Wednesday, August 16, 2023

Cerpen Kompetisi : Surga yang Tak Pernah Ada karya Riri Rosy

 

 

Surga yang Tak Pernah Ada

 

Oleh : Riri Rosy

 

 

Surga, tidak selamanya tampak indah dan sempurna. Bukan juga tempat yang dipenuhi aneka bunga cantik nan harum, dengan berbagai pohon buah yang ranum. Apalagi tempat yang akan dialiri susu dan madu. Surga tidak seperti itu bagi sepasang kekasih, Anneliese dan Wirojoyo. Bagi mereka surga itu hanyalah tempat mereka biasa bersua, dengan pohon bambu di tepi sungai dengan air jernih meneduhkan keduanya.

 

Tempat rahasia mereka jauh dari keramaian. Mereka terpaksa selalu bertemu diam-diam karena ayah Anneliese, Meneer Aart Leonard Langenberg, melarang putri semata wayangnya menjalin hubungan dengan orang pribumi. Baginya tidak akan mudah menyatukan banyak perbedaan di antara mereka.

 

Anneliese Beatrix Aart, wanita Belanda berkulit seputih susu itu duduk terpaku. Dengan wajah bermendung penuh kegalauan, ia menatap Wiro, pemuda pribumi yang menjadi tambatan hatinya. Pemuda itu duduk di sampingnya dengan mata menerawang jauh. Dahinya sedikit berkerut. Kemudian ia menghela napas dalam-dalam. Anneliese bisa merasakan betapa berat beban perasaan Wiro saat ini.

 

Anneliese menatap wajah pemuda di sampingnya. Rambutnya hitam legam bergelombang dipotong pendek dan rapi. Alisnya tebal, garis wajah tegas dengan mata beriris hitam. Hidungnya cukup mancung untuk ukuran pemuda pribumi. Kulitnya cokelat dengan sedikit bulu halus di lengan dan kakinya. Bibir tipisnya murah senyum, tetapi sangat hemat berkata-kata.

 

"Zeg eens¹, Wiro," pinta Anneliese.

 

"Mungkin kita memang harus berpisah." Wiro berpaling menatap sepasang mata cokelat gadis di sampingnya itu.

 

Seketika mata Anneliese tampak membulat, sepasang alis cantiknya terangkat. Ia menutup mulut dengan jemarinya.

 

"Nee². Kamu menyerah?"

 

"Meneer Aart benar. Kebahagiaanmu yang utama. Aku belum tentu bisa membahagiakanmu."

 

"Tidak, Wiro. Kebahagiaanku bersamamu. Ingat, ons paradijs³ . Surgaku bukanlah rumah megah, tapi di sini, bersamamu. Jangan pernah tinggalkan aku."

 

Wiro kembali berpaling, menatap pucuk-pucuk daun yang bergoyang oleh semilir angin. Gemericik air sungai bagai simponi indah mengiringi nyanyian burung yang sesekali hinggap di pohon sekitar sungai. Keduanya membisu, tenggelam dalam kekalutan masing-masing.

 

Anneliese, gadis berambut ikal sepinggang itu menunduk. Diamnya Wiro terasa menyiksanya. Ia menggigit bibirnya yang kemerahan. Jemarinya merapikan selendang penutup kepalanya yang sedikit melorot tertiup angin. Gadis langsing itu sengaja berpenampilan seperti wanita Jawa, menggunakan kain batik dan kebaya. Ia juga memakai selendang di kepalanya hingga menutup sebagian wajah untuk menyamarkan wajah Belandanya dengan hidung yang begitu mancung.

 

Anneliese mulai menaruh hati pada Wiro sejak pemuda itu menolongnya saat rombongan tentara Jepang berusaha menculiknya untuk dijadikan budak pemuas nafsu. Sejak Jepang berkuasa, banyak warga Belanda yang dibantai atau dipulangkan. Anneliese dan ayahnya berhasil menyelamatkan diri dan pindah ke tempat yang agak terpencil dengan bantuan seorang saudagar kaya, Tuan Suryo.

 

"Anneliese, hari Jumat aku akan pergi." Kata-kata Wiro membuat Anneliese langsung berpaling menatapnya.

 

"Aku ikut!"

 

"Maaf, Anneliese. Aku rasa itu tidak mungkin."

 

"Bawa aku, atau aku mati?"

 

Wiro terdiam. Ditatapnya gadis itu dalam-dalam. Anneliese tidak sedang bercanda. Wiro sangat paham sifat keras kepalanya.

 

"Aku tak mau menikah dengan saudagar tua gendut itu." Wajah Anneliese menampakkan kemarahan. "Keluargaku berhutang budi pada Tuan Suryo yang telah membantu kami menyelamatkan diri dan ternyata duda itu menginginkanku. Kamu rela?"

 

Wajah Wiro memerah. Dadanya seakan-akan bergemuruh dan ingin meledak. Sungguh tak ada pilihan mudah baginya.

 

"Kamu sungguh-sungguh ingin ikut?" tanya Wiro seraya menatap gadisnya yang juga sedang memperhatikannya.

 

Anneliese mengangguk, matanya berbinar penuh harap.

 

"Tak akan menyesal apapun risikonya?"

 

Anneliese tersenyum.

 

"Jumat malam selepas Isya', aku akan pergi dengan bendi. Kita bertemu di jembatan." Wiro akhirnya mengambil sebuah keputusan setelah melihat Anneliese yakin untuk ikut bersamanya.

 

Senyum Anneliese mengembang penuh mendengar kata-kata Wiro. "Semoga kita menemukan surga yang lebih indah," katanya berharap.

 

"Semoga aku tak akan membuatmu kecewa."

 

"Wiro, kenapa kamu takut membuatku kecewa? Aku senang bersamamu. Kamu tahu, kan?"

 

Wiro menghela napas. Bibirnya menyungging senyum sekilas.

 

"Bagaimanapun kehidupan kita sangat berbeda, Anneliese. Aku takut tak bisa menghadirkan surga untukmu."

 

"Percayalah. Surgaku ada padamu, Wiro."

 

***

 

Sejak istrinya meninggal akibat peluru pejuang pribumi yang salah sasaran dan Anneliese nyaris ditangkap tentara Jepang, Meneer Aart mulai depresi. Ia ingin kembali ke negaranya tetapi tidak bisa. Pria itu menyesali nasib harus kehilangan istri dan setelah Jepang berkuasa, kehidupannya berubah drastis. Kesehatannya agak menurun. Ia khawatir memikirkan masa depan Anneliese, hingga ketika Tuan Suryo yang kaya tampak tertarik pada putrinya, kekhawatirannya mulai berkurang.

 

Sementara, sang putri justru sangat tak menyukai Tuan Suryo yang dianggapnya hanya mencari untung di atas deritanya. Ia juga terlanjur mencintai Wiro, pemuda pribumi yang sederhana tetapi membuatnya nyaman bersamanya.

 

Rasa sedih untuk meninggalkan ayahnya tak urung dirasakan Anneliese juga. Bagaimanapun, Meneer Aart adalah ayah yang menyayanginya. Sebenarnya ia tidak ingin meninggalkan ayahnya, tetapi ia benar-benar muak dengan Tuan Suryo.  Tidak ada jalan lain baginya untuk menghindari Tuan Suryo selain lari bersama Wiro.

 

Anneliese mengucapkan selamat malam, lalu memeluk ayahnya erat.

 

"Kamu mau tidur sekarang, Anneliese?" tanya Meneer Aart yang sedikit heran.

 

"Aku merasa lelah dan ingin tidur sekarang," jawab Anneliese sambil berpaling ke arah pintu. Ia tidak ingin ayahnya curiga.

 

"Baiklah. Tidurlah sekarang."

 

Setelah gelisah menanti kesempatan yang tepat untuk menyelinap ke luar rumah, Anneliese melihat kedatangan dua orang pria, Tuan Suryo dan temannya. Meneer Aart menyambut mereka dengan gembira dan mereka pun langsung terlibat percakapan serius di ruangan tempat Meneer Aart biasa membaca.

 

Samar-samar ia mendengar radio menyiarkan bahwa Bung Karno telah memproklamasikan kemerdekaan Indonesia hari itu jam sepuluh pagi. Pekik merdeka kemudian mulai diperdengarkan.

 

Dengan debar dada yang tak karuan oleh berbagai perasaan, Anneliese mengambil beberapa potong pakaian dan menyelipkan sebuah pisau di dalamnya untuk berjaga-jaga. Ia segera melompat ke luar melalui jendela kamarnya dan berjalan dengan cepat menuju jembatan menembus gelapnya malam yang hanya diterangi sinar lampu minyak dari rumah penduduk dan cahaya bulan.

 

Wiro duduk di atas bendinya, menatap lurus ke jalan arah Anneliese akan datang. Jantungnya mulai berdentam-dentam tanpa irama. Seumur hidupnya ia belum pernah melakukan hal senekat ini, membawa lari seorang gadis. Bibir tipisnya menyungging senyum saat dilihatnya Anneliese samar-samar muncul dengan berjalan mengendap-endap ke arahnya.

 

Setelah jarak mereka tinggal kira-kira dua puluh meter, terdengar deru mobil mendekat. Mobil tentara Jepang yang berkeliling. Mata Wiro membulat, ia tak menyangka tentara Jepang itu bisa berkeliling sampai ke kampungnya. Mungkin keberadaan beberapa orang Belanda di wilayah itu sudah tercium.

 

Saat mereka melihat Anneliese berjalan seorang diri, mobil berhenti. Dua orang tentara turun dan langsung menarik gadis itu ke mobil mereka. Anneliese berontak, tetapi tenaganya kalah jauh dengan tentara-tentara bermata sipit itu. Mobil kembali melaju. Jeritan Anneliese terdengar menyayat hati saat mobil itu melintasi jembatan.

 

Wiro berusaha mengejar mobil itu meskipun kecepatan tak sepadan, tetapi kemarahannya yang memuncak membuatnya bertekad untuk menyelamatkan Anneliese. Dokar Wiro tertinggal cukup jauh, tetapi sebagai pria penduduk asli wilayah tersebut, Wiro sangat hafal jalan-jalan di sana.

 

Anneliese memeluk erat bungkusan berisi bajunya. Sepanjang perjalanan, para tentara itu memperlakukannya dengan sangat tak sopan. Ia seolah-olah hanya permainan bagi mereka. Tangan-tangan pria bermata sipit itu tak henti bergerilya di atas tubuhnya. Semakin ia meronta, semakin mereka bernafsu melakukannya. Bahkan pakaian Anneliese bagian atas sudah sebagian robek dan terbuka. Anneliese menutup dadanya dengan bungkusan yang dibawanya. Air matanya tak henti mengalir.

 

Para tentara itu bukannya merasa iba, tetapi justru tertawa semakin kencang. Benar-benar biadab. Tak puas melihat pakaian Anneliese yang mulai terbuka, seorang tentara bertubuh agak gemuk mendekati Anneliese dan dengan kasar menarik kain di tubuh gadis itu hingga memperlihatkan pahanya. Anneliese menjerit, pria itu tertawa keras.

 

Anneliese semakin marah dengan perlakuan mereka. Ia teringat pisau di dalam bungkusan bajunya. Sambil menunduk, ia memasukkan tangan kanannya untuk mengambil pisau. Begitu tangannya berhasil memegang pisau itu, dengan cepat ia menghujamkan pisau ke tubuh tentara yang menyingkapkan kainnya. Sayang, salah satu temannya dengan sigap menangkap tangannya.

 

"Oh, rupanya kamu diam-diam membawa senjata. Baiklah, pisau ini yang akan membuatmu menuruti semua perintah kami!" sergah tentara itu setelah berhasil merebut pisau.

 

Dengan bibir menyeringai, ia menyentuhkan pisau itu ke pipi, leher, lalu dada Anneliese. Ia tampak begitu menikmati ekspresi ketakutan gadis itu.

 

Mobil yang mereka tumpangi berhenti di depan sebuah rumah kosong bercat putih. Anneliese diseret masuk ke rumah kosong itu. Seorang tentara menamparnya saat ia berteriak meminta tolong. Gadis itu dibawa masuk ke sebuah ruangan bersama beberapa tentara.

 

Rumah kosong itu hanya menyisakan beberapa perabot besar, setelah penghuninya pergi, mungkin ada yang menjarah barang-barang di dalamnya.

 

Anneliese dibawa masuk ke sebuah kamar yang hanya berisi lemari kosong. Salah satu tentara yang memegang pisaunya segera mendorongnya ke lantai. Ia tersungkur. Saat ia meringis menahan sakit tubuhnya yang terbentur lantai, tentara bertubuh gemuk langsung menarik pakaiannya dan tertawa melihat bagian atas tubuh gadis itu terbuka.

 

Tentara yang memegang pisau langsung menarik kain bagian bawah Anneliese. Gadis itu menjerit dan berontak, tetapi salah satu tentara memegang erat kedua lengannya.

 

Bulan mengintip dari jendela yang terbuka. Ia menjadi saksi malam jahanam yang merenggut mahkota sang gadis Belanda.

 

Tentara bermata sipit itu tak peduli jerit tangis Anneliese. Mereka bergantian melampiaskan nafsu bejatnya.

 

Meskipun sempat kehilangan jejak, pada akhirnya, Wiro beruntung bisa menemukan mobil itu berhenti di depan rumah peninggalan Belanda yang kosong.

 

Beberapa lama kemudian, Wiro muncul dan langsung menghambur ke arah dua tentara yang berjaga di depan pintu. Baku hantam terjadi, satu tentara tersungkur. Satu lagi baru berhasil menembakkan senjatanya dan mengenai paha Wiro, tetapi pria itu justru menabraknya. Ia berhasil merebut senjata, menembak tentara itu lalu masuk mencari Anneliese.

 

Ia mendengar tangisan Anneliese dan tawa lelaki dari dalam sebuah ruangan. Wiro menendang pintu sambil menahan sakit di pahanya. Ia menembakkan senjata ke arah tentara Jepang yang sedang melampiaskan nafsu bejatnya pada Anneliese. Sayang, hanya tinggal satu peluru. Dua orang tentara merangsek ke arahnya dan berhasil merobohkannya. Salah satu kemudian menarik senjata dari balik bajunya dan menembakkan ke arah Wiro. Darah segar mengalir dari perut Wiro. Tak puas dengan itu, dua orang temannya ikut menendang dan menginjaknya. Wiro terkapar tak berdaya.

 

Ketiga tentara tertawa puas lalu melangkah pergi meninggal Wiro dan Anneliese yang tak berdaya. Di bawah temaram cahaya bulan yang masuk dari jendela, Anneliese samar-samar melihat tubuh Wiro yang bersimbah darah. Kali ini bersama Wiro, ia merasakan seolah-olah berada di neraka. Tubuhnya terasa sakit terutama di bagian bawah. Tangisnya tak lagi terdengar. Ia merangkak sekuat tenaga mendekati Wiro.

 

"Wiro," panggilnya sambil menyentuh wajah Wiro.

 

Ia masih merasakan embusan napas lemah dari hidung Wiro. Ia mencoba mengguncang tubuh pria itu.

 

"Wiro," panggilnya menahan tangis.

 

Mata Wiro terbuka perlahan.

 

"Ma-afkan aku, Anneliese." Terbata-bata Wiro berkata dengan nada sesal.

 

"Jangan tinggalkan aku, Wiro. Bertahanlah. Kamu tahu, negaramu sudah merdeka."

 

"A-palah artinya jika kita ... tak merdeka. Tak ada lagi surga. Ma-afkan aku membuatmu ... men-derita." Napas Wiro tersengal-sengal lalu tampak makin sulit bernapas dan matanya menutup.

 

Anneliese menangis memeluk jasad Wiro. Hidup terasa tidak adil baginya. Tak ada lagi surga.

 

Ia merangkak mengambil pisaunya yang tergeletak di dekat tempatnya berbaring sebelumnya.

 

"Aku akan menyusulmu, Wiro," bisiknya sambil menghunjamkan pisau ke jantungnya.

 

***

 

Catatan kaki:

1. zeg eens: katakan padaku

2. nee: tidak

3. ons paradijs: surga kita

 

 

***

 

Profil Penulis

 

Riri Rosy, wanita introvert yang suka melukis, membaca, dan membuat aneka kerajinan ini mulai mencoba menulis dengan menulis antologi cerpen. Meskipun awalnya menulis hanya sebuah cara untuk healing, kini ia benar-benar mencintai dunia menulis fiksi. Oleh karena itu, ia berniat terus belajar sehingga bisa menghasilkan tulisan yang berkualitas. Riri bisa disapa di akun facebook Riri Rosy dan instagram @riri.rosy.9.

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas