggak sanggup buat bayar.” jawab Bu Riah sambil tertawa mengejek.

“Sebutkan saja!” pinta lelaki itu.

“Lima juta delapan ratus tiga puluh lima rupiah.” jawab Bu Riah. “Gimana? Bisa bayar? Nggak kan?” tanya Bu Riah.

“Makanya nggak usah sok pahlawan!” lanjut Bu Riah.

Lelaki itu menghela nafas sesaat, kemudian mengambil ranselnya. Dia mengeluarkan beberapa lembar uang dari ranselnya.

“Apa ini cukup?” tanya lelaki itu.

Bu  Riah tersenyum riang melihat uang yang diperlihatkan oleh lelaki itu. “Ini lebih dari cukup!” sahutnya  sambil meraih uang dari lelaki itu.

Lelaki itu memperbaiki posisi ranselnya seperti semula dan menghampiriku yang terduduk lemas di samping Bu Ratih.

“Are you Fine?” tanyanya dalam bahsa inggris.

Aku mengangguk perlahan.

“Tapi wajah kamu pucat sekali.” ucapnya bergegas menggendongku.

“Di mana ada puskesmas Bu?” tanyanya pada  Bu Ratih.

“Ayo… biar saya tunjukkan. Nggak jauh dari sini.” jawab Bu Ratih.

“Nggak usah Mas! Saya baik-baik saja kok.” tuturku lirih.

Tapi lelaki itu tak memperdulikan ucapanku. Ia  tetap menggendongku sambil berjalan terburu-buru. Kepalaku terasa sangat sakit, pandanganku semakin meredup dan aku tak dapat melihat apapun. Semua terasa gelap dan aku tak mampu merasakan apapun.

“Alhamdulillah…kamu sudah sadar.” tutur Bu Ratih saat aku  tersadar.

“Aku di mana Bu?” tanyaku pada Bu Ratih.

“Kamu di puskesmas.” jawab  Bu Ratih.

Aku terdiam beberapa  saat.

“Kamu kenapa  sedih seperti itu. Kamu tidak perlu takut untuk membayar biaya puskesmas ini, semuanya sudah dibayar sama laki-laki tadi.”  tutur Bu Ratih.

“Laki-laki? Di mana dia sekarang?” tanyaku.

“Dia sudah pergi By, katanya ada urusan penting.” jawab Bu Ratih.

“Aku belum mengucapkan terima kasih padanya.” tuturku perlahan.

“Sudahlah, Ibu sudah mewakilinya. Suatu saat  kamu pasti akan bertemu lagi dengan laki-laki baik  itu. “ sahut Bu Ratih.

“Tapi aku  tidak  tahu dia siapa Bu, aku tak mengenalnya.” ucapku.

“Sungguh kamu tak mengenalnya?” tanya Bu Ratih.

Aku menggelengkan kepalaku.

“Ya sudah  lah, lebih baik kita segera pulang. Kasian  nenek kamu di rumah sendirian.” ucap Bu Ratih.

Aku mengangguk dan bangkit dari pembaringan. Kami bergegas pulang setelah berpamitan dengan dokter di puskesmas ini.

Setibanya aku di rumah, aku  terkejut melihat keadaan nenekku yang tersungkur di bawah tempat  tidurnya.

“Nenek…!” panggilku sambil berusaha menyadarkannya. Tapi Nenek hanya diam membisu, tubuhnya mulai membiru.

Bu Ratih  segera memeriksa nadi nenek dan  berkata “Dia sudah tidak ada”.

“Nggak mungkin Bu.” tuturku sambil meneteskan air mata.

“Nenek, jangan tinggalin Riby sendirian. Bangun Nek!  Banguuun…!” teriakku histeris sambil memeluk tubuh nenek  dengan sangat erat. Aku terus menangis tanpa henti. Tak ada hal lain  yang kurasakan selain kesedihanku yang begitu dalam. Aku  tak tahu apa yang terjadi dengan hidupku.  Semua orang yang ku sayangi pergi  begitu saja dari hidupku.

“Sudahlah, ikhlaskanlah!” tutur Bu  Ratih perlahan  sambil mengusap rambutku dengan lembut.

# # #

Beberapa waktu aku termenung di atas  pusara nenek. Berat sekali rasanya aku meninggalkan pusara ini. Aku masih sangat  menyayangi nenekkku. Begitu banyak pengorbanan hidupnya untukku. Bahkan di sisa-sisa hidupnya pun Dia masih begitu banyak berkorban untuk  aku. Kenapa aku harus  hidup  sebatang kara. Aku tak punya kakak ataupun adik. Kedua orang  tuaku yang sangat ku  sayangipun harus pergi menghadap Tuhan. Saat ini yang aku miliki  hanya nenek  saja. Ibuku pun anak tunggal, Nenek tak punya anak lain selain Ibuku. Ayahku masih punya tiga saudara. Tapi mereka tak pernah baik pada  Ayahku dan keluargaku, entah apa alasan yang membuat mereka  tak mau mengakui Ayahku sebagai saudara mereka.

“Ayo kita pulang!” ajak Bu Ratih yang masih setia menungguku. Semua orang sudah beranjak dari pemakaman beberapa menit yang lalu.

Aku berjalan perlahan menyusuri jalan bersama  Bu Ratih. Bu Ratih sangat baik padaku sejak dulu. Beberapa kali ia meminta agar aku dan nenek tinggal  bersamanya. Tapi aku selalu menolak karena aku takut akan menambah beban hidup untuk Bu Ratih. Karena Bu Ratih hanya hidup seorang diri, suaminya meninggal dan kedua anak laki-lakinya merantau ke daerah lain.

“Bagaimana kalau kamu tinggal bersama Ibu?” tanya Bu Ratih beberapa saat setelah kami sampai di  rumah.

“Tidak usah Bu, saya sendiripun  tidak apa-apa,” jawabku.

“Sungguh?”

Aku mengangguk perlahan. Untuk beberapa saat kami berbincang-bincang tentang masa lalu Bu Ratih.  Dialah yang mengajari aku kata “Tegar”. Kalau bukan dari nasehat dia, mungkin aku masih terpuruk dalam kesendirianku.

 

 Ditulis oleh Rin Muna, Maret 2012



 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas