Tuesday, August 15, 2023

Cerpen Kompetisi : Merdekaku Karya ZaMo

 

MERDEKAKU

Penulis: ZaMo

 

“Ma, saya sudah bercerai dengan Mas Bagus.” Kalimat itu keluar dari mulut seorang anak perempuan yang sudah tidak mengunjungi ibunya selama satu tahun lamanya. Aku.

Pagi itu, aku tahu aku akan mengacaukan sisa hari mama. Atau yang terburuk, mungkin sisa hidupnya.

Dentingan suara bunyi ujung gunting yang membentur lantai adalah suara pertama yang kudengar setelah suaraku sendiri.

Mama yang sedang duduk di dekat jendela menghentikan aktivitas menjahitnya, mengalihkan pandangannya dari gerak jarum padaku. Tatapan yang sedikit membuatku merinding, namun aku bergeming.

Suasana rumah yang bermandikan cahaya matahari lewat jendela-jendela yang dibuka mendadak berubah suram.

“Bercanda, kan?” Suara mama terdengar gemetar, dari raut wajahnya pun ia tahu aku tidak sedang bercanda.

Rumah tanggaku dengan Mas Bagus memang tidak pernah benar-benar baik-baik saja, bahkan sejak awal pernikahan kami. Mama pun tahu itu.

Aku menggeleng, tangan kanan mencengkeram tali tas untuk sedikit menguatkan kaki yang rasanya sudah ingin cepat-cepat lari sejak tadi.

Reaksi mama adalah sesuatu yang sudah kuprediksi, karenanya aku sengaja mengurus semuanya diam-diam beberapa bulan belakangan ini.

Mama bangkit berdiri, menghempaskan selimut berlubang yang belum selesai ia jahit karena putri sulungnya ini. Hempasan kasar yang bukan pertama kali ini kulihat karena mama memang suka membanting barang-barang saat sedang marah.

“Mama mau ke mana?” Kutahan tangannya. Kali ini ganti suaraku yang gemetar.

Mama orang yang nekat. Saat adik bungsuku memberitahunya kalau ia hamil padahal masih duduk di bangku SMA, mama berlari ke jalan raya, menabrakkan dirinya pada kendaraan yang lewat, mengutuk dirinya karena gagal mendidik anak. Aku takut ia akan melakukan hal yang sama lagi, karena aku.

Mama menghempaskan tanganku hingga mengenai ujung meja, darah segar menetes, namun sedikit pun perempuan yang membawaku lahir ke dunia itu tidak peduli. “Mau bicara dengan Bagus.”

“Bicara dengan saya saja,” selaku.

Kutarik napas pelan, mempersiapkan mental untuk menjatuhkan bom kedua. “Berbicara dengan Mas Bagus tidak akan mengubah apapun. Saya yang menceraikannya.”

Tamparan keras mendarat di pipiku. Panas.

Ini juga bukan pertama kalinya, mama selalu melakukannya setiap kali aku mengatakan ingin berpisah dengan Mas Bagus. Awal-awal aku masih sering menangis, sekarang sudah kebal. Setetes pun tidak ada cairan yang keluar dari mataku.

“Keputusan sudah dibuat oleh pengadilan, tidak akan ada yang berubah,” imbuhku dengan tangan terkepal kuat.

“Perempuan tidak tahu diuntung!” kutuk mama.

Aku menarik salah satu sudut bibirku tipis. Menertawai kuatku yang hanya sampai sebatas ini. Kalimat mama barusan nyatanya masih membuatku sakit hati. Payah.

“Harusnya kamu bersyukur Bagus memilihmu di antara banyak perempuan yang ingin bersanding dengannya dulu.” Mama berbicara sambil menoyori kepalaku. “Dia kaya, terhormat.”

Aku memberanikan diri menatap mata mama. “Hanya itu, kan?”

“Hanya dua hal itu ‘kan yang Mas Bagus punya?” Aku sedikit meninggikan nada bicaraku.

Dua hal yang membuat mama tergila-gila pada anak camat yang naksir dengan putrinya, hingga mama memaksaku untuk menghentikan pendidikan S2 yang sedang kujalani dengan beasiswa yang susah-susah kudapat hanya karena calon mantu idamannya itu ingin cepat naik ke pelaminan. Dua tahun setelah pernikahan, baru kuketahui kalau ternyata itu hanya kedok, ia tidak ingin istrinya memiliki pendidikan lebih tinggi darinya.

“Memang apa lagi yang dibutuhkan dalam hidup lebih dari dua hal itu?” balas mama. Tatapannya masih semembara sebelumnya.

“Mama tidak pernah peduli saya bahagia atau tidak?” debatku.

“Apa yang lebih membuat seorang perempuan bahagia dibanding tinggal di rumah yang bagus, memakai baju-baju mahal, perhiasan tinggal pilih, tidak direndahkan orang?” Mama memelototiku, merasa menang.

Mama terlahir dari keluarga miskin, menikah dengan laki-laki yang hanya memberi nafkah saat ingat, anak-anaknya tidak ada yang bisa dikatakan sukses, karenanya sedikit banyak aku paham mengapa ia memandang kebahagiaan sesempit itu.

“Agar tidak direndahkan orang.” Aku mengulang apa yang mama katakan. “Itu ‘kan yang paling penting bagi mama?”

Mama menatapku dengan mata yang memerah penuh amarah. Batasnya kulewati dan mungkin akan lebih lagi.

Kutunggu ia bicara, namun tidak ada suara. Jadi, aku bicara lagi, “Itu juga alasan mama tidak pernah bisa benar-benar bahagia selama ini. Mama terlalu memikirkan pandangan orang.”

Tamparan keras lain kembali mendarat di pipiku. Aku tidak peduli, masih ingin bicara. “Seandainya dulu mama mau papa ceraikan, seandainya dulu mama memilih untuk mengejar kebahagiaan mama sendiri, mama pasti akan ribuan kali lebih bahagia, dan aku tidak perlu menanggung semua penderitaan ini.”

Ya, mama dalam ingatan masa kecilku adalah seorang perempuan pekerja keras. Ia cantik, pandai berjualan, dan hampir tidak pernah mengeluh. Masakan mama enak, tidak jarang orang meminta bantuannya untuk memasak saat ada acara. Mama senang-senang saja, dapat uang untuk tambahan kebutuhan rumah dan jajan anak. Namun, semuanya berubah ketika masa puber kedua papa datang hingga di titik ia ingin menikah lagi.

Mama tidak mau cerai, baginya menjadi janda cerai adalah aib. Katanya tidak ada satu pun orang di kampungnya yang bercerai. Ia tidak ingin menjadi yang pertama, namun tidak sadar sudah mengubah hidupnya sendiri dan anak-anaknya menjadi neraka.

Sejak itulah mama berubah, menjadi sangat emosional, pemarah, dan pemalas. Bagian terburuknya, aku bahkan tidak bisa menyalahkannya atas semua itu. Mama adalah korban, begitu pun aku.

Aku menunduk, menumpukan pandanganku pada ujung daster mama yang kubelikan sebulan sebelum pernikahanku dengan Mas Bagus dulu, warnanya sedikit memudar, sudah lima tahun yang lalu. Selama lima tahun itu pulalah aku tidak pernah bisa memberikan apapun untuk mama lagi. Mas Bagus tidak mengizinkanku, menyebut mama hanya akan memperalatku. Tidak pernah memberiku uang belanja lebih, semua uang ia yang pegang. Rasanya aku hanyalah pembantu yang halal untuk ia tiduri.

Namun, tidak pernah mama protes. Mas Bagus tetap menantu yang selalu ia bangga-banggakan.

Mama mengembuskan napas keras.

“Kamu senang mamamu jadi bahan tertawaan dan gunjingan orang karena menjanda? Dianggap tidak bisa urus suami.” Mama mengepalkan tangannya hingga otot-otot di lengan kurusnya semakin terlihat. Ada bersitan kebahagiaan di dalam diriku melihatnya berusaha menahan diri untuk tidak memukulku lagi.

“Menjadi janda bukan dosa, Ma!”

“Justru mereka yang menggunjing orang lain itulah yang berdosa.”

Mama mengibaskan tangannya, tidak ingin mendengar apapun dariku yang selalu ia anggap hanya sebagai omong kosong.

“Kamu bukan lagi anak mama, jangan pernah menginjakkan kaki di rumah ini lagi,” pungkas mama tanpa menatapku. Badan ringkihnya ia bawa kembali ke kamar, meninggalkan putrinya yang sedang sangat membutuhkan dekap erat dan usapan lembut di punggung.

Tubuh mama menghilang di balik gorden merah muda yang dulu sering kugunakan untuk bersembunyi saat bermain petak umpet dengannya. Sekarang, di kamar itu hanya ada mama yang mungkin tengah hancur karenaku. Namun, kuharap mama tahu hormatku padanya tidak akan pernah hilang, karenanya aku memilih jalan ini.

“Kak.”

Aku terkesiap, melompat keluar dari lamunanku ketika tangan Wini, adik bungsuku menyentuh bahuku. Dari tatapannya, aku tahu Wini mendengar semuanya dan dengan matanya, ia berusaha menguatkanku. Aku mengangguk, memeluknya sebentar, lalu pamit pergi.

Aku setengah berlari keluar, namun seseorang yang berdiri di teras menghentikan langkahku hanya dengan keberadaannya.

Hisman berjalan ke arahku, mengulurkan salep dan amplop yang tampaknya sudah ia siapkan sejak tadi. Kugigit bibir bagian dalamku kecil, ia pasti melihat bekas memar di lenganku karena pukulan tongkat kasti Mas Bagus. Sudah beberapa bulan lalu, namun bekasnya belum hilang. Mungkin tidak akan pernah hilang.

“Man, saya sudah melakukan hal yang benar, kan? Saya akan bahagia, kan?”

Hisman tersenyum tipis dan menganggukkan kepalanya. Ia tepuk tanganku lembut. “Bahagia dan merdeka.”

Aku tertawa tanpa suara. Kuharap juga begitu.

Walau aku tidak pernah membicarakan tentang masalah rumah tanggaku pada Hisman, namun aku tahu ia tidak bisa mencegah dirinya untuk tahu karena mama yang selalu berakhir menceramahiku dengan teriakan setiap kali aku mengadu dan memberitahunya ingin menyerah.

Kutatap wajah lelaki yang pernah kuimpikan menjadi suami itu selama beberapa detik, menyayangkan keberanianku yang tidak cukup kuat untuk memperjuangkannya, namun sepertinya itu adalah yang terbaik. Mama mungkin akan menghunuskan pisau pada kami berdua jika tahu aku ada main dengan putra perempuan yang sudah membuat papa berpaling darinya.

“Titip mama, ya,” pintaku pada Hisman. Aku tahu tidak ada yang bisa lebih kupercaya tentang keluarga sedarahku lebih dari ia. Ibu Hisman sudah meninggal tiga tahun lalu, kecelakaan bersama papa, namun ia memilih untuk tetap tinggal di rumah ini bersama mama dan Wini.

Hisman menahan tanganku saat aku akan beranjak pergi, diletakkannya salep dan amplop yang ia pegang di telapak tanganku. “Bawa ini.”

“Terima kasih,” ucapku sungkan.

“Hati-hati.”

Aku mengangguk dan melangkah pergi, menghampiri tukang ojek yang tadi mengantarku ke sini dan kuminta untuk menunggu.

Tepat saat aku menginjakkan kaki di trotoar, lagu Indonesia Raya yang dinyanyikan oleh tim paduan suara perayaan kemerdekaan berkumandang dari lapangan seberang jalan.

Ya, hari ini adalah tanggal 17 Agustus, Hari Kemerdekaan Indonesia. Hari yang kuharap juga akan mengantarkanku pada kemerdekaanku sendiri.

Kualihkan pandanganku dari sang merah putih yang sudah selamat sampai puncak tanpa terbelit pada wallpaper ponselku yang menampilkan York Minster. Beberapa jam lagi aku akan berada di negara tempat kota itu berada, melanjutkan pendidikanku dengan beasiswa yang susah payah kuperjuangkan selama dua tahun terakhir.

Sama dengan para pahlawan yang berjuang untuk kemerdekaan negara ini di masa lalu, aku juga akan berjuang untuk menjadi pahlawan bagi hidupku sendiri yang selama ini kehilangan arti setelah memasuki mahligai pernikahan yang sama sekali tidak kuingini.

Seperti kata Hisman, aku akan bahagia dan merdeka.

Tentu saja itu membutuhkan perjuangan dan aku sudah lebih dari siap untuk memperjuangkannya.

Kutarik napas dalam dan mengembuskannya kuat. Menghempaskan sisa-sisa sesal dan ketakutan yang hanya akan menjadi kerikil penghalang bagi langkahku.

Kutatap rumah tempatku tumbuh selama dua puluh tiga tahun itu sekali lagi.

“Saya akan kembali, Ma … dengan lebih bahagia.”

***

 

 

PROFIL PENULIS

 

ID ANGGOTA PK235258745794. ZaMo sudah menekuni dunia literasi sejak remaja, ia senang berkumpul dengan orang-orang yang berpikiran positif dan membawa dampak positif.

 


 

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas