Friday, February 22, 2019

Puisi | Pulau Bali | Taman Bacaan Bunga Kertas | Dea Aulia Pratiwi




PULAU BALI
Karya : Dea Aulia Pratiwi

Inilah Pulau Dewata
Bali, namanya
Letaknya di timur Pulau Jawa
Kecil mungil dilihat dalam peta

Orang menyebutnya
Pulau Seribu Pura
Sebab banyak Pura ditemukan di sini
Tempat rakyat beribadat kepada Illahi

Terdapat beberapa kota besar
Singaraja dan Denpasar
Ada Universitas Udayana

Masyarakat hidup gotong-royong
Seperti subak dalam perairan sawah
Bekerja, bekerja tolong menolong
Membangun pulau, tanah air yang indah


PROFIL PENULIS

Nama                               : Dea Aulia Pratiwi
Tempat, tanggal lahir      : Bulungan, 04 Desember 2004
Sekolah                           : Kelas VI SDN 036 Samboja
Komunitas                      : Taman Bacaan Bunga Kertas

Cerpen | Uangnya Ke Mana Ya?

Sumber Gambar: pixabay.com


Hari ini adik sepupuku datang ke rumah. Dia bermaksud menginap beberapa hari karena kami berbeda kota.
Saat dia sedang asyik main gadget, aku mengajaknya untuk keluar sebentar ke jalan provinsi. Sebab, aku memang tinggal di daerah terpencil yang jaraknya sekitar delapan kilometer dari jalan provinsi.
Sepanjang perjalanan, dia ngedumel soal jalanan yang rusak. Aku hanya menanggapi asal-asalan saja.
"Sialan! Nembel jalan kok ya nanggung banget? Putusnya pas di tengah gunung gini. Kenapa nggak dilanjutkan sampe sana sekalian?" umpatnya ketika motor yang kami pakai menghantam gundukan semenisasi sambungan yang terputus di tengah gunung. Sekitar 10 meter, ada lagi gundukan semen tambalan jalan.
"Yah, emang dibikin begitu. Kan lumayan juga, yang 10 meter bisa masuk kantong," celetukku ngasal.
"Asyem ki, malah dikorupsi. Mikirin kantong dewe!"
"Ya iya lah, mikirin kantong dewe. Timbang mikirin kantong orang?" sahutku sambil tertawa terbahak-bahak.
"Otaknya koruptor ya emang gitu. Gak mikirin rakyat kecil!"
"Hehehe ... udahlah jangan ngedumel aja. Rakyat kecil kayak kita ini memang bisanya cuma ngomel doang. Nggak ada yang hiraukan, tetep aja banyak koruptor. Nggak cuma pejabat tinggi, pejabat rendah aja bisa korupsi kalo nggak kuat imannya."
"Iya, sih."
"Padahal daerah ini termasuk daerah kaya loh. Di sini ada perusahaan tambang minyak, tambang batubara, perusahaan kelapa sawit yang lumayan besar. Tapi, pembangunan infrastrukturnya nggak begitu pesat. Uangnya masuk ke mana ya?"
"Nggak tau juga aku, nggak paham politik!" sahut Reza.
"Eh, aku kepikiran sesuatu deh. Gimana kalo kita bikin konten kayak gitu?"
"Konten apaan?"
"Konten buat nyindir pejabat yang korupsi. Ceritanya ... aku jadi pejabat koruptor, kamu jadi rakyat cilik. Kamu berani nggak?" tantangku.
"Berani, lah. Bikin video gitu doangan."
Kami pun menyiapkan perlengkapan video setelah kembali ke rumah.
Kebetulan, sepupuku ini hobi banget nge-vlog walau enggak terkenal.
Naskah dialog juga sudah kami persiapkan untuk membuat video. Sebisa mungkin, kritik terhadap pejabat koruptor bisa tersampaikan dengan baik. Karena aku yang berperan sebagai koruptor. Maka, aku harus membuat orang yang menonton membenci aku sebenci-bencinya. Artinya ... aku berhasil memerankan tokoh koruptor di sini.
Mulai dari korupsi uang seribu rupiah sampai ratusan juta rupiah.
"Jadi koruptor itu enak ya?" tanya Reza usai kami membuat video kreatif.
"Hah!? Sejak kapan korupsi jadi profesi?"
"Lah? Kok profesi sih?"
"Itu tadi kamu bilang jadi koruptor. Biasanya, orang bilang jadi polisi, jadi guru, jadi dokter dan lain-lain. Bukan jadi koruptor!" jelasku.
"Ish ... Mbak ini aneh, lho!" celetuk Reza.
"Hehehe ..." Aku cengengesan.

###

Memang benar, kalau sudah urusan politik, isinya pasti segala tipu daya dan upaya. Yang benar bisa jadi salah, yang salah bisa jadi benar.
Terlebih di era digital yang semakin berkembang dengan pesat. Kita tidak bisa membedakan mana yang jujur dan mana yang berbohong. Bahkan, berita hoax mudah sekali tersebar dan mendoktrin masyarakat luas.
Kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan pemerintah, bisa jadi masyarakatnya juga yang salah. Begitu juga sebaliknya. Semua harus bisa introspeksi diri dan menyadari kekurangan masing-masing agar bisa bersikap lebih baik lagi.

Thursday, February 21, 2019

Kisah Terbentuknya Komunitas Kreatif "MAMUJA" di Samboja


Sumber Ilustrasi : pexels.com/rawpixel

Desa Beringin Agung, Kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara.

Hari minggu, tanggal 03 Februari 2019 aku dan beberapa teman ibu-ibu Samboja berinisiatif untuk ngumpul bareng.
Tepat pukul 16.00 WITA, ibu-ibu muda sudah berkumpul di ruangan Taman Bacaan Bunga Kertas. Aku bahagia karena mereka bersedia untuk datang memenuhi undanganku.

Awalnya, aku pesimis ketika akan mengumpulkan ibu-ibu untuk berkumpul. Niat untuk membuat perkumpulan ibu-ibu ini awalnya aku utarakan pada Mbak Anis (Crafter) dan Mbak Rety (Crafter) ketika mereka datang ke Taman Baca untuk meminjam buku. Niatku ini disambut baik oleh mereka dan mereka menyetujui niatku untuk membuat perkumpulan ibu-ibu kreatif.
Akhirnya, aku menghubungi beberapa orang yang ada di kontak WA-ku. Alhamdulillah mereka bersedia untuk hadir. Ada 9 orang yang hadir pada pertemuan pertama itu.
Dari pertemuan tersebut, kami sepakat untuk membentuk sebuah komunitas ibu-ibu kreatif yang diberi nama "MAMUJA". Mamuja sendiri merupakan akronim dari Mama Muda Samboja.

Silahkan lihat video ini untuk melihat kegiatan pertama kami berdiskusi.


Ada beberapa point hasil diskusi yang telah kami rangkum. Hal yang paling penting adalah bagaimana kami bisa membangun solidaritas dan loyalitas untuk saling berkumpul dalam visi dan misi yang sama. Saling memahami kekurangan masing-masing, sebab itu adalah hal yang paling sulit untuk kita lakukan. Kita bisa mempromosikan diri kita lebih baik dari orang lain, namun terkadang kita lupa kalau kita memiliki kekurangan. Oleh karenanya, kita juga harus bisa memahami kekurangan orang lain agar kita bisa seterusnya menjalin silaturahmi yang baik.

Yang penting ibu-ibu mau ngumpul dulu. Ke depannya seperti apa, akan kami diskusikan sambil berjalan. Oleh karenanya, dalam perkumpulan ibu-ibu muda ini belum ada yang namanya struktur organisasi. Belum ada ketua atau bendahara. Semuanya menjadi tanggung jawab bersama. Program kerjanya pun akan kami susun sambil berjalannya kegiatan ini.

Kami berharap bisa terus ngumpul seperti ini sampai seterusnya. Ibu-ibu bisa berkreasi sembari bermain dengan anak-anaknya. Tentunya, kami berharap kegiatan ini bisa memberikan manfaat bagi warga Desa Beringin Agung demi terwujudnya masyarakat yang mandiri dan berkesinambungan. Saya sendiri tidak ingin kegiatan ini hanya hangat-hangat tahi ayam. Maksudnya, hanya eksis di awal-awal kemudian lambat laun semangatnya mengendur. Saling menyemangati dan memotivasi tentunya menjadi salah satu hal utama agar kegiatan komunitas ini dapat berjalan dengan baik.

Dan inilah akhirnya...
Kami membentuk sebuah komunitas Mama Muda Kreatif yang aktif dan produktif. Kami sepakat untuk ngumpul rutin setiap hari Kamis dan Minggu sore. Dengan seringnya hadir atau ngumpul, maka solidaritas dan rasa kekeluargaan akan terbentuk dengan baik.



Terima kasih untuk Mama Muda Samboja ...!
Semoga kita selalu bisa memberikan motivasi dan inspirasi untuk anak-anak penerus bangsa. Menjadi masyarakat yang mandiri dengan pemberdayaan ekonomi kreatif.


37 Kosa-Kata Yang Mendeskripsikan Mimik Wajah (Mata Tokoh) Dalam Cerita

pexel.com/Min An
Hai, teman-teman!
Kalian suka bingung nggak sih kalau bikin cerita saat mendeskripsikan mimik wajah tokoh yang ada di dalam cerita?
Aku kadang suka bingung. Bagusnya gimana ya?
Jadi, aku sering banget cari-cari ilmu kepenulisan baik offline maupun online.
Dan akhirnya aku dapat juga beberapa kosa-kata yang memang sudah nggak asing lagi, karena sering aku temui di dalam buku-buku yang aku baca.

Berikut ini kosa-kata yang cocok untuk menggambarkan kondisi mata pada mimik wajah tokoh dalam cerita:

Mata / Matanya ...

  1. ... melebar
  2. ... berkeling
  3. kelopak ... terkulai.
  4. ... menyipit
  5. ... menyala
  6. ... melesat
  7. memicingkan ...
  8. ... mengerjap
  9. ... berbinar
  10. ... berkelebat
  11. ... berkilat
  12. ... dibakar dengan...
  13. ... menyala dengan...
  14. ... berkedip-kedip
  15. ... bersinar
  16. sudut ... berkerut
  17. memutar bola matanya
  18. ... menatap...
  19. air matanya menggenang
  20. ... basah
  21. ... berkilau
  22. ... mengkilap
  23. ia menahan air mata
  24. menutup ...
  25. dahinya mengerut
  26. garis muncul di antara alisnya
  27. alisnya bertautan
  28. alisnya tersentak bersama-sama
  29. alisnya naik
  30. ... ditutup
  31. memejamkan ...
  32. ia mengangkat alisnya
  33. ... melotot
  34. ... mengintip
  35. ... meneliti
  36. ... mengamati
  37. pupil matanya besar

Sumber : Materi Kepenulisan Online

Baca juga :
Bagaimana Membuat Outline / Kerangka Karangan yang Baik dan Mudah? 

Cerpen | Jodoh Kedua

Pixabay.com/pexels
Baca tulisan serupa di Kompasiana

"Mbak, apa belum bisa juga sampai sekarang?" Pertanyaan dari mulut cowok yang usianya 4 tahun lebih muda dariku membuat kepalaku berdenyut.
Cowok itu masih saja menatapku dengan senyum yang ... kuakui memang memesona.
"Apa tiga tahun masih kurang?" Belum juga aku menjawab pertanyaan pertamanya, sudah datang pertanyaan berikutnya dengan senyuman khasnya.
"Aku sayang sama Maura seperti anakku sendiri." Ia masih menatapku, menunggu jawaban.
Aku mengalihkan pandanganku pada Maura yang sedang bermain pasir di tepi pantai.
Maura ... gadis kecil berusia 6 tahun yang baru duduk di bangku TK. Dialah gadis kecil yang keluar dari rahimku enam tahun lalu.
Dia menjadi anak yatim sejak 3 tahun lalu. Saat usianya masih kecil, ia harus kehilangan ayahnya karena kecelakaan kerja yang merenggut nyawanya.
Sejak itu juga aku menjadi seorang single parent, merawat dan membesarkan anakku tanpa seorang ayah.
Beberapa orang terdekat menyarankan aku mencari ayah baru untuk Maura. Namun, hatiku begitu berat melakukannya. Aku takut jika aku tak bahagia ketika memilih menikah lagi, atau justru puteriku yang tak bahagia hidup dengan ayah tiri.
Setelah kepergian suamiku, aku tidak pernah dekat pria lain kecuali Lukas Hexam. Pria muda yang kini ada di hadapanku. Dia tidak pernah berusaha menjauh dariku atau pun Maura meskipun dengan segala cara aku mencoba mengusir dan membencinya. "Aku sudah terlanjur cinta pada kalian." Kalimat itu selalu diucapkan Hexam ketika aku memintanya pergi dan membenci.
Selama tiga tahun ia membuktikan kesungguhannya mencintaiku juga Maura.
Selama itu pula aku tidak mampu menerimanya dalam kehidupanku. Apalagi sampai masuk menjadi bagian dari keluarga kecilku. Entahlah ... aku sendiri tidak mampu menggambarkan perasaanku sendiri.
Hexam dengan mudahnya mencuri perhatian Maura. Hampir setiap hari ia datang untuk bermain bersama Maura. Setiap akhir pekan juga ia sempatkan mengajak Maura jalan-jalan seperti sekarang ini. Ia asyik bermain di pantai bersama keponakan Hexam.
Sementara aku sibuk dengan warung nasi yang jadi penyambung hidupku dan anakku satu-satunya. Hexam selalu menyempatkan diri mampir ke warung. Sekedar memesan secangkir teh hangat, kadang juga membantu saat pelanggan warungku sedang banyak.
"Mbak...!" Suara Hexam membuyarkan lamunanku.
"Ya." Aku gelagapan karena terciduk sedang melamun sementara cowok di depanku menunggu sebuah jawaban.
"Mbak, aku serius."
"Kamu terlalu muda buat aku. Lagipula aku ini janda beranak satu. Sedang kamu lelaki bujang yang selayaknya mendapatkan wanita yang jauh lebih baik daripada aku." Lagi-lagi alasan ini yang keluar dari mulutku. Aku yakin, Hexam sudah khatam dengan jawabanku kali ini.
"Aku sudah bilang, aku terlanjur cinta sama mbak dan Maura. Walau banyak di luar sana gadis yang lebih muda dan cantik. Cuma Mbak yang selalu ada di pikiran dan hatiku." Hexam sudah mengatakan ini berkali-kali. Tidak berubah sejak ia ucalkan 2,5 tahun yang lalu. Ia masih menatapku dengan wajah serius.
Aku membalas tatapannya. Hexam yang ada di hadapanku sekarang, bukan laki-laki ingusan berusia 12 tahun. Dia sudah berubah jadi cowok dewasa berusia 26 tahun yang memandangku dengan cara berbeda.
"Mbak, asal mbak tahu. Aku suka sama mbak sejak aku berusia 13 tahun. Aku mengagumi mbak sejak dulu. Tapi, aku sadar kalau aku tidak mungkin bisa bersaing dengan kakak-kakak kelas 2 SMA yang uang jajannya jauh lebih banyak. Saat itu, aku ingin memberikan hadiah spesial buat mbak. Tapi, aku nggak punya uang. Aku nggak mungkin berani mendekati mbak hanya bermodalkan kata-kata bocah ingusan."
Aku hampir tertawa mendengar kalimat terakhirnya.
"Sekarang aku sudah berubah. Aku sudah punya pekerjaan. Sudah punya rumah. Dan aku akan berusaha melakukan apa pun untuk membuat mbak bahagia."
"Apa aku masih kurang mapan?" Lagi-lagi pertanyaan itu ia ajukan dan sudah pasti aku jawab dengan gelengan kepala.
"Terus ... kenapa mbak Naira masih terus menolak aku?"
Duh, ini pertanyaan yang sulit untuk kujawab. Aku tidak punya alasan tepat kenapa aku harus menolak.
"Mbak, apa perjuanganku selama bertahun-tahun masih kurang?"
Aku menggelengkan kepala.
"Terus? Kenapa aku masih ditolak terus sih? Mbak tahu kan kalau aku ngarep banget jadi pasangan hidup mbak?"
Aku menghela napas dalam-dalam. Memejamkan mata dan masih berpikir, kalimat apa yang seharusnya aku katakan pada Hexam? Haruskah aku belajar membuka hati untuk dia?
"Kasih aku waktu..."
"Berapa lama lagi?" Hexam menatapku tajam, membuat aku tertunduk dan tak mampu berkata apa pun.
Ini pertama kalinya aku lihat raut wajahnya begitu tegang dan serius. Biasanya ia selalu penuh dengan candaan. Sampai-sampai aku tidak bisa membedakan mana ucapan yang serius dan mana yang bercanda.
"Sampai ... kamu berhenti memanggilku 'mbak'!" sahutku tanpa menatap wajahnga.
"Serius? Apa itu artinya Mbak Naira .... eh!? Maksudku ... kamu ... mau menerima aku?" Hexam tersenyum, mendekatkan wajahnya ke arahku sembari menaikkan kedua alisnya. Sepertinya dia masih ragu dengan ucapanku.
Aku mengangguk perlahan. "Asal kamu mau berhenti memanggilku 'mbak'!" Aku mengedikkan bahuku.
"Gampang Mbak. Eh!? Maksudku... gampang! Aku bakal lakuin apa aja buat kamu."
"Serius?" sahutku menggoda.
"Iya. Tapi, jangan yang aneh-aneh juga. Yang wajar-wajar aja lah."
"Yang aneh-aneh itu yang seperti apa?" tanyaku sok polos.
"Yah ... seperti minta mobil mewah gitu."
"Jadi? Kalau aku minta mobil mewah, kamu nggak akan berusaha berjuang buat aku?"
"Ish! Nggak gitu maksudnya. Seandainya kamu beneran minta. Aku pasti berusaha keras mendapatkannya. Kalau nggak dapat ya terpaksa aku kasih brosurnya doang," celetuk Hexam.
"Kok brosurnya sih!?" Aku mencubit lengannya yang kekar.
"Abisnya ... minta aneh-aneh aja!" sahut Hexam.
Aku menggelengkan kepala tanda tidak mengerti dengan perasaanku sendiri.
Aku dan Hezam kembali masuk dalam ruang yang sama dari masa lalu yang berbeda.
Perbedaan itulah yang membuat kami saling memahami dan mengerti.

Dan kini aku mengerti...
Kalau jodoh sudah ada di tangan Tuhan. Termasuk jodoh kedua yang kini hadir dalam kehidupanku.
Aku pikir, ketika menikah pertama kalinya ... dia adalah jodohku. Lalu, Tuhan merenggutnya dan memberikan aku jodoh untuk kedua kalinya.
Dia hadir bukan untuk menggantikan singgasana cinta mendiang suamiku dalam hatiku. Tapi ... dia punya ruang sendiri di hatiku yang mampu membuat hatiku menjadi lebih baik. Ada banyak ruang di hatiku dan semuanya spesial dengan caranya masing-masing.
Tuhan ... jika Hexam adalah jodohku yang kedua, maka biarkanlah cinta kami abadi sampai kami tua, sampai kami dengar cucu dan cicit kami mengatakan kami "Pikun".

Ditulis oleh Rin Muna
East Borneo, 17 Februari 2018

Dialog Tag Dalam Penulisan Naskah Fiksi

Source: pixabay.com/geralt


Hai guys ...!
Ketemu lagi sama aku. Aku siapa ya? Hahaha...
Gak penting lah ya, aku ini siapa.
Yang penting, hari ini aku lagi pengen belajar tentang dunia kepenulisan. Biar tulisanku rada rapian dikit lah, banyak berantakannya soalnya. Wkwkwk ...

Hari ini aku lagi mau belajar tentang Dialog tag.
Dialog tag itu apa sih?
Dialog tag adalah frase yang mengikuti dialog, yang memberikan informasi identitas si pengucap dialog.
Dialog tag biasanya ditandai dengan kata "ujar", "ucap", "kata", dan sejenisnya. Dialog tag bisa berada di awal atau akhir kalimat. Dialog tag menggunakan tanda baca petik ("), koma (,), tanda seru (!) atau tanda tanya (?). Dialog tag diawali dengan menggunakan huruf kecil.
Berikut ini contoh dialog tag dan penggunaan tanda bacanya. Perhatikan baik-baik bagaimana menuliskan tanda baca yang tepat.

- Dialog tag di awal kalimat:

* Rina berkata, "Aku lelah."    >>> Benar
* Rina berkata ,"Aku lelah."    >>> Salah
* Rina berkata, "Aku lelah".    >>> Salah
 
Kata "berkata" merupakan dialog tag di awal kalimat, diakhiri dengan tanda koma (,) kemudian diikuti dengan dialognya. Kalimat dalam dialog berada di antara tanda petik buka (") dan tanda petik tutup ("). Kalau kamu menulis menggunakan Microsoft Word, akan terlihat jelas perbedaan antara tanda petik buka dan tanda petik tutup. Sama fungsinya dengan tanda kurung buka dan kurung tutup. Di akhir dialog menggunakan tanda baca titik (.) untuk mengakhiri dialognya. Ingat ya, tanda baca titik (.) berada di dalam tanda petik, bukan di luar tanda petik atau setelah tanda petik tutup.


* Rina bertanya, "Sudah makan?" >>> Benar
* Rina bertanya, "Sudah makan.?" >>> Salah

Dialog tag ini sama dengan contoh yang pertama. Hanya saja diakhiri dengan tanda tanya sebagai kalimat pertanyaan, bukan pernyataan. Tanda tanya berfungsi sebagai pengganti tanda titik. Sehingga, tidak perlu lagi menggunakan tanda baca titik (.) jika sudah menggunakan tanda tanya (?)


* Rina mengumpat, "Aku benci kamu!"    >>> Benar
* Rina mengumpat, "Aku benci kamu.!"   >>> Salah

Dialog tag ini sama dengan contoh yang pertama. Hanya saja diakhiri dengan tanda seru sebagai penekanan kalimat atau sebuah teriakan. Tanda seru berfungsi sebagai pengganti tanda titik. Sehingga, tidak perlu lagi menggunakan tanda baca titik (.) jika sudah menggunakan tanda seru (!)

Diatas adalah 3 contoh dialog tag yang berada di awal kalimat.


Dialog tag di akhir kalimat:


* "Aku lelah," kata Rina.   >>> Benar
* "Aku lelah", kata Rina.   >>> Salah
* "Aku lelah," Kata Rina.   >>> Salah

Perhatikan baik-baik perbedaan penggunaan tanda baca di atas. Dialog berada di dalam tanda petik buka dan tanda petik kurung. Dialog diakhiri dengan tanda koma, kemudian diikuti dengan dialog tag. Dialog tag selalu diawali dengan huruf kecil ( bukan huruf kapital )

* "Sudah makan?" tanya Rina.   >>> Benar
* "Sudah makan?," tanya Rina.   >>> Salah
* "Sudah makan,?" tanya Rina.   >>> Salah
* "Sudah makan?" Tanya Rina.   >>> Salah

Penggunaan tanda tanya menjadi pengganti tanda baca koma, sehingga tidak perlu lagi menggunakan tanda baca koma pada dialog yang menggunakan dialog tag. Ingat, dialog tag selalu menggunakan awalan huruf kecil.

* "Aku benci kamu!" umpat Rina.  >>> Benar
* "Aku benci kamu,!" umpat Rina. >>> Salah
* "Aku benci kamu!" Umpat Rina. >>> Salah

Penggunaan tanda seru, perlakuannya sama dengan penggunaan tanda tanya. Hanya saja, makna kalimat tanya dan kalimat seru yang membuatnya berbeda.

Tidak semua dialog dalam sebuah cerita menggunakan dialog tag. Ada beberapa dialog yang tidak menggunakan dialog tag. Kita harus bisa membedakan mana dialog tag dan bukan dialog tag.

ontoh kalimat yang tidak menggunakan dialog tag adalah sebagai berikut:

* "Kemarin aku lihat kamu jalan sama pacarku." Rina menatap Rini tajam.
* Mata Rina menatap Rini tajam. "Kemarin aku lihat kamu jalan sama pacarku." 

Kalimat di atas merupakan dialog yang tidak menggunakan dialog tag. "Rina menatap Rini Tajam" adalah kalimat aksi/aktivitas yang mendeskripsikan aktivitas lain yang dilakukan tokoh saat berdialog. Kalimat aksi ini selalu diawali dengan huruf besar atau huruf kapital karena tidak menjadi bagian dari dialog.

Contoh lainnya:

* "Hehehe ... lupa." Tangan Rina menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
* Tangan Rina menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Hehehe ... lupa."

Nah, itu dia contoh dialog tag sederhana yang bisa aku sharing buat temen-temen. Semoga bisa mengerti dengan mudah contoh dialog tag di atas ya! Dan bisa membedakan mana yang merupakan dialog tag dan mana yang bukan dialog tag.
Oh ya, aku mau kasih contoh penulisan dialog tag dan dialog dengan kalimat aksi/aktivitas.

* "Hehehe ... lupa." Tangan Rina menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Kamu sudah makan?" tanya Rina kemudian.

Kalimat yang aku beri tanda warna merah adalah kalimat aksi/aktivitas si tokoh. Sedangkan kalimat yang aku beri tanda warna pink merupakan dialog tag.

Ada macam-macam dialog tag, kamu bisa membacanya di tulisan MACAM-MACAM DIALOG TAG


Demikian pelajaran tentang dialog tag yang aku dapat hari ini. Semoga bermanfaat!
Buat kamu yang ingin menambahkan atau mengoreksi materinya, silakan komen di bawah ya!

MACAM-MACAM DIALOG TAG

Source: Pixabay.com, edit by me


Hai teman-teman, kali ini aku mau bagiin beberapa macam dialog tag yang bisa kamu gunakan untuk menulis cerita supaya beragam tidak terkesan membosankan. Yuk, cek dialog tag yang asyik kamu gunakan dalam menulis cerita!

1. Netral

- ujar
- salam
- celetuk
- ucap
- desak
- kata
- pamit
- harap
- pesan
- cetus
- tutur
- papar
- ungkap
- tandas
- tanya
- tegur
- sapa
- ajak
- panggil
- pungkas
- tegas
- ajak
- pinta
- tunjuk
- beber
- seloroh
- cakap
- lontar
- akunya

2. Netral sebagai respon

- sahut
- lanjut
- jawab
- tawar
- tolak
- sambut
- sanggah
- imbuh
- terang
- balas
- tangkas
- tambah
- sambung
- jelas
- sela
- sosor
- tukas
- potong
- kilah
- usul
- putus
- protes
- urai
- saran
- berondong
- timpal
- kekeh
- kelit
- deham

3. Ada Emosi

- sindir
- hina
- gerutu
- sungut
- rengek
- tekad
- resah
- cemooh
- ejek
- kelakar
- canda
- cela
- ledek
- gerundel
- puji
- keluh
- adu
- perintah
- cibir
- tuntut
- decit
- cicit



4. Emosi Bernada Rendah

- bisik
- gumam
- decak
- desah
- rintih
- desis
- sesal
- ulang
- lirih
- racau
- batin
- ringis
- hembus
- goda
- rajuk

5. Emosi Bernada Tinggi

- jerit
- geram
- usir
- bentak
- berang
- hardik
- teriak
- tuduh
- tampik
- tantang
- pekik
- tekan
- sembur
- seru
- erang
- serang
- cecar
- raung
- sergah
- murka
- dengus
- ketus
- marah


Sumber referensi :
Materi Kepenulisan Andros Luvena by Rosi Simamora

Contoh Penggunaan Dialog Tag :
Dialog Tag dalam Penulisan Naskah Fiksi 

Baca juga :
37 Kosa-Kata Yang Mendeskripsikan Mimik Wajah (Mata Tokoh) Dalam Cerita 

 

Dilarang copy paste dan menyebarkan tulisan ini tanpa mencantumkan nama situs atau penulisnya.

 

Penakata Challenge Time | Horror Scope Books Effect



Tulisan ini telah saya bagikan untuk Penakata.com

Lina merapatkan tubuhnya ke dinding kamar yang berbahan papan kayu. Napasnya tersengal usai berlari dari salah satu ruangan yang berada di lantai dua rumah barunya. Ia baru saja pindah seminggu yang lalu ke rumah ini. Ia harus mencari rumah tinggal yang jauh lebih murah karena kondisi perekonomian keluarganya sedang terpuruk.
Ia mendapati rumah  murah di pinggiran kota yang lumayan sepi. Rumah yang terbuat dari papan, berlantai dua, lama tak berpenghuni. Di halaman rumah terdapat dua pohon beringin dari jenis yang berbeda. Dilihat dari kondisi halaman dan sisa-sisa pot tanaman, sepertinya pemilik rumah terdahulu adalah pecinta bonsai. Bisa jadi, pohon beringin yang kini tinggi menjulang adalah salah satu koleksi yang pada akhirnya tidak terawat.
Dari penuturan warga sekitar, rumah ini terkenal angker. Namun, Lina tak punya pilihan lain selain tinggal di sini. Hingga lima hari lalu, Lina memilih untuk tidak pulang ke rumah sebelum ayahnya sampai ke rumah. Ia tidak ingin sendirian di rumah yang terkenal kisah horornya.
Namun, malam ini Lina tiba-tiba lupa. Ia tertidur sore hari dan terbangun tepat pukul delapan malam. Ia mulai mendengar suara-suara aneh seperti yang ia dengar pada malam-malam sebelumnya. Itulah yang membuat Lina memilih untuk tidur bersama kedua orang tuanya.
"Ayah ... ibu ... please, cepat pulang!" ucap Lina lirih sembari menoleh ke arah pintu yang berderit.
Dari ekor matanya ia menangkap sosok bayangan aneh melangkah di lorong kamarnya. Sosok seperti manusia tapi berkepala kambing. Derap langkahnya semakin mendekat ke arah pintu kamar Lina yang setengah terbuka.
Lina menarik napasnya dalam-dalam dan menahan di dadanya ketika bayangan itu tepat masuk melalui celah pintu kamarnya. Ia makin merapatkan tubuhnya ke dinding. Otaknya berputar cepat mencari cara keluar dari kamar tanpa harus bertemu dengan sosok bayangan yang ia lihat.
Lina memejamkan matanya ketika pintu kamar bergeser, membuatnya semakin terbuka. Tiba-tiba suasana berubah jadi hening, suara langkah kaki itu tak terdengar lagi. Lina membuka mata dan benar saja, sosok bayangan yang hampir masuk ke dalam kamarnya sudah tak ada lagi. Ia buru-buru berlari ke luar dari kamarnya. Menuruni anak tangga yang terbuat dari kayu ulin.
"Kalian siapa?" Lina heran melihat dua anak perempuan berwajah sama yang berdiri di depan pintu ketika ia membuka pintu rumahnya.
"Dari ibu." Salah satu anak perempuan itu menyodorkan rantang susun berisi makanan.
"Oh, rumah kalian yang mana?" tanya Lina.
Gadis kecil itu menunjuk ke arah seberang rumah Lina.
"Kakak boleh ikut ke rumah kalian?" tanya Lina menatap keduanya, "Soalnya, kakak di rumah sendirian. Nungg Ayah sama Ibu pulang di rumah kalian aja."
Kedua gadis itu menganggukkan kepalanya. Mereka kemudian menarik Lina keluar dari halaman rumahnya. Lina terus melangkahkan kaki mengikuti kedua gadis itu tanpa henti. Ia merasakan perjalanan yang sangat lama. Bukankah hanya ke rumah seberang yang seharusnya bisa sampai dalam waktu 5 menit dengan berjalan kaki? Tapi ... Lina merasa tidak sampai-sampai dan kakinya mulai lelah.
"Rumah kalian masih jauh?" tanya Lina dengan napas yang tersengal.
Kedua gadis itu membalikkan tubuhnya, wajah mereka pucat dan tatapannya dingin.
"Kalian siapa?" Lina terkejut mendapati dua gadis kecil itu berubah, terlebih matanya menyala merah. Tanpa pikir panjang, Lina berlari berbalik arah. Ia baru sadar kalau ternyata ia kini berada di dalam hutan, bukan di wilayah pemukiman tempat ia tinggal.
Ia terus berlari sampai ke tepi danau, ia melihat seorang pria sedang menuangkan air ke danau tersebut, di bawahnya ada ikan-ikan yang berterbangan menyambut air yang ditumpahkan.
"Ini apa?" Pikiran Lina semakin tak karuan melihat kejadian aneh yang ia temui malam ini. "Aku di mana?" Dua pertanyaan itu terus bersarang di pikirannya.
Lina duduk bersandar di bawah pohon sembari mengatur napasnya. Ia menutup wajahnya, mencoba mengatur pikirannya.
Beberapa menit kemudian ia membuka matanya dan mendapati ia sudah berbaring di dalam kamarnya. Ia melirik jam dinding yang terpajang di dinding kamarnya, waktu masih menunjukkan pukul delapan malam. Artinya, kejadian aneh yang ia alami hanya mimpi. Lina menarik napas lega dan turun dari ranjangnya.
Ting ... tong ...!
Tiba-tiba bel rumahnya berbunyi. Ia berharap, ayah dan ibunya bisa pulang lebih cepat dari biasanya. Usaha mereka yang terancam bangkrut, membuat mereka sering pulang larut malam.
Lina berlari menuruni anak tangga, secepatnya membukakan pintu.
"Mella? Tumben ke sini malam-malam gini?" Lina mengerutkan keningnya ketika mendapati sahabatnya sudah berdiri di depan pintu dengan tatapan dingin.
"Kamu, nggak papa 'kan?" Lina kembali bertanya karena sahabatnya masih saja bergeming.
"Mel ... Mella?" Lina mulai merasa kurang nyaman dengan wajah Mella yang masih saja dingin, bahkan pucat seperti mayat hidup.
"Kamu kenapa? Ada masalah?" Lina menggoyangkan pundak Mella. Mella menurunkan tangan Lina, tangannya dingin seperti es batu.
Lina tertegun beberapa saat.
Mella membalikkan badannya dan berjalan perlahan keluar dari halaman rumah Lina.
"Mel ... Mella ...!" langkah Lina gontai mengikuti sahabatnya itu. Mella terus berjalan menyusuri jalan-jalan pemukiman. Kemudian ia berhenti di salah satu jembatan.
"Mel, kamu kalau punya masalah cerita dong! Jangan kayak gini! Bunuh diri itu bukan pilihan terbaik. Aku bakal bantu semampu aku." Lina memandang tubuh Mella yang menatap kosong ke arah sungai. Ia khawatir dengan sahabatnya yang sudah berdiri di bibir jembatan.
Mella menoleh ke arah Lina, tersenyum dingin dan menjatuhkan tubuhnya ke bawah jembatan.
"Mella ...!!!" teriak Lina histeris mendapati sahabatnya itu terjun ke bawah jembatan. Ia berlari mendekati bibir jembatan, melongok ke arah sungai yang gelap.
Tanpa pikir panjang, Lina berjalan menuruni sungai yang berada di bawah jembatan lewat jalan setapak yang biasa digunakan warga untuk turun ke sungai. Ia tak berhenti meneriakan nama sahabatnya sembari terus menuruni bukit menuju tepi sungai.
Ia memandangi air sungai yang berkilauan diterpa cahaya bulan. Ia berharap tubuh Mella bisa terlihat walau dalam keadaan apa pun.
BYUR!!!
Tiba-tiba saja keluar makhluk aneh dengan mata menyala. Dua makhluk yang tubuhnya 20 kali lipat dari tubuh Lina. Yang satu memiliki sepasang capit seperti kepiting dan satunya lagi seperti kalajengking. Oh ... bukan, bukan! Bukan seperti, tepatnya itu memang kepiting dan kalajengking raksasa.
Dengan cepat Lina berbalik arah dan berlari memasuki hutan, menghindari kejaran dua makhluk aneh tersebut.
"Ini mimpi. Please, ini mimpi!" celetuknya sambil terus berlari. Ia menjatuhkan tubuhnya ke bibir bukit, merosot dengan cepat menghantam ranting dan anak-anak pohon. Ia merasakan sakit yang luar biasa ketika tangan, kaki dan wajahnya lecet terbentur dan tertusuk tanaman liar. "Sakit! Ini bukan mimpi?" Ia bangkit dan berjalan perlahan, sebisa mungkin dua makhluk besar itu tak lagi mengejarnya. Ia menatap ke atas bukit, kepiting dan kalajengking raksasa itu sudah berjalan menjauh dan tak terlihat lagi. Lina menghela napas lega. Ia bersandar di bawah pohon randu yang menjulang tinggi.
Lina mengusap keringat yang keluar dari sudut-sudut rambutnya. Matanya melirik ke arah luka berdarah di tangan kirinya. Ia berharap, ini hanya mimpi. Sama seperti yang dialaminya sebelum ia terbangun dari tidurnya. Lina memejamkan matanya perlahan, berharap ia kembali ke kamarnya ketika ia membuka mata.
Perlahan Lina membuka mata dan ia masih mendapati tubuhnya bersandar di bawah pohon randu. Ia memukulkan kepala bagian belakangnya ke batang pohon. Kesal!
Ia bangkit, berjalan perlahan mencari arah pulang ke rumah.
Grrr ...!
Lina membalikkan tubuhnya ke arah suara. Ia melihat seekor singa yang berada sekitar lima meter dari tubuhnya. Singa ini seperti makhluk mitologi, berbadan satu dan berkepala tiga.
"Oh ... God!" Ia tak bisa lagi berlari karena lelah dan luka di kakinya. Kali ini ia pasrah, ia memejamkan mata saat makhluk ganas itu siap menerkam tubuhnya.
SYAT ...!
Aaargh ...!
Bruk ...!
Lina membuka matanya, penasaran dengan suara yang ia dengar. Ia mendapati manusia setengah kuda, dengan busur panah di tangannya sedang melawan singa berkepala tiga itu.
Aungan singa semakin menjadi, ia terlihat sangat marah karena tubuhnya tertusuk beberapa anak panah. Dengan cepat manusia setengah kuda itu menarik lengan Lina hingga melayang dan mendarat tepat di atas tubuhnya. Centaur itu membawa Lina berlari menjauh dari singa berkepala tiga.
"Kamu siapa?" tanya Lina yang hanya dibalas dengan tatapan. Makhluk centaur itu tak berkata sedikit pun. Mereka berhenti di salah satu bangunan megah yang berada di tengah hutan.
"Hai ... bagaimana kamu bisa masuk dalam Negeri Zodiak?" Seorang wanita cantik jelita menghampiri Lina.
"Hah!? Negeri Zodiak?" Lina heran dengan apa yang ia alami.
"Namaku Virgo. Ayo, masuk! Lukamu harus disembuhkan." Virgo mengulurkan tangannya. Dengan cepat centaur menurunkan aku dari tubuhnya yang tinggi, tepat di tangan Virgo.
Lina berjalan mengikuti langkah Virgo, perlahan masuk ke istana melalui jembatan panjang yang bawahnya terdapat sungai besar.
"Mereka siapa?" Lina memandangi banyak orang berkumpul di salah satu jembatan lain yang ujungnya terdapat timbangan besar.
"Mereka manusia yang sudah mati, di ujung sana adalah timbangan kebaikan dan keburukan. Untuk menentukan di mana mereka akan tinggal setelah mati." Virgo tersenyum.
"Apa aku sudah mati?"
"Belum."
"Bagaimana aku bisa di sini?" tanya Lina heran.
Virgo mengedikkan bahunya tanda tak mengerti.
"Apa aku bisa pulang?"
"Bisa."
"Caranya?"
"Akan kutunjukkan setelah mengobati lukamu." Mereka memasuki bilik yang tidak terlalu besar.
Lina mendapati manusia bersisik dengan banyak ular di kepalanya. "Dia siapa?" tanya Lina.
"Dia penyembuh kami. Namanya Hydra. Berbaringlah dan lukamu akan sembuh!" perintah Virgo sembari menunjukkan tempat untuk Lina berbaring.
Hydra mendekati Lina dan ular-ular di kepalanya menjulur menyentuh tubuh Lina. Ia merasa sangat geli dan tak karuan. Bagaimana bisa ia bertemu dengan makhluk-makhluk aneh hanya dalam semalam. Ia ingin segera kembali ke rumahnya, berharap malam cepat berganti dengan pagi.
"Pejamkan matamu!" bisik Virgo.
Lina memejamkan matanya perlahan. Ia merasakan tubuhnya digelayuti ular-ular Hydra.
"Aaaargh ...!" teriakan histeris keluar dari mulut Lina kala merasakan gigitan di perutnya. Ia kesakitan bukan kepalang. Tak menyangka kalau ular-ular itu justru memakan tubuhnya.
"Aaaargh ...!" Lina terus berteriak memberontak, menangis histeris,  menepiskan ular-ular yang menggerogoti tubuhnya.
"Lin ... Lina!"
"Lina!"
Lina membuka mata, napasnya tersengal, tubuhnya basah oleh keringat. Ia mendapati tubuhnya sudah berada di kamar.
Ibu memeluknya erat melihat Lina yang tidur sambil berteriak. "Kamu kenapa?"
"Aku mimpi buruk, Bu." Lina mengusap matanya yang basah.
"Kan, Ibu sudah bilang. Jangan tidur magrib. Kamu pasti mimpi yang aneh-aneh."
"Aku ketiduran, Bu."
"Kamu ngapain aja? Kok, bisa ketiduran?"
"Aku baca buku ini." Lina menyodorkan sebuah buku berjudul Horror Scope yang terlihat sudah berusia puluhan tahun. Buku setebal 2 inchi terlihat sangat antik. Ia mendapatkannya dari salah satu perpustakaan pribadi milik teman kuliahnya. Tulisan dan gambar-gambar timbul dalam buku itu, membuat Lina tertarik untuk membuka dan membacanya.
"Kamu ... ada-ada saja. Buku baca seperti ini. Sini!" Ayah Lina menarik buku itu dan melemparkannya ke luar jendela.
"Ayo, turun! Kita makan malam. Ibu sudah belikan makanan kesukaan kamu. Kebetulan ada Mella dan Nauri di bawah. Katanya, mereka akan menginap di sini."
"Ada Mella, Bu?" tanya Lina sumringah.
Ibu dan Ayah Lina menganggukkan kepalanya bersamaan.
"Alhamdulillah ...." Lina berlari secepatnya menghampiri dua sahabatnya dan memeluk mereka erat-erat.
Ayah dan Ibu Lina menggelengkan kepala melihat tingkah aneh puterinya itu.
Lina tersenyum memandangi mereka satu per satu.
"Aku bersyukur ... semua cuma mimpi," batinnya.
Sejak kejadian itu, ia tak berani lagi tidur di waktu senja. Terlebih lagi berada di dalam rumah seorang diri. Ia lebih memilih menginap di rumah Mella atau Nauri. Itu jauh lebih baik daripada harus berada di dalam rumah ditemani mimpi-mimpi aneh.

Ditulis oleh Rin Muna untuk Penakata

Samboja, 20 Februari 2019

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas