Friday, October 14, 2022

Extra Part 04 - I Lost You, Ustadz [Prekuel Assalamualaikum, Ya Habib]

 



Pagi-pagi sekali, Anjani melangkahkan kaki menuju sungai yang tak jauh dari rumahnya. Biasanya, teman-temannya akan berkumpul di sana. Bersantai sembari menikmati udara pagi yang sejuk. Gemericik air yang mengalir di antara bebatuan, benar-benar membuat suasana pagi di desa itu terasa sangat menenangkan.

Anjani langsung berlari menghampiri Halimah yang sedang bercengkerama dengan teman-teman wanita yang lainnya. “Halimah ...!”

“Anjani ...!” Halimah langsung bangkit dari atas batu yang ia duduki. Ia merentangkan kedua tangan sambil tersenyum lebar. Ia pun ikut berlari dan berpelukan dengan Anjani. Sudah hampir satu minggu mereka tidak bertemu. Sebab, Anjani pergi ke luar desa bersama kedua orang tuanya karena ada urusan keluarga.

“Anjani, aku kangen sama kamu. Gimana liburannya di Malang? Asyik?” tanya Halimah sambil mendekap erat tubuh Anjani dan berlompat kegirangan.

“Asyik, dong. Aku bawain oleh-oleh buat kalian,” sahut Anjani sambil menunjukkan dua paper bag di tangannya yang penuh dengan aneka cemilan khas kota Malang.

“Wah ...! Makasih, Anjani!” seru Ibrahim sambil menyambar paper bag dari tangan Anjani.

“Uch, dasar tukang makan!” celetuk salah satu gadis berkerudung cokelat yang ada di sana.

“Manusia hidup butuh makan,” sahut Ibrahim santai sambil melenggang pergi. Ia langsung menghampiri Agus dan Ihsan untuk menikmati cemilan bersama.

Anjani tersenyum sambil mengulurkan satu paper bag lagi ke hadapan Halimah. “Ini buat kalian, ya! Kue lapis legitnya khusus aku belikan buat Halimah karena dia paling suka itu.”

Halimah tersenyum lebar sambil meraih paper bag dari tangan Anjani. “Makasih banyak, sahabatku tersayang!”

Anjani mengangguk sambil tersenyum.

Halimah dan teman-teman yang lain, langsung berkerumun untuk menikmati cemilan yang dibawa oleh Anjani. Mereka semua terlihat bersemangat menikmati cemilan itu sambil bercengkerama.

Anjani tersenyum kecil. Ia tidak memilih untuk bergabung bersama dengan Halimah, tapi malah menghampiri Ibrahim, Agus dan Ihsan yang duduknya cukup jauh dari geng gadis yang ada di sana.

“Eh, Anjani ...? Makasih banyak makanannya, ya! Enak-enak, loh. Lain kali bawakan makanan kayak gini yang banyak!” ucap Agus begitu ia menyadari Anjani sudah berdiri di dekatnya.

“Gampanglah kalau cuma soal makanan. Aku bisa kasih makanan yang lebih banyak lagi buat kalian, asal kalian mau bantu aku,” ucap Anjani sambil tersenyum menatap wajah teman-temannya.

Ibrahim, Agus dan Ihsan saling pandang bersamaan, kemudian menatap wajah Anjani. “Bantu apa?”

“Aku mau ajak kalian dan Halimah liburan ke kota. Aku akan kasih tahu setelah sampai di sana. Bagaimana?” sahut Anjani sambil tersenyum penuh arti.

“Wah! Serius? Kamu mau ajak kami liburan? Kami nggak bayar ‘kan?”

Anjani menggeleng. “Nggak, dong. Aku yang ajak. Jadi, semuanya aku tanggung. Kalian semua tinggal ikut aja. Gimana? Liburan sekolah tinggal satu minggu lagi, loh.”

“Mau ... mau ... mau ...!” Tiga pria remaja itu terlihat sangat antusias dengan ajakan Anjani.

Anjani langsung tersenyum penuh kemenangan. “Kalian siap-siap, ya! Nanti sore kita berangkat.”

“Siap, Bu Bos!” sahut Ibrahim, Agus dan Ihsan bersamaan.

Anjani segera melangkah meninggalkan tiga pria itu dan bergabung bersama dengan Halimah dan lainnya.

Setelah menghabiskan cemilan yang dibawa Anjani dan posisi matahari yang muncul dari ufuk timur semakin meninggi, semuanya melangkah pulang dari tepi sungai untuk memulai aktivitas keseharian mereka masing-masing.

“Halimah, liburan kenaikan kelas ini kamu nggak ke mana-mana?” tanya Anjani.

Halimah menggeleng. “Aku mau pergi ke mana. Nggak pernah pergi ke mana pun selain kampung sebelah. Bantu Kak Annisa ngurus rumah dan kebun saja,” jawabnya lembut.

“Oh ya? Seminggu ini kamu ada ke kampung sebelah? Ketemu Ustadz Zuhri, dong?” tanya Anjani menggoda.

Halimah menggeleng. “Ustadz Zuhri lagi nggak ada. Katanya lagi pulang sebentar ke rumah orang tuanya.”

“Oh ya?” Anjani langsung tersenyum penuh arti mendengar ucapan Halimah. Sahabatnya itu memang tidak begitu mengetahui siapa Ustadz Zuhri yang sesungguhnya. Pria tampan itu adalah anak dari seorang Kiai di sebuah pesantren di kota Malang. Dia tinggal di desa untuk mengabdi kepada masyarakat, hanya untuk sementara waktu, tidak untuk menetap.

Halimah mengangguk-angguk tak bersemangat. Ia sangat menyukai Ustadz Zuhri dan mengetahui jika pria itu berasal dari kota Malang. Hanya saja, ia tidak pernah tahu pasti di mana pria itu tinggal dan dari keluarga seperti apa. Melihat ilmu agamanya yang sangat baik di usia begitu muda, tentu saja Ustadz Zuhri bukanlah pria yang terlahir di keluarga biasa.

“Oh ya? Kamu liburan ke Malang ‘kan? Kalau nggak salah, Ustadz Zuhri juga berasal dari kota Malang. Apa kamu ketemu beliau selama di sana?” tanya Halimah.

Anjani tertawa kecil mendengar pertanyaan Halimah. Ia tahu, sahabatnya itu pasti akan menanyakan hal ini dan ia sudah siap untuk menjawabnya. “Malang itu luas dan di sana ada ribuan orang, Halimah. Kalau tidak janjian, mana mungkin bisa bertemu dengan Ustadz Zuhri,” jawabnya. Ia tidak mungkin mengatakan pada Halimah jika keluarganya dan keluarga Ustadz Zuhri baru saja bertemu di pesantren milik orang tua Ustadz Zuhri.

“Iya juga, ya?” Halimah manggut-manggut tanda mengerti.

“Aku mau ajak kamu liburan ke kota. Dua hari aja. Gimana?” ucap Anjani sambil menatap serius ke arah Halimah.

“Eh!? Aku mana punya uang buat liburan, An. Apalagi ke kota,” jawab Halimah.

“Gampang. Aku yang traktir semuanya.”

“Beneran!?”

Anjani mengangguk. “Beneran, dong. Masa Anjani bohong, sih.”

“Mmh, aku izin ke Kak Annisa dulu, deh. Semoga dia bolehkan aku pergi liburan ke kota.”

“Pasti boleh dong kalau sama aku,” ucap Anjani. “Kita ke kota Malang. Siapa tahu bisa ketemu Ustadz Zuhri di sana. Dia nggak ninggalin pesan apa pun untuk kamu?”

Halimah menggeleng. “Terakhir hanya bilang kalau dia harus pulang ke rumah karena permintaan kedua orang tuanya.”

“Oh.” Anjani manggut-manggut. Ia merasa sangat senang karena Ustadz Zuhri saling manjaga jarak meski mereka berdua saling menyukai. “Oh, ya. Bukankah Ustadz Zuhri pernah bilang mau mengkhitbah-mu kalau sudah bisa nada tilawah dengan baik?”

Halimah mengangguk sambil tersenyum.

“Kok, dia belum datang ke rumahmu untuk melamar?” tanya Anjani lagi.

“Mmh ... aku sudah bicara dengan Ustadz Zuhri dan beliau sepakat untuk mengkhitbahku setelah aku lulus SMA. Aku harus selesaikan sekolahku dulu, An,” jawab Halimah sambil tersenyum manis. Ia sangat menyukai Ustadz Zuhri dan berharap pria itu bisa menikahinya setelah ia lulus dari sekolah. Ia ingin terus berada di sisi Ustadz Zuhri, dalam keadaan apa pun itu.

“Masih lama, dong? Kita baru naik ke kelas tiga. Masih satu tahun lagi?” tanya Anjani.

Halimah mengangguk. “Satu tahun waktu yang sebentar. Pasti nggak bakal terasa kalau dinikmati, hehehe.”

“Iya juga, sih.” Anjani tersenyum sambil merangkul lengan Halimah. “Semoga Ustadz Zuhri bisa menikahi kamu secepatnya. Kamu jangan mengecewakan dia, Halimah. Ustadz Zuhri pria baik-baik dan kamu harus menjaga kesucianmu. Kalau kamu ternodai sama pria lain, Ustadz Zuhri pasti tidak mau melihatmu lagi.”

Halimah mengangguk. “Aku tahu, Anjani. Aku pasti menjaga kesucianku dengan baik demi Ustadz Zuhri.”

“Cinta sama Ustadz Zuhri karena Allah atau karena dia ganteng banget?” tanya Anjani.

“Pertama karena dia pria yang pandai ibadah, kedua karena dia baik hati. Kalau wajah tampan, itu bonus,” jawab Halimah.

Anjani langsung mencebik ke arah Halimah. “Kamu secantik ini, mana mungkin mau menikah sama pria yang biasa-biasa kayak Ibrahim atau Agus itu. Udah hitam, dekil, miskin pula.”

“Hush! Anjani nggak boleh bicara seperti itu!” sahut Halimah. “Agus dan Ibrahim baik, kok.”

“Kalau salah satu dari mereka yang ngelamar kamu, kamu mau?” tanya Anjani.

“Kalau sudah jalan jodoh dari Allah seperti itu, aku pasti menerimanya, Anjani.”

Anjani menghela napas. “Kamu mah gitu. Mau sama semua cowok.”

“Astagfirullah ... itu fitnah, Anjani.”

“Hehehe. Bercanda,” sahut Anjani sambil cengengesan. “Hari ini kamu siap-siap, ya! Ntar sore kita berangkat ke kota. OK?”

Halimah mengangguk. “Kamu bantu aku izin sama Kak Annisa, ya!”

“Siap, Juragan!” sahut Anjani sambil memberi hormat ke arah Halimah.

“Juragan apaan? Yang asli juragan itu kamu. Aku cuma rakyat jelata dan buruh di kebun aja, An,” ucap Halimah lembut sambil geleng-geleng kepala.

“Ucapan itu doa. Amiinin, dong!” pinta Anjani.

“Aamiin Ya Rabb.” Halimah menengadahkan kedua tangan sambil menatap langit luas di atasnya. Ia dan Anjani segera pulang ke rumah untuk beraktivitas seperti biasa dan meminta izin agar mereka bisa pergi berlibur ke kota bersama.

 

 

[[Bersambung ...]]


Baca cerita asli "Assalamualaikum, Ya Habib!" di aplikasi Fizzo, ya!



Teirma kasih sudah dukung author terus...



Much Love,

@vellanine.tjahjadi

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas