Sunday, March 17, 2019

[Short Story] - Fall In Love with Ghost


[Pixabay]



Clue : Cinta Dua Dunia dari Mba Nur Halifah




Hari ini Megan masuk sekolah seperti biasanya. Tubuhnya sedikit lelah karena harus membantu membereskan rumah Ayura, sepupunya yang baru saja merayakan ulang tahun yang ke-17.

Megan meregangkan otot-ototnya usai menjatuhkan diri ke kursi. Sepertinya hari ini akan diawali dengan pelajaran yang cukup melelahkan. Guru matematika baru saja masuk ke kelas dan membuat tubuh Megan terasa semakin sakit. Ia tidak suka pelajaran matematika, berhitung adalah hal yang paling ia hindari. Tapi ia tetap harus mengikuti jam pelajaran agar tidak mendapat angka merah.

"Hai ...!" Wajah cowok tampan itu berkelebat di depan mata Megan. Ia terkejut dengan kedatangannya yang tiba-tiba. Cowok berkulit putih pucat itu berjongkok tepat di depan mejanya.

"Kamu ngapain di sini?" bisik Megan.

"Aku mau bantu kamu ngerjain soal Matematika. Kamu kesulitan, kan?" Cowok itu tersenyum penuh arti menatap Megan.

Ayura menyenggol lengan Megan. Bulu kuduknya merinding setiap kali melihat tingkah aneh sepupunya itu. Ia tahu, Megan memang bisa melihat makhluk astral. Setiap kali melihat Megan berbicara dengan angin, ia sudah tahu kalau Megan sedang berbicara dengan makhluk yang tidak terlihat. Hal ini yang sering membuat Ayura ketakutan, terutama di malam hari. Ia lebih memilih untuk tidak jalan dengan Megan. Ia tidak siap melihat Megan berbicara dengan makhluk-makhluk astral itu.

Megan menoleh ke arah Ayura yang wajahnya memucat. Ia sadar kalau Ayura pasti ketakutan.

"Tenang ... dia baik, kok," bisik Megan, membuat Ayura mengedikkan bahunya. Ayura tetap saja tidak suka harus bersinggungan langsung dengan makhluk astral itu. Sebenarnya dia sudah terbiasa dengan sikap Megan, ia sudah mengenalnya sejak kecil.

"Apa dia cowok logaritma yang kamu ceritain?" bisik Ayura penasaran.

Megan menganggukkan kepalanya perlahan.

Megan mengenal Ahua, si cowok logaritma yang dimaksud Ayura. Gelar cowok logaritma itu tersemat karena Ahua adalah cowok yang jago Matematika dan Fisika. Ahua meninggal dunia di dalam kelas karena penyakit asmanya kambuh dan tidak dapat ditolong. Sejak itu, arwahnya masih gentayangan karena keluarganya masih belum mengikhlaskan kepergiannya yang tiba-tiba. Ibunya masih terus dirundung kesedihan karena Ahua adalah anak satu-satunya.

Hampir semua murid di sekolah mengenal Ahua, cowok cerdas yang sering mengikuti olimpiade Fisika dan Matematika. Seluruh sekolah juga mengetahui bagaimana Ahua meninggal dunia. Hanya saja, tak ada yang tahu kalau Ahua masih berada di sekolah hingga saat ini. Hanya Megan yang bisa melihat dan berkomunikasi dengan Ahua.

Sejak Ahua mengetahui kalau Megan bisa melihat, mendengar bahkan berkomunikasi dengannya, Ahua terus-menerus hadir di dalam hari-hari Megan. Ia sering muncul tiba-tiba terutama di saat Megan terlihat sedang berpikir keras seperti saat menghadapi pelajaran Matematika.

Ahua ingin agar Megan bisa menjadi penolongnya untuk melepaskan diri dari jerat kepiluan ibunya.
Agar ia bisa beristirahat dengan damai di tempat yang seharusnya.

Ahua tak menyerah begitu saja meski Megan selalu menolak untuk menolongnya. Ia terus mengikuti ke mana pun Megan pergi. Semakin hari membuat Megan semakin muak, banyak mata yang mulai curiga dengan sikap Megan yang sering berbicara sendiri. Tak ada yang tahu kalau Megan adalah anak Indigo kecuali Ayura.

"Sampe kapan kamu bakalan ngikutin aku terus?" sentak Megan saat ia berada di koridor sekolah yang mengarah ke kantin.

"Sampe kamu bisa bantu aku. Please!" Ahua menyatukan kedua telapak tangannya, memohon kepada Megan agar mau membantunya.

"Aku nggak bisa."
"Bisa."
"Enggak ...!"
"Bisa!"
"Gak! Aku gak mau!" teriak Megan. Semua mata tertuju kepadanya karena Megan terlihat berbicara seorang diri.

"Aneh!" celetuk murid-murid yang kebetulan lewat.

"Mungkin dia depresi abis putus dari pacarnya," sahut yang lain dan diikuti gelak tawa.

Megan mengerucutkan bibirnya karena kesal dengan Ahua yang membuatnya tidak bisa mengontrol emosi. Di saat ia diejek teman-temannya, Ahua justru cekikan di hadapannya.

"Gimana? Mau bantu aku, kan?" Ahua tersenyum sambil melirik ke arah murid-murid yang mengejek Megan.

"Oke. Pulang sekolah aku ke rumah kamu." Megan menyerah untuk menolak permintaan Ahua, si hantu ganteng dan cerdas yang super duper jahil.

***
Sepulang sekolah, Megan memenuhi janjinya mengunjungi kedua orang tua Ahua. Ahua menunjukkan jalan dengan cukup baik dan dia tidak berhenti bercerita sampai Megan berada tepat di depan rumahnya.

Megan sudah yakin, kalau keluarga Ahua tidak akan percaya dengan apa yang akan dia katakan. Dan itu benar terjadi. Ini tidak hanya membuat Megan kesal, tapi juga membuat Ahua semakin sedih.

Ahua menangis sejadi-jadinya di sudut kamar Megan. Entah apa yang membuat hantu itu mengikuti Megan sampai ke rumahnya. Terlebih ia saat ini justru menangis dan membuat Megan kebingungan.

"Kamu itu cowok, kenapa nangis sih?" celetuk Megan.

"Siapa yang bisa nolongin aku? Nggak ada lagi. Aku bakal gentayangan terus." Ahua semakin terisak.

"Aku bakal nolong kamu. Please, jangan nangis! Aku pusing denger suara kamu nangis terus."

"Seriusan? Tapi, gimana caranya?"

"Aku akan coba terus sampai mereka percaya."

Ahua menghentikan tangisnya dan tersenyum bahagia. "Makasiiih ...!" Ia memeluk Megan, tapi ia sadar kalau dia tidak bisa menyentuh Megan dengan sempurna.

Megan merasakan sekujur tubuhnya dingin karena tubuh Ahua menyelimuti tubuhnya. Baru kali ini ia merasakan dipeluk oleh makhluk astral. Tak bisakah ia menjadi manusia normal seperti yang lainnya? Dipeluk oleh pacar sungguhan, hmm ....

Sejak hari itu, Megan selalu berusaha menyakinkan keluarga Ahua kalau ia bisa melihat arwah Ahua masih berada di bumi, sebab kesedihan ibunya tidak bisa membuatnya pergi ke tempat yang seharusnya.

Penolakan demi penolakan sudah ia lalui. Namun, Megan tidak akan menyerah sampai ia bisa membuat keluarga Ahua percaya kalau dia bukan cewek gila yang sedang berhalusinasi.

"Kamu belum punya pacar?" tanya Ahua saat Megan sedang serius mengerjakan PR Matematika di kamarnya.

"Kenapa?"

"Aku nggak pernah lihat kamu jalan sama cowok."

"Apa kamu nggak sadar kalau setiap hari kita jalan bareng? Bahkan kamu keluar masuk ke kamarku tanpa izin," jawab Megan ngasal. Ia kembali fokus pada angka-angka yang membuatnya pusing.

"Oh ... jadi, itu pacaran?"

"Bukan itu maksudku. Tadi kamu bilang nggak pernah lihat aku jalan sama cowok, kan? Bukan pertanyaan pacarnya," dengus Megan kesal.

Ahua cekikikan di sisinya. Megan semakin kesal. Ia melempar cowok itu dengan pena tapi hanya menembus tubuhnya. Membuat Ahua semakin tertawa.

"Pergi dari sini! Aku pusing banyak tugas. Apa kamu nggak bisa bikin aku tenang?"

"Kenapa aku harus pergi? Sini aku bantu!" Ahua mendekatkan wajahnya tepat bersebelahan dengan wajah Megan. Megan bisa merasakan hawa dingin yang menyentuh pipinya, sebab pipi mereka sebenarnya bertemu, hanya tak bisa bersentuhan layaknya manusia biasa.

Dengan penuh kelembutan, Ahua memandu Megan agar bisa mengerjakan tugas Matematikanya dengan baik. Ini bukan pertama kali ia membantu Megan. Sudah sering ia melakukannya dan membuat Megan mulai ketergantungan dengan cowok itu.

"Apa dulu kamu juga punya pacar?" Giliran Megan yang mengajukan pertanyaan pada Ahua.
Ahua menggelengkan kepalanya. "Aku terlalu sibuk mencintai angka-angka. Sampai aku lupa, kalau masa-masa remaja seharusnya aku isi juga dengan kisah-kisah indah. Tapi semua sudah terlambat. Aku sudah mati terlebih dahulu tanpa tahu bagaimana rasanya jatuh cinta."

"Oh ya?" Megan menoleh ke arah Ahua, tatapan mereka bertemu. Ujung hidungnya bersentuhan dengan hidung Ahua yang bangir. Mereka saling pandang beberapa saat.

Megan merasakan wajahnya menghangat dan degup jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya. Ada rasa sesak di dadanya. Hatinya seolah mengajak berbicara tapi tak mampu ia ungkapkan dengan kata-kata. Hal itu membuat dadanya semakin sesak karena ia sendiri tak tahu apa yang seharusnya ia lakukan.

"Kamu kenapa?" tanya Ahua yang menyadari sesuatu yang aneh terjadi pada Megan.
Megan meraih tangan Ahua dan meletakkan di dadanya. Kali ini Ahua tertegun karena Megan bisa menyentuhnya. "Kamu tahu ini artinya apa?"

Ahua tersenyum penuh arti, tapi tidak mengatakan apa pun.

"Kamu terlalu sering berada di sisiku. Dan sekarang kamu membuat jantungku berdebar-debar. Tolong jangan membuatku jatuh cinta pada hantu, ini konyol!" celetuk Megan.

"Bagaimana kamu bisa menyentuhku?" tanya Ahua.

"Soal itu, aku nggak tau."

Ahua tersenyum, ia kembali mencoba untuk menyentuh Megan. Ia bisa melakukannya sekali saja dan selanjutnya ia gagal atau bisa dibilang tidak begitu sempurna.

"Apa aku bisa kembali menjadi manusia?" tanya Ahua konyol, membuat Megan tertawa terbahak-bahak.

"Aku serius. Aku ingin kembali menjadi manusia. Supaya aku bisa merasakan jatuh cinta ... aku ingin--" Kalimat Ahua terpotong karena tiba-tiba pintu kamar diketuk dari luar.

Megan membukakan pintu kamarnya dan Mama sudah berdiri di depan pintu. "Ada apa, Ma?"

"Ada teman yang cari kamu."

"Siapa?"

"Mama kurang tau. Katanya teman sekolah, namanya Satria."

"Satria?" Megan sedikit bingung karena ia sama sekali tidak punya teman sekelas yang bernama Satria. Ia bergegas keluar dari kamarnya dan melangkah ke teras rumah. Ada seorang cowok yang mengenakan sweeter putih sedang berdiri sembari memandang luasnya langit dari depan rumahnya. Ia memerhatika punggung cowok itu, tetap saja tidak bisa menebak siapa cowok yang sekarang ada di depannya. Sementara Ahua, masih setia mengikuti di belakang Megan.

"Siapa ya?" tanya Megan. Cowok itu membalikkan tubuhnya den tersenyum ke arah Megan.

"Kenalin, nama aku Satria. Aku salah satu kakak kelasmu." Satria menghampiri Megan dan mengulurkan tangannya yang langsung disambut oleh Megan sembari menyebutkan namanya.

"Tau rumahku dari mana? Ayo, duduk!" Megan mempersilakan Satria untuk duduk di kursi terasnya.

"Dia teman sekelasku," bisik Ahua di telinga Megan.

Megan mengedipkan matanya sebagai tanda pengganti anggukan. Ia tak ingin kalau Satria melihatnya sebagai cewek yang aneh.

Mereka diam selama beberapa menit.

"Meg, apa benar arwah Ahua gentayangan?" tanya Satria membuka pembicaraan.

"Kamu tahu dari mana soal itu?"

"Keluarga Ahua, kemarin datang ke rumah dan mereka sekarang mulai percaya sama apa yang sudah kamu lakuin selama ini."

"Iya. Dia ada di sini, sekarang."

"Oh ya? Apa yang bisa aku lakuin buat bantu Ahua?" Satria menawarkan diri.

Megan melirik ke arah Ahua yang berdiri di sampingnya. Megan kemudian mengajak Satria berdiskusi dan menyusun rencana untuk membantu Ahua. Ahua tak sekedar teman sekelas Satria, tapi mereka justru bersahabat sejak mereka masih SMP. Itulah yang membuat Satria ingin membebaskan arwah Ahua agar tidak gentayangan.

Megan dan Satria sering bertemu untuk melancarkan rencana yang sudah mereka susun. Di hampir setiap pertemuan mereka, Ahua terlihat sangat kesal. Entah kenapa dia merasa cemburu saat Satria diam-diam mulai memberi perhatian pada Megan. Seharusnya dia senang karena Satria bisa membantu. Tapi, dia merasa tersisihkan saat Megan lebih banyak berdiskusi dan bercanda dengan Satria.

Berkat bantuan Satria, Megan berhasil meyakinkan keluarga Ahua. Dan Ibunya juga sudah bisa mengikhlaskan kepergian Ahua agar arwahnya bisa tenang dan berada di tempat yang baik.

"Megan ... terima kasih karena sudah membantuku. Sudah saatnya aku pergi." Ahua muncul tepat di saat Megan memandangi bintang-bintang dari jendela kamarnya.

Megan menatap Ahua, ia tak bisa menahan kesedihan kala harus kehilangan cowok logaritma yang selama beberapa bulan ini mengisi hari-harinya. Ia tak sekedar membuat Megan bisa mengerjakan soal Matematika, tapi juga membuat Megan mulai menyukai angka-angka itu bermain di kepalanya.
"Please, jangan nangis! Jangan menahanku lagi untuk kembali!" pinta Ahua, ia menyentuh pipi Megan yang basah. Ia tidak tahu bagaimana ia tiba-tiba menyentuh Megan layaknya seperti manusia. Adakah perasaan yang membuatnya bertambah kuat dari biasanya? Ia beranikan diri untuk memeluk Megan terakhir kalinya dan berhasil.

Kali ini Ahua merasakan dirinya bukan Arwah. Ia bisa memeluk Megan dengan baik, menyentuh rambutnya, menyentuh pipinya dan dia bisa merasakan kebahagiaan yang berbeda.

"Andai aku masih hidup, mungkin kamu adalah wanita pertama aku cintai," bisik Ahua di telinga Megan.

"Sekalipun kamu sudah mati, aku tidak bisa memungkiri kalau aku memang ... jatuh cinta sama hantu."

"Kamu tahu kan, aku tidak akan bisa kembali ke sana jika masih ada seseorang yang menahanku?" Ahua mengusap pipi Megan yang masih basah.

Megan menganggukkan kepalanya.

"Aku punya keinginan sebelum aku benar-benar pergi." Ahua menatap wajah Megan, dan ia menyadari kalau gadis yang ada di depannya memang cantik.

"Aku akan bantu mewujudkan itu selama aku masih mampu." Megan tersenyum dan mengusap air matanya yang masih tersisa.

"Tolong kamu ikhlaskan kepergianku. Suatu hari, kamu pasti akan menemukan seseorang yang akan menempati ruang istimewa di hatimu." Ahua menyentuh pipi Megan dengan kedua telapak tangannya.

"Izinkan aku untuk tahu bagaimana rasanya ...." Dengan lembut Ahua menarik wajah Megan mendekat dengan wajahnya. Ia menyentuhkan bibirnya pada bibir Megan.

Megan terkejut dengan apa yang dilakukan Ahua, namun ia bahagia karena ia juga bisa merasakan kehangatan yang belum pernah ia rasakan. Ahua kali ini benar-benar hangat, ia seperti manusia sungguhan. Megan memejamkan matanya dan membiarkan bibir manisnya dikecup oleh Ahua. Rasa hangat itu perlahan menjadi dingin, kemudian menghilang.

Megan membuka matanya dan ia tak lagi bisa melihat sosok Ahua di depannya. "Ahua ...!" panggilnya lirih. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan dan ia menyadari kalau Ahua memang sudah pergi untuk selamanya. Ia tahu ini konyol, ia jatuh cinta pertama kali pada arwah gentayangan yang banyak ditakuti orang-orang normal.

Ia tak perlu menceritakan pada siapa pun tentang kisahnya dengan Ahua. Karena ia tahu, tak akan ada orang yang percaya dengan cerita anehnya, cinta di antara dua dunia yang berbeda.

***

Beberapa bulan kemudian ...

"Meg, katanya di sekolah kita bakal ada anak baru, lho." Ayura melangkahkan kaki masuk ke kelas bersama dengan Megan.

"Oh ya? Kamu tahu dari mana?"

"Kata anak-anak, sih. Soalnya, dia ganteng banget! Aku juga sudah lihat waktu kemarin dia daftar sekolah, semua cewek-cewek di sekolah pada ngomongin dia." Ayura duduk di atas kursi, menyisir rambutnya dengan jemari dan mengeluarkan kaca kecil dari tasnya untuk memastikan kalau penampilannya baik-baik saja. Ia tak ingin ketinggalan dengan cewek-cewek lain untuk merebut perhatian si cowok baru itu.

Megan tersenyum kecut melihat tingkah Ayura.

Tak lama kemudian, jam pelajaran dimulai. Guru Matematika masuk ke dalam kelas bersama cowok dengan seragam dari sekolah yang berbeda.

"Anak-anak, hari ini Bapak bawa cowok ganteng buat kalian." Ucapan Pak Yanto mendapat sambutan riuh dari murid sekelas, kecuali Megan yang justru melongo melihat cowok yang ada di depannya. Ia mengucek matanya berkali-kali untuk memastikan kalau dia tidak salah lihat.

"Ayo, perkenalkan diri kamu!" pinta Pak Yanto pada murid baru itu.

Murid baru itu menganggukkan kepalanya. "Perkenalkan, nama saya Alex. Saya pindahan dari salah satu sekolah di Jakarta Barat. Saya pindah ke Borneo karena orang tua saya dipindah tugaskan ke sini. Terima kasih."

"Ada pertanyaan lagi?" tanya Pak Yanto. "Sebelum kita mulai pelajaran."

"Sudah punya pacar atau belum?" celetuk Ayura yang duduk di sebelah Megan. Megan menyikut Ayura dengan pertanyaan konyol yang disambut teriakan riuh teman-teman sekelasnya.

"Sekarang belum," jawabnya sambil tersenyum ke arah Megan, bukannya ke Ayura. Hal itu membuat Megan salah tingkah dan menunduk menatap kakinya sendiri.

Perkenalan dengan murid baru hari itu diiringi dengan riuh tawa murid-murid sekelas. Kecuali Megan yang masih merasa aneh dengan kehadiran Alex. Ia masih tidak percaya kalau cowok itu benar-benar ada di hadapannya. Sayangnya, Satria sudah lulus sekolah sebulan yang lalu. Andai saja belum, dia juga pasti akan bilang kalau Alex sangat mirip dengan Ahua, sahabatnya.

Saat jam istirahat tiba, cewek-cewek berebut untuk berkenalan dengan Alex. Alex tidak hanya tampan, dia juga jago Matematika, sama persis seperti Ahua. Ini membuat hati Megan tak karuan. Ia berusaha menyibukkan diri mengerjakan soal Matematika daripada sibuk memikirkan hal aneh yang terjadi dalam hidupnya.

"Suka Matematika, ya?" Tiba-tiba Alex sudah di bangku sebelah Megan, membuat Megan terlonjak dan menjatuhkan penanya ke lantai.

Megan menundukkan tubuhnya untuk mengambil pena itu, bersamaan dengan Alex yang juga ingin mengambilkan pena milik Megan.

"Au ...!" Megan mengaduh karena kepalanya berbenturan dengan kepala Alex.

"Kamu nggak papa? Biar aku aja yang ambil." Alex mengusap  kepala Megan dengan cepat dan mengambil pena yang terjatuh di lantai.

Megan langsung menyambar pena yang ada di tangan Alex dan melanjutkan mengerjakan soal Matematika. Ia tak peduli dengan Alex yang masih memerhatikan wajahnya. Matanya fokus menatap buku, walau tidak ada tugas ia tetap terus menghitung agar Alex segera pergi dari sisinya.

Bukannya pergi, Alex malah asyik memerhatikan wajah Megan sambil tersenyum. Ia seperti menemukan gadis lucu yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Gadis yang mengalihkan rasa saltingnya dengan mengerjakan soal Matematika yang ada di dalam buku pelajaran.

"Mau dikerjain semua?" Alex masih memandang wajah Megan dengan santai, tangan kirinya ia letakkan di atas meja dan menopang kepalanya.

"Eh!? Enggak."

"Mau dibantuin? Biar cepat selesai. Sebentar lagi pelajaran Bahasa, kan?"

Megan menggelengkan kepalanya.

"Kamu dapet gelang itu dari mana?" tanya Alex sembari menunjuk gelang dengan simbol-simbol logaritma yang tersemat di pergelangan tangan Megan.

"Dikasih."

"Ahau?" Nama yang disebut Alex membuat Megan akhirnya menatap wajah Alex, menunjukkan ekspresi terkejut. Bagaimana dia tahu kalau gelang ini pemberian si Hantu Ahau itu?

"Gimana kamu bisa tau?" tanya Megan penasaran.

"Gelang itu gelang langka. Ahau mendesain sendiri gelang itu. Makanya, ada simbol-simbol Matematika di gelang itu. Dia buat gelang ini waktu usianya masih 12 tahun dan aku tahu kalau gelang ini benda paling berharga yang dia punya. Dia nggak mungkin kasih gelang ini ke sembarang orang."

Megan melongo mendengar pernyataan Alex. Dia sama sekali tidak tahu cerita dibalik gelang itu. Dia hanya mengambilnya di sebuah kotak kecil yang ditunjukkan Ahau di dalam kamarnya ketika ia masih menjalankan misi membantau Ahau.

"Aku punya satu." Alex tersenyum memamerkan gelang yang sama persis dengan gelang yang dikenakan Megan. "Dia ngasih aku lima tahun yang lalu. Katanya, aku harus menjaga baik-baik gelang ini karena dia membuatnya sendiri. Kami sama-sama suka bermain angka, tapi dia memang jauh lebih pandai dibanding aku."

"Kamu perhatikan!" Alex menunjuk simbol-simbol warna emas yang timbul di antara simbol-simbol yang lain. "a log x sama dengan satu. Setelah tanda titik ada simbol meg diakar pakai simbol love dan setelahnya ada huruf C besar pakai simbol derajat di belakangnya." Alex melihat dengan seksama gelang miliknya, sama juga yang dilakukan oleh Megan.

"Punyaku, C besarnya pakai simbol persen." Megan memerhatikan gelang miliknya lebih dekat lagi untuk memastikan kalau dia tidak salah lihat. Mereka menyocokkan kedua gelang itu dan memang hanya simbol di belakang huruf C itu saja yang berbeda.

"Kamu tahu apa maknanya?" tanya Alex.

"Aku selalu mencoba mencari tahu, tapi tidak berhasil. Aku coba mengartikan a log x sama dengan satu adalah Ahau dan Alex sama dengan satu, kami bersaudara."

"Kalian beneran bersaudara?" tanya Megan kaget.

Alex menganggukkan kepalanya. "Oh, ya. Nama kamu siapa?"

"Megan."

"Meg ... gan!?" Alex terbata menyebut nama Megan. Nama itu cocok dengan simbol yang tertulis di gelang itu. "Apa Ahau sudah tahu kalau kamu yang akan jadi pemilik gelang itu?"

Megan mengedikkan bahunya.

"Bisa jadi, simbol meg yang diakar dengan simbol love ini adalah namamu. Bisa jadi, juga bukan."
Megan mengerutkan keningnya. "Aku rasa tidak, aku baru mengenalnya. Jauh dari gelang ini dibuat."
"Sejak kapan kalian kenal?"

"Sebulan setelah kematian Ahau."

"Bagaimana bisa?" Alex terkejut mendengar pernyataan Megan. Megan ingin menceritakan apa yang terjadi, tapi guru Bahasa Indonesia keburu masuk ke dalam kelasnya dan membuat Alex harus beranjak pergi dari sisi Megan.

Sepulang sekolah, Alex menyegat Megan dan mengajaknya ke suatu tempat untuk menceritakan apa yang terjadi sesungguhnya. Mereka duduk di atas rerumputan yang tumbuh rapi di area Gunung Dub. Tepat di depan mereka, bisa melihat indahnya pemandangan laut dan kota Balikpapan.

Megan menceritakan semuanya secara detil satu per satu. Termasuk tentang bagaimana Ahau dan Megan saling jatuh cinta walau mereka ada di dunia berbeda.

"Konyol!" gumam Alex sambil merebahkan tubuhnya di atas rerumputan.

Megan tersenyum menatap Alex yang sedang memandang langit di atas mereka. Ia merasa Ahau ada di dalam diri Alex. Bukan hanya wajahnya yang mirip, tapi sifat dan perilakunya juga tak jauh berbeda. Ahau suka mengajaknya bercerita sampai membuatnya pusing karena tak mau diam. Sementara Alex lebih banyak diam, dia justru senang mendengarkan cerita dan sering menanggapi dengan celetukan konyol yang membuatnya tertawa dengan gayanya yang tetap cool.

"Jangan liatin gue kayak gitu! Ntar lo jatuh cinta sama gue." Alex melirik Megan dan berbicara dengan bahasa khas anak Jakarta.

Megan mengerucutkan bibirnya dan membuang pandangannya ke arah laut yang membentang luas di hadapannya.

"Si Ahau yang kutu buku dan nggak pernah tertarik sama cewek aja bisa jatuh cinta sama lo. Gimana sama gue yang biasa-biasa aja? Kalau seandainya nanti gue jatuh cinta sama lo, gue pasti bakal ditolak abis-abisan. Secara lo kan demennya sama demit." Alex tergelak sembari melirik punggung Megan yang masih duduk di sisinya.

Megan menoleh ke arah Alex dan menyubit lengannya. Membuat Alex mengaduh. Bukannya berhenti, Alex justru terus-terusan meledek Megan dan membuat mereka kejar-kejaran seperti anak kecil.

Sejak hari itu, mereka selalu bersama walau di luar sekolah. Alex selalu membuat Megan tertawa setiap hari, bukan hanya membuat para cowok dan cewek di sekolah yang cemburu melihat kebersamaan dua sejoli itu. Tapi juga membuat makhluk-makhluk astral juga ikut cemburu.

"Jangan coba-coba berselingkuh dengan hantu hanya karena aku tidak bisa melihat perselingkuhanmu itu!" dengus Alex tepat di depan wajah Megan. Membuat Megan tak mampu menahan tawa melihat ekspresi Alex yang marahnya sengaja dibuat-buat.

Alex memeluk gadis aneh yang berhasil membuatnya jatuh cinta.
Megan tersenyum bahagia, setidaknya kali ini ia bisa merasakan jatuh cinta pada manusia sungguhan.




Rin Muna
Kutai Kartanegara, 17 Maret 2019

Friday, March 15, 2019

[Cerpen] Ratu untuk Raihan

Ratu untuk Raihan


Clue : Jatuh Cinta Pada Pujangga dari Bunda Ester

Ini hari pertama bagi Ratu masuk ke sekolah elite yang ada di wilayah Jakarta Selatan. Ayahnya kini menjabat sebagai Direksi di salah satu perusahaan besar di Indonesia yang berkantor pusat di Jakarta. Kenaikan jabatan ayahnya memberikan kebahagian bagi keluarganya karena secara ekonomi pendapatan mereka juga meningkat.
Tapi tidak begitu membahagiakan bagi Ratu. Sejak kecil, ayahnya selalu berpindah-pindah tempat kerja. Ayah Ratu seorang pekerja keras yang membuat kariernya terus maju. Waktu Ratu masih kecil, ayahnya hanya menjabat sebagai Chief Clerk. Karena kerja keras dan loyalitasnya pada perusahaan, karier ayah Ratu lumayan bagus sampai dia bisa menduduki kursi Direksi.
Ratu sudah pindah sekolah puluhan kali. Terkadang, ayahnya ditugaskan hanya tiga bulan dan membuatnya harus berpindah-pindah sekolah. Ini salah satu faktor yang membuat Ratu tidak memiliki teman dekat.

Ratu menyusuri koridor penuh percaya diri. Seperti biasanya, ia tidak pernah malu sedikit pun berada di tempat yang memang asing baginya. Dia selalu berusaha mengakrabkan diri dan seramah mungkin memberikan senyumnya pada siapa saja yang ia lewati. Termasuk pada Raihan, cowok ganteng yang tidak terlalu populer di sekolah.

"Hai ...!" Ratu menyapa Raihan yang duduk di kursi kantin sendirian saat jam istirahat. Kebetulan, mereka juga sudah bertemu sebelumnya di dalam kelas.
"Hai, juga." Raihan tersenyum menatap Ratu yang sudah muncul di depannya.
"Boleh duduk di sini?"  tanya Ratu meminta izin sebelum duduk di kursi kosong yang berada tepat di depan Raihan.
"Boleh. Silakan!" Raihan mengulurkan tangannya mempersilakan Ratu untuk duduk.
Raihan tidak mampu berkata apa pun. Ia hanya sesekali mencuri pandang sembari menikmati makanan dan minuman yang ada di depannya. Ia memerhatikan Ratu yang sibuk mengamati pemandangan di sekitar kantin. Mulai dari melihat kerumunan anak-anak berpakaian olahraga sampai setiap murid yang keluar masuk kantin. Ia ingin sekali membuka pembicaraan, tapi matanya justru sibuk menikmati wajah Ratu yang cantik hingga mulutnya lupa mengajak bicara.
"Kamu tinggal di mana?" Ratu tiba-tiba menatap Raihan dan membuatnya gelagapan karena tertangkap basah sedang memerhatikan Ratu.
"Eh, tinggal di dekat sini aja, kok."
"Deket? Jadi, jalan kaki aja ke sekolah?"
Raihan menggeleng. "Naik mobil."
"Oh, berarti nggak deket dong?"
"Deket, cuma lima belas menit aja, kok."
Ratu menghela napas kecewa.
"Kenapa?" Raihan menyadari wajah Ratu yang tiba-tiba murung.
"Aku bingung mau balik ke rumah nanti gimana. Mau cari tebengan gitu sih sebenernya. Hpku ketinggalan, jadi aku nggak bisa pesen taksi online."
"Ya, udah. Ikut gue aja!"
"Rumah aku jauh, setengah jaman dari sini."
"Emang lo tinggalnya di mana?"
"Di daerah Casablanca."
"Oh, deket aja. Ntar gue antarin."
"Seriusan!?" Ratu menggenggam tangan Raihan, membuat Raihan salah tingkah dengan sikap Ratu yang terlihat sangat bahagia. Membuat beberapa pasang mata menuju ke arah mereka.
"Iya." Raihan tersenyum menatap Ratu.

***
Jam pelajaran kedua ...

Semua murid memerhatikan pelajaran seperti biasa. Tetapi tidak dengan Raihan, karena dia sibuk memerhatikan Ratu yang duduk di depannya. Ia seperti merasa punya dunia sendiri. Tak peduli dengan Bu Ratna yang sedang menjelaskan pelajaran biologi atau murid-murid lain yang sudah serius mendengarkan penjelasan. Raihan malah asyik menulis sebuah tulisan yang tidak ada hubungannya dengan pelajaran.

Ratu ...
Sama seperti namamu
Kamu hadir penuh pesona
Bukan cuma aku yang terhipnotis cantik dan anggunnya wajahmu
Kurasa jutaan manusia akan bersedia menjadi rakyatmu
Bolehkah aku menjadi salah satunya?
Agar aku bisa menikmati keindahan yang Tuhan titipkan...

Tulisan di atas secarik kertas itu kemudian berpindah ke tangan Ratu. Ratu tersenyum membacanya dan menoleh ke arah Raihan yang juga tersenyum.
Ini hari pertama masuk sekolah, Ratu sudah mendapat kejutan puisi cinta dari cowok ganteng yang ada di kelasnya.
"Kayaknya Raihan naksir sama lo," bisik Ifah, teman sebangku Ratu.
"Oh ya? Bukannya cowok biasa ya goda-godain kayak gini? Paling dia cuma bercanda," balas Ratu berbisik agar tidak menarik perhatian Bu Ratna.
"Dia itu pujangga. Suka nulis puisi yang diposting di websitenya dia. Tapi, belum pernah ada satu pun cewek yang dikirim puisi secara langsung. Cuma lo aja yang dapet puisi dari pujangga keren kayak Raihan. Pasti semua cewek di sekolah bakalan ngiri kalo tau soal ini," bisik Ifah sambil melirik Bu Ratna yang masih sibuk menghadap ke papan tulis. Dia sedikit was-was kalau-kalau spidol yang dipegang Bu Ratna akan melayang ke wajahnya.
Wajah Ratu menghangat mendengar ucapan Ifah. Entah kenapa, bibirnya langsung auto-senyum saat mendengar bisikan Ifah. Apa iya dia juga jatuh cinta? Jatuh cinta pada pujangga sekolah. Ratu sendiri belum yakin karena dia tidak tahu bagaimana rasanya jatuh cinta. Dia hanya selalu tersenyum setiap mengingat untaian kata yang dikirim Raihan.

***

Sejak hari itu, Ratu dan Raihan menjadi semakin dekat. Diam-diam, Ratu sering membuka website yang berisi puisi-puisi Raihan. Indah sekali... Ia yang tak suka membaca, tiba-tiba saja jatuh cinta dan selalu membaca semua puisi-puisi Raihan.

Jika air mata adalah kesedihanmu
Sudah pasti aku jadi yang pertama menggantinya dengan berlian
Jika tawa adalah bahagiamu
Sudah pasti aku jadi yang pertama membuatmu selalu tersenyum
Jika dunia ini ada di marketplace
Sudah pasti aku beli dan berikan untukmu
Jika hati ini harus termiliki
Sudah pasti hanya kamu yang boleh jadi pemiliknya
Maukah kamu menjadi RATU hatiku?

Ratu tersenyum geli membaca tulisan itu. Kenapa ada marketplace segala sih?
Ia langsung menangkap layar di ponselnya. Ia mengirimkan hasil screenshoot itu ke nomor Whatsapp Raihan.
"Ini untuk siapa?" tanya Ratu melalui pesan Whatsapp.
Ia menunggu beberapa saat sampai Raihan membaca pesannya. Sudah hampir sejam, Raihan tak kunjung membaca pesannya.
Ratu mulai uring-uringan. Mondar-mandir di kamarnya kayak setrikaan. Padahal, lantai kamarnya jelas sudah mulus.
Ratu kembali mengecek Whatsapp. Akhirnya, simbol centang dua itu sudah berwarna biru. Artinya si Raihan sudah membaca pesannya. Bukannya senang, ia malah makin kesal karena Raihan tak juga membalas pesan yang ia kirimkan.
"Duh, bodoh ... bodoh ... bodoh! Kenapa aku kepedean banget, sih!? Bisa aja puisi itu emang bukan buat aku," umpat Ratu pada dirinya sendiri.
Satu jam menunggu ... belum juga mendapat balasan.
Dua jam.
Tiga jam.
Ratu menghentakkan kakinya ke lantai. Semakin kesal dengan dirinya sendiri. Semua perhatian dan puisi-puisi dari Raihan telah membuat hatinya tak karuan. Mungkin benar kalau saat ini dia memang sedang jatuh cinta. Tapi bagaimana bisa Raihan justru cuek saat dia mulai membalas perhatian-perhatian dari Raihan.
"Aku pikir ... dia beneran suka sama aku." Ratu sangat muram. Ia menyandarkan kepalanya di pintu kamar yang mengarah ke balkon.
Samar-samar ia mendengar suara gitar dan orang yang sedang bernyanyi di taman belakang rumah. Tepat di belakang kamarnya. Ratu penasaran dan melangkahkan kakinya ke balkon untuk melihat siapa yang sedang bernyanyi di taman. "Apa iya, Mang Ujang bisa main gitar?" batinnya sembari membayangkan tukang kebunnya sedang bermain gitar.
Ratu terkejut ketika melihat cowok berjaket kulit itu melambaikan tangan ke arahnya. "Raihan!?" Ia tak menyangka kalau Raihan yang sedang bernyanyi di tamannya malam-malam begini. Sejak kapan ia datang? Apa sudah sejak sore tadi saat Ratu mengirimkan pesan chat itu?
Ratu bergegas turun dari kamarnya. Menemui Raihan yang sedang asyik bermain gitar di kursi taman belakang rumah Ratu.
"Sudah lama di sini?" Ratu tersenyum sembari menjatuhkan tubuhnya ke atas kursi taman.
"Sejak gue baca pesan dari lo. Gue langsung ke sini."
"Tiga jam!?" Mulut Ratu menganga mendengar pernyataan Raihan.
"Ngitung?"
"Iya. Abisnya lama banget nggak dibalas-balas."
"Hapeku ketinggalan."
"Kamu nggak tau kalau dari tadi aku uring-uringan nunggu balasan dari kamu!" dengus Ratu sambil memukul pundak Raihan.
"Lo nggak tau kalo udah tiga jam gue nyanyi di sini dan lo sama sekali nggak dengerin?"
"Lagian, kenapa nggak ngomong sama Bibi atau Mang Ujang kalo kamu ke sini? Aku kan nggak tau. Aku kira Mang Ujang yang lagi main gitar."
"Emangnya Mang Ujang bisa main gitar?" tanya Raihan menatap Ratu.
Ratu mengangkat kedua pundaknya dan membuang pandangannya.
"Kamu suka buka-buka web aku, ya?" tanya Raihan.
Ratu tidak menghiraukan pertanyaan Raihan.
"Katanya ... nggak mau buka web aku? Katanya ... puisi-puisi aku jelek?" goda Raihan.
"Iih ... apaan sih!?" Ratu tak bisa menyembunyikan wajahnya kalau sedang tersipu malu. Ia tak berani menatap wajah Raihan yang ada di sisinya. Ia hanya menunduk memandangi rerumputan di kakinya.
"Kamu bisa balas puisi itu?" Tiba-tiba Raihan sudah berlutut di hadapan Ratu.
"Eh!? Aku nggak bisa bikin puisi."
"Aku nggak minta kamu bikin puisi."
"Oh ya? Terus gimana?"
Raihan tersenyum, menghela napasnya perlahan dan berkata, "Ratu ... kita sudah melalui ratusan jam bersama, kita sudah menjalani puluhan hari bersama. Kalau selama ini kamu selalu hidup berpindah-pindah. Maukah mulai sekarang menetap di hatiku? Aku telah persiapkan singgasana terindah hanya untuk kamu. Maukah kamu menjadi Ratu di singgasana hatiku?" Raihan meraih jemari Ratu sembari menatap penuh harap.
Wajah Ratu menghangat. Ada senyum bahagia tersungging dari bibir manisnya. Ia menganggukkan kepala tanpa mengucap satu kata pun. Sebab ia tahu, ia tak bisa merangkai kata-kata indah seperti pujangga yang kini membuatnya jatuh berkali-kali ke dalam cintanya.
Raihan mengecup punggung tangan Ratu dan memeluknya. Seorang pujangga bisa jatuh cinta pada hal-hal sederhana. Seperti jatuh cinta pada embun yang jatuh di ujung dedaunan. Hari ini ia merasakan jatuh cinta yang berbeda. Jatuh cinta pada hal yang bukan hanya menyambut cintanya, tapi juga membalasnya dengan pelukan hangat yang penuh cinta.

Jatuh cinta memang indah, tapi dicintai oleh seseorang yang membuat kita jatuh cinta jauh lebih indah.



Ditulis oleh Rin Muna
Kutai Kartanegara, 15 Maret 2019




Ranting Ranti [Bab 4 - Ranting Ranti]


Bab 4
-Ranting Ranti-

                Ranti menggiring bebek-bebek dengan ranting karamunting di tangannya. Ia menggembala bebek-bebek milik Pak Yogi menuju kali yang tak jauh dari rumah. Kini ia sudah tak pernah lagi mengenakan seragam sekolah. Namun, ia selalu meminjam buku di perpustakaan dan membawanya saat menggembala bebek.
                Ranti menyandarkan tubuhnya di akar pohon beringin. Mengamati bebek-bebek yang sedang asyik berenang di kali. Ranting karamunting tak lepas dari tangan kanannya, sedang tangan kirinya memegang buku kesehatan yang sedang ia baca. Hari mulai sore, Ranti kembali menggiring bebek-bebek itu masuk ke kandangnya.
                Pak Yogi sedang mengarungi kotoran bebek. Kotoran bebek ini biasa dimanfaatkan untuk pupuk organik. Beberapa warga yang bercocok tanam akan membeli kotoran bebek di sini. Tanpa dikomando, Ranti membantu Pak Yogi mengarungi kotoran-kotoran bebek. Mengikatnya dan menyusun di sudut pekarangan kandang bebek yang luas. Pak Yogi memberikan kebebasan Ranti mengambil kotoran bebek untuk dijadikan pupuk tanaman sayurnya. Setiap pagi dan sore sebelum menggembala bebek, Ranti selalu menyempatkan diri merawat tanaman di kebun belakang rumahnya.
                Selama bertahun-tahun Ranti bekerja dengan keluarga Pak Yogi. Apa saja ia kerjakan, bukan hanya menggembala bebek-bebek saja. Ia sering membantu Bu Yogi memasak juga, sebab Bu Yogi memiliki warung makan dan sering sibuk di dapur sendirian. Ia tak lagi sungkan menerima pemberian Bu Yogi. Pak Yogi sering memberikan upah lebih untuk Ranti. Bahkan Pak Yogi memberikan seekor bebek yang kini telah menjadi sepuluh ekor bebek, Andi sangat senang merawat bebek-bebek itu.
                “Ran, ini bawa pulang untuk adik-adikmu!” Bu Yogi menyodorkan satu renteng rantang berisi makanan.
                Ranti menerima pemberian Bu Yogi. “Makasih Bu.” Ia bergegas pulang ke rumah.
                “Assalamu’alaikum.”
                “Wa’alaikumussalam....” Andi membukakan pintu rumah.
                Ranti langsung menuju dapur untuk meletakkan makanan yang diberikan Bu Yogi. Menggantinya ke wadah miliknya.
                “Masak apa?” tanya Ranti yang melihat Sinta sedang memasak. Sinta bukan lagi anak kecil berusia empat tahun. Kini, ia sudah bisa membantu Ranti membereskan rumah juga memasak.
                “Goreng telur, Mbak. Mbak Ranti bawa makanan?” Sinta memperhatikan Ranti yang sedang mengganti wadah makanan.
                “Iya. Dikasih Bu Yogi. Tadi Mbak bantu di warungnya karena warung lagi ramai.”
                “Bu Yogi selalu baik dengan kita. Apa Sinta juga boleh kerja seperti Mbak Ranti?” Sinta mengangkat telur dari penggorengan, meletakkanya di atas meja.
                “Kak! Telurnya sudah matang!” teriak Sinta memanggil Andi yang sedang membaca buku di ruang tamu.
                “Boleh. Tapi, Sinta kerjanya kalau sudah lulus sarjana. Dan tidak boleh kerja angon bebek seperti Mbak Ranti.” Ranti tersenyum, melangkahkan kakinya ke tempat mencuci piring untuk membersihkan rantang milik Bu Yogi. Kini, mereka tak lagi harus ke sumur untuk mencuci atau mandi. Sudah ada kamar mandi di rumah mereka, hadiah dari Pak Yogi karena Ranti rajin bekerja.
                “Memang kenapa kalau angon bebek, Mbak? Kata Mbak Ranti itu pekerjaan halal?”
                Ranti membalikkan tubuhnya menatap Sinta yang sudah tumbuh besar. “Iya, memang pekerjaan halal. Tapi, ada pekerjaan yang lebih baik untuk Sinta. Sinta harus bisa jadi orang sukses.”
                “Sukses itu seperti apa Mbak?”
                “Sukses itu kalau Sinta bisa mewujudkan cita-cita Sinta.”
                “Sinta tidak punya cita-cita.” Sinta menundukkan kepalanya.
                “Kenapa? Setiap anak harus punya cita-cita.” Ranti menghampiri Sinta, membelai rambutnya yang hitam dan ikal.
                “Cita-cita Mbak Ranti apa?” Sinta menatap wajah Ranti.
                Ranti tersenyum. Menghela napasnya. “Dulu, waktu Bapak dan Emak masih hidup, Mbak Ranti ingin sekali jadi dokter. Tapi, sekarang cita-cita Mbak Ranti adalah mewujudkan cita-cita kalian berdua.” Ranti memeluk Sinta. Andi juga ikut menghambur ke pelukan Ranti.
                “Kak Andi pengen jadi apa?” Sinta menatap Andi sambil memeluk tubuh Ranti.
                “Hmm....” Andi memutar kedua bola matanya. “Ada deh. Rahasia!”
                “Iih... Kak Andi main rahasia-rahasiaan sama Sinta!” gerutu Sinta.
                Andi malah tertawa melihat wajah lucu Sinta.
***
                Pagi ini, udara terasa begitu dingin. Ranti menggenggam secangkir teh sembari memandangi kebun sayur mungil miliknya. Dia berencana untuk menanami kebun warisan Bapaknya. Jika ia bisa menanam satu hektar cabai, ia pasti bisa memiliki banyak uang untuk biaya kuliah kedua adiknya.
                “Mbak...!” Suara Andi membuyarkan lamunan Ranti. Ranti membalikkan tubuhnya, menatap Andi yang sedang berdiri di pintu dapur. Ranti tersenyum menatap Andi yang semakin dewasa. Kini, Andi telah menggunakan seragam putih abu-abu. Air mata Ranti hampir jatuh melihat Andi yang semakin gagah. Tinggi badannya kini telah melebihi tinggi badan Ranti.
                “Mbak Ranti masih ingin angon bebek Pak Yogi?” Andi memperbaiki kancing seragamnya.
                Ranti mengangguk. “Pak Yogi sudah semakin tua. Mbak Ranti akan tetap membantunya. Mbak tidak akan pernah lupa kebaikan keluarga Pak Yogi pada kita. Andi saja sekarang sudah melebihi tinggi Mbak Ranti.” Ranti mengangkat tangannya ke atas kepala.
                “Bebek pemberian Pak Yogi sekarang sudah menjadi banyak. Hampir menyamai jumlah bebek Pak Yogi. Bagaimana kalau Mbak Ranti ajak serta bebek-bebek kita jalan-jalan seperti bebek-bebek Pak Yogi?” Andi menatap Ranti. “Jika tidak merepotkan Mbak Ranti.”
                Ranti tersenyum sembari menggelengkan kepalanya. “Nanti Mbak ajak serta mereka. Tidak akan merepotkan. Sarapan dulu! Mana Sinta?”
                “Hadir Mbak!” Baru disebut namanya, Sinta langsung muncul dengan seragam putih biru. Sinta kini tumbuh menjadi remaja yang cantik.
                “Sarapan dulu!” ajak Ranti. Mereka duduk bersama menikmati sarapan.
                “An, usai SMA mau lanjut ke mana?” tanya Ranti.
                “Sesuai jurusan yang Andi mau. Masih cari-cari informasi Mbak.” Andi menyuap kembali makanan ke mulutnya.
                Ranti mengangguk-anggukan kepalanya. Ia berniat ke pasar, mencari majalah atau buku yang berisi informasi Universitas Terbaik jurusan Geologi. Andi bercita-cita menjadi seorang Geolog, dan Ranti harus membantu Andi mencari referensi Universitas yang baik.
                Usai sarapan, Andi dan Sinta bergegas ke sekolah. Sementara Ranti sibuk membereskan rumah, lalu pergi ke pasar.
                Sepulang dari pasar. Ranti menuju kandang bebek milik Pak Yogi. Bebek-bebek itu sudah menjadi sahabat Ranti. Mereka selalu menyambut Ranti dengan senang hati. Sama halnya dengan Ranti, begitu cekatan memberi makan dan merawat bebek-bebek milik Pak Yogi. Ranti membuka pintu kandang, Bebek bergantian keluar dari kandangnya. Ranti mengambil ranting kayu untuk menggiring bebek-bebek ke sungai. Tak lupa ia membawa serta bebek-bebek milik Andi. Ketekunan Andi dalam beternak membuat bebek-bebek miliknya berkembang cepat. Bahkan, uang hasil penjualan bebek bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari dan keperluan sekolah Andi dan Sinta.
                Dari kejauhan, sepasang mata sedang memperhatikan Ranti yang duduk di tanggul. Merendamkan ujung kakinya. Tertawa melihat bebek-bebek yang sedang asyik berenang di sungai. Ranting karamunting dikibas-kibaskan di atas air dan membuat bebek-bebek itu saling berenang bertabrakan. Hal ini selalu menimbulkan gelak tawa bagi Ranti.
                “Bahagia banget!” Sepasang mata yang memandang Ranti dari kejauhan, kini duduk di sisi Ranti.
                “Eh! Mas Gung?” Ranti terkejut dengan kehadiran Mas Gung. Mas Gung adalah salah satu sahabat Ranti sejak kecil. Ia sering kali menemani Ranti, atau sekedar menyapa saat Ranti melintas di persawahan miliknya saat menggembala bebek.
                “Ran, aku dengar dari Pak Yogi. Kamu mau menggarap lahan Bapakmu yang ada di bukit itu?” tanya Mas Gung.
                “Rencananya begitu Mas. Tapi, aku belum punya waktu untuk merintisnya. Lahan itu sudah terlalu lama tak digarap. Pohonnya sudah tinggi-tinggi dan aku belum punya kekuatan untuk menghancurkannya.” Ranti tersenyum.
                “Beri upah saja ke orang lain.”
                “Siapa yang mau Mas?” Ranti menopang dagunya. Pandangannya melompat ke sana kemari, berusaha mengingat orang-orang yang mau kerja serabutan.
                “Coba ke rumah Pak Mul. Dia sering merintis lahan orang. Biar saja dia yang mencari kawan untuk membantunya. Lahanmu itu cukup luas. Jika hanya satu orang, pastilah tidak akan cepat selesai. Jadi, kamu harus mengupahi tiga sampai empat orang.”
                Ranti manggut-manggut. “Kira-kira berapa ya upahnya Mas?”
                “Umumnya seratus sampai seratus lima puluh ribu sehari.”
                Ranti mengangguk-anggukan kepalanya sembari berpikir jumlah uang yang akan dia perlukan untuk membuka lahan kebunnya.
                “Rencananya mau kamu tanami apa?”
                “Cabai.”
                “Wah, itu bagus. Harga cabai sekarang sangat bagus di pasaran. Aku yakin kamu pasti berhasil,” ucap Mas Gung.
                “Kenapa Mas Gung seyakin itu? Aku sendiri tidak yakin,” guman Ranti.
                “Karena kamu selalu melakukan hal dengan sungguh-sungguh. Buktinya, sekarang kamu sudah berhasil menyekolahkan kedua adikmu dengan usahamu sendiri. Kamu perempuan yang hebat!” puji Mas Gung.
                “Ah, Mas Gung bisa aja.” Ranti tersipu. Ranti sadar, dia bukan anak gadis berusia 10 tahun. Kini, ia sudah dewasa. Kedua adiknya sudah tumbuh menjadi anak remaja yang cerdas. Ada perasaan bangga dalam benaknya. Bangga karena bisa melewati banyak hal sulit dalam kehidupan.
                Ranti memandang ranting karamunting yang sedari tadi ia kibaskan. “Terima kasih ranting kecil. Kamu adalah awal dari kehidupanku saat ini. Jadilah penunjuk jalan kesuksesanku mewujudkan impian kedua adikku.”

Thursday, March 14, 2019

Ranting Ranti [Bab 3 - Survive]


Bab 3
-Survive-
               
“Andi... bangun! Sebentar lagi azan subuh.” Ranti melirik jam dinding sembari menggoyangkan tubuh Andi.
                Andi mengangkat tubuhnya sembari mengucek kedua matanya yang masih mengantuk.
                “Cepat mandi! Surau sudah menunggumu!” Ranti mengikat rambutnya dan bergegas ke dapur untuk menjerang air panas.
                Andi bergegas ke sumur dengan menggunakan senter untuk menerangi jalannya. Secepatnya ia mandi, tubuhnya yang kecil menggigil setiap tersentuh air sumur di subuh hari. Namun, ia tak pernah menyerah. Pada siraman ketiga, ia akan terbiasa dan menikmatinya.
                Pagi buta mereka sudah sibuk, melakukan aktivitas yang biasa dilakukan kedua orang tuanya. Ranti berperan sebagai ibu untuk Sinta dan Andi. Andi yang masih berusia tujuh tahun, cukup mengerti keadaan yang mereka jalani saat ini. Berbeda dengan Sinta yang masih terus menanyakan keberadaan kedua orang tuanya.
                 Ranti menghela napas saat menakar beras yang akan ia masak. Hanya tersisa segenggam beras untuk mereka makan esok.
                Ranti mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Melihat kebun kecil mereka yang terisi aneka tanaman. Ranti memang sangat senang berkebun bersama Emak. Itulah sebabnya di pekarangan belakang rumahnya ditumbuhi aneka tanaman sayur dan buah.
                “Jika beras habis, aku masih bisa menggantinya dengan singkong,” gumam Ranti sembari tersenyum menghibur dirinya sendiri. Ia tak ingin menyerah dengan keadaan. Ia tak ingin mengharap belas kasih dari orang lain. Namun, ia tetap tak pernah bisa menolak ketika Bu Yogi memberi aneka sembako untuknya.
                Ini rejeki untuk adik-adikmu. Jangan menolaknya! Ibu hanya perantara.” Kalimat itu terus terngiang di telinga Ranti, membuatnya tak bisa menolak pemberian Bu Yogi.
                “Mbak, kaos kaki aku di mana?” teriakan Andi membuyarkan lamunan Ranti.
                “Cari saja di lemari!” Suara Ranti tak kalah kerasnya.
                “Nggak ada Mbak.” Andi masih berteriak dari dalam kamarnya.
                Ranti bergegas masuk ke dalam kamar. Mencari kaos kaki yang dicari Andi. Akhirnya ia menemukannya di bawah ranjang tidur mereka. “Lain kali jangan taruh sembarangan!”
                “Maaf Mbak.” Andi meraih kaos kaki dari tangan Ranti.
                “Mbak masih buat sarapan. Bangunkan Sinta dan ajak dia mandi dulu!” pinta Ranti bergegas kembali ke dapur.
                Beberapa menit kemudian mereka sudah duduk di meja makan dengan seragam sekolahnya. Sinta belum bersekolah, namun Ranti selalu membawanya serta ke sekolah. Sebab tak ada yang menjaganya di rumah. Ia tak mungkin terus-menerus merepotkan tetangga. Hanya sesekali ia mengiyakan tawaran Bu Yogi untuk meninggalkan Sinta bersamanya. Kini, Ranti sudah di penghujung kelulusan SD. Ia masih tidak tahu akan melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi atau memilih berhenti mengejar cita-cita demi kedua adiknya.
***
                Sepulang sekolah, Ranti langsung berganti pakaian. Bergegas menuju kebun untuk mengambil singkong dan beberapa sayuran. Ia tak pernah meninggalkan Sinta, selalu ia bawa kemana saja bahkan ke kebun sekalipun.
                Karena hanya memiliki segenggam beras, Ranti harus pandai membuat hidangan untuk kedua adiknya.
                “Sinta, kamu jangan ke mana-mana ya! Mbak mau masak dulu.” Ranti meletakkan keranjang sayuran di atas meja. Memastikan Sinta duduk manis di kursi.
                Sinta mengangguk, asyik mengajak boneka kesayangannya bercerita.
                Ranti tersenyum melihat Sinta yang sudah asyik bermain. Ia sudah jarang menanyakan keberadaan kedua orang tuanya. Lama-lama, Sinta akan melupakannya.
                Ranti memotong-motong kangkung, jagung dan singkong untuk ia masak bersama segenggam beras yang masih tersisa.  Mungkin ini akan terasa aneh. Tapi, setidaknya cukup untuk mereka makan bertiga.
                “Ini makanan apa Mbak?” tanya Andi ketika Ranti menghidangkan makanan yang baru saja selesai ia masak. Ia mengamati makanan yang terhidang di depannya. Seperti sayuran, tapi ada bubur nasinya. “Ini sayur atau bubur?”
                “Makan saja!” suara Ranti parau, tak kuasa menahan kesedihan. Seandainya Bapak dan Emak masih ada. Pastilah kebutuhan gizi kedua adiknya akan selalu terpenuhi.
                Andi tak banyak bicara. Ia melahap habis makanan yang dihidangkan Ranti. Sama dengan Sinta. Ia hanya menurut saja apa kata Mbak Ranti.
                Keesokan harinya, Ranti hanya bisa menghidangkan singkong.
                Andi menyadari kesulitan Mbak Ranti. Namun, ia tak ingin banyak bertanya. Itu akan membuat Mbak Ranti semakin marah.
                Andi berjalan perlahan menuju kandang ayam. Ia membawa sekaleng biji jagung untuk pakan ayam-ayamnya.
                Andi memperhatikan satu per satu ayam-ayam miliknya. Sebenarnya ini ayam-ayam milik Bapak. Bapak senang sekali memelihara ayam. Dan selalu mengajak Andi untuk memberi pakan ayam-ayamnya.
                Dua ekor induk ayam baru saja turun dari kandangnya. Ia mengintip dari celah-celah kandang. Sudah ada empat telur di sana. Andi tersenyum senang. “Akan ada penghuni baru di kandang ini,” batin Andi.
                Andi menangkap seekor ayam yang lumayan gemuk. Membawanya ke pasar untuk ia jual. Lumayan, hasil penjualan ayam ini bisa ia berikan ke Mbak Ranti untuk membeli beras.
                “Mbak, ini ada sedikit uang untuk membeli beras.” Andi mengulurkan beberapa lembar uang untuk Ranti.
                “Kamu punya uang dari mana? Tidak mencuri, kan?” Ranti mendelik.
                Andi menggeleng.
                “Lalu dapat dari mana? Mengemis?”
                Andi menggeleng lagi.
                “Bilang sama Mbak. Kamu dapat uang ini dari mana!?” Ranti meninggikan nada suaranya.
                “Tadi aku menjual satu ekor ayamku ke pasar. Ini uang hasil jual ayam Mbak. Aku tidak mencuri dan tidak mengemis.” Andi menyodorkan kembali uang itu di wajah Ranti.
                “Kamu jual ayam Bapak?”
                “Aku merawatnya bersama Bapak. Aku juga berhak atas ayam itu Mbak. Lagipula, dua ekor betinaku sedang bertelur. Aku berniat untuk menekuni hobiku beternak. Kalau dijual ke pasar, hasilnya lumayan Mbak.” Andi mengerdipkan matanya.
                “Tapi An...”
                “Andi masih kecil?”
                Ranti tersenyum memandang tubuh Andi yang tak lagi semungil dulu.
                “Andi laki-laki. Tidak harus menjadi dewasa dulu untuk menjaga Mbak Ranti dan Sinta.”
                “Oke. Kalau gitu, gimana kalau Mbak Ranti menjual sayuran-sayuran itu ke pasar?” Ranti tersenyum melipat kedua tangannya di dada. Memandang kebun kecil yang penuh aneka sayuran yang ia tanam.
                Andi mengangguk gembira. “Ide bagus Mbak. Jadi, Andi jual ayam kampung dan Mbak Ranti jual sayuran.” Andi tertawa sumringah.
                “Yes! Kita tidak perlu makan singkong setiap hari.” Ranti berjingkat memeluk adiknya.
                “Assalamu’alaikum...!” Suara Bu Yogi terdengar dari kejauhan.
                Ranti dan Andi saling memandang. “Bu Yogi!” ucap mereka bersamaan. Mereka bergegas membukakan pintu rumah.
                “Wa’alaikumussalam.” Andi dan Ranti menjawab salam sembari membukakan pintu lebar-lebar.
                Bu Yogi datang dengan dua kantong plastik berisi sembako. “Ini ada sedikit rejeki untuk kalian.”
                Andi dan Ranti saling pandang. “Tapi Bu, Ibu suda terlalu sering memberi kami makanan. Kami tidak bisa terus menerus menerimanya,” ucap Ranti.
                “Tidak baik menolak rejeki.” Bu Yogi berjalan masuk ke dapur tanpa dikomando.
                “Bu, apa ada yang bisa kami lakukan untuk membalas kebaikan Ibu?” Ranti mengikuti langkah Bu Yogi yang sedang melihat-lihat isi dapur. Sesekali ia membelalak karena tidak ada makanan atau bahan makanan sedikitpun. Hanya ada dua potong singkong rebus di atas piring.
                “Tidak ada. Ibu tidak meminta balasan apapun.”
                “Bu, apa aku boleh angon bebek-bebek Ibu?” Andi sumringah menyela pembicaraan.
                Bu Yogi tersenyum menatap Andi. “Mau?”
                Andi mengangguk penuh semangat.
                “Lebih baik Mbak Ranti saja yang menggembala bebek-bebek itu. Sebentar lagi Mbak Ranti sudah lulus sekolah. Kamu masih harus sekolah.” Sahut Ranti.
                “Tapi, Mbak...” Andi merengut.
                “Kamu tidak lanjut sekolah?” Bu Yogi menatap Ranti.
                Ranti menggelengkan kepalanya. “Biaya masuk SMP tidak sedikit Bu. Lagipula, Sinta sudah harus masuk sekolah. Ranti mau kerja saja.”
                “Kamu tidak perlu khawatir soal biaya. Ibu akan biayai sekolah kalian.”
                Ranti menggeleng. “Ranti tidak ingin sekolah, Bu.”
                “Bukankah kamu ingin jadi dokter?”
                “Itu dulu, saat Bapak masih hidup. Sekarang beda Bu. Aku tidak akan pernah menjadi dokter.”
                “Ranti yang Ibu kenal tidak seperti ini. Ranti yang ibu kenal selalu punya semangat untuk maju.”
                Ranti menundukkan kepalanya, meremas jari jemarinya. Jauh dalam lubuk hati, ia ingin sekali mengejar mimpi-mimpinya. Ia sangat memimpikan gelar sarjana, seperti harapan kedua orang tuanya. Namun, ia tidak ingin mengorbankan kedua adiknya. Ia harus berjuang demi Andi dan Sinta. Ia ingin melihat Andi dan Sinta sukses menjadi sarjana. Dan ia harus berjuang mewujudkan mimpinya. Jika ia tak bisa mewujudkan mimpinya memakai toga, maka ia harus bisa melihat Andi dan Sinta memakai toga.


Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas