Friday, March 15, 2019

Ranting Ranti [Bab 4 - Ranting Ranti]


Bab 4
-Ranting Ranti-

                Ranti menggiring bebek-bebek dengan ranting karamunting di tangannya. Ia menggembala bebek-bebek milik Pak Yogi menuju kali yang tak jauh dari rumah. Kini ia sudah tak pernah lagi mengenakan seragam sekolah. Namun, ia selalu meminjam buku di perpustakaan dan membawanya saat menggembala bebek.
                Ranti menyandarkan tubuhnya di akar pohon beringin. Mengamati bebek-bebek yang sedang asyik berenang di kali. Ranting karamunting tak lepas dari tangan kanannya, sedang tangan kirinya memegang buku kesehatan yang sedang ia baca. Hari mulai sore, Ranti kembali menggiring bebek-bebek itu masuk ke kandangnya.
                Pak Yogi sedang mengarungi kotoran bebek. Kotoran bebek ini biasa dimanfaatkan untuk pupuk organik. Beberapa warga yang bercocok tanam akan membeli kotoran bebek di sini. Tanpa dikomando, Ranti membantu Pak Yogi mengarungi kotoran-kotoran bebek. Mengikatnya dan menyusun di sudut pekarangan kandang bebek yang luas. Pak Yogi memberikan kebebasan Ranti mengambil kotoran bebek untuk dijadikan pupuk tanaman sayurnya. Setiap pagi dan sore sebelum menggembala bebek, Ranti selalu menyempatkan diri merawat tanaman di kebun belakang rumahnya.
                Selama bertahun-tahun Ranti bekerja dengan keluarga Pak Yogi. Apa saja ia kerjakan, bukan hanya menggembala bebek-bebek saja. Ia sering membantu Bu Yogi memasak juga, sebab Bu Yogi memiliki warung makan dan sering sibuk di dapur sendirian. Ia tak lagi sungkan menerima pemberian Bu Yogi. Pak Yogi sering memberikan upah lebih untuk Ranti. Bahkan Pak Yogi memberikan seekor bebek yang kini telah menjadi sepuluh ekor bebek, Andi sangat senang merawat bebek-bebek itu.
                “Ran, ini bawa pulang untuk adik-adikmu!” Bu Yogi menyodorkan satu renteng rantang berisi makanan.
                Ranti menerima pemberian Bu Yogi. “Makasih Bu.” Ia bergegas pulang ke rumah.
                “Assalamu’alaikum.”
                “Wa’alaikumussalam....” Andi membukakan pintu rumah.
                Ranti langsung menuju dapur untuk meletakkan makanan yang diberikan Bu Yogi. Menggantinya ke wadah miliknya.
                “Masak apa?” tanya Ranti yang melihat Sinta sedang memasak. Sinta bukan lagi anak kecil berusia empat tahun. Kini, ia sudah bisa membantu Ranti membereskan rumah juga memasak.
                “Goreng telur, Mbak. Mbak Ranti bawa makanan?” Sinta memperhatikan Ranti yang sedang mengganti wadah makanan.
                “Iya. Dikasih Bu Yogi. Tadi Mbak bantu di warungnya karena warung lagi ramai.”
                “Bu Yogi selalu baik dengan kita. Apa Sinta juga boleh kerja seperti Mbak Ranti?” Sinta mengangkat telur dari penggorengan, meletakkanya di atas meja.
                “Kak! Telurnya sudah matang!” teriak Sinta memanggil Andi yang sedang membaca buku di ruang tamu.
                “Boleh. Tapi, Sinta kerjanya kalau sudah lulus sarjana. Dan tidak boleh kerja angon bebek seperti Mbak Ranti.” Ranti tersenyum, melangkahkan kakinya ke tempat mencuci piring untuk membersihkan rantang milik Bu Yogi. Kini, mereka tak lagi harus ke sumur untuk mencuci atau mandi. Sudah ada kamar mandi di rumah mereka, hadiah dari Pak Yogi karena Ranti rajin bekerja.
                “Memang kenapa kalau angon bebek, Mbak? Kata Mbak Ranti itu pekerjaan halal?”
                Ranti membalikkan tubuhnya menatap Sinta yang sudah tumbuh besar. “Iya, memang pekerjaan halal. Tapi, ada pekerjaan yang lebih baik untuk Sinta. Sinta harus bisa jadi orang sukses.”
                “Sukses itu seperti apa Mbak?”
                “Sukses itu kalau Sinta bisa mewujudkan cita-cita Sinta.”
                “Sinta tidak punya cita-cita.” Sinta menundukkan kepalanya.
                “Kenapa? Setiap anak harus punya cita-cita.” Ranti menghampiri Sinta, membelai rambutnya yang hitam dan ikal.
                “Cita-cita Mbak Ranti apa?” Sinta menatap wajah Ranti.
                Ranti tersenyum. Menghela napasnya. “Dulu, waktu Bapak dan Emak masih hidup, Mbak Ranti ingin sekali jadi dokter. Tapi, sekarang cita-cita Mbak Ranti adalah mewujudkan cita-cita kalian berdua.” Ranti memeluk Sinta. Andi juga ikut menghambur ke pelukan Ranti.
                “Kak Andi pengen jadi apa?” Sinta menatap Andi sambil memeluk tubuh Ranti.
                “Hmm....” Andi memutar kedua bola matanya. “Ada deh. Rahasia!”
                “Iih... Kak Andi main rahasia-rahasiaan sama Sinta!” gerutu Sinta.
                Andi malah tertawa melihat wajah lucu Sinta.
***
                Pagi ini, udara terasa begitu dingin. Ranti menggenggam secangkir teh sembari memandangi kebun sayur mungil miliknya. Dia berencana untuk menanami kebun warisan Bapaknya. Jika ia bisa menanam satu hektar cabai, ia pasti bisa memiliki banyak uang untuk biaya kuliah kedua adiknya.
                “Mbak...!” Suara Andi membuyarkan lamunan Ranti. Ranti membalikkan tubuhnya, menatap Andi yang sedang berdiri di pintu dapur. Ranti tersenyum menatap Andi yang semakin dewasa. Kini, Andi telah menggunakan seragam putih abu-abu. Air mata Ranti hampir jatuh melihat Andi yang semakin gagah. Tinggi badannya kini telah melebihi tinggi badan Ranti.
                “Mbak Ranti masih ingin angon bebek Pak Yogi?” Andi memperbaiki kancing seragamnya.
                Ranti mengangguk. “Pak Yogi sudah semakin tua. Mbak Ranti akan tetap membantunya. Mbak tidak akan pernah lupa kebaikan keluarga Pak Yogi pada kita. Andi saja sekarang sudah melebihi tinggi Mbak Ranti.” Ranti mengangkat tangannya ke atas kepala.
                “Bebek pemberian Pak Yogi sekarang sudah menjadi banyak. Hampir menyamai jumlah bebek Pak Yogi. Bagaimana kalau Mbak Ranti ajak serta bebek-bebek kita jalan-jalan seperti bebek-bebek Pak Yogi?” Andi menatap Ranti. “Jika tidak merepotkan Mbak Ranti.”
                Ranti tersenyum sembari menggelengkan kepalanya. “Nanti Mbak ajak serta mereka. Tidak akan merepotkan. Sarapan dulu! Mana Sinta?”
                “Hadir Mbak!” Baru disebut namanya, Sinta langsung muncul dengan seragam putih biru. Sinta kini tumbuh menjadi remaja yang cantik.
                “Sarapan dulu!” ajak Ranti. Mereka duduk bersama menikmati sarapan.
                “An, usai SMA mau lanjut ke mana?” tanya Ranti.
                “Sesuai jurusan yang Andi mau. Masih cari-cari informasi Mbak.” Andi menyuap kembali makanan ke mulutnya.
                Ranti mengangguk-anggukan kepalanya. Ia berniat ke pasar, mencari majalah atau buku yang berisi informasi Universitas Terbaik jurusan Geologi. Andi bercita-cita menjadi seorang Geolog, dan Ranti harus membantu Andi mencari referensi Universitas yang baik.
                Usai sarapan, Andi dan Sinta bergegas ke sekolah. Sementara Ranti sibuk membereskan rumah, lalu pergi ke pasar.
                Sepulang dari pasar. Ranti menuju kandang bebek milik Pak Yogi. Bebek-bebek itu sudah menjadi sahabat Ranti. Mereka selalu menyambut Ranti dengan senang hati. Sama halnya dengan Ranti, begitu cekatan memberi makan dan merawat bebek-bebek milik Pak Yogi. Ranti membuka pintu kandang, Bebek bergantian keluar dari kandangnya. Ranti mengambil ranting kayu untuk menggiring bebek-bebek ke sungai. Tak lupa ia membawa serta bebek-bebek milik Andi. Ketekunan Andi dalam beternak membuat bebek-bebek miliknya berkembang cepat. Bahkan, uang hasil penjualan bebek bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari dan keperluan sekolah Andi dan Sinta.
                Dari kejauhan, sepasang mata sedang memperhatikan Ranti yang duduk di tanggul. Merendamkan ujung kakinya. Tertawa melihat bebek-bebek yang sedang asyik berenang di sungai. Ranting karamunting dikibas-kibaskan di atas air dan membuat bebek-bebek itu saling berenang bertabrakan. Hal ini selalu menimbulkan gelak tawa bagi Ranti.
                “Bahagia banget!” Sepasang mata yang memandang Ranti dari kejauhan, kini duduk di sisi Ranti.
                “Eh! Mas Gung?” Ranti terkejut dengan kehadiran Mas Gung. Mas Gung adalah salah satu sahabat Ranti sejak kecil. Ia sering kali menemani Ranti, atau sekedar menyapa saat Ranti melintas di persawahan miliknya saat menggembala bebek.
                “Ran, aku dengar dari Pak Yogi. Kamu mau menggarap lahan Bapakmu yang ada di bukit itu?” tanya Mas Gung.
                “Rencananya begitu Mas. Tapi, aku belum punya waktu untuk merintisnya. Lahan itu sudah terlalu lama tak digarap. Pohonnya sudah tinggi-tinggi dan aku belum punya kekuatan untuk menghancurkannya.” Ranti tersenyum.
                “Beri upah saja ke orang lain.”
                “Siapa yang mau Mas?” Ranti menopang dagunya. Pandangannya melompat ke sana kemari, berusaha mengingat orang-orang yang mau kerja serabutan.
                “Coba ke rumah Pak Mul. Dia sering merintis lahan orang. Biar saja dia yang mencari kawan untuk membantunya. Lahanmu itu cukup luas. Jika hanya satu orang, pastilah tidak akan cepat selesai. Jadi, kamu harus mengupahi tiga sampai empat orang.”
                Ranti manggut-manggut. “Kira-kira berapa ya upahnya Mas?”
                “Umumnya seratus sampai seratus lima puluh ribu sehari.”
                Ranti mengangguk-anggukan kepalanya sembari berpikir jumlah uang yang akan dia perlukan untuk membuka lahan kebunnya.
                “Rencananya mau kamu tanami apa?”
                “Cabai.”
                “Wah, itu bagus. Harga cabai sekarang sangat bagus di pasaran. Aku yakin kamu pasti berhasil,” ucap Mas Gung.
                “Kenapa Mas Gung seyakin itu? Aku sendiri tidak yakin,” guman Ranti.
                “Karena kamu selalu melakukan hal dengan sungguh-sungguh. Buktinya, sekarang kamu sudah berhasil menyekolahkan kedua adikmu dengan usahamu sendiri. Kamu perempuan yang hebat!” puji Mas Gung.
                “Ah, Mas Gung bisa aja.” Ranti tersipu. Ranti sadar, dia bukan anak gadis berusia 10 tahun. Kini, ia sudah dewasa. Kedua adiknya sudah tumbuh menjadi anak remaja yang cerdas. Ada perasaan bangga dalam benaknya. Bangga karena bisa melewati banyak hal sulit dalam kehidupan.
                Ranti memandang ranting karamunting yang sedari tadi ia kibaskan. “Terima kasih ranting kecil. Kamu adalah awal dari kehidupanku saat ini. Jadilah penunjuk jalan kesuksesanku mewujudkan impian kedua adikku.”

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas