Wednesday, August 16, 2023

Cerpen Kompetisi : Kemerdekaan Ada di Setumpuk Buku Lusuh Itu dan Mungkin Juga di Dada Kita karya Imas Hanifah N.

 

Kemerdekaan Ada di Setumpuk Buku

 Lusuh Itu dan Mungkin Juga di Dada

 Kita

 

Oleh: Imas Hanifah N

 

 

Aku menatap sepatu butut yang selalu kupakai sebelum berangkat ke sekolah dengan perasaan sedih. Abah sudah bilang akan membelikanku sepatu baru, tapi perkataannya tidak juga menjadi kenyataan hingga sekarang. Aku tahu Abah belum punya uang lebih. Kaki Abah sakit sejak minggu lalu, makanya ia tidak banyak bergerak dan belum bisa bekerja jadi kuli bangunan lagi.

 

Aku menyingkirkan sepatu butut itu, melepaskan tas, lalu ke dapur, menemui Abah yang sedang sarapan singkong rebus.

 

"Bah, Agus mau kerja bantu Abah saja hari ini. Agus tidak akan berangkat ke sekolah, ya."

 

Abah berhenti mengunyah singkong. Ia seakan tidak percaya dengan apa yang kukatakan barusan. Namun sejurus kemudian, ia pun tersenyum dan berkata, "Lho, kenapa tidak sekolah? Kalau Agus mau bantu, Agus bisa bantu Abah setelah pulang sekolah. Agus sudah kelas enam, masa mau bolos. Nanti kalau tidak lulus, bagaimana?"

 

Aku terdiam. Sebenarnya, ingin kujawab dengan sejujur-jujurnya kalau tujuanku membantu Abah, agar uang untuk membeli sepatu lekas terkumpul, tapi aku tidak berani bicara untuk saat ini.

 

"Abah akan tawarkan singkong ke Pak Jumadi, teman di kampung sebelah. Katanya suka bikin keripik, jadi kamu sekolah saja, ya. Uang bekal hari ini masih ada, kok. Ini," ucap Abah sambil mengeluarkan uang lima ribu dari sakunya. Aku pun menerimanya dengan sedikit ragu.

 

"Abah ke sana naik apa? Ada ongkos buat ke kampung sebelah?"

 

"Itu perkara nanti. Abah bisa nebeng ke tetangga. Mang Yosep juga kalau tidak salah ada urusan mau ke sana."

 

Aku mengangguk-angguk. Memang Abah ini orangnya mudah akrab. Tidak heran kalau Abah punya banyak kenalan yang suka membantu. Memikirkan itu, aku jadi sedikit lega. Walaupun keinginanku untuk membeli sepatu baru belum tentu terlaksana, setidaknya ada kemungkinan kami bisa makan nasi dengan lauk yang lebih layak besok. Semoga saja, singkong Abah banyak yang membeli.

 

Aku melangkah keluar dari rumah. Sepatu butut yang saat ini kukenakan sangatlah tidak nyaman. Sudah bolong-bolong bagian bawahnya. Kalau misal kena genangan air, otomatis kena kaus kakinya juga. Lalu setelah itu, bau busuk yang tercium dari kaus kakiku itu sudah tentu tidak dapat lagi dihindari. Baunya menyengat dan mungkin bisa membuat orang pingsan. Aku saja tidak sanggup kalau lama-lama mencium baunya.

 

Di tengah perjalanan menuju ke sekolah, tidak disangka aku malah ditahan di warung Mang Kumara.

 

"Agus, ke sini dulu sebentar!" teriak Mang Kumara.

 

Aku menurut saja. Sepertinya ini masih terlalu pagi untuk sampai ke sekolah, jadi aku merasa masih punya waktu.

 

"Duduk dulu. Ada yang mau kuberikan," katanya lagi.

 

"Baik, Mang," jawabku seraya duduk di kursi panjang warungnya Mang Kumara. Tidak lama kemudian, saat Mang Kumara kembali ke dalam rumahnya entah untuk mengambil apa, datanglah beberapa pelanggan yang sepertinya sudah biasa ada di warung Mang Kumara.

 

"Sebentar lagi, tujuh belasan. Hari kemerdekaan. Halah, hukum di negeri kita aja masih ruwet begini. Bisa dibeli dengan uang, masyarakat masih banyak yang sengsara, makan pun masih ada yang cuma sekali sehari. Merdeka dari mananya negeri kita ini?"

 

Salah satu pelanggan itu bicara dengan nada berapi-api. Aku pun mau tidak mau ikut menyimaknya.

 

"Betul, sih. Hukum dibeli, rakyat banyak yang sengsara, memang sebenarnya kemerdekaan kita ini palsu. Capek hidup di negeri ini."

 

Pelanggan yang lainnya menimpali dengan pendapat serupa. Pembicaraan mengenai pemerintah dan kondisi rakyat yang menyedihkan terus berlangsung. Aku terus mendengarkan pembicaraan tentang kemerdekaan yang bagi mereka palsu itu, sebelum akhirnya Mang Kumara menepuk pundakku. "Maaf lama, Gus. Ini, ada sedikit makanan untuk kamu makan di sekolah. Kemarin abahmu bantu Amang di ladang, bantu mengusir ular. Kalau tidak ada abahmu, bisa saja Amang sudah mati."

 

Aku mengangguk, menyambut riang bungkusan beraroma harum itu. Aku yakin isinya nasi goreng dengan suwiran daging ayam. Aroma daging yang menyatu dengan kecap, bawang goreng, dan bumbu lainnya begitu jelas. Sungguh pastilah ini akan jadi nasi goreng paling nikmat di dunia.

 

"Terima kasih, Mang."

 

"Iya, sudah sana. Nanti kamu kesiangan."

 

Aku kembali berjalan menuju ke sekolah. Padahal tadi sudah makan singkong rebus untuk sarapan, sekarang aku sudah lapar lagi. Ya, karena aroma nasi goreng ini yang amat menggoda, tapi aku akan menahan keinginanku untuk memakannya. Aku akan makan ketika waktu istirahat nanti.

 

Sesampainya di sekolah, aku segera masuk ke kelas. Pelajaran pertama dimulai setelah beberapa menit kemudian. Sebelum memulai pelajaran, Pak Candra membagikan buku sejarah yang sudah lusuh kepada murid-murid.

 

"Dalam rangka menyambut hari kemerdekaan, sebelum memulai pelajaran pertama hari ini, seperti yang sering kita lakukan setiap tahun, hari ini pun Bapak akan kembali menceritakan sejarah Indonesia saat berjuang meraih kemerdekaan. Pasti sebenarnya kalian sudah tahu dan sudah sering mendengar, tapi Bapak tetap akan menceritakannya."

 

Begitulah Pak Candra. Sejak ia menjadi guru sejarah di sekolah kami setahun yang lalu, tepat saat aku naik ke kelas enam, ia selalu bersemangat kalau bercerita tentang sejarah Indonesia, salah satunya tentang bagaimana Indonesia meraih kemerdekaan. Pak Candra selalu menerangkan dengan penuh penghayatan, bahkan ada saat ketika ia menjelaskan tentang detik-detik proklamasi berkumandang, Pak Candra menyeka ujung matanya yang basah. Oh, tentulah aku dan murid lain ikut tersentuh, seolah-olah kami memang dekat sekali dengan peristiwa itu.

 

Hari ini pun, kami akan mengulangi hal yang sama. Kami akan mulai membuka halaman demi halaman buku sejarah yang sudah lusuh dan berdebu, lalu Pak Candra pasti akan menangis lagi ketika berbicara tentang beratnya perjuangan bangsa Indonesia meraih merdeka. Perasaan kagum dan haru, akan kami rasakan kembali.

 

 

***

 

Usai jam sekolah berakhir, aku pulang. Masih dengan sepatu butut yang memang satu-satunya kumiliki, aku terus melangkah melewati jalanan beraspal yang panas. Tiba-tiba terngiang di kepalaku kata-kata yang sempat diucapkan pelanggan-pelanggan warung Mang Kumara. Tentang kemerdekaan yang palsu, tentang hukum yang bisa dibeli, tentang rakyat yang sengsara.

 

Kalau kupikir lagi, mungkin semua itu memang benar adanya. Aku berpikir apakah kemerdekaan yang dimiliki rakyat negeri ini palsu?

 

Rasanya itu pun tidak bisa dikatakan benar. Di buku sejarah yang sudah kubaca berulang kali, di setiap cerita yang selalu Pak Candra sampaikan soal kemerdekaan, perjuangan Indonesia untuk meraih kebebasan dari tangan penjajah itu benar adanya. Bukan kebohongan, bukan tipuan. Semuanya sudah terbukti. Bangsa ini sudah tidak lagi dijajah. Sudah merdeka. Sudah bebas.

 

Jadi, sebenarnya mana yang benar? Apakah untuk orang susah sepertiku, orang susah seperti Abah, kemerdekaan itu tidak ada?

 

Aku membawa pertanyaan itu ke hadapan Abah. Ia tengah menggali singkong di ladang. Aku menghampirinya, dengan masih memakai seragam sekolah, tas, dan tentunya sepatu butut.

 

"Bah, kapan kita merdeka?" tanyaku sambil tidak ragu duduk di tanah. Mungkin Abah akan merasa aneh karena pertanyaanku yang tiba-tiba itu, tapi aku benar-benar ingin tahu jawaban Abah.

 

Abah yang sedang menggali singkong, berhenti sejenak. Aku mengalihkan pandangan dari tatapannya dan mulai memainkan daun-daun singkong yang berserakan.

 

"17 Agustus, tahun 1945. Kamu sedang main tebak-tebakan atau bagaimana? Masa kamu tidak tahu soal itu?"

 

"Bukan, Bah. Menurut Abah, kita ini sudah merdeka atau belum?"

 

"Sudah. Sudah tidak ada yang menjajah kita. Kita sudah tidak dijajah lagi oleh negara lain."

 

"Bukan itu, Bah."

 

Lalu Abah malah mendekat, menghampiriku.

 

"Apa kalau gitu?"

 

"Tadi, di warungnya Mang Kumara, Agus disuruh mampir sebentar, Mang Kumara memberi nasi goreng buat makan siang di sekolah."

 

"Alhamdulillah. Bagus kalau begitu. Baik memang dia."

 

"Ya, karena Abah baik juga, bukan? Bantu dia usir ular."

 

"Iya-iya."

 

"Tapi bukan itu, Bah. Bukan soal itu."

 

"Terus, soal apa?"

 

"Ada Bapak-Bapak yang berkumpul di warungnya Mang Kumara tadi. Mereka berbicara soal kemerdekaan Indonesia."

 

"Wah, bagus. Mungkin karena menjelang 17 Agustus, ya."

 

Aku mengangguk. "Tapi kata mereka, negara kita belum merdeka, Bah."

 

"Kenapa?"

 

"Karena hukum bisa dibeli, rakyat masih banyak yang sengsara, kurang lebih begitu, Bah. Kata-kata mereka itu. Menurut Abah bagaimana? Sepertinya memang apa yang mereka katakan itu benar ya, Bah?"

 

"Bisa benar, bisa tidak. Abah bukan orang pemerintahan, tidak tahu soal hukum yang dibeli, tapi bisa saja itu terjadi. Kalau soal rakyat masih banyak yang sengsara, itu juga mungkin benar. Tapi bukan berarti kita belum merdeka."

 

"Jadi, kita sudah merdeka, tapi walaupun sudah merdeka, tetap saja sengsara?"

 

Abah diam sebentar. Melihat sekeliling ladang, lalu menjawab, "Kamu merasa sengsara?"

 

"Sekarang, Bah?"

 

"Iya, apa sekarang kamu merasa sengsara? Sedih?"

 

"Iya, Bah."

 

Akhirnya aku katakan sebuah kejujuran.

 

"Kenapa?"

 

"Ya, kalau kita kaya, Agus bisa beli sepatu baru, Bah."

 

Aku menatap kedua kakiku sendiri, kedua kaki yang dibalut dengan sepatu tak layak pakai.

 

"Maafkan Abah, ya. Lusa kita beli sepatu baru. Pak Jumadi mau borong singkong kita katanya."

 

Seketika aku merasa bahagia. Harapan punya sepatu baru pun semakin dekat untuk menjadi kenyataan. Seakan tidak percaya, aku bertanya lagi untuk memastikan, "Betul, Bah? Agus bakalan punya sepatu baru?"

 

"Betul!"

 

Setelah itu, Abah pun bangkit, dengan langkah kaki yang tertatih, karena mungkin masih sakit. Ia kembali mencabuti singkong. Aku membuka sepatuku, mencoba membantu Abah.

 

Kemudian kami tertawa ketika aku hampir terjengkang karena berusaha mencabut batang singkong dengan sekuat tenaga.

 

Aku melihat kebahagiaan di mata Abah saat ia melihatku tertawa. Aku melihat bagaimana ia begitu bersemangat mengatakan tentang rencana membeli sepatu baruku nanti.

 

Namun ….

 

"Abah, bagaimana kalau uangnya kita pakai berobat kaki Abah saja? Sepatu Agus, nanti saja lagi," kataku saat kami hampir selesai mengumpulkan singkong yang hendak dijual.

 

Abah mengelus kepalaku dengan lembut. "Kaki Abah akan segera sembuh. Kakimu jangan terluka, ya. Kita akan tetap beli sepatu baru yang bagus."

 

Aku hanya mengangguk. Aku menyadari satu hal paling penting hari ini. Abah punya hati yang sepenuhnya sudah merdeka. Merdeka dari rasa benci dan mungkin sejuta prasangka. (*)

 

 

 

 

Tasikmalaya, 15 Agustus 2023

 

 

Tentang Penulis

 

 

Imas Hanifah N. Lahir dan tinggal di Tasikmalaya. Merupakan salah satu admin di lokerkata.com. Ia aktif menulis di beberapa platform kepenulisan. Sebagian karyanya sudah dimuat di media online maupun media cetak. Antologi terbarunya berjudul Jejak Mengabur terbit pada Juni 2023, berisi kumpulan cerpen bersama penulis lain di Amateur Writer Indonesia.

 

 


 

 

Tuesday, August 15, 2023

Cerpen Kompetisi : Merdekaku Karya ZaMo

 

MERDEKAKU

Penulis: ZaMo

 

“Ma, saya sudah bercerai dengan Mas Bagus.” Kalimat itu keluar dari mulut seorang anak perempuan yang sudah tidak mengunjungi ibunya selama satu tahun lamanya. Aku.

Pagi itu, aku tahu aku akan mengacaukan sisa hari mama. Atau yang terburuk, mungkin sisa hidupnya.

Dentingan suara bunyi ujung gunting yang membentur lantai adalah suara pertama yang kudengar setelah suaraku sendiri.

Mama yang sedang duduk di dekat jendela menghentikan aktivitas menjahitnya, mengalihkan pandangannya dari gerak jarum padaku. Tatapan yang sedikit membuatku merinding, namun aku bergeming.

Suasana rumah yang bermandikan cahaya matahari lewat jendela-jendela yang dibuka mendadak berubah suram.

“Bercanda, kan?” Suara mama terdengar gemetar, dari raut wajahnya pun ia tahu aku tidak sedang bercanda.

Rumah tanggaku dengan Mas Bagus memang tidak pernah benar-benar baik-baik saja, bahkan sejak awal pernikahan kami. Mama pun tahu itu.

Aku menggeleng, tangan kanan mencengkeram tali tas untuk sedikit menguatkan kaki yang rasanya sudah ingin cepat-cepat lari sejak tadi.

Reaksi mama adalah sesuatu yang sudah kuprediksi, karenanya aku sengaja mengurus semuanya diam-diam beberapa bulan belakangan ini.

Mama bangkit berdiri, menghempaskan selimut berlubang yang belum selesai ia jahit karena putri sulungnya ini. Hempasan kasar yang bukan pertama kali ini kulihat karena mama memang suka membanting barang-barang saat sedang marah.

“Mama mau ke mana?” Kutahan tangannya. Kali ini ganti suaraku yang gemetar.

Mama orang yang nekat. Saat adik bungsuku memberitahunya kalau ia hamil padahal masih duduk di bangku SMA, mama berlari ke jalan raya, menabrakkan dirinya pada kendaraan yang lewat, mengutuk dirinya karena gagal mendidik anak. Aku takut ia akan melakukan hal yang sama lagi, karena aku.

Mama menghempaskan tanganku hingga mengenai ujung meja, darah segar menetes, namun sedikit pun perempuan yang membawaku lahir ke dunia itu tidak peduli. “Mau bicara dengan Bagus.”

“Bicara dengan saya saja,” selaku.

Kutarik napas pelan, mempersiapkan mental untuk menjatuhkan bom kedua. “Berbicara dengan Mas Bagus tidak akan mengubah apapun. Saya yang menceraikannya.”

Tamparan keras mendarat di pipiku. Panas.

Ini juga bukan pertama kalinya, mama selalu melakukannya setiap kali aku mengatakan ingin berpisah dengan Mas Bagus. Awal-awal aku masih sering menangis, sekarang sudah kebal. Setetes pun tidak ada cairan yang keluar dari mataku.

“Keputusan sudah dibuat oleh pengadilan, tidak akan ada yang berubah,” imbuhku dengan tangan terkepal kuat.

“Perempuan tidak tahu diuntung!” kutuk mama.

Aku menarik salah satu sudut bibirku tipis. Menertawai kuatku yang hanya sampai sebatas ini. Kalimat mama barusan nyatanya masih membuatku sakit hati. Payah.

“Harusnya kamu bersyukur Bagus memilihmu di antara banyak perempuan yang ingin bersanding dengannya dulu.” Mama berbicara sambil menoyori kepalaku. “Dia kaya, terhormat.”

Aku memberanikan diri menatap mata mama. “Hanya itu, kan?”

“Hanya dua hal itu ‘kan yang Mas Bagus punya?” Aku sedikit meninggikan nada bicaraku.

Dua hal yang membuat mama tergila-gila pada anak camat yang naksir dengan putrinya, hingga mama memaksaku untuk menghentikan pendidikan S2 yang sedang kujalani dengan beasiswa yang susah-susah kudapat hanya karena calon mantu idamannya itu ingin cepat naik ke pelaminan. Dua tahun setelah pernikahan, baru kuketahui kalau ternyata itu hanya kedok, ia tidak ingin istrinya memiliki pendidikan lebih tinggi darinya.

“Memang apa lagi yang dibutuhkan dalam hidup lebih dari dua hal itu?” balas mama. Tatapannya masih semembara sebelumnya.

“Mama tidak pernah peduli saya bahagia atau tidak?” debatku.

“Apa yang lebih membuat seorang perempuan bahagia dibanding tinggal di rumah yang bagus, memakai baju-baju mahal, perhiasan tinggal pilih, tidak direndahkan orang?” Mama memelototiku, merasa menang.

Mama terlahir dari keluarga miskin, menikah dengan laki-laki yang hanya memberi nafkah saat ingat, anak-anaknya tidak ada yang bisa dikatakan sukses, karenanya sedikit banyak aku paham mengapa ia memandang kebahagiaan sesempit itu.

“Agar tidak direndahkan orang.” Aku mengulang apa yang mama katakan. “Itu ‘kan yang paling penting bagi mama?”

Mama menatapku dengan mata yang memerah penuh amarah. Batasnya kulewati dan mungkin akan lebih lagi.

Kutunggu ia bicara, namun tidak ada suara. Jadi, aku bicara lagi, “Itu juga alasan mama tidak pernah bisa benar-benar bahagia selama ini. Mama terlalu memikirkan pandangan orang.”

Tamparan keras lain kembali mendarat di pipiku. Aku tidak peduli, masih ingin bicara. “Seandainya dulu mama mau papa ceraikan, seandainya dulu mama memilih untuk mengejar kebahagiaan mama sendiri, mama pasti akan ribuan kali lebih bahagia, dan aku tidak perlu menanggung semua penderitaan ini.”

Ya, mama dalam ingatan masa kecilku adalah seorang perempuan pekerja keras. Ia cantik, pandai berjualan, dan hampir tidak pernah mengeluh. Masakan mama enak, tidak jarang orang meminta bantuannya untuk memasak saat ada acara. Mama senang-senang saja, dapat uang untuk tambahan kebutuhan rumah dan jajan anak. Namun, semuanya berubah ketika masa puber kedua papa datang hingga di titik ia ingin menikah lagi.

Mama tidak mau cerai, baginya menjadi janda cerai adalah aib. Katanya tidak ada satu pun orang di kampungnya yang bercerai. Ia tidak ingin menjadi yang pertama, namun tidak sadar sudah mengubah hidupnya sendiri dan anak-anaknya menjadi neraka.

Sejak itulah mama berubah, menjadi sangat emosional, pemarah, dan pemalas. Bagian terburuknya, aku bahkan tidak bisa menyalahkannya atas semua itu. Mama adalah korban, begitu pun aku.

Aku menunduk, menumpukan pandanganku pada ujung daster mama yang kubelikan sebulan sebelum pernikahanku dengan Mas Bagus dulu, warnanya sedikit memudar, sudah lima tahun yang lalu. Selama lima tahun itu pulalah aku tidak pernah bisa memberikan apapun untuk mama lagi. Mas Bagus tidak mengizinkanku, menyebut mama hanya akan memperalatku. Tidak pernah memberiku uang belanja lebih, semua uang ia yang pegang. Rasanya aku hanyalah pembantu yang halal untuk ia tiduri.

Namun, tidak pernah mama protes. Mas Bagus tetap menantu yang selalu ia bangga-banggakan.

Mama mengembuskan napas keras.

“Kamu senang mamamu jadi bahan tertawaan dan gunjingan orang karena menjanda? Dianggap tidak bisa urus suami.” Mama mengepalkan tangannya hingga otot-otot di lengan kurusnya semakin terlihat. Ada bersitan kebahagiaan di dalam diriku melihatnya berusaha menahan diri untuk tidak memukulku lagi.

“Menjadi janda bukan dosa, Ma!”

“Justru mereka yang menggunjing orang lain itulah yang berdosa.”

Mama mengibaskan tangannya, tidak ingin mendengar apapun dariku yang selalu ia anggap hanya sebagai omong kosong.

“Kamu bukan lagi anak mama, jangan pernah menginjakkan kaki di rumah ini lagi,” pungkas mama tanpa menatapku. Badan ringkihnya ia bawa kembali ke kamar, meninggalkan putrinya yang sedang sangat membutuhkan dekap erat dan usapan lembut di punggung.

Tubuh mama menghilang di balik gorden merah muda yang dulu sering kugunakan untuk bersembunyi saat bermain petak umpet dengannya. Sekarang, di kamar itu hanya ada mama yang mungkin tengah hancur karenaku. Namun, kuharap mama tahu hormatku padanya tidak akan pernah hilang, karenanya aku memilih jalan ini.

“Kak.”

Aku terkesiap, melompat keluar dari lamunanku ketika tangan Wini, adik bungsuku menyentuh bahuku. Dari tatapannya, aku tahu Wini mendengar semuanya dan dengan matanya, ia berusaha menguatkanku. Aku mengangguk, memeluknya sebentar, lalu pamit pergi.

Aku setengah berlari keluar, namun seseorang yang berdiri di teras menghentikan langkahku hanya dengan keberadaannya.

Hisman berjalan ke arahku, mengulurkan salep dan amplop yang tampaknya sudah ia siapkan sejak tadi. Kugigit bibir bagian dalamku kecil, ia pasti melihat bekas memar di lenganku karena pukulan tongkat kasti Mas Bagus. Sudah beberapa bulan lalu, namun bekasnya belum hilang. Mungkin tidak akan pernah hilang.

“Man, saya sudah melakukan hal yang benar, kan? Saya akan bahagia, kan?”

Hisman tersenyum tipis dan menganggukkan kepalanya. Ia tepuk tanganku lembut. “Bahagia dan merdeka.”

Aku tertawa tanpa suara. Kuharap juga begitu.

Walau aku tidak pernah membicarakan tentang masalah rumah tanggaku pada Hisman, namun aku tahu ia tidak bisa mencegah dirinya untuk tahu karena mama yang selalu berakhir menceramahiku dengan teriakan setiap kali aku mengadu dan memberitahunya ingin menyerah.

Kutatap wajah lelaki yang pernah kuimpikan menjadi suami itu selama beberapa detik, menyayangkan keberanianku yang tidak cukup kuat untuk memperjuangkannya, namun sepertinya itu adalah yang terbaik. Mama mungkin akan menghunuskan pisau pada kami berdua jika tahu aku ada main dengan putra perempuan yang sudah membuat papa berpaling darinya.

“Titip mama, ya,” pintaku pada Hisman. Aku tahu tidak ada yang bisa lebih kupercaya tentang keluarga sedarahku lebih dari ia. Ibu Hisman sudah meninggal tiga tahun lalu, kecelakaan bersama papa, namun ia memilih untuk tetap tinggal di rumah ini bersama mama dan Wini.

Hisman menahan tanganku saat aku akan beranjak pergi, diletakkannya salep dan amplop yang ia pegang di telapak tanganku. “Bawa ini.”

“Terima kasih,” ucapku sungkan.

“Hati-hati.”

Aku mengangguk dan melangkah pergi, menghampiri tukang ojek yang tadi mengantarku ke sini dan kuminta untuk menunggu.

Tepat saat aku menginjakkan kaki di trotoar, lagu Indonesia Raya yang dinyanyikan oleh tim paduan suara perayaan kemerdekaan berkumandang dari lapangan seberang jalan.

Ya, hari ini adalah tanggal 17 Agustus, Hari Kemerdekaan Indonesia. Hari yang kuharap juga akan mengantarkanku pada kemerdekaanku sendiri.

Kualihkan pandanganku dari sang merah putih yang sudah selamat sampai puncak tanpa terbelit pada wallpaper ponselku yang menampilkan York Minster. Beberapa jam lagi aku akan berada di negara tempat kota itu berada, melanjutkan pendidikanku dengan beasiswa yang susah payah kuperjuangkan selama dua tahun terakhir.

Sama dengan para pahlawan yang berjuang untuk kemerdekaan negara ini di masa lalu, aku juga akan berjuang untuk menjadi pahlawan bagi hidupku sendiri yang selama ini kehilangan arti setelah memasuki mahligai pernikahan yang sama sekali tidak kuingini.

Seperti kata Hisman, aku akan bahagia dan merdeka.

Tentu saja itu membutuhkan perjuangan dan aku sudah lebih dari siap untuk memperjuangkannya.

Kutarik napas dalam dan mengembuskannya kuat. Menghempaskan sisa-sisa sesal dan ketakutan yang hanya akan menjadi kerikil penghalang bagi langkahku.

Kutatap rumah tempatku tumbuh selama dua puluh tiga tahun itu sekali lagi.

“Saya akan kembali, Ma … dengan lebih bahagia.”

***

 

 

PROFIL PENULIS

 

ID ANGGOTA PK235258745794. ZaMo sudah menekuni dunia literasi sejak remaja, ia senang berkumpul dengan orang-orang yang berpikiran positif dan membawa dampak positif.

 


 

Cerpen Kompetisi : Sesungguhnya Kita Masih Dijajah Karya N. Laila

 

SESUNGGUHNYA KITA MASIH DIJAJAH

Penulis: N. Laila

           



Makna kemerdekaan adalah bebas dari penjajah. Namun, apakah Indonesia sudah benar-benar merdeka dari segala bentuk penjajahan?

 

 

“Berapa kompensasi yang kudapat jika terjadi kesalahan teknis?”

Astaga, sontak aku berpikir Ibu terlalu lembek mendidikku. Wajahnya lebih dingin dari arak yang dihidangkan di meja kami.

Arthuro merupakan orang pribumi yang dilahirkan dengan nama depan terlalu Latin dan perawakan setengah Eropa. Matanya terlihat bengis dan rahang yang membuat iri para preman pasar. Ia datang ke perusahaan sebagai subjek penelitian eksperimen.

Pada hari pertama perjumpaan kami, setelannya lebih rapi daripada bosku sendiri. Kemeja putih, celana bahan hitam, sepatu hitam. Kalau kau bekerja di Microsoft atau Delta Air Lines, busana seperti itu akan sangat normal. Namun, aku bekerja di sebuah perusahaan OSCORP dengan seorang bos yang bisa datang menggunakan kaus polo Ralph Lauren dan pulang “berseragam” LA Lakers. OSCORP merupakan sebuah perusahaan pelopor teknologi yang memiliki keahlian penuh dalam segala hal sains mulai dari robotika hingga genetika.

“Ah, Bara, sepertinya rekor datang pagimu punya penantang sekarang,” cibir bosku yang kini tampak terlalu konvensional dalam segi apa pun. Ya, ketika aku datang, Arthuro sudah duduk sendirian di sofa lobi kantor.

Arthuro menatapku sambil tersenyum dingin. “Saya sudah menandatangani surat persetujuan subjek eksperimen dan menyetujui semua peraturan perusahaan. Dia memberimu delapan. Tapi kalau kau bisa mendapat lima saja, saya bisa membuang obat tidur ke kloset.”

Darahku menjadi dingin. Aku melongok ke arah bosku untuk menuntut penjelasan. Apakah wajahku memiliki citra pelawak sehingga ia malah tertawa?

“Bara,” panggilnya, menepuk pundakku. Dua minggu bukan waktu yang cukup untuk membiasakan diri dengan gaya bicaranya yang singkat menusuk. “Kautemani Arthuro pergi menguji kelayakan mesin. Meski secara fisik bangsa Indonesia telah merdeka sejak 1945, tetapi kita masih dijajah oleh teknologi yang semakin hari kian berkembang. Perkembangan teknologi yang maha dahsyat itu telah berhasil menjajah generasi muda.”

“Santai saja. Saya berharap jawabannya tidak, kok. Kalau kau berhasil pulang dengan membawa dampak baik, bukan hanya delapan, tetapi sepuluh miliar pun menjadi milikmu,” lanjut bosku.

Kami diberi waktu satu pekan untuk mempersiapkan diri menjadi tikus praktikum sebelum dieksekusi. Aku tidak berperan sebagai relawan uji klinis vaksin yang dijamin asuransi kesehatannya. Melainkan, sebuah apel di atas kepala seseorang yang hendak dipanah, kembali utuh atau tidak, bergantung kepada keberuntungan. Sampai tibalah saatnya di mana aku dan Arthuro bermain dengan kematian.

Terowongan mesin waktu atau yang kami sebut “Wormhole” tampak seperti mimpi buruk di kepala anak-anak. Terowongan sempit dengan kedua ujung lebih lebar—mirip dua buah corong yang bagian kecil ujungnya saling terhubung—merupakan ciptaan sekelompok ilmuwan OSCORP dibuat dengan menyimulasikan dua foton, partikel tunggal cahaya dasar yang dapat berinteraksi ketika melakukan perjalanan waktu.

Arthuro menepuk pundakku cukup keras. “Tidak perlu takut mati. Bukankah kau percaya Tuhan? Jika belum saatnya mati, tubuh tanpa kepala pun kau masih bisa berjalan.”

Apakah hidup baginya hanya sebuah lelucon? Hidup dan mati memang di tangan Tuhan, tetapi alat di depan kami ini tidak bedanya media untuk bunuh diri.

Bosku mulai mengatur tujuan hari, tanggal, bulan, dan tahun yang akan dikunjungi, tetapi tidak memberi tahu kami secara detail. “Tenanglah, Bara. Obyek astronomis ini selaras dengan teori Relativitas Umum dan Mekanika Umum Albert Einstein. Apa yang perlu diresahkan?” cetusnya.

“Kenapa tidak Bos saja yang coba?” Ia hampir menampar mulutku dengan sepatu.

Tentunya, kami tidak langsung dibuang bertelanjang badan seperti kotoran. Kemungkinan tubuh kami akan hancur lebur dalam se per sekian detik ketika meluncur di wormhole. Ada mesin khusus serupa kapsul dengan bodi terbuat dari zirkonium berlapis boron. Aku dan Arthuro berbaring di mesin tersebut secara terpisah dengan tingkat keamanan sempurna. Sabuk pengaman ini nyaris membuatku kesulitan memperoleh oksigen dan membuang karbon dioksida.

Mesin meluncur memasuki terowongan penjelajah waktu yang gelap dan mengeluarkan bunyi dengung menakutkan—seperti bunyi “ng” yang sangat panjang tanpa waktu jeda. Sontak aku berpikir inilah rasanya kematian, dilingkupi kegelapan dan ketakutan. Ibu pernah mendidikku untuk “survive alone”. Boleh jadi hari ini banyak yang menyayangiku, tetapi, “In the end of the day, just you, and yourself,” tuturnya.

Kami terkatung-katung di dalam wormhole selama beberapa jam, sebelum akhirnya mendarat di sebuah hutan atau perbukitan pada malam hari.

Arthuro tidak menjawab pertanyaanku. Di mana ini? Tahun berapakah? Mengapa begitu pekat bau anyir darah? Aku merinding sekujur badan, tetapi ia tetap terlihat gagah sambil menutup hidung dengan kerah kemejanya. Kami menelusuri tempat ini dengan bantuan korek api, gelap dan sepi. Namun, isi kepalaku ribut dihantui teriakan-teriakan pilu yang mungkin saja hanya halusinasi semata.

Kami menemukan sebuah pos jaga. Pria berperawakan gagah dengan tinggi sekitar 160 cm, memakai seragam hansip, dan kumis tebal yang melintang, lantas mencegat kami. “Cepat kenakan seragam! Sebentar lagi rombongan truk yang membawa pesakitan ke lokasi pembantaian akan segera sampai!” perintahnya tiba-tiba.

“Kenapa diam? Bukankah kalian hansip baru yang dikirim kantor camat untuk ditempatkan di sini? Kami kekurangan petugas!” Tatapan pria itu seperti hendak menelan kami hidup-hidup.

“Ya!” jawab Arthuro.

Cukup lama aku membatu untuk mencerna setiap kalimat yang dikatakan pria itu. Namun, mengapa Arthuro mengiyakannya begitu saja?

Kami berganti pakaian. Diam-diam Arthuro memberi penjelasan lewat petunjuk yang didapatkannya dalam tabel jadwal harian jaga di dinding pos. “Kita berada di perbukitan Seulawah, pinggiran Kota Sigli, Aceh pada Oktober tahun 1965. Itu artinya ....” Ia menjeda kalimatnya. “Sedang terjadi penangkapan massal orang-orang komunis.”

“Dari mana kautahu?” tanyaku.

Ia menoyor kepalaku. “Pemuda yang berhasil dijajah teknologi akan melahirkan generasi yang bodoh.”

Ketika langit di atas perbukitan Seulawah makin gelap gulita, jam sembilan malam rombongan truk yang membawa para tahanan tiba di pos jaga. Mereka yang membawa orang-orang putus asa itu merupakan TNI, polisi, polisi militer, dan Pertahanan Sipil (Hansip) dari kecamatan. Aku turut dipaksa ikut menjadi algojo yang bermain di lokasi pembantaian. Sungguh, ini seperti mimpi buruk, dan aku tidak bisa melakukan apa-apa.

“Kalau tidak mati atau lepas kepalanya, potong lagi! Tarik rambutnya, potong lagi!” teriak seorang tentara lengkap dengan seragam, sepatu hitam, dan topi pet.

Tidak berpanjang-panjang Arthuro mengayunkan parang sebanyak dua kali ke tengkuk tahanan hingga kepalanya terpisah. Sontak aku merasa mual dan lemas. Rasa dingin mengalir di punggungku. Gelombang ketakutan merambat dari ujung kepala hingga ujung kaki. Aku lumpuh seketika.

Mereka yang hendak dieksekusi itu duduk satu per satu, kakinya masuk ke dalam lubang pembuangan mayat. Mereka adalah orang-orang sial yang dituduh anggota, simpatisan, dan ada kaitannya dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), atau bagian dari Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Laki-lakinya hanya mengenakan kaus putih dan kain sarung. Perempuan mengenakan kebaya, sebagian dari mereka adalah penari.

“Keluarkan!” Kali ini, satuan polisi militer menggeledah tubuh tahanan dan menemukan sesuatu di kantong bajunya. “Apa ini?!”

Ia menjawab dengan kepala tegak dan sorot mata berani. “Kitab surat Yasin. Kami diperlakukan seperti anjing. Biar Tuhan yang mengadili!”

“Mana ada Tuhan! Apa Tuhan? Mana Tuhan?!” Hardikan terakhir sebelum parang diayunkan ke tengkuk orang (yang dituduh) komunis itu.

Tidak ada satu orang pun yang dieksekusi di tempat ini ditembak dengan senjata api. Semua orang-orang komunis dihabisi sampai ke akar-akarnya menggunakan parang. Selain hemat peluru, juga untuk menjaga kesenyapan tempat kejadian perkara karena operasi pembantaian dilakukan secara “rahasia”.

Aku dipaksa memegang parang oleh satuan tentara dan dibentak-bentak, diperintah untuk melanjutkan pembantaian kepada orang-orang PKI. Betapa gemetar tanganku memperoleh alat eksekusi yang telah berlumuran darah itu. Memegang pisau saja tidak pernah benar. Di hadapanku adalah calon korban terakhir yang akan bersatu dengan empat belas mayat tanpa kepala lainnya dalam satu lubang sempit. Setiap lubang berisi antara tujuh sampai lima belas orang.

“Bunuh saya ... tapi kuburkan saya sendiri supaya anak-anak saya bisa berziarah,” mohon sang eksekutor di hadapanku sembari menempelkan jidatnya ke tanah.

Tubuhku hampir terguncang. Perut memilin dan sulit untuk bernapas. Namun, perkataan lirih pria itu tidak ada artinya bagi para algojo yang telah kehilangan hati nurani. Jiwa kemanusiaan dalam diri mereka hilang. Semua yang kulihat bagaikan sayap patah jasad-jasad yang bertumpukan di lubang. Tanpa mengalihkan tatapan dari wajah melankolis korban, aku meminta maaf lewat isyarat mata dan gerakan bibir.

“Kau benar-benar berpikir saya akan setuju dengan hal itu?” Tentara di sampingku menatapnya dengan kepuasan bengis. “Potong saja!”

Aku melempar parang. Nilai manusia di sini tidak lebih dari sebatas sapi yang disembelih. Anjing saja kalau kita sayang waktu ia mati, masih bisa usaha. Ini manusia. Nyawa-nyawa ‘tak lebihnya hama yang perlu ditumpas. Mereka dibasmi seperti kecoak. Kemudian, Arthuro menggantikan posisiku. “Biar aku saja,” katanya, demi menyelamatkanku dari amukan satuan militer.

Ketika tubuh korban ditendang ke lubang, itu belum seberapa sakitnya ketimbang melihat perempuan-perempuan yang dituduh anggota Gerwani. Mereka diperintahkan untuk melucuti pakaiannya karena dicurigai memiliki cap Gerwani. Salah seorang perempuan dengan nama Harum tetap mengaku tidak tahu-menahu. Ia hanyalah seorang penari kampung yang sering diminta tampil di hajatan-hajatan.

“Ini dia Gerwani yang mencukil mata para jenderal!”

“Ini tokoh Gerwani yang menyileti penis jenderal!”

“Ini penari Harum Bunga!”

Tuduhan-tuduhan itu melayang tanpa bukti yang jelas, hanya sentimen pribadi. Pembunuhan massal ini dilatari pembunuhan tujuh jenderal di pulau Jawa, kudeta yang gagal, polarisasi politik tingkat lokal, dendam pribadi, isu agama, hingga kampanye militer untuk menghabisi orang-orang komunis sampai ke akar-akarnya.

Lubang-lubang pembantaian memang menjadi ciri khas pembunuhan massal oleh PKI. Lubang Buaya adalah bukti autentik aksi kejam PKI dengan Gerakan 30 September 1965. Tidak tanggung-tanggung tujuh orang jenderal (Letjen TNI A. Yani, Mayjen TNI Soeprapto, Mayjen TNI M.T. Hardjono, Mayjen TNI S. Parman, Brigjen TNI D.I. Panjaitan, Brigjen TNI Soetodjo Siswomihardjo, dan Lettu Pierre Andries Tendean), dimasukkan ke dalam sumur. Para Gerwani dan Pemuda Rakyat bersorak dan bergembira ria melihat para jenderal dimasukkan ke dalam sumur di Lubang Buaya di Jakarta Timur.

“Buka ini beha, celana, berdiri telanjang. Cari cap Gerwani di pantat atau di mana!” perintah algojo kepada kami. Jika perempuan-perempuan itu melakukan perlawanan, tidak berpanjang-panjang leher mereka dipotong.

Harum masih menyangkal, “Demi Tuhan saya tidak tahu cap Gerwani itu seperti apa. Hanya jarum dan benang bola untuk menyulam masih ada di rumah.”

Pengakuan yang tidak memuaskan hati algojo akan ditumpas. Salah seorang di antaranya wanita—ditusuk kemaluannya dengan bambu runcing sampai tembus ke perut, lalu ditancapkan di tengah sawah sehingga terlihat seperti pengusir burung pemakan padi. Tentunya para algojo tidak menyia-nyiakan hidangan di depan mata begitu saja. Tubuh mereka dijarah terlebih dahulu.

Proses eksekusi berlangsung selama satu jam. Parang yang digunakan terbuat dari bahan campuran emas, kemiti, dan jarum. Adapun gagangnya terbuat dari tanduk kerbau. Panjang parangnya tidak lebih dari satu meter. Kalau terlalu panjang, tidak kencang. Kalau pendek, kencang.

Kami para petugas pos—di antaranya polisi—kemudian menerima laporan jumlah korban berikut nama-namanya. Tidak semua orang-orang yang dituduh PKI dieksekusi mati di lokasi pembantaian, ratusan lainnya digelandang ke sebuah penjara untuk menerima penyiksaan dan kekejaman dari aparat militer.

***

“Tersesat jauh di masa lalu adalah bencana.” Apa yang dikatakan Arthuro terdengar seperti kabar buruk.  

Setelah pagi, kami mengecek mesin perjalanan waktu yang terdampar cukup jauh dari lokasi pembantaian, tetapi aroma darah masih saja menguar. “Bagaimana caranya kita pulang?” tanyaku.

Arthuro mendengkus. Wajah dinginnya tidak pernah memberi harapan baik. “Jika blackhole sebagai pintu masuk, maka whitehole adalah pintu keluar. Ketika lubang hitam mulai terbentuk hingga mencapai batas tertentu, lubang hitam tersebut akhirnya akan berubah menjadi lubang putih. Kita tunggu saja whitehole itu muncul.”

Bagaimana ia bisa sesantai itu hanya dengan persepsi pribadi yang belum jelas kebenarannya? Perilakunya sangat berbanding terbalik denganku. Di mana, kehidupan ini benar-benar hanya tempat lelucon baginya.

“Itu dia,” ujar Arthuro, “masuk ke mesin sebelum lubangnya tertutup.”

“Tunggu! Tidakkah kita meminta maaf terlebih dahulu kepada korban-korban pembantaian semalam?” Aku menerawang jauh ke tempat kejadian perkara.

“Ya, tentunya.”

Jika di wormhole kemarin tidak ada yang dapat kulihat selain warna hitam. Maka, di whitehole ini bagaikan “Siksaan Ruang Putih” yang berefek brutal pada mental. Rasanya kepalaku hendak meledak, tengkorak terangkat, dan akan pecah. Untungnya, ini berjalan tidak begitu lama. Kami terlempar keluar dari whitehole di tempat semula, perusahaan OSCORP pada tahun 2023.

“Haruskah kita temui Bos?” tanyaku.

Ia menoyor kepalaku lagi. “Dia tidak benar-benar membayar kita untuk menguji kelayakan mesin waktu. Dia mengirim orang-orang sepertimu untuk mencintai sejarah. Mesin ini adalah alat teknologi canggih masa depan untuk mengenalkan sejarah kepada generasi mendatang. Sebab, sejarah akan terlupakan seiring berjalannya peradaban.”

Aku terpegun mendengar penuturan Arthuro yang lugas dan berjiwa kepahlawanan. Ya, banyak tragedi Nusantara memilukan yang menyertai derap langkah bumi pertiwi, yang akan diungkap terang benderang oleh mesin perjalanan waktu ini. Mulai dari bencana politik kemanusiaan, kerusuhan berbau SARA, konflik antar etnis, hingga korupsi.

Meski proklamasi kemerdekaan telah dikumandangkan sejak 1945 dan berita lahirnya Republik Indonesia telah menyeruak ke seantero dunia, kedaulatan tampaknya belum sepenuhnya ada di tangan bangsa ini. September 1965, enam jenderal senior diculik dan dibunuh di Pondok Gede, Jakarta, dalam peristiwa Pemberontakan G-30 S/PKI. Lalu, mayat mereka dimasukkan ke sumur tua yang kini dikenal dengan Lubang Buaya.

 Pada era 80-an, bumi Nusantara basah dan anyir darah para korban Operasi Pemberantasan Kejahatan dengan modus penembakan misterius alias Petrus. Para korban Petrus ditemukan dalam keadaan tangan dan leher terikat. Kemudian, mereka dimasukkan ke karung dan ditinggal di tepi jalan, depan rumah, dibuang ke sungai, gubuk, hutan, atau kebun.

Tahun 1989, wajah Indonesia kembali berdarah. Kelompok-kelompok pengajian di Nusantara dianggap subversif oleh penguasa. Mereka dinilai sebagai kelompok yang hendak merencanakan gerakan makar dan bertentangan dengan Pancasila—yang karenanya harus ditumpas.

Mesin ini merupakan Alat Penolong Masa Depan sebagai media baru untuk generasi muda agar tidak buta sejarah, mengantar mereka terjun langsung ke tahun-tahun kelam yang memilukan. Pembelajaran sejarah cenderung membosankan jika hanya dijejali hafalan-hafalan seputar materi. Kejadian masa lampau itu akan digali dan didalami melalui mesin waktu sehingga dapat memahami makna suatu peristiwa sejarah.

Kini, media komunikasi digital telah merambahi kehidupan manusia postmodern yang mengidap berbagai penyakit kecanduan akibat kemajuan iptek, dan sastra cetak mulai menampakkan tanda-tanda kejenuhan. Jika sejarah benar-benar dilupakan, maka anak muda Indonesia akan kehilangan identitas, jati diri, dan memori kolektifnya sebagai bangsa sehingga tidak lama kemudian NKRI akan bubar dengan sendirinya.

Arthuro kemudian melempar lima pertanyaan: Selain menjadi anggota PPKI, apa peran Achmad Soebardjo? Siapa tokoh pemuda yang membawa Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok dan mendesak proklamasi? Siapa pemilik rumah perumusan naskah proklamasi? Siapa tokoh barisan pemuda yang menyebarkan proklamasi dan membentuk komite aksi? Tanggal berapa dan di mana Jepang dibom atom oleh Amerika Serikat?

Aku bergeming. Namun, ketika ia bertanya siapa YouTuber nomor satu di Indonesia, aku bisa menjawabnya dengan cepat dan tepat.

“Bukti bahwa teknologi telah berhasil menjajah generasi muda dan mengganti otak manusia dengan otak udang yang rendah moralitasnya,” cecar Arthuro seperti hendak mengulitiku hidup-hidup. “Jadi, apakah Indonesia sudah benar-benar merdeka?”

 

Bogor, 15 Agustus 2023

 

Sumber: https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-59765929

 

PROFIL PENULIS

 

N. Laila merupakan seorang novelis, cerpenis, dan penyair. Ia juga bekerja sebagai guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan konten kreator. Karya-karyanya di antaranya: Skizofrenia, Gadis Peraih Mimpi, Suami Nyebelin, CEO Nyebelin, (bukan) Laila Majnun, Gadis Tteokbokki & Cowok Mochaccino, dan The Journey of a Governor Princess.

 

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas