Thursday, November 2, 2017

Cerpen "Gundu Si Gundul"

CERPEN “ GUNDU SI GUNDUL”
Karya : Rin Muna




Langkah kaki kecil si Gundul menyeringai di antara rerumputan. Tangannya sibuk menggenggam sebuah kantong kecil berisi gundu. Tak berapa lama ia sampai di pekarangan rumah salah seorang temannya. Beberapa anak sudah asyik bermain. Ada yang sedang sibuk main lompat tali, ada beberapa anak perempuan yang sibuk main boneka.
“Itu Si gundul datang!” teriak Arya dan semua anak menoleh ke arah Gundul.
Si Gundul hanya cengengesan sambil mengelus-elus kepalanya yang gundul. Si Gundul sebenarnya bernama Wahyu, namun semua teman dan keluarganya memanggil Gundul karena kepalanya selalu dicukur gundul alias botak.
“Ayo kita main gundu hari ini!” ajak si Gundul.
“Ayo!” jawab Arya, Dika dan Seno berbarengan.
“Aku mau main lompat tali aja deh, gundu aku udah abis.” Sela Jefri yang lebih memilih bermain lompat tali bersama tiga teman yang lain.
“Aku mau ikut main gundu!” teriak Sela yang tadinya asyik bermain boneka.
“Gak usah! Kamu kan perempuan, main boneka aja sana!” sahut Arya.
“Gak papa Ar, kan dia mau ikutan.” Sela Gundul. “Emangnya kamu punya gundu kah Sela?” tanya Gundul pada Sela.
“Aku punya kok.” Jawab Sela sambil menunjukkan beberapa butir gundunya.
“Ya udah, ayo main!” ajak Gundul.
Kemudian mereka semua asyik bermain gundu. Beberapa anak ada yang bermain lompat tali dan ada yang bermain boneka. Si Gundul adalah anak yang selalu menang saat bermain Gundu. Bukan hanya permainan gundu, tapi permainan lain juga bisa dia mainkan dengan baik. 
Saat bermain gundu, dia hanya membawa sedikit saja kelereng, tapi pulangnya dia akan membawa banyak gundu dari kemenangan yang ia dapatkan. Terkadang juga dia kalah dan tidak membawa pulang gundu satupun. 
Dalam permainan gundu ini, siapa yang kalah harus menyerahkan gundu yang ia pasang kepada yang menang sebagai hadiah kemenangan. Oleh karenanya Si Gundul selalu membawa beberapa gundu di kantongnya dan mengajak anak-anak lain bermain gundu, kalau dia menang jumlah gundu yang dia punya akan semakin banyak.
“Yah, punyaku abis”.celetuk Sela ketika gundunya abis. Ia terlihat sedih karena tidak bisa ikut bermain lagi.
“Ya udah pake gundu aku dulu nih.” Kata Gundul sambil memberikan 6 buah gundu kepada Sela.
Sela tersenyum dan langsung menerimanya. “Terima kasih ya Gundul!”
Waktu sudah menunjukkan pukul 15.30 WITA. Si Gundul segera mengajak teman-temannya untuk berhenti bermain.
“Kita udahan dulu ya mainnya, lanjutin besok lagi kalau udah pulang sekolah. Sudah jam setengah empat nih, kita ngaji dulu ke Masjid yuk!” ajak Si Gundul.
Semua teman-temannya mengangguk dan bergegas pulang. Mereka segera mandi dan bersiap belajar mengaji di TPA Masjid. Sebelum berangkat mengaji biasanya mereka saling menjemput temannya ke rumah dan berangkat bersama-sama menuju masjid. Dan yang paling terakhir dijemput adalah Arya, karena letak rumahnya yang paling dekat dengan masjid.
“Arya.... Arya...!” panggil anak-anak beramai-ramai.
Ibu Arya langsung keluar menyapa teman-teman Arya. “Arya sedang tidur anak-anak.”
“Kok tidur Bu? Dia tidak ngaji?” tanya si Gundul.
“Tadi kan abis main, dia kecapean, katanya gak mau ngaji.” Jawab Ibu Arya.
“Yaaah.....”, celetuk anak-anak lain dengan nada kecewa.
Mereka berangkat ke Masjid tanpa Arya. Arya adalah anak yang paling nakal dan paling malas untuk mengaji di Masjid, sehingga selalu saja ada alasannya untuk tidak mengaji. Saat teman-teman yang lain sudah Iqro’ 5, dia masih belajar Iqro’ 2. 
Berbeda dengan Si Gundul yang selalu bersemangat untuk belajar mengaji. Di usianya yang masih 9 tahun dan duduk di bangku kelas 3 SD, dia sendirilah yang sudah bisa lancar membaca Al-Qur’an. Dia juga berprestasi di sekolah. Rajin belajar juga rajin bermain. 
Setiap hari sepulang sekolah dia selalu mencari teman untuk bermain. Terkadang orangtuanya heran dengan nilai Gundul yang bagus, karena mereka jarang sekali melihat Gundul belajar di rumah. Sesekali orangtuanya bertanya “Ndul, Kenapa tidak belajar?”. Tapi Gundul hanya menjawab dengan santai “Gundul kan sudah belajar di sekolah.”
Memang terkadang orangtua tidak tahu apakah di sekolah si anak banyak belajar atau bermain. Tapi, Si Gundul selalu memperhatikan pelajaran yang diberikan guru dengan baik. Mencatat dibukunya tanpa harus di suruh. Dia belajar di rumah selesai sholat magrib apabila ada tugas dari guru. Bila tidak ada tugas, dia hanya menonton tv atau main ke rumah temannya.
“Mau ke mana?” tanya Ibu Gundul yang mendapati Si Gundul sedang memakai sandal dan bersiap mau keluar dari rumah.
“Mau main ke rumah....”
“Gak usah main terus, sudah malam mau main apa di luar?” sahut Ibunya sebelum Gundul selesai menjawab. “Main di rumah aja!” pinta Ibunya.
“Tapi, gak ada temannya main.” Celetuk Si Gundul.
“Kan ada Ibu, main sama Ibu atau sama Ayah.” Sahut Ibunya.
“Main sama Ayah, ayah punya permainan baru.” teriak ayahnya sambil keluar dari balik pintu kamar.
“Mainan apa yah?” tanya Si Gundul sambil bergegas masuk kembali ke dalam rumah.
“Ini!” kata ayahnya sambil menunjukkan sebuah buku tebal.
“Ah, malas belajar terus. Aku mau main Gundu aja!” pinta Si Gundul.
“Itu bukan belajar Nak, itu mainan bagus kok. Coba liat deh sini!” ajak Ibunya sambil menunjukkan isi dari buku itu. Ibunya sangat berharap Si Gundul dapat belajar melupakan gundunya, karena bermain gundu tidak memberikan pengaruh baik terhadap perkembangan kecerdasan otaknya. Mungkin ada sedikit pengaruh melatih kecepatan dan ketepatan otaknya, tapi kalau setiap hari hanya bermain gundu saja, kecerdasannya tidak akan berkembang.
“Nih, liat deh ini gambar apa?” tanya Ayahnya sambil menunjukkan gambar sketsa gundu hitam putih dengan 5 kolom di bawahnya.
“Gundu.” Jawab Si Gundul ceria.
“Yee... pinter!” sahut Ibunya sambil bertepuk menyemangati.
“Nah, jawabannya ditulis di dalam kotak ini deh!” pinta Ayahnya. “Kalau udah bener jawabannya terus diwarnai gambarnya ya, yang bagus warnanya.” Kata ayahnya sambil menyiapkan pensil warna.
Si Gundul kemudian menuruti petunjuk dari ayahnya. Lembar selanjutnya juga begitu dengan gambar yang berbeda-beda. Sebuah permainan menebak dan mewarnai, mengajak Si Gundul untuk berpikir kreatif. Beberapa saat kemudian mereka asyik terlarut dalam permainan itu. Si Ibu tersenyum melihat kedua jagoannya asyik bermain, kemudian ia bergegas menuju dapur untuk menyiapkan minum dan cemilan agar mereka lebih senang lagi.
Hari berikutnya Si Gundul mulai melupakan permainan gundunya. Dia malah asyik membuka lembar demi lembar buku yang dibelikan ayahnya. Menebak gambar dan mewarnainya. Dia malah minta dibelikan lagi buku yang baru. Setiap malam dia selalu mengisi tebakan dan mewarnai buku itu. Walaupun setiap pulang sekolah dia tetap masih bermain dengan teman-temannya. Tapi setidaknya dia sudah tidak keluar bermain saat malam hari. 
Anak-anak seusianya memang sedang senang bermain, tidak bisa di forsir untuk terlalu banyak belajar, tidak bisa juga dibiarkan untuk terlalu banyak bermain. Lebih baik diberikan permainan edukatif agar anak-anak senang bermain sambil belajar. Sehingga belajar bukan jadi hal menakutkan untuk anak-anak seusia Gundul. 
Belajar jadi menyenangkan, waktunya bermain juga tetap dapat pelajaran dari permainan tersebut dan melatih kecerdasan otaknya agar dapat berkembang dengan baik sesuai dengan usianya. Tidak bertingkah dewasa sebelum waktunya dan tidak bersikap kekanak-kanakkan saat sudah dewasa. Anak-anak harus dibiasakan bersikap sesuai dengan usianya karena semua ada waktunya.

            Hampir setiap hari orangtua Si Gundul selalu membiasakan anaknya untuk disiplin. Waktunya sekolah ya sekolah, sepulang sekolah diberikan waktu untuk bermain dengan teman-temannya agar ia dapat bersosialisasi dengan baik. Sore hari diberikan pelajaran agama dan mengaji agar ia menjadi anak yang bermoral dan berakhlak baik. Malam hari dia harus tidur tepat waktu agar hari selanjutnya tetap bisa semangat untuk sekolah, bermain dan belajar.



______________________________
🅒 Copyright.
Karya ini dilindungi undang-undang.
Dilarang menyalin atau menyebarluaskan tanpa mencantumkan nama penulis.

Cerpen "Getar Dada di Ladang Lada"

CERPEN “GETAR DADA DI LADANG LADA”
Karya: Rin Muna


“Anggi….!” Seru seseorang dari dalam rumah.
“Ada apa Pak?” sahut Anggi sambil menggorek-gorek lada di penjemuran.
“Kamu yang antar Lada ke Samarinda besok ya!” pinta Pak Murto yang baru keluar dari pintu rumah.
“Kenapa Anggi Pak?”
“Besok Bapak ada pertemuan dengan para petani-petani yang lain.” Jawab Pak Murto sambil menyulut sebatang rokok dan duduk santai di kursi teras rumahnya.
“Oke deh Pak. Kok tumben banget ada pertemuan segala Pak? Emangnya ada apa?” Tanya Anggi sambil melangkah mendekati ayahnya.
“Bapak juga nggak tau, katanya sih dari Dinas Perkebunan atau Pertanian gitu. Bapak kurang paham juga.”
“Oh… gitu. Ya udah besok biar Anggi yang antar langsung mericanya ke sana.”
“Tapi, Anggi itu kan perempuan Pak, apa gak sebaiknya menyuruh orang lain saja?” sahut Ibu Darmi, mamanya Anggi yang baru keluar sambil membawa nampan berisi kopi hangat dan pisang goreng.
“Ya nanti bapak suruh Jamal temanin dia lah.”
“Nah, kalau begitu Ibu nda khawatir Pak.”
“Apa sih Bu yang dikhawatirkan? Anggi kan sudah besar.” Sahut Pak Murto.
“Iya Bu, lagipula Anggi malas kalo jalan bawa si Jamal. Dia itu ribet kayak perempuan.” Celetuk Anggi.
            Dan mereka asyik bercanda pagi itu. Tak lama kemudian Anggi menuju ke salah satu pondok dengan sepeda ontelnya. Di ladang lada milik ayahnya ada beberapa bangunan pondok yang dipergunakan untuk istirahat beberapa pekerja. Setelah menyandarkan sepedanya, Anggi berjalan kaki menuju sungai perendaman. Di Sungai itu sudah di atur slot slot perendaman untuk memisahkan lada yang hari panennya berbeda. Kemudian ia berjalan ke area lain yang sedang dilakukan peremajaan tanaman lada.
“Pak, ini bibitnya sudah disiapkan semua?” Tanya Anggi kepada salah seorang pekerja.
“Sudah Mba, semuanya sudah siap tanam. Ini masih proses pembuatan lubang tanamnya.” Jawab Pak Anto, salah satu pekerja di ladang itu.
“Wah,,, keren memang Bapak ya, sudah berapa persen yang selesai pembuatan lubang tanamnya pak?” Tanya Anggi kemudian.
“Sudah tujuh puluh persen Mba.”
“Siip deh. Oh… ya, Bapak lihat Jamal nggak?” Tanya Anggi sambil celingukan.
“Tadi ada saya lihat di lahan yang lagi panen.” Jawab Pak Anto.
Anggi segera menghampiri Jamal yang sedang memetik lada.
“Mal, besok kamu disuruh Bapak nemenin aku ke Samarinda.” Celetuk Anggi yang sudah berdiri di belakang tubuh Jamal.
“Wah,,, beneran!? Asyiik… Ke Samarinda lagi. Ntar skalian kita mampir ke Mall ya. Kita Belanja baju, trus kita makan di tempat makan yang enak-enak.”
Anggi langsung memutar bola matanya melihat tingkah Jamal yang emang ribet dan banyak maunya. “Ya deh, tapi jangan beli yang mahal-mahal ya!” tegas Anggi.
Keesokan harinya Anggi dan Jamal langsung melaju menuju kota Samarinda. Setelah selesai melakukan transaksi dengan pihak pabrik, Anggi langsung menuju mall untuk menuruti keinginan Jamal.
“Cewek-cewek di sini cantik-cantik ya Nggi, lumayan lah buat cuci mata. Mana tau bias dapat jodoh orang sini juga.” Celetuk Jamal.
“Nggak usah ketinggian deh. Kita ini cuma orang kampung, mana ada orang kota yang mau sama orang kayak kita. Punya selera jangan ketinggian lah.” Sahut Anggi.
“Takdir gak ada yang tau kan? Siapa tau aja ntar jodoh kita lebih baik. Kayak di sinetron gitu, orang kampung dapet jodoh orang kota yang kaya raya…..” Oceh Jamal panjang lebar.
“Itu sinetron Jamal!” ucap Anggi sebal.
Hampir seharian penuh mereka berkeliling kota Samarinda, sehingga mereka sampai di rumah usai sholat isya’.
“Sudah pulang?” Tanya Pak Murto.
“Iya, Jamal bener-bener bikin aku capek banget. Banyak maunya!” gerutu Anggi sambil berlalu masuk ke kamar tanpa menghiraukan suara panggilan Ibunya.
“Gimana ini Pak?” tanya Ibu Darmi sambil menatap Pak Murto yang juga bingung.
Aaaaaaaarrrrgggghhhhh!!!
Tiba-tiba teriakan Anggi meledak saat masuk ke kamarnya.
“Kamu siapa? Kok tidur di kamar aku seenaknya!” teriak Anggi sambil memukuli laki-laki itu dengan bantal gulingnya. “Pergi! Pergi!” pinta Anggi sambil mendorongnya keluar dari kamarnya.
“Kamu ini apa-apaan sih Nggi!” sentak Ibu Darmi.
“Bu, ini Ibu yang apa-apaan? Main masuk-masukin laki-laki ke kamar aku.” Sahut Anggi sebal. “Aku ini capek baru pulang, mau istirahat dan tiba-tiba di kasur aku ada orang asing yang baring-baring seenaknya. Dan….” ocehan Anggi terputus.
“Dengar Bapak dulu Nak!” kata Pak Murto memutus ocehan Anggi. “Ini Mas Fadli dari Dinas Perkebunan Kota Samarinda. Dia mau nginap di sini beberapa hari untuk melakukan pembinaan petani dan melihat langsung kegiatan perkebunan kita.”
“Kenapa harus di sini? Di kamar aku?” tanya Anggi.
“Tadi Bapak mau bicara sama kamu, tapi kamu buru-buru masuk kamar. Sementara kamu tidur di kamar Masmu saja dulu, kan dia juga lagi nggak di rumah.” Jawab Ibu Darmi.
“Nggak mau Bu, Kamar Mas Seno itu berserakan.”
“Kan bisa kamu bereskan dulu.”
“Nggak ah, aku capek mau istirahat. Mending dia aja yang suruh tidur di kamar Mas Seno, kan dia juga cuma numpang di sini.”
“Anggi…!” sahut Ibu Darmi sambil melotot melihat kelakuan Anggi yang kurang sopan terhadap tamu.
“Bu, lagipula pakaian aku kan di kamar, nanti kalau aku mandi trus mau ganti pakaian kan ribet bu kalo ada dia di kamarku.” Tutur Anggi yang menyadari maksud dari tatapan Ibunya.
“Bener juga kata anak Ibu, saya tidur di kamar lain saja.” Sahut Fadli.
“Nah,,, dia aja bilang gitu kan? Ya udah aku mau istirahat.” Tutur Anggi sambil berlalu.
Keesokan harinya Anggi mendapat perintah dari bapaknya untuk mendampingi Fadli dalam melakukan pembinaan ke petani-petani desa. Hampir semua masyarakat desa berladang lada, namun hanya keluarga Pak Murto yang memiliki lahan yang luasnya lebih dari 10 hektar dengan beberapa orang pekerja. Semua operasional kebun diurus langsung oleh Anggi. Sejak Anggi masih sekolah hingga sekarang, dia sangat rajin bekerja di ladang lada. Setiap hari selalu ia lalui dengan semangat, bahkan disaat tersulit sekalipun. Tidak heran bila Fadli terkesan dengan sifat dan sikap Anggi. Berkat bantuan Anggi, semua pekerjaan yang ia kerjakan beberapa hari ini menjadi lancar. Wajah ceria Anggi mampu membungkam emosi petani saat mereka mencoba mendebat apa yang disarankan oleh Fadli. Tak ada yang salah dengan apa yang disampaikan oleh Fadli, dia hanya sedikit gugup karena tidak biasa berbicara di depan para petani langsung. Banyak yang harus ia dengar dari mulut petani, keluhan mereka tentang harga jual, keluhan mereka tentang mahalnya pupuk dan masih banyak lagi.
Seminggu berlalu, banyak hal yang Fadli pelajari tentang kehidupan di desa dan kehidupan para petani. Berat langkahnya meninggalkan desa yang memberinya berjuta pengalaman tak terlupakan. Terutama, pada gadis manis yang selama ini mendampinginya.
“Fadli pamit pulang ya Pak.” Tutur Fadli lirih pada Pak Murto.
“Iya Nak, hati-hati di jalan. Jangan sungkan berkunjung kembali kemari bila ada waktu luang.” Sahut Pak Murto.
Fadli hanya menggangguk sambil melirik Anggi yang tidak bicara sepatah katapun. Ada hal yang ingin ia utarakan, tapi bibirnya membeku. Perlahan ia jinjing tasnya dan melangkah pergi memasuki mobilnya. Lambaian tangan terakhir Anggi dan keluarganya mengiringi kepergiannya, sampai pada akhirnya mobil sedan berwarna silver itu tak terlihat lagi dari rumah Anggi.
“Huft… akhirnya tugas aku selesai juga damping dia. Saatnya sekarang aku istirahat.” Celetuk Anggi sambil berlalu masuk ke kamarnya.
Anggi menghempaskan tubuhnya ke atas kasur sambil memandang langit-langit kamarnya. Matanya membelalak ketika ia merasakan ada sesuatu yang aneh menusuk punggungnya. Ia merasa seperti meniduri duri yang sebelumnya tidak ia lihat. Anggi bangkit dan melihat setangkai mawar di atas kasurnya. ‘Iseng banget sih naruh mawar di sini? Kerjaan siapa pula ini? Nggak tau ya kalo ini bahaya, sakit banget punggung aku ketusuk durinya’, batin Anggi sambil melangkah ke jendela untuk membuang bunga itu. Namun, langkahnya terhenti ketika ia melihat gulungan kertas menempel di tangkai mawar itu. ‘Ini surat’ batin Anggi bingung. Dan yang lebih membingungkan lagi adalah siapa pengirim surat itu. Bagi Anggi ini adalah keisengan belaka. ‘Jangan-jangan si Jamal nih ngerjain’, batinnya. Di bukanya perlahan surat itu dan mulai membacanya.
Ada banyak hal yang ingin aku utarakan tapi tak tahu harus mulai darimana. Banyak hal yang ingin aku bicarakan tapi bibirku beku tak berdaya setiap kutatap mata indahmu. Aku kagumimu selayaknya wanita, wanita yang tak pernah kutemui sebelumnya di setiap langkah hari-hariku. Wanita yang ajari aku banyak hal tentang perbedaan, tentang keceriaan, tentang kepedulian, dan tentang cinta. Cinta yang hanya bisa aku rasakan dalam dadaku. Setiap ada di sisimu aku merasakan dadaku bergetar tak menentu, detak jantungku berdetak tak teratur. Andai waktu bisa aku hentikan, aku masih ingin terus ada di sampingmu walau kita berada dalam ruang yang sepi. Tanpa ada kata terucap dari bibirmu pun aku merasa hatiku sedang ada dalam jutaan teriak kegaduhan. Aku tahu saat ini kamu tidak memiliki rasa yang sama denganku. Tapi, suatu hari nanti aku akan kembali dan kamu akan rasakan getaran cintaku. Aku janji kembali saat kamu sudah siap membuka hatimu…. Fadli.
Anggi termenung dalam beberapa menit. Hatinya masih tak percaya pada apa yang ia baca, tak tahu apa yang harus ia lakukan. Membalas suratnya ke mana? Sampai akhirnya ia mengeluarkan handphone dari sakunya.
“Aku bukan tak mau membuka hatiku, hanya saja aku tak pernah tahu cinta itu apa.” Jemari tangan Anggi menari di atas keypad handphonenya dan mengirimkan pesan pada Fadli setelah berpikir cukup lama.
“Aku akan kembali dan tunjukkan padamu cinta itu apa.” Balas Fadli melalui pesan sms.
            Anggi tersenyum bahagia sambil memeluk handphone setelah membaca sms dari Fadli.


Sudah diterbitkan oleh FAM Publishing dalam buku antologi cerpen berjudul "Padamu Aku Bercerita"



______________________________
🅒 Copyright.
Karya ini dilindungi undang-undang.
Dilarang menyalin atau menyebarluaskan tanpa mencantumkan link atau nama penulis.


Wednesday, November 1, 2017

Puisi "Samboja Pesisir Kutai Pesisir"

PUISI “ SAMBOJA PESISIR KUTAI PESISIR”

pixabay.com



Samboja pesisir kota pesisir
Udaranya segar menusuk kalbu
Kanan kiri dihiasi pepohonan nan hijau merimbun
Kota kecil dengan seribu kenangan

Hamparan hutan jadi nilai kemakmuran kami
Luasnya lautan jadi nilai kekayaan kami
Rawa-rawa jadi nilai kesuburan kami
Desir pasir pesisir pantai jadi nilai kedamaian kami

Ragam suku kami bersatu
Ragam bahasa kami menyatu
Ragam perbedaan kami bersatu
Ragam budaya kami menyatu

Samboja pesisir Kutai pesisir
Ku jaga anggunmu ku abadikan jayamu
Ku rawat indahmu ku sayang selalu

Ku cinta panoramamu ku kagumi pesonamu


Walrina, Kutai Kartanegara


Diterbitkan oleh FAM Publishing September 2016 dalam buku antologi puisi berjudul "Kota yang Menjadi Kata".


______________________________
🅒 Copyright.
Karya ini dilindungi undang-undang.
Dilarang menyalin atau menyebarluaskan tanpa mencantumkan nama penulis.

Puisi "Bulan Indah Penuh Berkah"

PUISI “BULAN INDAH PENUH BERKAH”
pixabay.com



Bulan indah bulan yang penuh berkah
Dinanti seluruh umat muslim di dunia
Bulan indah bulan yang penuh berkah
Amal ibadah berlipat-lipat ganda

Bulan ramadhan bulan yang sangat mulia
Tidur saja berpahala apalagi ibadah
Bulan ramadhan bulan yang istimewa
Tiga puluh hari kita berpuasa

Puasa bukan hanya menahan hawa nafsu
Puasa bukan hanya menahan rasa lapar
Puasa bukan hanya menahan amarah

Puasa mengobati segala penyakit
Puasa mengobati penyakit hati
Puasa mengobati penyakit dengki

Jalani dengan niat yang tulus dan ikhlas
Insya Allah puasa akan jadi berkah
Jalani dengan niat yang tulus dan ikhlas
Insya Allah puasa akan jadi obat mujarab

Walrina

Kutai Kartanegara, 25 Mei 2016

Diterbitkan oleh FAM Publishing dalam buku antologi puisi berjudul "Malam-Malam Seribu Bulan".


______________________________
🅒 Copyright.
Karya ini dilindungi undang-undang.
Dilarang menyalin atau menyebarluaskan tanpa mencantumkan nama penulis.

Puisi "Ramadhanku Ramadhanmu"

PUISI “RAMADHANKU RAMADHANMU”

pixabay.com



Ramadhan datang ku sambut dengan girang
Ramadhan hadir berikan berkah keindahan
Ramadhan bulan yang selalu kurindukan
Ramadhan bulan yang penuh berkah dan mulia

Ramadhanku ku jalani karena perintah Allah
Ramadhanmu kau jalani karena perintah Ayah
Ramadhanku ku nikmati sebagai pengobat hati
Ramdhanmu kau nikmati sebagai pemuas hati
Ramdhanku ku tinggalkan dengan sedih dan duka
Ramadhanmu kau tinggalkan dengan suka ria

Kita beda pemikiran tapi kita seibadah
Kita beda tujuan tapi kita sejalan
Biarlah Tuhan yang menilai
Aku dan kamu yang menjalaninya

Walrina
Kutai Kartanegara, 25 Mei 2016

Diterbitkan oleh FAM Publishing Agustus 2016 dalam buku antologi puisi berjudul "Malam-Malam Seribu Bulan".


______________________________
🅒 Copyright.
Karya ini dilindungi undang-undang.
Dilarang menyalin atau menyebarluaskan tanpa mencantumkan nama penulis.

Puisi "Rindu Sawahku"

RINDU SAWAHKU


pixabay.com


Kulihat sekelilingku
Terhampar ratusan petak sawah yang tandus dan gersang
Di manakah mereka?
Di mana kumpulan padi yang menari indah diterpa semilir angin?
Di mana para bangau yang menggelayutkan paruhnya di sela padi?
Di mana para katak yang selalu ceria melompat kesana kemari?
Di mana para ikan yang selalu menemani gemericik air sungai?
Di mana para pipit yang selalu beramai-ramai berusaha mencuri bulir-bulir padi?
Di mana para petani yang selalu setia bekerja diterpa terik mentari?

Aku rindu mereka...
Aku rindu indahnya hamparan padi nan hijau yang menyejukkan batinku
Aku rindu kilaunya padi yang melambai-lambai memanggil jemariku untuk memetiknya
Aku rindu pada Sang Katak yang berikan aku keceriaan.
Aku rindu pada gemericik air sungai yang damaikan hatiku
Aku rindu pada nyanyian burung yang iringi setiap gerakku
Aku rindu pada semilir angin yang tenangkan jiwaku

Kini semua tak ada lagi
Kini semua berubah jadi lautan debu
Kini semua berubah jadi padang gersang dan tandus
Kini semua berubah jadi sawah-sawah tak bertuan
Kini semua berubah oleh tangan-tangan penguasa


Walrina
Kutai Kartanegara

Diterbitkan oleh FAM Publishing September 2016 dalam buku antologi puisi berjudul "Setangkai Padi yang Merunduk"


______________________________
🅒 Copyright.
Karya ini dilindungi undang-undang.
Dilarang menyalin atau menyebarluaskan tanpa mencantumkan nama penulis.

Puisi "Darahku Darah Bangsaku"

Darahku Darah Bangsaku


pixabay.com


Darahku darah bangsaku
Darahku darah negeriku
Semangatku semangat bangsaku
Semangatku semangat negeriku
Prestasiku prestasi bangsaku
Prestasiku prestasi negeriku
Moralku moral bangsaku
Moralku moral negeriku

Kujaga negeriku kubela bangsaku
Kukuatkan imanku, kuukir prestasiku
Aku pemuda Indonesia harapan bangsaku
Aku junjung tinggi semangat negeriku

Aku cinta Indonesia cinta tanah airku
Cintaku damaikan bangsaku
Cintaku damaikan negeriku

Tak perlu risau bila kita saling cinta
Tak perlu risau bila kita saling bersama
Tak perlu risau bila kita cinta kedamaian



Walrina
Kutai Kartanegara, 12 Agustus 2016

Telah diterbitkan oleh FAM Publishing Maret 2017 dala, buku antologi puisi berjudul "Muda Mudi Ibu Pertiwi".
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang.


______________________________
🅒 Copyright.
Karya ini dilindungi undang-undang.
Dilarang menyalin atau menyebarluaskan tanpa mencantumkan nama penulis.


Puisi "Putra Putri Harapanku" Dalam Buku Antologi Puisi Berjudul "Muda Mudi Ibu Pertiwi"

PUISI “PUTRA-PUTRI HARAPANKU”




Putra-putri harapanku
Jadilah mutiara dalam senandungku
Jadilah cahaya dalam gelapku
Jadilah kekuatan dalam lemahku

Aku menangis pilu menyaksikan moral bangsaku
Ketika dosa adalah suatu kebanggan
Saat orangtua tak lagi dihargai oleh yang muda
Saat pemuda-pemudi lemah keimananya

Lihatlah Nak...!
Bagaimana aku membesarkanmu penuh harapan
Harapan jadi anak yang berbakti
Harapan jadi anak yang berbudi
Harapan jadi anak yang berprestasi

Di pundakmu Nak, aku titipkan negeri ini
Di pundakmu Nak, aku titipkan bangsa ini
Di pundakmu Nak, masa depan cerah menanti

Di tanganmu tentukan lentera hidup atau mati
Di tanganmu tentukan moral indah budi bakti
Di tanganmu tentukan semangat benci atau damai

Pupuklah iman dalam hatimu
Pupuklah moral dalam harimu
Agar damai senantiasa negeri ini
Agar cerah masa depan bangsa ini

Walrina
Kutai Kartanegara, 12 Agustus 2016

Telah diterbitkan oleh FAM Publishing, Maret 2017 dalam buku antologi puisi berjudul "Muda Mudi Ibu Pertiwi"



______________________________
🅒 Copyright.
Karya ini dilindungi undang-undang.
Dilarang menyalin atau menyebarluaskan tanpa mencantumkan nama penulis.

Puisi Akrostik "Perjuangan Sang Ibu" Dalam Buku Antologi Puisi "Dua Sayap"

Source: pixabay.com/PublicDomainPictures



PERJUANGAN SANG IBU

Kala sang fajar menggoda di balik pepohonan
Harapan ku tumpukan pada mentari yang mulai menghangat
Ocehan burung-burung mengiringi derap langkahku
Tak perduli pada jutaan peluh yang menghiasi tubuhku
Inilah aku dengan segala perjuanganku
Menikmati indahnya perjuangan yg ibuku ajarkan
Aku bahkan tak pernah dengar keluh kesah di antara lelah dan sakitnya
Hanya kebahagiaan kami yang dia inginkan





Nama Ibu: KHOTIMAH


Walrina, Kutai Kartanegara


Telah diterbitkan oleh FAM Publishing Juni 2016 dalam buku antologi puisi berjudul "Dua Sayap".

Puisi Akrostik Nama Ayah "Kasih Sang Ayah" Dalam Buku Antologi Puisi "Dua Sayap"

KASIH SANG AYAH

Hari yang kulalui begitu indah
Aku menari dan menyanyi riang gembira
Rasa dunia tak ingin ku akhiri
Jejak-jejak langkahmu jadi bukti ku tak sendiri
Indahnya hari yang kulalui bersamamu
Takkan pernah terganti
Omong kosong bila ku lupa segala tentangmu


Nama Ayah: HARJITO

Walrina, Kutai Kartanegara


Telah diterbitkan oleh FAM Publishing Juni 2016 dalam buku antologi puisi berjudul "Dua Sayap".

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas