Thursday, February 11, 2021

Puisi | Bintang Salju

 

“BINTANG SALJU”

 

pixabay.com

Seperti bintang yang bersinar di tengah malam

Begitulah dia yang selalu ku agungkan

Seperti mentari yang tak henti bersinar

Begitulah dia yang selalu ku kagumi

Seperti pelangi yang memberi keindahan setelah hujan

Begitulah dia yang selalu kurindukan

Dia takkan pernah dapat tergantikan

Bintang Salju yang selalu membuatku bahagia

 

Dia yang selalu ada di hati

Cahaya putihnya seputih salju

Dialah bintang salju

Yang selalu menyinari jiwaku

Hapuskan semua duka di hati

Bawaku masuk ke dunianya

 

Dia yang takkan pernah terlupakan

Kan ku abadikan cintaku padanya

Hingga ku rasa betapa suci hatinya

Betapa tulus cintanya

Dan betapa indah kasih putihnya

 

Balikpapan, 23 Agustus 2007

Inspirasi: Bintang Salju

Cerpen | Tegar

 


Aku berjalan perlahan menyusuri tepi pantai. Ku nikmati semilir angin kecil yang meniup rambutku perlahan. Sambil mendengarkan lagu-lagu melow dari earphoneku.  Ku pandangi jauh sinar mentari di tengah lautan yang hampir meredup, bersembunyi ke peraduannya. Sesekali aku memainkan pasir-pasir yang kupijak dengan kakiku. Aku teringat akan masa laluku, saat aku kehilangan orang yang sangat aku cintai. Di pantai inilah tempat terakhir aku bertemu dengannya, sebelum ia pergi jauh meninggalkanku.

Tiga tahun lalu di  Pantai ini…

“Bee… jangan sedih!  Semua akan baik-baik saja,” ucap Raka yang selalu memanggilku dengan panggilan “Bee”.

“Tapi kamu pasti kembali lagi kan?” tanyaku tak dapat menahan air mata yang telah terbendung sejak beberapa menit yang lalu.

“Iya…  aku janji akan kembali lagi buat kamu. Kamu akan setia menungguku kan?” tanya Raka.

“Aku pasti setia menunggu kamu, tak perlu  kamu memintanya, aku pasti akan setia untukmu.” jawabku sambil bersandar di bahunya.

“Terima kasih Bee… aku harap cinta kita kan tetap abadi, dan kita bisa bertemu kembali.” tutur Raka perlahan.

“Aku tak berharap seperti itu, aku berharap kita  tak pernah  berpisah.” sahutku sambil menangis.

Raka memelukku erat, membiarkan aku menangis di pelukannya. Memberikan aku begitu banyak kekuatan untuk bertahan dengan kesetiaanku.  Dia berusaha memberikan aku kekuatan untuk dapat berpisah dalam jarak yang jauh, memberiku ketegaran saat menyaksikan kepergiannya di Bandara. Dia berikan aku keyakinan bahwa suatu saat dia pasti akan kembali untukku… Setahun berlalu…  semuanya berjalan baik-baik saja. Tapi tidak setelah kehidupanku berubah. Kedua orangtuaku meninggal karena kecelakaan. Aku harus pindah dari rumahku dan tinggal bersama nenekku. Selang beberapa bulan, aku kehilangan kontak dengan Raka karena handphoneku hilang saat aku di jalan. Hingga dua tahun lebih berlalu, aku tak pernah mendapatkan kabar tentang Raka. Aku bukan lagi gadis yang istimewa yang dikenal Raka. Aku tak punya apa-apa lagi  saat Bisnis ayahku mengalami kebangkrutan. Apalagi setelah beberapa bulan Ayahku bangkrut, beliau harus meninggal bersama dengan ibuku tercinta.

“Hai…”! teguran seseorang membuyarkan lamunanku tentang masa laluku.

Aku hanya tersenyum menanggapinya, karena aku tak mengenalnya.

“Kenapa melamun sendirian di sini?” tanya orang itu.

“Tidak apa-apa, hanya ingin menikmati semilir angin sore di sini.” sahutku.

  Oh…ya? Tapi sepertinya kamu tak menikmatinya?” sahut lelaki itu.

“Maksudnya?” tanyaku heran.

“Raut wajahmu menyimpan kedukaan, bisakah kamu berbagi denganku?” pinta lelaki itu.

Aku memandangi wajah lelaki itu dengan seksama, tapi aku tak mengenalnya.

“Maaf… aku harus pulang sekarang.” jawabku sambil meraih sandal yang sengaja ku letakkan di sampingku.

Lelaki itu hanya tersenyum menanggapinya.

Aku harus bergegas pergi karena nenekku sedang sakit, aku harus kembali ke rumah untuk merawatnya. Aku tidak bisa meninggalkannya terlalu lama.

“Nenek… sudah minum obat?” tanyaku pada nenek.

Nenek hanya mengangguk di atas pembaringannya. Aku memeriksanya dan memberikannya makan terlebih dahulu.

“Ya ampun,,, obat nenek habis.” celetukku dalam hati.

Aku harus bagaimana? Aku sudah tidak punya uang lagi untuk membeli obat, hutang di warung untuk makan sehari-hari pun belum bisa aku lunasi.

“Kamu tidak usah membelikan obat lagi untuk nenek ya!” pinta nenek yang menyadari keadaanku.

“Nggak Nek, nenek harus tetep minum obat, nenek harus sembuh.!” pintaku kembali.

“Nenek tahu, kamu pasti tidak punya uang  untuk membeli obat.” ucap nenek.

“Ada Nek.” jawabku berbohong.

“Kamu jangan berbohong pada nenek, nenek sudah tahu semuanya. Nenek sudah agak baikan, tidak perlu minum obat terus.” jawab nenek.

“Nenek jangan begitu, nenek harus tetap minum obat, nenek harus sembuh.!” pintaku.

“Nenek tidak apa-apa, lebih baik uangnya untuk melunasi hutang-hutangmu di warung Bu Riah.” sahut Nenek.

“Nenek tau darimana kalau…?” ucapanku terhenti.

“Tadi  Bu Riah ke sini menagih hutang. Kenapa kamu tidak bilang sama nenek kalau kamu sudah tidak bekerja lagi?” tanya Nenek lembut.

“Maafkan aku Nek, aku tidak bermaksud membohongi Nenek, aku hanya tidak ingin menjadi beban pikiran Nenek. Aku memang sudah tidak  bekerja lagi beberapa bulan ini, Aku belum dapat penggantinya Nek.” ucapku lirih.

“Sudahlah, kamu tidak usah memikirkan nenek. Nenek ini memang sudah tua, sudah sakit-sakitan, memang sudah waktunya nenek kembali pada Tuhan.” ucap Nenek perlahan.

Aku menghambur ke pelukkan Nenek. “Nggak Nek! Nenek nggak boleh pergi. Nenek nggak boleh tinggalin Riby sendirian. Riby nggak punya siapa-siapa lagi selain nenek.” isakku di pelukkan Nenek.

“Kamu ini cucu nenek yang paling hebat! Nggak boleh nangis. Nenek ini semakin lama semakin tua, wajar saja kalau Nenek sakit-sakitan. Seandainya Nenek pergi,  itu karena  Allah menyayangi nenek dan kamu.” ucap nenek perlahan sambil mengusap air mataku.

Aku menangis terisak. Aku tak sanggup jika harus hidup sebatang kara. Aku  tak punya kakak, tak punya adik, tak punya orangtua. Haruskah aku kehilangan  Nenek yang selama ini hidup  bersamaku. Aku bingung harus bersikap seperti apa. Kenapa begitu banyak cobaan yang di berikan Tuhan. Sekuat apapun aku mencoba bertahan dengan kepedihan ini, suatu saat aku pasti  akan terjatuh. Aku sangat lelah dengan semua ini. Tuhan… Aku  mohon panjangkan umur  Nenekku… Jangan biarkan aku  seorang diri menghadapi cobaan ini. Dan jika memang harus Engkau ambil Dia, tempatkanlah Ia di surga terindahmu Ya Allah. Tempatkanlah ia  bersama kedua orang tuaku….

Aku memeluk tubuh nenek dengan erat. Aku tak ingin kehilangan dia. Dia yang selama ini telah menemani dan memberikan aku ketegaran serta kekuatan untuk menjalani hidup ini.

Aku berjalan perlahan ke warung Bu Riah. Aku harap dia mau berbaik hati memberikan hutangan untuk makan besok.

“Permisi Bu…!” sapaku ketika sampai di warung Bu Riah.

“Eh… Riby… mau bayar hutang ya?” tanya Bu Riah sinis.

“Maaf Bu, saya belum bisa bayar hutangnya.” jawabku pelan.

“Oh… jadi ke sini mau hutang lagi ya?” tanya Bu Riah dengan nada tinggi.

Aku mengangguk perlahan. Aku tertunduk malu. Sebenarnya aku sangat malu harus berhutang terus. Tapi harus kulakukan, karena nenek butuh obat dan makan. Sementara aku tak punya pekerjaan.

“Enak aja…!” sentak Bu Riah sambil mendorong tubuhku hingga tersungkur. “Kamu itu nggak punya malu ya! Hutang kamu sudah terlalu banyak. Kapan kamu bisa membayarnya? Warung saya bisa bangkrut kalau kamu tak pernah membayar hutang-hutangmu.” bentak  Bu Riah di depanku.

Air mataku menetes perlahan. Aku malu sekali  dengan ibu-ibu tetangga yang memandangku.

“Bu… tolong  saya  Bu, nenek saya sedang sakit. Dia butuh makan dan butuh  obat.” rengekku sambil bersungkur di kaki Bu  Riah. Aku tak peduli semua orang berkerumunan melihatku.

“Eh…! Saya nggak peduli dengan nenekmu yang sudah bau tanah itu. Kamu pikir warung saya ini lembaga sosial?” sentak Bu Riah sambil mendorong tubuhku.

“Ibu…! Saya mohon Bu…!” pintaku sambil memegangi kembali kaki Bu Riah dan bersujud memohon.

“Aaaarghh…!” teriak Bu Riah sambil menendang wajahku.

Aku sontak kaget dengan apa yang dilakukan Bu Riah padaku. Aku tak menyangka dia akan semarah ini padaku. Aku sadar, sudah terlalu banyak hutangku pada  Bu Riah. Tapi haruskah ia menendang wajahku seperti  ini.

“Pergi kamu dari warung saya!” usir Bu  Riah.

Orang-orang hanya memandangiku, mereka tak berani untuk membelaku.

“Astagfirullah…Riby..!” tiba-tiba datang seorang wanita setengah baya memelukku.

“Oh… ternyata ada juga yang kasihan  sama anak ini!?” teriak Bu Riah. “Bawa pergi bocah ini  dari sini!” pintanya.

“Tidak  seharusnya ibu bersikap seperti ini pada Riby!” ucap Bu Ratih sambil mengusap darah yang keluar dari mulut dan hidungku.

“Memangnya kamu bisa apa? Apa kamu bisa membayarkan semua hutang anak ini?” tanya Bu  Riah.

“Saya memang tidak sekaya kamu, tapi  perlakuan kamu  ini salah. Saya bisa laporkan kamu ke polisi.” sahut Bu   Ratih.

“Apa? Jadi kamu menyalahkan saya? Mau menjebloskan saya ke penjara? Haahaahahaa… Nggak mungkin bisa! Saya punya uang banyak, hukum bisa saya beli.” sentak  Bu Riah.

“Astagfirullah… Istigfar Bu…! Ibu itu sudah kelewatan. Kesombongan Ibu itu yang akan menjatuhkan  Ibu nantinya.” tutur  Bu  Ratih.

Bu Riah tersenyum sinis. “Kamu itu orang miskin! Nggak berguna. Lebih baik kamu pergi dari sini! Bikin kotor tempat saya aja!”

“Keterlaluan…!” sentak seseorang dengan tiba-tiba dengan nada tinggi.

“Oh… ternyata ada yang bela kamu lagi Rib?” tutur Bu Riah sambil melotot ke wajahku.

“Kamu  siapanya Riby?” tanya Bu Riah pada lelaki itu.

“Saya memang bukan siapa-siapanya. Tapi  saya punya hati nuraini untuk membela orang yang lemah.” jawab lelaki itu.

“Membela? Memangnya kamu bisa apa?” tanya Bu Riah sambil memandangi lelaki itu dari ujung rambut hingga ujung kaki. “Penampilan kamu saja seperti  ini, pasti orang miskin juga ya?”

“Itu bukan urusan anda. Berapa jumlah hutang anak itu pada Ibu?” tanya lelaki itu.

“Sangat banyak!  Orang miskin seperti kamu pasti nggak sanggup buat bayar.” jawab Bu Riah sambil tertawa mengejek.

“Sebutkan saja!” pinta lelaki itu.

“Lima juta delapan ratus tiga puluh lima rupiah.” jawab Bu Riah. “Gimana? Bisa bayar? Nggak kan?” tanya Bu Riah.

“Makanya nggak usah sok pahlawan!” lanjut Bu Riah.

Lelaki itu menghela nafas sesaat, kemudian mengambil ranselnya. Dia mengeluarkan beberapa lembar uang dari ranselnya.

“Apa ini cukup?” tanya lelaki itu.

Bu  Riah tersenyum riang melihat uang yang diperlihatkan oleh lelaki itu. “Ini lebih dari cukup!” sahutnya  sambil meraih uang dari lelaki itu.

Lelaki itu memperbaiki posisi ranselnya seperti semula dan menghampiriku yang terduduk lemas di samping Bu Ratih.

“Are you Fine?” tanyanya dalam bahsa inggris.

Aku mengangguk perlahan.

“Tapi wajah kamu pucat sekali.” ucapnya bergegas menggendongku.

“Di mana ada puskesmas Bu?” tanyanya pada  Bu Ratih.

“Ayo… biar saya tunjukkan. Nggak jauh dari sini.” jawab Bu Ratih.

“Nggak usah Mas! Saya baik-baik saja kok.” tuturku lirih.

Tapi lelaki itu tak memperdulikan ucapanku. Ia  tetap menggendongku sambil berjalan terburu-buru. Kepalaku terasa sangat sakit, pandanganku semakin meredup dan aku tak dapat melihat apapun. Semua terasa gelap dan aku tak mampu merasakan apapun.

“Alhamdulillah…kamu sudah sadar.” tutur Bu Ratih saat aku  tersadar.

“Aku di mana Bu?” tanyaku pada Bu Ratih.

“Kamu di puskesmas.” jawab  Bu Ratih.

Aku terdiam beberapa  saat.

“Kamu kenapa  sedih seperti itu. Kamu tidak perlu takut untuk membayar biaya puskesmas ini, semuanya sudah dibayar sama laki-laki tadi.”  tutur Bu Ratih.

“Laki-laki? Di mana dia sekarang?” tanyaku.

“Dia sudah pergi By, katanya ada urusan penting.” jawab Bu Ratih.

“Aku belum mengucapkan terima kasih padanya.” tuturku perlahan.

“Sudahlah, Ibu sudah mewakilinya. Suatu saat  kamu pasti akan bertemu lagi dengan laki-laki baik  itu. “ sahut Bu Ratih.

“Tapi aku  tidak  tahu dia siapa Bu, aku tak mengenalnya.” ucapku.

“Sungguh kamu tak mengenalnya?” tanya Bu Ratih.

Aku menggelengkan kepalaku.

“Ya sudah  lah, lebih baik kita segera pulang. Kasian  nenek kamu di rumah sendirian.” ucap Bu Ratih.

Aku mengangguk dan bangkit dari pembaringan. Kami bergegas pulang setelah berpamitan dengan dokter di puskesmas ini.

Setibanya aku di rumah, aku  terkejut melihat keadaan nenekku yang tersungkur di bawah tempat  tidurnya.

“Nenek…!” panggilku sambil berusaha menyadarkannya. Tapi Nenek hanya diam membisu, tubuhnya mulai membiru.

Bu Ratih  segera memeriksa nadi nenek dan  berkata “Dia sudah tidak ada”.

“Nggak mungkin Bu.” tuturku sambil meneteskan air mata.

“Nenek, jangan tinggalin Riby sendirian. Bangun Nek!  Banguuun…!” teriakku histeris sambil memeluk tubuh nenek  dengan sangat erat. Aku terus menangis tanpa henti. Tak ada hal lain  yang kurasakan selain kesedihanku yang begitu dalam. Aku  tak tahu apa yang terjadi dengan hidupku.  Semua orang yang ku sayangi pergi  begitu saja dari hidupku.

“Sudahlah, ikhlaskanlah!” tutur Bu  Ratih perlahan  sambil mengusap rambutku dengan lembut.

# # #

Beberapa waktu aku termenung di atas  pusara nenek. Berat sekali rasanya aku meninggalkan pusara ini. Aku masih sangat  menyayangi nenekkku. Begitu banyak pengorbanan hidupnya untukku. Bahkan di sisa-sisa hidupnya pun Dia masih begitu banyak berkorban untuk  aku. Kenapa aku harus  hidup  sebatang kara. Aku tak punya kakak ataupun adik. Kedua orang  tuaku yang sangat ku  sayangipun harus pergi menghadap Tuhan. Saat ini yang aku miliki  hanya nenek  saja. Ibuku pun anak tunggal, Nenek tak punya anak lain selain Ibuku. Ayahku masih punya tiga saudara. Tapi mereka tak pernah baik pada  Ayahku dan keluargaku, entah apa alasan yang membuat mereka  tak mau mengakui Ayahku sebagai saudara mereka.

“Ayo kita pulang!” ajak Bu Ratih yang masih setia menungguku. Semua orang sudah beranjak dari pemakaman beberapa menit yang lalu.

Aku berjalan perlahan menyusuri jalan bersama  Bu Ratih. Bu Ratih sangat baik padaku sejak dulu. Beberapa kali ia meminta agar aku dan nenek tinggal  bersamanya. Tapi aku selalu menolak karena aku takut akan menambah beban hidup untuk Bu Ratih. Karena Bu Ratih hanya hidup seorang diri, suaminya meninggal dan kedua anak laki-lakinya merantau ke daerah lain.

“Bagaimana kalau kamu tinggal bersama Ibu?” tanya Bu Ratih beberapa saat setelah kami sampai di  rumah.

“Tidak usah Bu, saya sendiripun  tidak apa-apa,” jawabku.

“Sungguh?”

Aku mengangguk perlahan. Untuk beberapa saat kami berbincang-bincang tentang masa lalu Bu Ratih.  Dialah yang mengajari aku kata “Tegar”. Kalau bukan dari nasehat dia, mungkin aku masih terpuruk dalam kesendirianku.

 

 Ditulis oleh Rin Muna, Maret 2012



 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Cerpen | Cinta Serba Salah

 

Design Cover by Rin Muna


“El... Elza... Gawat El...!” teriak Yani yang tiba-tiba masuk ke kelas dengan wajah panik.

“Ada apa sih Yan? Apa yang gawat?” tanya Elza yang masih duduk di kursi sambil membaca buku biologi.

“Bima sama Rangga berantem lagi di halaman belakang kelas 10A.” jawab Yani panik.

Elza terkejut dan bergegas menuju ke halaman belakang sekolah beriringan dengan Yani. Elza mendapati Bima dan Rangga sedang bergulat dan dikelilingi oleh anak-anak yang menyoraki mereka.

“Stop... Stop... Stop...!” teriak Elza sekeras-kerasnya, namun tak membuat Bima dan Rangga berhenti berkelahi. “Ini kenapa nggak ada yang misahin sih?” teriak Elza.

“Biar aja kak, seru tau!” jawab salah seorang adik kelas.

Tanpa pikir panjang Elza langsung menghampiri Rangga yang terbaring dengan wajah memar dan berlumuran darah. Sesekali tubuhnya ingin bangkit dan membalas pukulan Bima.

“Udah Rangga! Kalian ini kayak anak kecil aja sih!” teriak Elza sambil menatap Bima yang masih berdiri dan ingin memukul Rangga lagi.

“Kamu kenapa malah sama dia? Kamu itu pacar aku!” teriak Bima sambil menyeka darah yang di ujung bibirnya.

“Pede banget sih kamu ngaku-ngaku. Kapan aku jadi pacarmu!?” teriak Elza.

“Aku nggak peduli... Kamu harus jadi pacar aku! Dan aku nggak suka kamu dekat-dekat terus sama Rangga!” sentak Bima.

“Eh, jelas banget Elza itu nggak mau sama kamu! Sadar diri donk!” sahut Rangga.

Bima makin naik darah mendengar perkataan Rangga. Dia berusaha mendekati Rangga dan memukulnya kembali, namun tubuh Elza menghalangi niatnya.

“Udah Rangga... nggak usah di ladenin orang gila satu ini.” Tutur Elza sambil memapah Rangga pergi menjauh.

Semakin hari Elza tak mengerti dengan tingkah Bima dan Rangga. Bima yang ambisius, egois, dan selalu mau menang sendiri  harus bertemu dengan Rangga yang super ngece dan suka bikin Bima makin panas hatinya.

“Kamu kan udah tau Bima itu gimana, kenapa sih kamu cari gara-gara terus? Bima itu mudah emosi, kamu jangan pancing-pancing kemarahan Bima donk!” tutur Elza sambil menyeka darah di wajah Rangga dengan tisuue.

“Aku thu nggak suka aja sama kelakuan Bima kayak gitu El, ambisius dan egois. Ngaku-ngaku jadi pacar kamu pula.” Sahut Rangga.

“Rangga, Bima itu sebenarnya baik. Aku kenal dia udah lama, dia seperti itu karena dia memang jiwanya mudah emosi. Sama yang lain dia nggak pernah seperti ini. Kamu aja yang selalu cari gara-gara and panas-panasin dia.” Tutur Elza.

Rangga memang baru 6 bulan di sekolah ini, dia pindahan dari sekolah lain di luar daerah. Sejak saat itu Rangga selalu mendekati Elza, sementara Bima tak suka dengan kedekatan Rangga dan Elza. Sebelumnya Bima memang sangat dekat dengan Elza, kedatangan Rangga membuat Bima seperti kehilangan Elza. 

Bima selalu saja salah paham dengan kedekatan Rangga dan Elza. Elza tahu kalau Bima mencintainya sejak 2 tahun yang lalu. Elza bukan tidak mau menerima Bima menjadi pacarnya, ia lebih nyaman kalau Bima ada di sampingnya sebagai sahabatnya. 

Sekarang semuanya jadi berantakan semenjak kehadiran Rangga. Entah apa yang ada dipikiran Bima, ia tak pernah mempermasalahkan bila Elza ngobrol atau bercanda dengan teman lelaki yang lain. Namun Rangga terlihat berbeda di mata Bima. Entah apa yang membuatnya seperti itu. 

Semua hal yang terjadi membuat banyak tanda tanya besar di kepala Elza. Sudah berkali-kali Bima dan Rangga berkelahi, ironisnya mereka tidak pernah jera walaupun sudah di-skors dari sekolah.


***

Elza melamun di dalam kelas sambil memainkan penanya di atas kertas.

“Mikirn apa sih El? Ngelamun terus dari tadi?” tanya Yani.

Elza menghela nafasnya. “Aku mikirn Bima sama Rangga. Gimana ya caranya biar mereka itu nggak berantem terus? Aku tuh capek banget ngadepin mereka berdua.” Ucap Elza lirih.

“Jalan satu-satunya ya kamu harus pilih salah satu El.” Sahut Yani.

“Aku nggak bisa kayak gitu Yan. Aku udah anggap mereka itu sahabat. Padahal dulu Bima nggak seperti itu. Kenapa dia berubah banget sejak ada Rangga.” Celetuk Elza.

“Iya juga sih El. Setau aku Bima itu anaknya baik dan ramah banget, care sama semua orang. Ya emang sih agak keras kepala dan egois gitu. Tapi, aslinya kan baik banget. Apalagi kalau sama kamu, semua dia lakukan demi kamu.” Tutur Yani.

“Itu yang bikin aku bingung Yan. Aku ngerasa Bima itu seperti orang lain setiap berhadapan dengan Rangga. Apa ya alasan dia seperti itu? Padahal Rangga anaknya baik banget lho.” Tutur Elza.

“Kalau itu cuma Bima yang tau. Coba deh kamu tanya langsung aja sama Bima. Dia pasti punya alasan kenapa dia kayak gitu.” Sahut Yani.

“Oke deh, ntar pulang sekolah aku langsung ke rumah Bima.” Tutur Elza.

Bima dan Rangga memang kena skorsing lagi setelah kejadian perkelahian kemarin. Dan Elza harus menemui Bima secepatnya agar ia tahu permasalahan sebenarnya antara Bima dan Rangga.

***

Sesampainya di rumah Bima. Elza langsung dipersilahkan masuk oleh Mama Bima. Keluarga Bima sudah sangat mengenal Elza, begitu juga sebaliknya.

“Bima ada tante?” tanya Elza.

“Ada tuh di kamar. Mungkin lagi tidur, masuk aja ke kamarnya! Tante mau masak dulu buat makan malam nanti.” pinta Mama Bima.

Tanpa pikir panjang Elza langsung masuk ke kamar Bima. Mereka memang sudah seperti keluarga karena mereka sudah berteman sejak mereka duduk di bangku sekolah Dasar. Sudah beberapa bulan belakangan ini Elza tak pernah menginjakkan kaki di rumah Bima sejak perseteruan antara Bima dan Rangga.

“Elza...! Kamu kok tiba-tiba masuk kamarku nggak ketuk pintu dulu sih?” teriak Bima terkejut.

“Sejak kapan aku masuk kamar kamu pake ketuk pintu? Lagian tumben banget kamar kamu di tutup. Cuma main PS doank pake tutup pintu segala.” Sahut Elza sambil duduk di samping Bima.

“Ah, kamu ini. Kalau aku pas lagi nggak pake baju gimana?” tanya Bima.

“Hmm... ya aku teriak sambil bilang ‘Aaaaarrgghhh...!’ gitu.” Jawab Elza bercanda.

“Ah, kamu ni ya ada-ada aja. Tumben kamu ke rumahku? Kirain udah nggak ingat main ke sini karena udah ada soulmate baru.” Celetuk Bima sambil memainkan stick PS.

“Soulmate apaan sih? Kamu kan tahu kalau aku nggak punya soulmate. Gimana mau punya soulmate kalau ada satpam yang ngawasin gerak-gerikku.” Sahut Elza.

Bima tertawa sambil mengacak-ngacak rambut Elza. 

Elza memandangi Bima yang masih terus tertawa sambil terus memainkan PS kesayangannya itu. Sudah lama sekali Elza tak pernah melihat Bima tertawa seperti ini. Biasanya di sekolah cuma bisa liat wajah Bima yang terus merengut dan gampang sewot. Elza merindukan canda tawa Bima dalam hari-harinya.

“Aku kangen kamu Bim.” Celetuk Elza.

Spontan Bima menoleh ke arah Elza dan cepat memalingkan wajahnya kembal. “Kalau kangen cium donk!” pinta Bima sambil menyodorkan pipinya.

Elza meninju halus pipi Bima. “Dasar cowok cabul!” celetuk Elza.

“Yee... sembarang aja ngomong. Kapan aku cabul? Yang cabul itu si Rangga noh!” sahut Bima.

“Hah!? Maksudnya?”

“Ia, cowok yang selama ini baik sama kamu tuh. Aslinya dia itu bajingan danbrengsek banget. Dia itu baik sama kamu gitu cuma modus doank.” Jawab Bima.

“Udah deh Bim, kamu nggak usah jelek-jelekin Rangga kayak gitu. Rangga itu anaknya baik,kamu sengaja ya mau bikin aku benci sama dia gitu?” tanya Elza.

“Astaga... Nggak percaya banget sih kamu. Ntar malam kamu ikut aku kalau nggak percaya!” jawab Bima.

“Ke mana?” tanya Elza.

“Ke tempat yang bisa ngebuktiin siapa Rangga sebenarnya. Kamu ajak Yani atau temen cewek yang lain ya! Ntar malam aku jemput kamu,” jawab Bima.


***

Elza dan Yani sudah siap menunggu di teras rumah saat Bima datang menjemput.

“Udah siap? Ayo bernagkat!” ajak Bima sambil membuka pintu mobilnya.

“Kamu pake mobil siapa?” tanya Elza.

“Aku pinjam mobil bokap. Kalau pake mobilku ntar ketahuan kita mengintai dia.” Jawab Bima.

Bima segera melajukan mobilnya ke suatu tempat di mana Rangga biasanya ada di situ.

“Kok kita ke sini Bim?” tanya Elza heran ketika Bima berhenti di suatu tempat yang penuh dengan banyak wanita seksi dan beberapa lelaki hidung belang, dan dengan suara musik yang memekakkan telinga. Untung saja mereka tetap berada di dalam mobil.

“Liat tuh yang pake kaos kuning siapa?” tanya Bima sambil menunjuk sosok lelaki yang di maksudnya.

“What!? Aku nggak percaya ini Bim!” jawab Yani sambil melotot tidak percaya.

“Aku nggak nyangka dia kayak gitu Bim.” Tutur Elza sambil memandangi Rangga yang sedang dicumbui oleh 3 orang wanita sexy.

“Udah deh kalian nggak usah sok kaget gitu. Dia emang udah begitu dari oroknya.” Celetuk Bima sambil menstarter mobilnya dan keluar dari tempat itu. Bima menghentikan mobilnya di persimpangan tempat itu.

“Kita ngapain lagi di sini? Nggak langsung pulang?” tanya Elza.

“Ntar, tunggu 1 jam lagi dia bakal keluar dan ke mana bawa perempuan itu.” Jawab Bima.

“Aku rasa itu aja udah cukup kok Bim.” Sahut Elza.

“Belum, masih ada yang lebih dari itu El.” Tutur Bima.

50 menit berlalu dan sebuah mobl sport warna kuning keluar dari tempat itu. Bima segera menstarter mobilnya dan mengikuti mobil tersebut dari belakang. Mobil Rangga berhenti di sebuah hotel bintang 3 dan ia masuk ke hotel ditemani oleh salah satu wanita sexy.

“Udah Bim, kita pulang yuk! Aku udah bisa ngebayangin apa yang akan terjadi. Ngeri banget aku!” ucap Elza sambil mengusap bulu kuduknya yang berdiri.

Akhirnya mereka kembali ke rumah. Elza dan Yani masih tidak percaya dengan apa yang mereka lihat. Mereka sama sekali tidak menyangka kalau Rangga sebiadab itu.

***

Elza selalu menghindari Rangga setelah ia tahu semua kelakuan Rangga sebenarnya. Ia kini sadar kalau Bima sangat baik dan selalu ingin menjaganya. Andai aja nggak ada Bima, mungkin Elza bisa menjadi korban dari kebiadaban Rangga. Secara Rangga sangat pandai sekali menutupi kenyataan tentang siapa dia sebenarnya. Kini Elza percaya kalau Bima memang selalu menyayanginya dan selalu menjaga kesucian Elza.

“Bim, makasih ya buat apa yang sudah kamu lakukan buat aku,ucap Elza saat Bima mengajaknya makan di sebuah Cafe.

“Ah, nyantai aja lagi. Nggak usah mendramatisir gitu. Kayak sinetron aja,celetuk Bima.

Elza menghela nafasnya. “Yah, biar gimanapun aku tetep harus berterima kasih sama kamu Bim. Kamu udah tulus sayang sama aku, kamu selalu menjaga aku dari ancaman sekecil apapun. Kanu selalu menjaga kesucian aku.” Tutur Elza.

“Itu semua aku lakuin karena aku beneran cinta sama kamu El, tapi kamu nggak pernah balas cinta aku. Saat ini aku emang belum bisa bikin kamu cinta sama aku. Tapi, aku berharap suatu saat nanti kamu bisa cinta sama aku. Dan aku bisa miliki kamu dalam keadaan kamu yang masih suci El. Aku akan terus jaga kesucian diri kamu. Aku harap kamu juga bisa terus menjaga kehormatanmu sebagai wanita sampai tiba waktu aku bisa meminang kamu.” Ucap Bima.

“Makasih ya, Bim! Aku janji akan jaga kehormatanku sampai waktu itu tiba.” Sahut Elza.

Bima menatap mata Elza dengan tatapan penuh cinta. “Maksudnya? Kamu mau jadi...?” Ucapan Bima terhenti karena masih tak percaya.

“Kamu mau jadi pacar aku?” tanya Elza.

“Kok jadi kamu yang nembak aku sih?” tanya Bima sambil tertawa geli. “Harusnya aku donk ya ngomong kayak gitu.”

“Ya udah kamu deh yang ngomong!” pinta Elza.

Bima menggenggam tangan Elza dengan tangan gemetar karena grogi. “Kamu mau nggak jadi...hmm... jadi....emmm....jadi....”

“Jadi apaan?” tanya Elza.

“Bentar aku mikir dulu. Jadi apa ya bagusnya? Jadi Pacarku, ntar ditolak kayak biasanya. Jadi istriku, tapi kita masih SMA, kan harus kuliah dulu, kerja dulu, baru nikah. Jadi apa ya bagusnya biar kamu nggak di ambil orang and nggak berpaling dari aku.” Gumam Bima kebingungan

Elza hanya terseyum geli melihat tingkah Bima. Mau nembak cewek aja ribet banget, hihihi...

“Hmm... gini aja deh... kamu mau nggak jadi cintanya aku?” tanya Bima akhirnya.

“Ia, aku mau kok jadi cintanya kamu,jawab Elza sambil tersenyum.

Bima balas tersenyum. “Aku boleh peluk?”

Elza menggeleng. “Boleh peluk kalau kita udah lulus SMA!”

Bayu menghela napas. Ia mengangguk setuju sambil tersenyum menatap wajah Elza. Menunggu sampai ujung dunia pun, ia tidak akan keberatan. Asal bisa menghabiskan seluruh hari yang ia miliki bersama wanita itu.

 

_Selesai_

 

Ditulis oleh :

Rin Muna, 28 Juli 2013

 

 


Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas