Tuesday, August 15, 2023

Cerpen Kompetisi : Sesungguhnya Kita Masih Dijajah Karya N. Laila

 

SESUNGGUHNYA KITA MASIH DIJAJAH

Penulis: N. Laila

           



Makna kemerdekaan adalah bebas dari penjajah. Namun, apakah Indonesia sudah benar-benar merdeka dari segala bentuk penjajahan?

 

 

“Berapa kompensasi yang kudapat jika terjadi kesalahan teknis?”

Astaga, sontak aku berpikir Ibu terlalu lembek mendidikku. Wajahnya lebih dingin dari arak yang dihidangkan di meja kami.

Arthuro merupakan orang pribumi yang dilahirkan dengan nama depan terlalu Latin dan perawakan setengah Eropa. Matanya terlihat bengis dan rahang yang membuat iri para preman pasar. Ia datang ke perusahaan sebagai subjek penelitian eksperimen.

Pada hari pertama perjumpaan kami, setelannya lebih rapi daripada bosku sendiri. Kemeja putih, celana bahan hitam, sepatu hitam. Kalau kau bekerja di Microsoft atau Delta Air Lines, busana seperti itu akan sangat normal. Namun, aku bekerja di sebuah perusahaan OSCORP dengan seorang bos yang bisa datang menggunakan kaus polo Ralph Lauren dan pulang “berseragam” LA Lakers. OSCORP merupakan sebuah perusahaan pelopor teknologi yang memiliki keahlian penuh dalam segala hal sains mulai dari robotika hingga genetika.

“Ah, Bara, sepertinya rekor datang pagimu punya penantang sekarang,” cibir bosku yang kini tampak terlalu konvensional dalam segi apa pun. Ya, ketika aku datang, Arthuro sudah duduk sendirian di sofa lobi kantor.

Arthuro menatapku sambil tersenyum dingin. “Saya sudah menandatangani surat persetujuan subjek eksperimen dan menyetujui semua peraturan perusahaan. Dia memberimu delapan. Tapi kalau kau bisa mendapat lima saja, saya bisa membuang obat tidur ke kloset.”

Darahku menjadi dingin. Aku melongok ke arah bosku untuk menuntut penjelasan. Apakah wajahku memiliki citra pelawak sehingga ia malah tertawa?

“Bara,” panggilnya, menepuk pundakku. Dua minggu bukan waktu yang cukup untuk membiasakan diri dengan gaya bicaranya yang singkat menusuk. “Kautemani Arthuro pergi menguji kelayakan mesin. Meski secara fisik bangsa Indonesia telah merdeka sejak 1945, tetapi kita masih dijajah oleh teknologi yang semakin hari kian berkembang. Perkembangan teknologi yang maha dahsyat itu telah berhasil menjajah generasi muda.”

“Santai saja. Saya berharap jawabannya tidak, kok. Kalau kau berhasil pulang dengan membawa dampak baik, bukan hanya delapan, tetapi sepuluh miliar pun menjadi milikmu,” lanjut bosku.

Kami diberi waktu satu pekan untuk mempersiapkan diri menjadi tikus praktikum sebelum dieksekusi. Aku tidak berperan sebagai relawan uji klinis vaksin yang dijamin asuransi kesehatannya. Melainkan, sebuah apel di atas kepala seseorang yang hendak dipanah, kembali utuh atau tidak, bergantung kepada keberuntungan. Sampai tibalah saatnya di mana aku dan Arthuro bermain dengan kematian.

Terowongan mesin waktu atau yang kami sebut “Wormhole” tampak seperti mimpi buruk di kepala anak-anak. Terowongan sempit dengan kedua ujung lebih lebar—mirip dua buah corong yang bagian kecil ujungnya saling terhubung—merupakan ciptaan sekelompok ilmuwan OSCORP dibuat dengan menyimulasikan dua foton, partikel tunggal cahaya dasar yang dapat berinteraksi ketika melakukan perjalanan waktu.

Arthuro menepuk pundakku cukup keras. “Tidak perlu takut mati. Bukankah kau percaya Tuhan? Jika belum saatnya mati, tubuh tanpa kepala pun kau masih bisa berjalan.”

Apakah hidup baginya hanya sebuah lelucon? Hidup dan mati memang di tangan Tuhan, tetapi alat di depan kami ini tidak bedanya media untuk bunuh diri.

Bosku mulai mengatur tujuan hari, tanggal, bulan, dan tahun yang akan dikunjungi, tetapi tidak memberi tahu kami secara detail. “Tenanglah, Bara. Obyek astronomis ini selaras dengan teori Relativitas Umum dan Mekanika Umum Albert Einstein. Apa yang perlu diresahkan?” cetusnya.

“Kenapa tidak Bos saja yang coba?” Ia hampir menampar mulutku dengan sepatu.

Tentunya, kami tidak langsung dibuang bertelanjang badan seperti kotoran. Kemungkinan tubuh kami akan hancur lebur dalam se per sekian detik ketika meluncur di wormhole. Ada mesin khusus serupa kapsul dengan bodi terbuat dari zirkonium berlapis boron. Aku dan Arthuro berbaring di mesin tersebut secara terpisah dengan tingkat keamanan sempurna. Sabuk pengaman ini nyaris membuatku kesulitan memperoleh oksigen dan membuang karbon dioksida.

Mesin meluncur memasuki terowongan penjelajah waktu yang gelap dan mengeluarkan bunyi dengung menakutkan—seperti bunyi “ng” yang sangat panjang tanpa waktu jeda. Sontak aku berpikir inilah rasanya kematian, dilingkupi kegelapan dan ketakutan. Ibu pernah mendidikku untuk “survive alone”. Boleh jadi hari ini banyak yang menyayangiku, tetapi, “In the end of the day, just you, and yourself,” tuturnya.

Kami terkatung-katung di dalam wormhole selama beberapa jam, sebelum akhirnya mendarat di sebuah hutan atau perbukitan pada malam hari.

Arthuro tidak menjawab pertanyaanku. Di mana ini? Tahun berapakah? Mengapa begitu pekat bau anyir darah? Aku merinding sekujur badan, tetapi ia tetap terlihat gagah sambil menutup hidung dengan kerah kemejanya. Kami menelusuri tempat ini dengan bantuan korek api, gelap dan sepi. Namun, isi kepalaku ribut dihantui teriakan-teriakan pilu yang mungkin saja hanya halusinasi semata.

Kami menemukan sebuah pos jaga. Pria berperawakan gagah dengan tinggi sekitar 160 cm, memakai seragam hansip, dan kumis tebal yang melintang, lantas mencegat kami. “Cepat kenakan seragam! Sebentar lagi rombongan truk yang membawa pesakitan ke lokasi pembantaian akan segera sampai!” perintahnya tiba-tiba.

“Kenapa diam? Bukankah kalian hansip baru yang dikirim kantor camat untuk ditempatkan di sini? Kami kekurangan petugas!” Tatapan pria itu seperti hendak menelan kami hidup-hidup.

“Ya!” jawab Arthuro.

Cukup lama aku membatu untuk mencerna setiap kalimat yang dikatakan pria itu. Namun, mengapa Arthuro mengiyakannya begitu saja?

Kami berganti pakaian. Diam-diam Arthuro memberi penjelasan lewat petunjuk yang didapatkannya dalam tabel jadwal harian jaga di dinding pos. “Kita berada di perbukitan Seulawah, pinggiran Kota Sigli, Aceh pada Oktober tahun 1965. Itu artinya ....” Ia menjeda kalimatnya. “Sedang terjadi penangkapan massal orang-orang komunis.”

“Dari mana kautahu?” tanyaku.

Ia menoyor kepalaku. “Pemuda yang berhasil dijajah teknologi akan melahirkan generasi yang bodoh.”

Ketika langit di atas perbukitan Seulawah makin gelap gulita, jam sembilan malam rombongan truk yang membawa para tahanan tiba di pos jaga. Mereka yang membawa orang-orang putus asa itu merupakan TNI, polisi, polisi militer, dan Pertahanan Sipil (Hansip) dari kecamatan. Aku turut dipaksa ikut menjadi algojo yang bermain di lokasi pembantaian. Sungguh, ini seperti mimpi buruk, dan aku tidak bisa melakukan apa-apa.

“Kalau tidak mati atau lepas kepalanya, potong lagi! Tarik rambutnya, potong lagi!” teriak seorang tentara lengkap dengan seragam, sepatu hitam, dan topi pet.

Tidak berpanjang-panjang Arthuro mengayunkan parang sebanyak dua kali ke tengkuk tahanan hingga kepalanya terpisah. Sontak aku merasa mual dan lemas. Rasa dingin mengalir di punggungku. Gelombang ketakutan merambat dari ujung kepala hingga ujung kaki. Aku lumpuh seketika.

Mereka yang hendak dieksekusi itu duduk satu per satu, kakinya masuk ke dalam lubang pembuangan mayat. Mereka adalah orang-orang sial yang dituduh anggota, simpatisan, dan ada kaitannya dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), atau bagian dari Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Laki-lakinya hanya mengenakan kaus putih dan kain sarung. Perempuan mengenakan kebaya, sebagian dari mereka adalah penari.

“Keluarkan!” Kali ini, satuan polisi militer menggeledah tubuh tahanan dan menemukan sesuatu di kantong bajunya. “Apa ini?!”

Ia menjawab dengan kepala tegak dan sorot mata berani. “Kitab surat Yasin. Kami diperlakukan seperti anjing. Biar Tuhan yang mengadili!”

“Mana ada Tuhan! Apa Tuhan? Mana Tuhan?!” Hardikan terakhir sebelum parang diayunkan ke tengkuk orang (yang dituduh) komunis itu.

Tidak ada satu orang pun yang dieksekusi di tempat ini ditembak dengan senjata api. Semua orang-orang komunis dihabisi sampai ke akar-akarnya menggunakan parang. Selain hemat peluru, juga untuk menjaga kesenyapan tempat kejadian perkara karena operasi pembantaian dilakukan secara “rahasia”.

Aku dipaksa memegang parang oleh satuan tentara dan dibentak-bentak, diperintah untuk melanjutkan pembantaian kepada orang-orang PKI. Betapa gemetar tanganku memperoleh alat eksekusi yang telah berlumuran darah itu. Memegang pisau saja tidak pernah benar. Di hadapanku adalah calon korban terakhir yang akan bersatu dengan empat belas mayat tanpa kepala lainnya dalam satu lubang sempit. Setiap lubang berisi antara tujuh sampai lima belas orang.

“Bunuh saya ... tapi kuburkan saya sendiri supaya anak-anak saya bisa berziarah,” mohon sang eksekutor di hadapanku sembari menempelkan jidatnya ke tanah.

Tubuhku hampir terguncang. Perut memilin dan sulit untuk bernapas. Namun, perkataan lirih pria itu tidak ada artinya bagi para algojo yang telah kehilangan hati nurani. Jiwa kemanusiaan dalam diri mereka hilang. Semua yang kulihat bagaikan sayap patah jasad-jasad yang bertumpukan di lubang. Tanpa mengalihkan tatapan dari wajah melankolis korban, aku meminta maaf lewat isyarat mata dan gerakan bibir.

“Kau benar-benar berpikir saya akan setuju dengan hal itu?” Tentara di sampingku menatapnya dengan kepuasan bengis. “Potong saja!”

Aku melempar parang. Nilai manusia di sini tidak lebih dari sebatas sapi yang disembelih. Anjing saja kalau kita sayang waktu ia mati, masih bisa usaha. Ini manusia. Nyawa-nyawa ‘tak lebihnya hama yang perlu ditumpas. Mereka dibasmi seperti kecoak. Kemudian, Arthuro menggantikan posisiku. “Biar aku saja,” katanya, demi menyelamatkanku dari amukan satuan militer.

Ketika tubuh korban ditendang ke lubang, itu belum seberapa sakitnya ketimbang melihat perempuan-perempuan yang dituduh anggota Gerwani. Mereka diperintahkan untuk melucuti pakaiannya karena dicurigai memiliki cap Gerwani. Salah seorang perempuan dengan nama Harum tetap mengaku tidak tahu-menahu. Ia hanyalah seorang penari kampung yang sering diminta tampil di hajatan-hajatan.

“Ini dia Gerwani yang mencukil mata para jenderal!”

“Ini tokoh Gerwani yang menyileti penis jenderal!”

“Ini penari Harum Bunga!”

Tuduhan-tuduhan itu melayang tanpa bukti yang jelas, hanya sentimen pribadi. Pembunuhan massal ini dilatari pembunuhan tujuh jenderal di pulau Jawa, kudeta yang gagal, polarisasi politik tingkat lokal, dendam pribadi, isu agama, hingga kampanye militer untuk menghabisi orang-orang komunis sampai ke akar-akarnya.

Lubang-lubang pembantaian memang menjadi ciri khas pembunuhan massal oleh PKI. Lubang Buaya adalah bukti autentik aksi kejam PKI dengan Gerakan 30 September 1965. Tidak tanggung-tanggung tujuh orang jenderal (Letjen TNI A. Yani, Mayjen TNI Soeprapto, Mayjen TNI M.T. Hardjono, Mayjen TNI S. Parman, Brigjen TNI D.I. Panjaitan, Brigjen TNI Soetodjo Siswomihardjo, dan Lettu Pierre Andries Tendean), dimasukkan ke dalam sumur. Para Gerwani dan Pemuda Rakyat bersorak dan bergembira ria melihat para jenderal dimasukkan ke dalam sumur di Lubang Buaya di Jakarta Timur.

“Buka ini beha, celana, berdiri telanjang. Cari cap Gerwani di pantat atau di mana!” perintah algojo kepada kami. Jika perempuan-perempuan itu melakukan perlawanan, tidak berpanjang-panjang leher mereka dipotong.

Harum masih menyangkal, “Demi Tuhan saya tidak tahu cap Gerwani itu seperti apa. Hanya jarum dan benang bola untuk menyulam masih ada di rumah.”

Pengakuan yang tidak memuaskan hati algojo akan ditumpas. Salah seorang di antaranya wanita—ditusuk kemaluannya dengan bambu runcing sampai tembus ke perut, lalu ditancapkan di tengah sawah sehingga terlihat seperti pengusir burung pemakan padi. Tentunya para algojo tidak menyia-nyiakan hidangan di depan mata begitu saja. Tubuh mereka dijarah terlebih dahulu.

Proses eksekusi berlangsung selama satu jam. Parang yang digunakan terbuat dari bahan campuran emas, kemiti, dan jarum. Adapun gagangnya terbuat dari tanduk kerbau. Panjang parangnya tidak lebih dari satu meter. Kalau terlalu panjang, tidak kencang. Kalau pendek, kencang.

Kami para petugas pos—di antaranya polisi—kemudian menerima laporan jumlah korban berikut nama-namanya. Tidak semua orang-orang yang dituduh PKI dieksekusi mati di lokasi pembantaian, ratusan lainnya digelandang ke sebuah penjara untuk menerima penyiksaan dan kekejaman dari aparat militer.

***

“Tersesat jauh di masa lalu adalah bencana.” Apa yang dikatakan Arthuro terdengar seperti kabar buruk.  

Setelah pagi, kami mengecek mesin perjalanan waktu yang terdampar cukup jauh dari lokasi pembantaian, tetapi aroma darah masih saja menguar. “Bagaimana caranya kita pulang?” tanyaku.

Arthuro mendengkus. Wajah dinginnya tidak pernah memberi harapan baik. “Jika blackhole sebagai pintu masuk, maka whitehole adalah pintu keluar. Ketika lubang hitam mulai terbentuk hingga mencapai batas tertentu, lubang hitam tersebut akhirnya akan berubah menjadi lubang putih. Kita tunggu saja whitehole itu muncul.”

Bagaimana ia bisa sesantai itu hanya dengan persepsi pribadi yang belum jelas kebenarannya? Perilakunya sangat berbanding terbalik denganku. Di mana, kehidupan ini benar-benar hanya tempat lelucon baginya.

“Itu dia,” ujar Arthuro, “masuk ke mesin sebelum lubangnya tertutup.”

“Tunggu! Tidakkah kita meminta maaf terlebih dahulu kepada korban-korban pembantaian semalam?” Aku menerawang jauh ke tempat kejadian perkara.

“Ya, tentunya.”

Jika di wormhole kemarin tidak ada yang dapat kulihat selain warna hitam. Maka, di whitehole ini bagaikan “Siksaan Ruang Putih” yang berefek brutal pada mental. Rasanya kepalaku hendak meledak, tengkorak terangkat, dan akan pecah. Untungnya, ini berjalan tidak begitu lama. Kami terlempar keluar dari whitehole di tempat semula, perusahaan OSCORP pada tahun 2023.

“Haruskah kita temui Bos?” tanyaku.

Ia menoyor kepalaku lagi. “Dia tidak benar-benar membayar kita untuk menguji kelayakan mesin waktu. Dia mengirim orang-orang sepertimu untuk mencintai sejarah. Mesin ini adalah alat teknologi canggih masa depan untuk mengenalkan sejarah kepada generasi mendatang. Sebab, sejarah akan terlupakan seiring berjalannya peradaban.”

Aku terpegun mendengar penuturan Arthuro yang lugas dan berjiwa kepahlawanan. Ya, banyak tragedi Nusantara memilukan yang menyertai derap langkah bumi pertiwi, yang akan diungkap terang benderang oleh mesin perjalanan waktu ini. Mulai dari bencana politik kemanusiaan, kerusuhan berbau SARA, konflik antar etnis, hingga korupsi.

Meski proklamasi kemerdekaan telah dikumandangkan sejak 1945 dan berita lahirnya Republik Indonesia telah menyeruak ke seantero dunia, kedaulatan tampaknya belum sepenuhnya ada di tangan bangsa ini. September 1965, enam jenderal senior diculik dan dibunuh di Pondok Gede, Jakarta, dalam peristiwa Pemberontakan G-30 S/PKI. Lalu, mayat mereka dimasukkan ke sumur tua yang kini dikenal dengan Lubang Buaya.

 Pada era 80-an, bumi Nusantara basah dan anyir darah para korban Operasi Pemberantasan Kejahatan dengan modus penembakan misterius alias Petrus. Para korban Petrus ditemukan dalam keadaan tangan dan leher terikat. Kemudian, mereka dimasukkan ke karung dan ditinggal di tepi jalan, depan rumah, dibuang ke sungai, gubuk, hutan, atau kebun.

Tahun 1989, wajah Indonesia kembali berdarah. Kelompok-kelompok pengajian di Nusantara dianggap subversif oleh penguasa. Mereka dinilai sebagai kelompok yang hendak merencanakan gerakan makar dan bertentangan dengan Pancasila—yang karenanya harus ditumpas.

Mesin ini merupakan Alat Penolong Masa Depan sebagai media baru untuk generasi muda agar tidak buta sejarah, mengantar mereka terjun langsung ke tahun-tahun kelam yang memilukan. Pembelajaran sejarah cenderung membosankan jika hanya dijejali hafalan-hafalan seputar materi. Kejadian masa lampau itu akan digali dan didalami melalui mesin waktu sehingga dapat memahami makna suatu peristiwa sejarah.

Kini, media komunikasi digital telah merambahi kehidupan manusia postmodern yang mengidap berbagai penyakit kecanduan akibat kemajuan iptek, dan sastra cetak mulai menampakkan tanda-tanda kejenuhan. Jika sejarah benar-benar dilupakan, maka anak muda Indonesia akan kehilangan identitas, jati diri, dan memori kolektifnya sebagai bangsa sehingga tidak lama kemudian NKRI akan bubar dengan sendirinya.

Arthuro kemudian melempar lima pertanyaan: Selain menjadi anggota PPKI, apa peran Achmad Soebardjo? Siapa tokoh pemuda yang membawa Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok dan mendesak proklamasi? Siapa pemilik rumah perumusan naskah proklamasi? Siapa tokoh barisan pemuda yang menyebarkan proklamasi dan membentuk komite aksi? Tanggal berapa dan di mana Jepang dibom atom oleh Amerika Serikat?

Aku bergeming. Namun, ketika ia bertanya siapa YouTuber nomor satu di Indonesia, aku bisa menjawabnya dengan cepat dan tepat.

“Bukti bahwa teknologi telah berhasil menjajah generasi muda dan mengganti otak manusia dengan otak udang yang rendah moralitasnya,” cecar Arthuro seperti hendak mengulitiku hidup-hidup. “Jadi, apakah Indonesia sudah benar-benar merdeka?”

 

Bogor, 15 Agustus 2023

 

Sumber: https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-59765929

 

PROFIL PENULIS

 

N. Laila merupakan seorang novelis, cerpenis, dan penyair. Ia juga bekerja sebagai guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan konten kreator. Karya-karyanya di antaranya: Skizofrenia, Gadis Peraih Mimpi, Suami Nyebelin, CEO Nyebelin, (bukan) Laila Majnun, Gadis Tteokbokki & Cowok Mochaccino, dan The Journey of a Governor Princess.

 

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas