Wednesday, August 16, 2023

Cerpen Kompetisi : Surga yang Tak Pernah Ada karya Riri Rosy

 

 

Surga yang Tak Pernah Ada

 

Oleh : Riri Rosy

 

 

Surga, tidak selamanya tampak indah dan sempurna. Bukan juga tempat yang dipenuhi aneka bunga cantik nan harum, dengan berbagai pohon buah yang ranum. Apalagi tempat yang akan dialiri susu dan madu. Surga tidak seperti itu bagi sepasang kekasih, Anneliese dan Wirojoyo. Bagi mereka surga itu hanyalah tempat mereka biasa bersua, dengan pohon bambu di tepi sungai dengan air jernih meneduhkan keduanya.

 

Tempat rahasia mereka jauh dari keramaian. Mereka terpaksa selalu bertemu diam-diam karena ayah Anneliese, Meneer Aart Leonard Langenberg, melarang putri semata wayangnya menjalin hubungan dengan orang pribumi. Baginya tidak akan mudah menyatukan banyak perbedaan di antara mereka.

 

Anneliese Beatrix Aart, wanita Belanda berkulit seputih susu itu duduk terpaku. Dengan wajah bermendung penuh kegalauan, ia menatap Wiro, pemuda pribumi yang menjadi tambatan hatinya. Pemuda itu duduk di sampingnya dengan mata menerawang jauh. Dahinya sedikit berkerut. Kemudian ia menghela napas dalam-dalam. Anneliese bisa merasakan betapa berat beban perasaan Wiro saat ini.

 

Anneliese menatap wajah pemuda di sampingnya. Rambutnya hitam legam bergelombang dipotong pendek dan rapi. Alisnya tebal, garis wajah tegas dengan mata beriris hitam. Hidungnya cukup mancung untuk ukuran pemuda pribumi. Kulitnya cokelat dengan sedikit bulu halus di lengan dan kakinya. Bibir tipisnya murah senyum, tetapi sangat hemat berkata-kata.

 

"Zeg eens¹, Wiro," pinta Anneliese.

 

"Mungkin kita memang harus berpisah." Wiro berpaling menatap sepasang mata cokelat gadis di sampingnya itu.

 

Seketika mata Anneliese tampak membulat, sepasang alis cantiknya terangkat. Ia menutup mulut dengan jemarinya.

 

"Nee². Kamu menyerah?"

 

"Meneer Aart benar. Kebahagiaanmu yang utama. Aku belum tentu bisa membahagiakanmu."

 

"Tidak, Wiro. Kebahagiaanku bersamamu. Ingat, ons paradijs³ . Surgaku bukanlah rumah megah, tapi di sini, bersamamu. Jangan pernah tinggalkan aku."

 

Wiro kembali berpaling, menatap pucuk-pucuk daun yang bergoyang oleh semilir angin. Gemericik air sungai bagai simponi indah mengiringi nyanyian burung yang sesekali hinggap di pohon sekitar sungai. Keduanya membisu, tenggelam dalam kekalutan masing-masing.

 

Anneliese, gadis berambut ikal sepinggang itu menunduk. Diamnya Wiro terasa menyiksanya. Ia menggigit bibirnya yang kemerahan. Jemarinya merapikan selendang penutup kepalanya yang sedikit melorot tertiup angin. Gadis langsing itu sengaja berpenampilan seperti wanita Jawa, menggunakan kain batik dan kebaya. Ia juga memakai selendang di kepalanya hingga menutup sebagian wajah untuk menyamarkan wajah Belandanya dengan hidung yang begitu mancung.

 

Anneliese mulai menaruh hati pada Wiro sejak pemuda itu menolongnya saat rombongan tentara Jepang berusaha menculiknya untuk dijadikan budak pemuas nafsu. Sejak Jepang berkuasa, banyak warga Belanda yang dibantai atau dipulangkan. Anneliese dan ayahnya berhasil menyelamatkan diri dan pindah ke tempat yang agak terpencil dengan bantuan seorang saudagar kaya, Tuan Suryo.

 

"Anneliese, hari Jumat aku akan pergi." Kata-kata Wiro membuat Anneliese langsung berpaling menatapnya.

 

"Aku ikut!"

 

"Maaf, Anneliese. Aku rasa itu tidak mungkin."

 

"Bawa aku, atau aku mati?"

 

Wiro terdiam. Ditatapnya gadis itu dalam-dalam. Anneliese tidak sedang bercanda. Wiro sangat paham sifat keras kepalanya.

 

"Aku tak mau menikah dengan saudagar tua gendut itu." Wajah Anneliese menampakkan kemarahan. "Keluargaku berhutang budi pada Tuan Suryo yang telah membantu kami menyelamatkan diri dan ternyata duda itu menginginkanku. Kamu rela?"

 

Wajah Wiro memerah. Dadanya seakan-akan bergemuruh dan ingin meledak. Sungguh tak ada pilihan mudah baginya.

 

"Kamu sungguh-sungguh ingin ikut?" tanya Wiro seraya menatap gadisnya yang juga sedang memperhatikannya.

 

Anneliese mengangguk, matanya berbinar penuh harap.

 

"Tak akan menyesal apapun risikonya?"

 

Anneliese tersenyum.

 

"Jumat malam selepas Isya', aku akan pergi dengan bendi. Kita bertemu di jembatan." Wiro akhirnya mengambil sebuah keputusan setelah melihat Anneliese yakin untuk ikut bersamanya.

 

Senyum Anneliese mengembang penuh mendengar kata-kata Wiro. "Semoga kita menemukan surga yang lebih indah," katanya berharap.

 

"Semoga aku tak akan membuatmu kecewa."

 

"Wiro, kenapa kamu takut membuatku kecewa? Aku senang bersamamu. Kamu tahu, kan?"

 

Wiro menghela napas. Bibirnya menyungging senyum sekilas.

 

"Bagaimanapun kehidupan kita sangat berbeda, Anneliese. Aku takut tak bisa menghadirkan surga untukmu."

 

"Percayalah. Surgaku ada padamu, Wiro."

 

***

 

Sejak istrinya meninggal akibat peluru pejuang pribumi yang salah sasaran dan Anneliese nyaris ditangkap tentara Jepang, Meneer Aart mulai depresi. Ia ingin kembali ke negaranya tetapi tidak bisa. Pria itu menyesali nasib harus kehilangan istri dan setelah Jepang berkuasa, kehidupannya berubah drastis. Kesehatannya agak menurun. Ia khawatir memikirkan masa depan Anneliese, hingga ketika Tuan Suryo yang kaya tampak tertarik pada putrinya, kekhawatirannya mulai berkurang.

 

Sementara, sang putri justru sangat tak menyukai Tuan Suryo yang dianggapnya hanya mencari untung di atas deritanya. Ia juga terlanjur mencintai Wiro, pemuda pribumi yang sederhana tetapi membuatnya nyaman bersamanya.

 

Rasa sedih untuk meninggalkan ayahnya tak urung dirasakan Anneliese juga. Bagaimanapun, Meneer Aart adalah ayah yang menyayanginya. Sebenarnya ia tidak ingin meninggalkan ayahnya, tetapi ia benar-benar muak dengan Tuan Suryo.  Tidak ada jalan lain baginya untuk menghindari Tuan Suryo selain lari bersama Wiro.

 

Anneliese mengucapkan selamat malam, lalu memeluk ayahnya erat.

 

"Kamu mau tidur sekarang, Anneliese?" tanya Meneer Aart yang sedikit heran.

 

"Aku merasa lelah dan ingin tidur sekarang," jawab Anneliese sambil berpaling ke arah pintu. Ia tidak ingin ayahnya curiga.

 

"Baiklah. Tidurlah sekarang."

 

Setelah gelisah menanti kesempatan yang tepat untuk menyelinap ke luar rumah, Anneliese melihat kedatangan dua orang pria, Tuan Suryo dan temannya. Meneer Aart menyambut mereka dengan gembira dan mereka pun langsung terlibat percakapan serius di ruangan tempat Meneer Aart biasa membaca.

 

Samar-samar ia mendengar radio menyiarkan bahwa Bung Karno telah memproklamasikan kemerdekaan Indonesia hari itu jam sepuluh pagi. Pekik merdeka kemudian mulai diperdengarkan.

 

Dengan debar dada yang tak karuan oleh berbagai perasaan, Anneliese mengambil beberapa potong pakaian dan menyelipkan sebuah pisau di dalamnya untuk berjaga-jaga. Ia segera melompat ke luar melalui jendela kamarnya dan berjalan dengan cepat menuju jembatan menembus gelapnya malam yang hanya diterangi sinar lampu minyak dari rumah penduduk dan cahaya bulan.

 

Wiro duduk di atas bendinya, menatap lurus ke jalan arah Anneliese akan datang. Jantungnya mulai berdentam-dentam tanpa irama. Seumur hidupnya ia belum pernah melakukan hal senekat ini, membawa lari seorang gadis. Bibir tipisnya menyungging senyum saat dilihatnya Anneliese samar-samar muncul dengan berjalan mengendap-endap ke arahnya.

 

Setelah jarak mereka tinggal kira-kira dua puluh meter, terdengar deru mobil mendekat. Mobil tentara Jepang yang berkeliling. Mata Wiro membulat, ia tak menyangka tentara Jepang itu bisa berkeliling sampai ke kampungnya. Mungkin keberadaan beberapa orang Belanda di wilayah itu sudah tercium.

 

Saat mereka melihat Anneliese berjalan seorang diri, mobil berhenti. Dua orang tentara turun dan langsung menarik gadis itu ke mobil mereka. Anneliese berontak, tetapi tenaganya kalah jauh dengan tentara-tentara bermata sipit itu. Mobil kembali melaju. Jeritan Anneliese terdengar menyayat hati saat mobil itu melintasi jembatan.

 

Wiro berusaha mengejar mobil itu meskipun kecepatan tak sepadan, tetapi kemarahannya yang memuncak membuatnya bertekad untuk menyelamatkan Anneliese. Dokar Wiro tertinggal cukup jauh, tetapi sebagai pria penduduk asli wilayah tersebut, Wiro sangat hafal jalan-jalan di sana.

 

Anneliese memeluk erat bungkusan berisi bajunya. Sepanjang perjalanan, para tentara itu memperlakukannya dengan sangat tak sopan. Ia seolah-olah hanya permainan bagi mereka. Tangan-tangan pria bermata sipit itu tak henti bergerilya di atas tubuhnya. Semakin ia meronta, semakin mereka bernafsu melakukannya. Bahkan pakaian Anneliese bagian atas sudah sebagian robek dan terbuka. Anneliese menutup dadanya dengan bungkusan yang dibawanya. Air matanya tak henti mengalir.

 

Para tentara itu bukannya merasa iba, tetapi justru tertawa semakin kencang. Benar-benar biadab. Tak puas melihat pakaian Anneliese yang mulai terbuka, seorang tentara bertubuh agak gemuk mendekati Anneliese dan dengan kasar menarik kain di tubuh gadis itu hingga memperlihatkan pahanya. Anneliese menjerit, pria itu tertawa keras.

 

Anneliese semakin marah dengan perlakuan mereka. Ia teringat pisau di dalam bungkusan bajunya. Sambil menunduk, ia memasukkan tangan kanannya untuk mengambil pisau. Begitu tangannya berhasil memegang pisau itu, dengan cepat ia menghujamkan pisau ke tubuh tentara yang menyingkapkan kainnya. Sayang, salah satu temannya dengan sigap menangkap tangannya.

 

"Oh, rupanya kamu diam-diam membawa senjata. Baiklah, pisau ini yang akan membuatmu menuruti semua perintah kami!" sergah tentara itu setelah berhasil merebut pisau.

 

Dengan bibir menyeringai, ia menyentuhkan pisau itu ke pipi, leher, lalu dada Anneliese. Ia tampak begitu menikmati ekspresi ketakutan gadis itu.

 

Mobil yang mereka tumpangi berhenti di depan sebuah rumah kosong bercat putih. Anneliese diseret masuk ke rumah kosong itu. Seorang tentara menamparnya saat ia berteriak meminta tolong. Gadis itu dibawa masuk ke sebuah ruangan bersama beberapa tentara.

 

Rumah kosong itu hanya menyisakan beberapa perabot besar, setelah penghuninya pergi, mungkin ada yang menjarah barang-barang di dalamnya.

 

Anneliese dibawa masuk ke sebuah kamar yang hanya berisi lemari kosong. Salah satu tentara yang memegang pisaunya segera mendorongnya ke lantai. Ia tersungkur. Saat ia meringis menahan sakit tubuhnya yang terbentur lantai, tentara bertubuh gemuk langsung menarik pakaiannya dan tertawa melihat bagian atas tubuh gadis itu terbuka.

 

Tentara yang memegang pisau langsung menarik kain bagian bawah Anneliese. Gadis itu menjerit dan berontak, tetapi salah satu tentara memegang erat kedua lengannya.

 

Bulan mengintip dari jendela yang terbuka. Ia menjadi saksi malam jahanam yang merenggut mahkota sang gadis Belanda.

 

Tentara bermata sipit itu tak peduli jerit tangis Anneliese. Mereka bergantian melampiaskan nafsu bejatnya.

 

Meskipun sempat kehilangan jejak, pada akhirnya, Wiro beruntung bisa menemukan mobil itu berhenti di depan rumah peninggalan Belanda yang kosong.

 

Beberapa lama kemudian, Wiro muncul dan langsung menghambur ke arah dua tentara yang berjaga di depan pintu. Baku hantam terjadi, satu tentara tersungkur. Satu lagi baru berhasil menembakkan senjatanya dan mengenai paha Wiro, tetapi pria itu justru menabraknya. Ia berhasil merebut senjata, menembak tentara itu lalu masuk mencari Anneliese.

 

Ia mendengar tangisan Anneliese dan tawa lelaki dari dalam sebuah ruangan. Wiro menendang pintu sambil menahan sakit di pahanya. Ia menembakkan senjata ke arah tentara Jepang yang sedang melampiaskan nafsu bejatnya pada Anneliese. Sayang, hanya tinggal satu peluru. Dua orang tentara merangsek ke arahnya dan berhasil merobohkannya. Salah satu kemudian menarik senjata dari balik bajunya dan menembakkan ke arah Wiro. Darah segar mengalir dari perut Wiro. Tak puas dengan itu, dua orang temannya ikut menendang dan menginjaknya. Wiro terkapar tak berdaya.

 

Ketiga tentara tertawa puas lalu melangkah pergi meninggal Wiro dan Anneliese yang tak berdaya. Di bawah temaram cahaya bulan yang masuk dari jendela, Anneliese samar-samar melihat tubuh Wiro yang bersimbah darah. Kali ini bersama Wiro, ia merasakan seolah-olah berada di neraka. Tubuhnya terasa sakit terutama di bagian bawah. Tangisnya tak lagi terdengar. Ia merangkak sekuat tenaga mendekati Wiro.

 

"Wiro," panggilnya sambil menyentuh wajah Wiro.

 

Ia masih merasakan embusan napas lemah dari hidung Wiro. Ia mencoba mengguncang tubuh pria itu.

 

"Wiro," panggilnya menahan tangis.

 

Mata Wiro terbuka perlahan.

 

"Ma-afkan aku, Anneliese." Terbata-bata Wiro berkata dengan nada sesal.

 

"Jangan tinggalkan aku, Wiro. Bertahanlah. Kamu tahu, negaramu sudah merdeka."

 

"A-palah artinya jika kita ... tak merdeka. Tak ada lagi surga. Ma-afkan aku membuatmu ... men-derita." Napas Wiro tersengal-sengal lalu tampak makin sulit bernapas dan matanya menutup.

 

Anneliese menangis memeluk jasad Wiro. Hidup terasa tidak adil baginya. Tak ada lagi surga.

 

Ia merangkak mengambil pisaunya yang tergeletak di dekat tempatnya berbaring sebelumnya.

 

"Aku akan menyusulmu, Wiro," bisiknya sambil menghunjamkan pisau ke jantungnya.

 

***

 

Catatan kaki:

1. zeg eens: katakan padaku

2. nee: tidak

3. ons paradijs: surga kita

 

 

***

 

Profil Penulis

 

Riri Rosy, wanita introvert yang suka melukis, membaca, dan membuat aneka kerajinan ini mulai mencoba menulis dengan menulis antologi cerpen. Meskipun awalnya menulis hanya sebuah cara untuk healing, kini ia benar-benar mencintai dunia menulis fiksi. Oleh karena itu, ia berniat terus belajar sehingga bisa menghasilkan tulisan yang berkualitas. Riri bisa disapa di akun facebook Riri Rosy dan instagram @riri.rosy.9.

Cerpen Kompetisi : Kemerdekaan Ada di Setumpuk Buku Lusuh Itu dan Mungkin Juga di Dada Kita karya Imas Hanifah N.

 

Kemerdekaan Ada di Setumpuk Buku

 Lusuh Itu dan Mungkin Juga di Dada

 Kita

 

Oleh: Imas Hanifah N

 

 

Aku menatap sepatu butut yang selalu kupakai sebelum berangkat ke sekolah dengan perasaan sedih. Abah sudah bilang akan membelikanku sepatu baru, tapi perkataannya tidak juga menjadi kenyataan hingga sekarang. Aku tahu Abah belum punya uang lebih. Kaki Abah sakit sejak minggu lalu, makanya ia tidak banyak bergerak dan belum bisa bekerja jadi kuli bangunan lagi.

 

Aku menyingkirkan sepatu butut itu, melepaskan tas, lalu ke dapur, menemui Abah yang sedang sarapan singkong rebus.

 

"Bah, Agus mau kerja bantu Abah saja hari ini. Agus tidak akan berangkat ke sekolah, ya."

 

Abah berhenti mengunyah singkong. Ia seakan tidak percaya dengan apa yang kukatakan barusan. Namun sejurus kemudian, ia pun tersenyum dan berkata, "Lho, kenapa tidak sekolah? Kalau Agus mau bantu, Agus bisa bantu Abah setelah pulang sekolah. Agus sudah kelas enam, masa mau bolos. Nanti kalau tidak lulus, bagaimana?"

 

Aku terdiam. Sebenarnya, ingin kujawab dengan sejujur-jujurnya kalau tujuanku membantu Abah, agar uang untuk membeli sepatu lekas terkumpul, tapi aku tidak berani bicara untuk saat ini.

 

"Abah akan tawarkan singkong ke Pak Jumadi, teman di kampung sebelah. Katanya suka bikin keripik, jadi kamu sekolah saja, ya. Uang bekal hari ini masih ada, kok. Ini," ucap Abah sambil mengeluarkan uang lima ribu dari sakunya. Aku pun menerimanya dengan sedikit ragu.

 

"Abah ke sana naik apa? Ada ongkos buat ke kampung sebelah?"

 

"Itu perkara nanti. Abah bisa nebeng ke tetangga. Mang Yosep juga kalau tidak salah ada urusan mau ke sana."

 

Aku mengangguk-angguk. Memang Abah ini orangnya mudah akrab. Tidak heran kalau Abah punya banyak kenalan yang suka membantu. Memikirkan itu, aku jadi sedikit lega. Walaupun keinginanku untuk membeli sepatu baru belum tentu terlaksana, setidaknya ada kemungkinan kami bisa makan nasi dengan lauk yang lebih layak besok. Semoga saja, singkong Abah banyak yang membeli.

 

Aku melangkah keluar dari rumah. Sepatu butut yang saat ini kukenakan sangatlah tidak nyaman. Sudah bolong-bolong bagian bawahnya. Kalau misal kena genangan air, otomatis kena kaus kakinya juga. Lalu setelah itu, bau busuk yang tercium dari kaus kakiku itu sudah tentu tidak dapat lagi dihindari. Baunya menyengat dan mungkin bisa membuat orang pingsan. Aku saja tidak sanggup kalau lama-lama mencium baunya.

 

Di tengah perjalanan menuju ke sekolah, tidak disangka aku malah ditahan di warung Mang Kumara.

 

"Agus, ke sini dulu sebentar!" teriak Mang Kumara.

 

Aku menurut saja. Sepertinya ini masih terlalu pagi untuk sampai ke sekolah, jadi aku merasa masih punya waktu.

 

"Duduk dulu. Ada yang mau kuberikan," katanya lagi.

 

"Baik, Mang," jawabku seraya duduk di kursi panjang warungnya Mang Kumara. Tidak lama kemudian, saat Mang Kumara kembali ke dalam rumahnya entah untuk mengambil apa, datanglah beberapa pelanggan yang sepertinya sudah biasa ada di warung Mang Kumara.

 

"Sebentar lagi, tujuh belasan. Hari kemerdekaan. Halah, hukum di negeri kita aja masih ruwet begini. Bisa dibeli dengan uang, masyarakat masih banyak yang sengsara, makan pun masih ada yang cuma sekali sehari. Merdeka dari mananya negeri kita ini?"

 

Salah satu pelanggan itu bicara dengan nada berapi-api. Aku pun mau tidak mau ikut menyimaknya.

 

"Betul, sih. Hukum dibeli, rakyat banyak yang sengsara, memang sebenarnya kemerdekaan kita ini palsu. Capek hidup di negeri ini."

 

Pelanggan yang lainnya menimpali dengan pendapat serupa. Pembicaraan mengenai pemerintah dan kondisi rakyat yang menyedihkan terus berlangsung. Aku terus mendengarkan pembicaraan tentang kemerdekaan yang bagi mereka palsu itu, sebelum akhirnya Mang Kumara menepuk pundakku. "Maaf lama, Gus. Ini, ada sedikit makanan untuk kamu makan di sekolah. Kemarin abahmu bantu Amang di ladang, bantu mengusir ular. Kalau tidak ada abahmu, bisa saja Amang sudah mati."

 

Aku mengangguk, menyambut riang bungkusan beraroma harum itu. Aku yakin isinya nasi goreng dengan suwiran daging ayam. Aroma daging yang menyatu dengan kecap, bawang goreng, dan bumbu lainnya begitu jelas. Sungguh pastilah ini akan jadi nasi goreng paling nikmat di dunia.

 

"Terima kasih, Mang."

 

"Iya, sudah sana. Nanti kamu kesiangan."

 

Aku kembali berjalan menuju ke sekolah. Padahal tadi sudah makan singkong rebus untuk sarapan, sekarang aku sudah lapar lagi. Ya, karena aroma nasi goreng ini yang amat menggoda, tapi aku akan menahan keinginanku untuk memakannya. Aku akan makan ketika waktu istirahat nanti.

 

Sesampainya di sekolah, aku segera masuk ke kelas. Pelajaran pertama dimulai setelah beberapa menit kemudian. Sebelum memulai pelajaran, Pak Candra membagikan buku sejarah yang sudah lusuh kepada murid-murid.

 

"Dalam rangka menyambut hari kemerdekaan, sebelum memulai pelajaran pertama hari ini, seperti yang sering kita lakukan setiap tahun, hari ini pun Bapak akan kembali menceritakan sejarah Indonesia saat berjuang meraih kemerdekaan. Pasti sebenarnya kalian sudah tahu dan sudah sering mendengar, tapi Bapak tetap akan menceritakannya."

 

Begitulah Pak Candra. Sejak ia menjadi guru sejarah di sekolah kami setahun yang lalu, tepat saat aku naik ke kelas enam, ia selalu bersemangat kalau bercerita tentang sejarah Indonesia, salah satunya tentang bagaimana Indonesia meraih kemerdekaan. Pak Candra selalu menerangkan dengan penuh penghayatan, bahkan ada saat ketika ia menjelaskan tentang detik-detik proklamasi berkumandang, Pak Candra menyeka ujung matanya yang basah. Oh, tentulah aku dan murid lain ikut tersentuh, seolah-olah kami memang dekat sekali dengan peristiwa itu.

 

Hari ini pun, kami akan mengulangi hal yang sama. Kami akan mulai membuka halaman demi halaman buku sejarah yang sudah lusuh dan berdebu, lalu Pak Candra pasti akan menangis lagi ketika berbicara tentang beratnya perjuangan bangsa Indonesia meraih merdeka. Perasaan kagum dan haru, akan kami rasakan kembali.

 

 

***

 

Usai jam sekolah berakhir, aku pulang. Masih dengan sepatu butut yang memang satu-satunya kumiliki, aku terus melangkah melewati jalanan beraspal yang panas. Tiba-tiba terngiang di kepalaku kata-kata yang sempat diucapkan pelanggan-pelanggan warung Mang Kumara. Tentang kemerdekaan yang palsu, tentang hukum yang bisa dibeli, tentang rakyat yang sengsara.

 

Kalau kupikir lagi, mungkin semua itu memang benar adanya. Aku berpikir apakah kemerdekaan yang dimiliki rakyat negeri ini palsu?

 

Rasanya itu pun tidak bisa dikatakan benar. Di buku sejarah yang sudah kubaca berulang kali, di setiap cerita yang selalu Pak Candra sampaikan soal kemerdekaan, perjuangan Indonesia untuk meraih kebebasan dari tangan penjajah itu benar adanya. Bukan kebohongan, bukan tipuan. Semuanya sudah terbukti. Bangsa ini sudah tidak lagi dijajah. Sudah merdeka. Sudah bebas.

 

Jadi, sebenarnya mana yang benar? Apakah untuk orang susah sepertiku, orang susah seperti Abah, kemerdekaan itu tidak ada?

 

Aku membawa pertanyaan itu ke hadapan Abah. Ia tengah menggali singkong di ladang. Aku menghampirinya, dengan masih memakai seragam sekolah, tas, dan tentunya sepatu butut.

 

"Bah, kapan kita merdeka?" tanyaku sambil tidak ragu duduk di tanah. Mungkin Abah akan merasa aneh karena pertanyaanku yang tiba-tiba itu, tapi aku benar-benar ingin tahu jawaban Abah.

 

Abah yang sedang menggali singkong, berhenti sejenak. Aku mengalihkan pandangan dari tatapannya dan mulai memainkan daun-daun singkong yang berserakan.

 

"17 Agustus, tahun 1945. Kamu sedang main tebak-tebakan atau bagaimana? Masa kamu tidak tahu soal itu?"

 

"Bukan, Bah. Menurut Abah, kita ini sudah merdeka atau belum?"

 

"Sudah. Sudah tidak ada yang menjajah kita. Kita sudah tidak dijajah lagi oleh negara lain."

 

"Bukan itu, Bah."

 

Lalu Abah malah mendekat, menghampiriku.

 

"Apa kalau gitu?"

 

"Tadi, di warungnya Mang Kumara, Agus disuruh mampir sebentar, Mang Kumara memberi nasi goreng buat makan siang di sekolah."

 

"Alhamdulillah. Bagus kalau begitu. Baik memang dia."

 

"Ya, karena Abah baik juga, bukan? Bantu dia usir ular."

 

"Iya-iya."

 

"Tapi bukan itu, Bah. Bukan soal itu."

 

"Terus, soal apa?"

 

"Ada Bapak-Bapak yang berkumpul di warungnya Mang Kumara tadi. Mereka berbicara soal kemerdekaan Indonesia."

 

"Wah, bagus. Mungkin karena menjelang 17 Agustus, ya."

 

Aku mengangguk. "Tapi kata mereka, negara kita belum merdeka, Bah."

 

"Kenapa?"

 

"Karena hukum bisa dibeli, rakyat masih banyak yang sengsara, kurang lebih begitu, Bah. Kata-kata mereka itu. Menurut Abah bagaimana? Sepertinya memang apa yang mereka katakan itu benar ya, Bah?"

 

"Bisa benar, bisa tidak. Abah bukan orang pemerintahan, tidak tahu soal hukum yang dibeli, tapi bisa saja itu terjadi. Kalau soal rakyat masih banyak yang sengsara, itu juga mungkin benar. Tapi bukan berarti kita belum merdeka."

 

"Jadi, kita sudah merdeka, tapi walaupun sudah merdeka, tetap saja sengsara?"

 

Abah diam sebentar. Melihat sekeliling ladang, lalu menjawab, "Kamu merasa sengsara?"

 

"Sekarang, Bah?"

 

"Iya, apa sekarang kamu merasa sengsara? Sedih?"

 

"Iya, Bah."

 

Akhirnya aku katakan sebuah kejujuran.

 

"Kenapa?"

 

"Ya, kalau kita kaya, Agus bisa beli sepatu baru, Bah."

 

Aku menatap kedua kakiku sendiri, kedua kaki yang dibalut dengan sepatu tak layak pakai.

 

"Maafkan Abah, ya. Lusa kita beli sepatu baru. Pak Jumadi mau borong singkong kita katanya."

 

Seketika aku merasa bahagia. Harapan punya sepatu baru pun semakin dekat untuk menjadi kenyataan. Seakan tidak percaya, aku bertanya lagi untuk memastikan, "Betul, Bah? Agus bakalan punya sepatu baru?"

 

"Betul!"

 

Setelah itu, Abah pun bangkit, dengan langkah kaki yang tertatih, karena mungkin masih sakit. Ia kembali mencabuti singkong. Aku membuka sepatuku, mencoba membantu Abah.

 

Kemudian kami tertawa ketika aku hampir terjengkang karena berusaha mencabut batang singkong dengan sekuat tenaga.

 

Aku melihat kebahagiaan di mata Abah saat ia melihatku tertawa. Aku melihat bagaimana ia begitu bersemangat mengatakan tentang rencana membeli sepatu baruku nanti.

 

Namun ….

 

"Abah, bagaimana kalau uangnya kita pakai berobat kaki Abah saja? Sepatu Agus, nanti saja lagi," kataku saat kami hampir selesai mengumpulkan singkong yang hendak dijual.

 

Abah mengelus kepalaku dengan lembut. "Kaki Abah akan segera sembuh. Kakimu jangan terluka, ya. Kita akan tetap beli sepatu baru yang bagus."

 

Aku hanya mengangguk. Aku menyadari satu hal paling penting hari ini. Abah punya hati yang sepenuhnya sudah merdeka. Merdeka dari rasa benci dan mungkin sejuta prasangka. (*)

 

 

 

 

Tasikmalaya, 15 Agustus 2023

 

 

Tentang Penulis

 

 

Imas Hanifah N. Lahir dan tinggal di Tasikmalaya. Merupakan salah satu admin di lokerkata.com. Ia aktif menulis di beberapa platform kepenulisan. Sebagian karyanya sudah dimuat di media online maupun media cetak. Antologi terbarunya berjudul Jejak Mengabur terbit pada Juni 2023, berisi kumpulan cerpen bersama penulis lain di Amateur Writer Indonesia.

 

 


 

 

Tuesday, August 15, 2023

Cerpen Kompetisi : Merdekaku Karya ZaMo

 

MERDEKAKU

Penulis: ZaMo

 

“Ma, saya sudah bercerai dengan Mas Bagus.” Kalimat itu keluar dari mulut seorang anak perempuan yang sudah tidak mengunjungi ibunya selama satu tahun lamanya. Aku.

Pagi itu, aku tahu aku akan mengacaukan sisa hari mama. Atau yang terburuk, mungkin sisa hidupnya.

Dentingan suara bunyi ujung gunting yang membentur lantai adalah suara pertama yang kudengar setelah suaraku sendiri.

Mama yang sedang duduk di dekat jendela menghentikan aktivitas menjahitnya, mengalihkan pandangannya dari gerak jarum padaku. Tatapan yang sedikit membuatku merinding, namun aku bergeming.

Suasana rumah yang bermandikan cahaya matahari lewat jendela-jendela yang dibuka mendadak berubah suram.

“Bercanda, kan?” Suara mama terdengar gemetar, dari raut wajahnya pun ia tahu aku tidak sedang bercanda.

Rumah tanggaku dengan Mas Bagus memang tidak pernah benar-benar baik-baik saja, bahkan sejak awal pernikahan kami. Mama pun tahu itu.

Aku menggeleng, tangan kanan mencengkeram tali tas untuk sedikit menguatkan kaki yang rasanya sudah ingin cepat-cepat lari sejak tadi.

Reaksi mama adalah sesuatu yang sudah kuprediksi, karenanya aku sengaja mengurus semuanya diam-diam beberapa bulan belakangan ini.

Mama bangkit berdiri, menghempaskan selimut berlubang yang belum selesai ia jahit karena putri sulungnya ini. Hempasan kasar yang bukan pertama kali ini kulihat karena mama memang suka membanting barang-barang saat sedang marah.

“Mama mau ke mana?” Kutahan tangannya. Kali ini ganti suaraku yang gemetar.

Mama orang yang nekat. Saat adik bungsuku memberitahunya kalau ia hamil padahal masih duduk di bangku SMA, mama berlari ke jalan raya, menabrakkan dirinya pada kendaraan yang lewat, mengutuk dirinya karena gagal mendidik anak. Aku takut ia akan melakukan hal yang sama lagi, karena aku.

Mama menghempaskan tanganku hingga mengenai ujung meja, darah segar menetes, namun sedikit pun perempuan yang membawaku lahir ke dunia itu tidak peduli. “Mau bicara dengan Bagus.”

“Bicara dengan saya saja,” selaku.

Kutarik napas pelan, mempersiapkan mental untuk menjatuhkan bom kedua. “Berbicara dengan Mas Bagus tidak akan mengubah apapun. Saya yang menceraikannya.”

Tamparan keras mendarat di pipiku. Panas.

Ini juga bukan pertama kalinya, mama selalu melakukannya setiap kali aku mengatakan ingin berpisah dengan Mas Bagus. Awal-awal aku masih sering menangis, sekarang sudah kebal. Setetes pun tidak ada cairan yang keluar dari mataku.

“Keputusan sudah dibuat oleh pengadilan, tidak akan ada yang berubah,” imbuhku dengan tangan terkepal kuat.

“Perempuan tidak tahu diuntung!” kutuk mama.

Aku menarik salah satu sudut bibirku tipis. Menertawai kuatku yang hanya sampai sebatas ini. Kalimat mama barusan nyatanya masih membuatku sakit hati. Payah.

“Harusnya kamu bersyukur Bagus memilihmu di antara banyak perempuan yang ingin bersanding dengannya dulu.” Mama berbicara sambil menoyori kepalaku. “Dia kaya, terhormat.”

Aku memberanikan diri menatap mata mama. “Hanya itu, kan?”

“Hanya dua hal itu ‘kan yang Mas Bagus punya?” Aku sedikit meninggikan nada bicaraku.

Dua hal yang membuat mama tergila-gila pada anak camat yang naksir dengan putrinya, hingga mama memaksaku untuk menghentikan pendidikan S2 yang sedang kujalani dengan beasiswa yang susah-susah kudapat hanya karena calon mantu idamannya itu ingin cepat naik ke pelaminan. Dua tahun setelah pernikahan, baru kuketahui kalau ternyata itu hanya kedok, ia tidak ingin istrinya memiliki pendidikan lebih tinggi darinya.

“Memang apa lagi yang dibutuhkan dalam hidup lebih dari dua hal itu?” balas mama. Tatapannya masih semembara sebelumnya.

“Mama tidak pernah peduli saya bahagia atau tidak?” debatku.

“Apa yang lebih membuat seorang perempuan bahagia dibanding tinggal di rumah yang bagus, memakai baju-baju mahal, perhiasan tinggal pilih, tidak direndahkan orang?” Mama memelototiku, merasa menang.

Mama terlahir dari keluarga miskin, menikah dengan laki-laki yang hanya memberi nafkah saat ingat, anak-anaknya tidak ada yang bisa dikatakan sukses, karenanya sedikit banyak aku paham mengapa ia memandang kebahagiaan sesempit itu.

“Agar tidak direndahkan orang.” Aku mengulang apa yang mama katakan. “Itu ‘kan yang paling penting bagi mama?”

Mama menatapku dengan mata yang memerah penuh amarah. Batasnya kulewati dan mungkin akan lebih lagi.

Kutunggu ia bicara, namun tidak ada suara. Jadi, aku bicara lagi, “Itu juga alasan mama tidak pernah bisa benar-benar bahagia selama ini. Mama terlalu memikirkan pandangan orang.”

Tamparan keras lain kembali mendarat di pipiku. Aku tidak peduli, masih ingin bicara. “Seandainya dulu mama mau papa ceraikan, seandainya dulu mama memilih untuk mengejar kebahagiaan mama sendiri, mama pasti akan ribuan kali lebih bahagia, dan aku tidak perlu menanggung semua penderitaan ini.”

Ya, mama dalam ingatan masa kecilku adalah seorang perempuan pekerja keras. Ia cantik, pandai berjualan, dan hampir tidak pernah mengeluh. Masakan mama enak, tidak jarang orang meminta bantuannya untuk memasak saat ada acara. Mama senang-senang saja, dapat uang untuk tambahan kebutuhan rumah dan jajan anak. Namun, semuanya berubah ketika masa puber kedua papa datang hingga di titik ia ingin menikah lagi.

Mama tidak mau cerai, baginya menjadi janda cerai adalah aib. Katanya tidak ada satu pun orang di kampungnya yang bercerai. Ia tidak ingin menjadi yang pertama, namun tidak sadar sudah mengubah hidupnya sendiri dan anak-anaknya menjadi neraka.

Sejak itulah mama berubah, menjadi sangat emosional, pemarah, dan pemalas. Bagian terburuknya, aku bahkan tidak bisa menyalahkannya atas semua itu. Mama adalah korban, begitu pun aku.

Aku menunduk, menumpukan pandanganku pada ujung daster mama yang kubelikan sebulan sebelum pernikahanku dengan Mas Bagus dulu, warnanya sedikit memudar, sudah lima tahun yang lalu. Selama lima tahun itu pulalah aku tidak pernah bisa memberikan apapun untuk mama lagi. Mas Bagus tidak mengizinkanku, menyebut mama hanya akan memperalatku. Tidak pernah memberiku uang belanja lebih, semua uang ia yang pegang. Rasanya aku hanyalah pembantu yang halal untuk ia tiduri.

Namun, tidak pernah mama protes. Mas Bagus tetap menantu yang selalu ia bangga-banggakan.

Mama mengembuskan napas keras.

“Kamu senang mamamu jadi bahan tertawaan dan gunjingan orang karena menjanda? Dianggap tidak bisa urus suami.” Mama mengepalkan tangannya hingga otot-otot di lengan kurusnya semakin terlihat. Ada bersitan kebahagiaan di dalam diriku melihatnya berusaha menahan diri untuk tidak memukulku lagi.

“Menjadi janda bukan dosa, Ma!”

“Justru mereka yang menggunjing orang lain itulah yang berdosa.”

Mama mengibaskan tangannya, tidak ingin mendengar apapun dariku yang selalu ia anggap hanya sebagai omong kosong.

“Kamu bukan lagi anak mama, jangan pernah menginjakkan kaki di rumah ini lagi,” pungkas mama tanpa menatapku. Badan ringkihnya ia bawa kembali ke kamar, meninggalkan putrinya yang sedang sangat membutuhkan dekap erat dan usapan lembut di punggung.

Tubuh mama menghilang di balik gorden merah muda yang dulu sering kugunakan untuk bersembunyi saat bermain petak umpet dengannya. Sekarang, di kamar itu hanya ada mama yang mungkin tengah hancur karenaku. Namun, kuharap mama tahu hormatku padanya tidak akan pernah hilang, karenanya aku memilih jalan ini.

“Kak.”

Aku terkesiap, melompat keluar dari lamunanku ketika tangan Wini, adik bungsuku menyentuh bahuku. Dari tatapannya, aku tahu Wini mendengar semuanya dan dengan matanya, ia berusaha menguatkanku. Aku mengangguk, memeluknya sebentar, lalu pamit pergi.

Aku setengah berlari keluar, namun seseorang yang berdiri di teras menghentikan langkahku hanya dengan keberadaannya.

Hisman berjalan ke arahku, mengulurkan salep dan amplop yang tampaknya sudah ia siapkan sejak tadi. Kugigit bibir bagian dalamku kecil, ia pasti melihat bekas memar di lenganku karena pukulan tongkat kasti Mas Bagus. Sudah beberapa bulan lalu, namun bekasnya belum hilang. Mungkin tidak akan pernah hilang.

“Man, saya sudah melakukan hal yang benar, kan? Saya akan bahagia, kan?”

Hisman tersenyum tipis dan menganggukkan kepalanya. Ia tepuk tanganku lembut. “Bahagia dan merdeka.”

Aku tertawa tanpa suara. Kuharap juga begitu.

Walau aku tidak pernah membicarakan tentang masalah rumah tanggaku pada Hisman, namun aku tahu ia tidak bisa mencegah dirinya untuk tahu karena mama yang selalu berakhir menceramahiku dengan teriakan setiap kali aku mengadu dan memberitahunya ingin menyerah.

Kutatap wajah lelaki yang pernah kuimpikan menjadi suami itu selama beberapa detik, menyayangkan keberanianku yang tidak cukup kuat untuk memperjuangkannya, namun sepertinya itu adalah yang terbaik. Mama mungkin akan menghunuskan pisau pada kami berdua jika tahu aku ada main dengan putra perempuan yang sudah membuat papa berpaling darinya.

“Titip mama, ya,” pintaku pada Hisman. Aku tahu tidak ada yang bisa lebih kupercaya tentang keluarga sedarahku lebih dari ia. Ibu Hisman sudah meninggal tiga tahun lalu, kecelakaan bersama papa, namun ia memilih untuk tetap tinggal di rumah ini bersama mama dan Wini.

Hisman menahan tanganku saat aku akan beranjak pergi, diletakkannya salep dan amplop yang ia pegang di telapak tanganku. “Bawa ini.”

“Terima kasih,” ucapku sungkan.

“Hati-hati.”

Aku mengangguk dan melangkah pergi, menghampiri tukang ojek yang tadi mengantarku ke sini dan kuminta untuk menunggu.

Tepat saat aku menginjakkan kaki di trotoar, lagu Indonesia Raya yang dinyanyikan oleh tim paduan suara perayaan kemerdekaan berkumandang dari lapangan seberang jalan.

Ya, hari ini adalah tanggal 17 Agustus, Hari Kemerdekaan Indonesia. Hari yang kuharap juga akan mengantarkanku pada kemerdekaanku sendiri.

Kualihkan pandanganku dari sang merah putih yang sudah selamat sampai puncak tanpa terbelit pada wallpaper ponselku yang menampilkan York Minster. Beberapa jam lagi aku akan berada di negara tempat kota itu berada, melanjutkan pendidikanku dengan beasiswa yang susah payah kuperjuangkan selama dua tahun terakhir.

Sama dengan para pahlawan yang berjuang untuk kemerdekaan negara ini di masa lalu, aku juga akan berjuang untuk menjadi pahlawan bagi hidupku sendiri yang selama ini kehilangan arti setelah memasuki mahligai pernikahan yang sama sekali tidak kuingini.

Seperti kata Hisman, aku akan bahagia dan merdeka.

Tentu saja itu membutuhkan perjuangan dan aku sudah lebih dari siap untuk memperjuangkannya.

Kutarik napas dalam dan mengembuskannya kuat. Menghempaskan sisa-sisa sesal dan ketakutan yang hanya akan menjadi kerikil penghalang bagi langkahku.

Kutatap rumah tempatku tumbuh selama dua puluh tiga tahun itu sekali lagi.

“Saya akan kembali, Ma … dengan lebih bahagia.”

***

 

 

PROFIL PENULIS

 

ID ANGGOTA PK235258745794. ZaMo sudah menekuni dunia literasi sejak remaja, ia senang berkumpul dengan orang-orang yang berpikiran positif dan membawa dampak positif.

 


 

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas