Tuesday, August 15, 2023

Cerpen Kompetisi : Cinta Secepat Kilat Karya Suc Sunnia


 

Cinta Secepat Kilat

Penulis : Suc Sunnia



"Kenapa nangis Mbak?" Riko   nyamperin seorang cewek yang sedang nangis. Dia juga membawa koper yang berada disampingnya.

"Kamu kenapa nanya-nanya." Jawab si cewek itu dengan judes.

"Ya udah kalau gitu." Riko langsung meninggalkan cewek itu karna ditanggapi tidak baik.

"Hay, kamu yang sudah nanya aku. Berarti kamu harus bantuin aku cari temanku. " Ucap si cewek itu yang mengikuti Riko sambil menarik kopernya.

"Ah nggak bisa gitu dong mbak, kalau temannya hilang ya dilaporin ke kantor polisi toh mbak. Apa gunanya polisi kalau minta bantuan sama saya." Ucap Riko dengan kesal.

"Aku nggak mau tau, pokoknya kamu harus bantuin aku nemuin temanku."

"Aneh nih cewek, belum lagi dia bawa koper sambil menangis. Nanti aku disangka cowok yang nggak baik diliatin orang-orang." Riko membathin.

Riko membalikkan badannya dan memutuskan untuk membantu cewek itu dengan memberikan persyaratan kepada cewek itu untuk tidak menangis lagi. "Yaudah aku bantuin, tapi kamu jangan nangis lagi, malu diliatin orang, nanti aku dibilang cowok nggak baik. Padahal aku nggak siapa-siapa kamu." Jelas Riko dengan tegas kepada cewek itu.

"Baik, tapi aku akan ikut kemana kamu pergi." Ucap cewek itu yang selalu mengikuti langkah kaki Riko dari belakang.

"Nama kamu siapa? Tanya Riko kepada cewek itu. Mereka berjalan sudah berdampingan.

"Aku Bela."

"Kok kamu bisa bawa koper." Tanya Riko heran.

"Iya, aku tadinya mau pergi merantau. Aku ingin mandiri. Jadi, aku pergi dengan kakak temanku. Eh malah dia ninggalin aku. Jadi, aku bingung mau ngapaen. Ini baru pertama kalinya aku merantau ke Jakarta. Aku nggak punya siapa-siapa lagi. Kalau aku telponorangtuaku pasti mereka khawatir." Jelas cewek itu.

"Jadi gitu ya ceritanya. Kamu udah pengalaman kerja apa aja?" Tanya Riko kepada Bela yang memperlihatkan wajah kasihannya.

"Aku belum pernah kerja sebelumnya. Aku bingung mau kerja apaan. Aku takut lagi di kota besar ini hidup sendirian." Jelas Bela dengan wajah sedih.

"Yaudah kalau gitu kamu tinggal ditempat Bibiku aja. Nanti aku anterin ke sana."

"Terimakasih ya, aku udah merepotkanmu."

"Iya, nggak apa-apa."

Mereka telah sampai di depan Rumah Bibinya Riko.

"Nah, ini rumah Bibiku, kamu tidur disini dulu. Tadi aku udahnelpon sama Bibiku kamu boleh nginap di sini dulu."

"Jadi, kamu nggak tinggal disini? Tanya Bela heran.

"Nggak, aku masih tinggal dikontrakan juga, aku belum punya uang yang cukup beli rumah, di sinikan harga rumah mahal-mahal dan nggak mungkin juga aku ajak kamu nginep dikontrakanku. Nanti apa kata orang, kita kan bukan muhrim." Jelas Riko dengan mengambil koper di tangan Bela.

"Emang kamu asli orang mana?"

"Aku dari Bali, udah lama merantau ke sini."

"Oh ya, nama kamu siapa? Aku lupa nanya balik tadi ucap Bela dengan malu.

"Namaku Riko. Kalau kamu sendiri darimana? Tanya Riko balik.

"Aku dari Jogja Mas."

Riko langsung masuk ke rumah Bibinya tanpa membangunkan Bibinya yang sudah tidur karna udah larut malam.

"Ini kamar kamu. Ya udah kamu istirahat dulu disini. Aku nggakbangunin Bibi karna dia udah tidur. Besok pagi aku ke sini lagi." Jelas Riko.

"Mas Riko, terimakasih banyak ya. Udah mau bantuin. Maaf aku udah banyak ngerepotin mas." Ucap Bela yang dengan manggil Riko dengan sebutan mas. Karna dia Bela sudah saling kenal nama dengan Riko. Jadi dia nggak enak ajamanggil nama Riko aja. Makanya dia manggil Riko dengan sebutan Mas Riko.

"Ya sama-sama. Yaudak aku pergi dulu ya."

"Iya mas,"

 

*****

"Ibu, maafin aku. Harusnya aku dengerin Ibu nggak usah percaya dengan omongan Lita yang ninggalin aku begini aja di sini." Bela berkata sendiri. Dia menyesali telah mengikuti Lita teman sekolahnya dulu lergi merantau. Eh sesampai di Bandara Soekarno-Hatta Bela langsung ke Toilet. Keluar dari Toilet dia tidak menemukan Lita lagi tanpa mengasih kabar ke Bela. Padahal, Lita sudah berjanji ingin mengajal Bela kerja di restorant tempat dia bekerja.

Bela juga sudah menghubungi Lita. Namun, Lita tak mengangkatnya dan membalas pesan Bela. Bela tidak menyangka temannya bisa melakukan dia seperti itu di kota besar yang belum pernah dia kunjungi sebelumnya.

 

******

Keesokan paginya, Bela langsung keluar kamar dan langsung melihat Bibinya Riko.

"Maaf Bu, tadi malam alu belum sempat ngobrol dengan Ibu untuk minta izin nginep disini." Ucap Bela sambil menyalami Bibinya Riko.

"Nggak apa-apa, kamu namanya Bela kan? Tanya Bibi Riko dengan memakai baju adat Bali.

"Iya bu,"

"Riko itu anaknya baik sekali. Kalau Riko baik kepadamu. Berarti Ibu percaya dengan kamu." Jelas Bibi Riko.

"Yuk, ke dapur kita minum teh hanget dulu."

"Baik bu."

Bibi Riko dan Bela sedang minum teh hanget di dapur. Tiba-tiba Riko datang menghampiri mereka di dapur. Riko langsung menyalami Bibinya.

"Bela, bagaimana tidur kamu tadi malam nyenyakkan?" Tanya Riko.

Bela nggak menyangka Riko bisa perhatian ke dia dengan menanyakan tidurnya nyenyak atau nggaknya.

"Alhamdulillah, Mas."

"Oh ya Bela, kamu mau kerja di Kafeku. Kebetulan ada satu karyawan yang nggak bisa kerja lagi. Dia resign karna mau nikah." Jelas Riko yang ingin menawarkan Bela untuk menjadi salah satu karyawannya di Kafe yang dia kelola.

"Aku mau mas, aku akan bekerja sebaik mungkin." Ucap Bela dengan senang hati dengan tawaran Riko kepadanya.

"Ya udah, kalau gitu kita berangkat sekarang."

"Baik Mas."

*****

Sesampainya di Kafe, Riko langsung memanggil salah satu karyawan untuk mengajari Bela mengenai pekerjaan yang akan dia lakukan.

Walaupun Bela sebelumnya belum pernah bekerja di Kafe. Tetapi, dia bekerja sangat gesit sekali. Riko pun senang melihat hasil kerjaan Bela.

"Gimana rasanya pekerjaanmu hari ini?" Tanya Riko.

"Alhamdulillah, aku senang mas, tapi masih banyak belajar. Biar pelayananku bisa memuaskan pelanggan.

"Yaudah, yuk aku anterin kamu lagi ke tempat Bibiku. Besok aku akan cariin kamu tempat tinggal deket sini."

"Baik Mas." Jawab Bela dengan senyum.

"Ternyata Mas Riko udah ganteng, baik hati lagi. Pasti dia sudah punya kekasih. Beruntung ya, cewek itu punya Mas Riko yang baik hati. Ucap Bela dalam hati.

"Bela kamu udahhubunginorangtua kamu?" Tanya Riko sambil melihat Bela yang senyum-senyum sendiri.

"Kamu kenapa senyum-senyum sendiri?"

"Nggak ada Mas. Oh ya, aku udahtelpon Ibuku Mas, aku bilang amaorangtuakuudahdapet kerja disini dan tidak kerja ditempat temanku. Tapi, aku nggak bilang bahwa temanku ninggalin aku begitu aja di Bandara. Aku takut orangtuaku nanti khawatir.

"Bagus kalau gitu. Kamu nggaktelponan sama cowoknya? Tanya Riko balik.

"Aku nggak punya cowok Mas."

"Ah masa' kamu nggak punya cowok, lalu kenapa kamu senyum-senyum sendiri tadi?" Tanya Riko penasaran.

"Nggak ada mas, senang ajadihari pertama aku disini bisa dipertemukan dengan mas dan langsung dapat pekerjaan. Aku nggak jadi gelandangan. Tadinya, sebelum ketemu Mas, aku bakal jadi gelandangan disini." Ucap Bela dengan syukur.

"Oh gitu, jika kamu berbuat baik. Pasti ada aja orang yang akan membantumu kok."

"Iya juga sih Mas, tapi kan nggak semua orang bisa baik juga ke kita ketika kita butuh bantuan. Malahan mereka ada yang memanfaatkan kebaikan kita."

"Kok kamu ngomong kek gitu?" Tanya Riko penasaran.

"Iya Mas, dulu aku punya kenalan teman cowok waktu sekolah. Dia kakak seniorku. Dia sering dekat denganku pada saat aku baca buku diperpustakaan. Kadang dia bawain aku makanan. Seiring waktu berjalan, kami semakin dekat. Tapi, lama-lama dia sering minjem uangku tapi nggakdibalikkin. Kalau aku nggak masalah ya Mas. Namun, ceweknya bilang ke Aku. Aku yang serimgminjem uang cowoknya. Sejak saat itu, aku nggak mau kenal dekat sama cowok." Jelas Bela dengan kesal.

Makanya, pada saat Mas Riko tanya aku di Bandara. Aku menjawab Mas dengan nada keras. "Aku minta maaf pada saat itu ya, Mas."

"Nggak apa-apa kok, aku udah melupakannya. Sekarang aku bisa maklumin karna cerita kamu barusan."

"Oh ya, kalau Mas sendiri gimana? Pasti udah punya cewek kan?" Tanya Bela sambil senyum namun dihatinya berharap Riko belum punya cewek.

"Aku juga belum punya, karna masih sibuk dengan pekerjaan. Nggak ada waktu buat cari cewek." Ucap Riko dingin.

Mobil putih Riko telah memasuki Pagar Rumah Bibinya.

"Kita udah nyampe, kamu istirahat aja lagi ya. Aku mau langsung ke kontrakan aja."

"Baik Mas, terimakasih."

*****

"Yes, syukur Mas Riko belum punya cewek. Jadi, aku nggak perlu khawatir ada cewek lain yang marah kalau aku dekat sama Mas Riko. Kalau nggak, pasti ceweknya salah sangka denganku. Nggaknyangka juga ya bisa bertemu dengan Mas Riko dengan cara seperti ini." Ucap Bela dengan berkata sendiri dengan dirinya yang kedengeran oleh Bibinya Riko yang belum tidur.

"Hmmm...sepertinya Bela dan Riko cocok kalau dijodohkan." Bathin Bibi Riko sambil senyum.

"Udah pulang Bela?" Tanya Bibi Riko yang menghampiri Bela didepan pintu kamar tempat dia tidur semalam.

"Iya Bi, Bibi belum tidur? Maaf Bi, aku langsung masuk aja. Aku kira Bibi udah tidur."

"Belum, gimana kerjamu hari ini? Tanya Bibi Riko.

"Alhamdulillah berjalan lancar Bi."

"Yaudah kalau gitu kamu istirahat aja dulu."

"Baik Bu."

*****

Sementara Riko, sebelum tidur. Dia membayangkan senyum manisnya Bela. Dia merasa dag digdug mengingat bayangan Bela. Dia berusaha membuang jauh-jauh bayangan senyum Bela yang menyentuh hatinya. Supaya, dia bisa menuju alam mimpi. Namun, tetap ajanggak bisa.

"Kok aku susah melupakan senyumnya Bela ya. Padahal, baru kenal sehari doang." Tanya Riko heran.

******

Keesokan paginya Bela sudah menyiapkan barang-barangnya. Dia tidak mau merepotkan Bibinya Riko untuk menginap dirumahnya lagi.

"Bu, terimakasih banyak ya Bu, sudah mengizinkan aku tinggal dirumah Ibu."

"Jangan sungkan Bela, Ibu senang kamu bisa tinggal disini. Biar ada teman Ibu disini. Kebetulan, Ibu sendiri tinggal di rumah. Suami Ibu sudah meninggal. Ibu punya anak perempuan yang masih kuliah tapi dia kuliahnya di Bali. Jadi, tinggal dengan orangtuanya Riko di sana." Jelas Bibi Riko.

"Aku nggak enak Bu. Tinggal lama-lama disini. Aku idah merepotkan Ibu."

"Nggak merepotkan kok."

"Kalau kamu seneng tinggal disini, disiniaja Bela." Sambung Riko yang baru saja datang hendak menjemput Bela. Bela pun sudah memegang kopernya.

"Nggak usah Mas, aku cari kos dekat kafe aja. Biar nggak jauh bolak-baliknya Mas."

"Sekali lagi, terimakasih ya Bu, Aku izin pamit Bu."

"Ya udah kalau gitu. Hati-hati ya nanti di sana. Kalau kamu main ke sini lagi. Boleh datang aja." Tawar Bibi Riko.

"Baik Bi." Bela menyalami Bibi Riko.

*****

            “O ya, aku udah bawain kamu seragam kerja. Nanti kamu boleh gunakan seragamnya.” Ucap Riko sambil mengulurkan baju seragamnya ke tangan Bela sambil nyetir mobilnya.”

            “Terimakasih ya Mas.”

            Sesampai mereka di Kafe. Teman Riko datang mengampiri yang baru saja pulang dari study bnading di Bali.

            “Hay Bro, apa kabarmu?” Ucap Gandi yang langsung menghampiri Riko yang baru saja  masuk ke Kafenya.

            “ Kamu kemana aja sih Gan, aku dari kemaren lok nungguin kamu. Kamu kan udah janji ngurusin musik Bandnya.” Ucap Riko kesal.

            “Iya. Maaf aku baru bisa datang ke sini sekarang. Btw, kafemu bagus juga ya, apalagi karyawanmu. Semua  cakep-cakep.”

            “Gimana dengan musik Bandnya, udah clear belum?” Tanya Riko dengan kesal dengan Gandi yang selalu tidak on time sesuai kesepakatan awal. Namun, suda lama berteman Riko tetap mempercayakan masalah musik band untuk mengisi kafenya kepada Gandi.

            “Tenang aja, semuanya udah aman.”

*****

            Riko dari tadi memperhatikan pekerjaan Bela yang sangat gesit. Pandangannya selalu mengarah kepada Bela yang sibuk melayani Tamu Kafenya.

            Salah satu dari karyawan Riko yang sudah lama bekerja di Kafe Riko merasa cemburu dengan Bela yang selalu diperhatikan oleh Riko.

            “Kenapa si Mas Riko melihat Bela mulu, sebal aku.” Ucap Lani dengan kesal. Karna dia sudah lama suka kepada Riko. Namun, Riko tidak pernah menyadarinya.

            “Hai, Kamu anak baru?” Ucap Lani dengan judes.

            “Kenapa ya Mbak,?”

            “Ada yang mau aku bilang ke kamu. Kamu jangan pernah deket-deket sama  mas Riko ya, karna mas Riko calonku, satu lagi kamu jangan manggil Mas Riko dengan Mas. Panggil dia dengan Bapak. Karna Mas Riko manager kita.” Ucap Lani dengan tegas.

            “Baik Mbak.”

            “Yaudah, lanjut kerja sana.”

            “Ternyata Mbak Lani, calonnya Mas Riko ya, kok Mas Riko nggak bilang ya, katanya belum. Dasar semua laki-laki nggak dapat dipercaya. Kok aku kecewa sama Mas Riko. Aku kira Mas Riko adalah lelaki yang aku cari selama ini. Eh ternyata...” bela berkata  dalam hatinya.

*****

            “Kamu udah siap-siapkan, biar aku bantu kamu cari tempat tinggal deket sini.”Ucap Riko yang sudah ganti pakaian seragamnya yang menggunakan setelan yang terlihat berwibawa  dengan pakaian kaos biru yang terlihat ganteng dibadannya yang berwaja manis dan warna kulitnya sawo matang.

            “Nggak usah Pak, aku udah cari sendiri, tadi jam istirahat aku sudah tanya kos sekitar sini. Sekarang aku langsung ke sana.” Ucap Bela dengan wajah terlihat sedih.

            “Kok sekarang kamu manggil aku Pak?”

            “Nggak apa-apa Pak, kan Bapak pemilik kafe ini, nggak enak kalau aku manggil dengan sebutan Mas.”

            “Nggak apa-apa kok, aku senang kamu manggil aku Mas.”

            “Ya udah, kamu adala  karyawanku. Aku akan mengnatarkanmu ke kos mu.”

             Bela hanya merespon dengan menganggukkan kepalanya dan langsung masuk ke Mobil Riko. Sementara, Riko memasukkan koper Bela ke Jok belakang mobilnya.

            “Kamu kok sekarang terlihat murung gitu sih, kamu ada masalah dengan pekerjaan tadi siang  ya.” Tanya Riko heran yang belum menyalakan mobilnya.

            “Nggak ada masalah kok Mas.”

            “Udahlah, kamu nggak usah bohong dari wajahmu udah terlihat jelas. Cerita aja sama aku.”

            Sebenarnya Bela nggak mau membahasnya apa yang dibilang Lani kepadanya. Namun, Bela ingin tahu kepastiannya dari Riko langsung.

            “Bapak udah eh Mas udah punya calon  ya?”

            “Kok, kamu bilang kek gitu, kamu nggak percaya ya apa yang sudah aku katakan padamu sebelumnya?”

            “Tapi, tadi kata Mbak Lani, Mas adalah calonnya.”

“Kamu jangan dengerin Lani. Dia orangnya memang begitu. Suka cemburu kalau ada karyawan baru. Tapi, aku nggak ada ada rasa sama dia atau pun sama karyawan lainnya. Lagian, kalau aku udah punya calon nggak mungkin aku akan menemanimu.”

“Maksud Mas? Tanya Bela heran.

“Aku minta maaf Bela terlalu cepat aku mengucapkan ini kepadamu, tetapi aku jatuh hati kepadamu. Aku takut kamu nanti diambil orang.” Riko belum menyalakan mobilnya untuk mengantarkan Bela ke kosnya.

Bela hanya diam dan tersenyum bahagia menatap Riko. Riko pun begitu kepada Bela bahwa Bela juga merasakan hal yang sama kepadanya.



PROFIL PENULIS


Nomor ID Anggota  : PK23-1364245989

Nama Lengkap         : Wiwit Mania

Nama Pena                : Suc Sunnia

Kota Asal                   : Grobogan




Cerpen Kompetisi : Meski Tidak Seperti Cut Nyak Dhien Karya Kim Sumi Ryn

 



        

Meski Tidak Seperti Cut Nyak Dhien

Penulis: Kim Sumi Ryn

 


Aku tersiksa melihat semuanya berubah.

Mengapa kau tak mau tahu?

Bagaimana hati ini tanpamu.

Cintamu ....

Oh, di mana aku bisa temui dirimu?

Yang dulu cinta dan anggap aku ada.

 

Jika kau minta aku menjauh,

hilang dari seluruh memori indahmu.

Kan kulakukan semua,

walau tak mungkin sanggup bohongi hatiku.

 

Suara alunan musik dan indahnya suara Mahalini mendadak berhenti. Aku yang sedang sesegukan menangis, langsung menoleh ke samping. Menjijikkan sekali sepertinya wajahku sekarang.

 

Terbukti ibu tiriku langsung melempar wajah ini dengan bantal. "Dasar Cengeng!" umpatnya dengan wajah masam. Selalu begitu, kadang aku kesal melihat wajah Nenek Sihir itu. Kalau bukan karena ayah aku tidak sudi tinggal di rumah yang sudah bak neraka ini. "Cuma disuruh nyuci piring aja sampai nangis-nangis kayak gitu? Udah enggak betah kamu di sini? Pergi aja sana, tinggal sama ibu kamu yang Pelakor itu!"

 

 Perempuan itu betul-betul selalu membuat kepalaku ingin meledak. Pelakor dia bilang? Padahal dia sendirilah yang merebut ayah dari ibu. Aku pun berdiri dengan dada sesak, menahan sakit yang belum berkesudahan sejak hari dua minggu lalu. "Aku bakal pergi! Aku enggak sudi tinggal sama perempuan enggak tahu malu kayak kamu! Aku bakal pergi kalau ayah udah menceraikan kamu. Puas?!" Aku menunjuk perempuan berdaster merah tersebut.

 

 Ibu tiriku semakin meradang, dia mendorong tubuh ini. "Pergi-pergi! Sana kamu pergi sekolah! Dasar Pemalas! Disuruh ini itu enggak mau, bisanya molor doang." Akan begitulah dia, kalau aku mengatakan perihal perceraian ayah dan dirinya.

 

 "Sudah pergi sana!" Dia kembali mendorong tubuhku. Untung saja aku sudah memakai tas, jadi bisa langsung pergi dari hadapan perempuan itu. Dia lemah kalau menyangkut hubungannya dengan ayah. Tentu saja, dia tidak mungkin mau kehilangan ayah karena sedang mengandung.

 

 Aku bisa saja memaksa ayah menceraikan ibu tiriku atau bahkan melaporkan perempuan itu sebagai Pelakor, sekarang kan ada hukumnya. Namun, tentu sebagai manusia aku mempunyai hati. Aku tidak tega dengan janin yang ada di rahim ibu tiriku, meski karena kehadirannya memporak-porandakan keluargaku.

 

 Ah, sial! Aku sangat membenci hidupku sendiri, kalau mengingat apa yang terjadi pada keluargaku sekarang. Ayah menikahi pacarnya, karena pacarnya mengandung benih ayah. Kemudian, ayah juga meninggalkan ibu. Ibu sekarang berada di rumah sakit karena depresi oleh sikap ayah. Ayah masih bertanggung jawab dan membiayai pengobatan ibu, tapi kalau aku mengingat keadaan sekarang malah semakin mengiris hatiku.

 

 Dua minggu lalu tepatnya, perasaanku kembali dihancurkan oleh seseorang yang sangat aku percaya. Dia adalah kekasihku, lelaki yang aku anggap sempurna. Memiliki usia di atasku, tampak dewasa, lembut, dan selalu memanjakanku. Sikap yang tidak pernah aku dapatkan di rumah aku mendapatnya dari dia. Si Brengsek Johan! Iya, laki-laki itu sekarang telah merubah pandanganku tentang laki-laki baik dan lembut. Dia yang baik, lembut dan perhatian tidak selamanya memang betul-betul laki-laki yang setia.

 

 Johan pergi ke luar kota untuk bekerja, katanya. Aku begitu percaya pada dia, karena sering melakukan video call, tapi beberapa hari lalu seorang perempuan menghubungiku dan mengatakan untuk menjauhi Johan. Kalian tahu siapa perempuan itu? Dia adalah istri Johan. Dasar laki-laki Jahat! Aku yang tidak mau dicap sebagai Pelakor tentu saja langsung memutuskan hubungan dengannya, meski laki-laki itu menolak. Aku tidak peduli, dia sudah menghancurkan perasaanki.

 

  Sakit sekali hatiku, selama di sini dia selalu berjanji akan menikahiku, tidak peduli sekarang aku yang masih SMP, katanya dia rela menunggu asal menikah denganku. Namun, semua itu hanya dusta saja, perempuan itu mengatakan sudah menikah dengan Johan selama satu bulan. Hah? Berarti aku sudah dibohongi Johan selama tiga puluh hari terakhir. Bodoh, Rena! Aku benar-benar bodoh, bisa-bisanya aku tidak mengikuti saran Aira untuk putus dengan Johan. Sekarang, aku merasakan sakit hati, karena benar ternyata pacaran memang tidak ada manfaatnya, hanya menuai luka batin.

 

 "Bodoh!" umpatku lirih sambil menendang botol minuman di jalanan. "Kenapa aku begitu percaya sama si Brengsek itu? Sekarang, dia bahkan enggak peduli sama aku yang udah terlanjur sayang sama dia?" Aku kembali menangis. Sesak di dada rasanya tak sanggup lagi aku tahan. Hubungan kami sudah ada satu tahun. Laki-laki itu selalu baik bahkan tidak pernah menyentuh sembarangan padaku. Dia selalu ada untukku, membantu urusan pelajaran bahkan mengantar jemput sekolah. Namun, sekarang di mana dia?

 

 Rasanya aku ingin menjerit sekencang-kencangnya. Masalah di rumah tidak pernah selesai, tugas sekolah, lalu sekarang pengkhianatan Johan. Sungguh dunia ini terasa menyakitkan untuk anak remaja sepertiku. Aku hanya ingin bahagia, apa sesulit itu?

 

 Ibu, aku ingin sekali kembali ke masa lalu, di saat ibu masih sehat, ayah masih setia, keluarga kami masih utuh, tidak ada si Nenek Sihir. Perih ini menyesakkan, setiap rasa sakit seolah menghimpit dada, menyulitkan aku untuk bernapas.

 

  Merasa kaki ini lemas, aku pun terduduk, jongkok di pinggir jalan. Aku tidak peduli dan menenggelamkan wajah di antara lutut. Kupuaskan menangis detik ini juga. Aku lelah.

 

 "Rena!" Suara seorang perempuan membuatku mendongkak. Mataku masih mengeluarkan bulir-bulir kepedihan. Aku menatap Aira, lalu berdiri lekas memeluk sahabatku itu.

 

 "Aira!" Tangisku pecah dalam pelukan Aira. "Kamu bener, cowok yang kayak Johan itu bakal jadi pengkhianat. Aku selalu berprasangka baik sama dia, aku pikir dia enggak mungkin mengkhianati aku, dia baik. Tapi, kamu benar, Ra, laki-laki yang obral janji bisa jadi pengkhianat dan pembohong. Aku salah, Ra. Aku sadar sekarang, Johan udah jahatin aku."

 

 "Maksud kamu apa, Re. Aku bingung, kamu kenapa? Johan mengkhianati gimana?" Aira melerai pelukan. Jemari dinginnya terasa mengusap pipiku.

 

 "Si Johan nikah, Ra. Dia ternyata pergi ke luar kota buat nikah, ninggalin aku. Kamu bener, dia cuma basa-basi aja enggak sanggup LDR, nyatanya dia mau menikah sama perempuan lain." Aku panjang lebar menceritakan sambil sesegukan menangis.

 

 "Ya Allah, Ra." Perempuan yang dua tahun lebih tua dariku itu kembali mengusap lembut air mata yang tak mau berhenti ini. "Sabar, sabar, kamu masih diselamatkan Allah dari orang yang salah."

 

 "Maksud kamu apa? Aku sakit hati." Sungguh memang agak aneh temanku satu ini. Kata-katanya memang baik, tapi sabar untuk saat ini rasanya tidak semudah itu. "Ini sakit banget, Ra. Aku bener-bener ngerasa enggak mau hidup, mau mati aja. Hidup aku bener-bener sulit." Kembali aku menangis mengingat begitu banyaknya penderitaan yang aku rasa. Nanti saja kalau pulang, Nenek Sihir itu pasti mengomel lagi, karena ayah sedang kerja dinas. Aku benci perempuan itu! Aku ingin ibu, ingin ibu sembuh.

 

 "Bukan begitu, Ra. Aku mengerti perasaan kamu. Tapi, jangan kamu jadikan alasan ujian hidup untuk menyerah dan bunuh diri. Kok kamu yakin banget masalah kamu akan selesai dengan bunuh diri?" Perempuan di depanku itu berbicara dengan nada lembut, tapi agak sedikit menusuk.

 

 "Hidup aku susah sejak ayah menikah dengan si Nenek Sihir, ibu juga belum sembuh, malah makin parah sering melamun. Belum lagi si Nenek Sihir yang suka nyuruh-nyuruh aku, ditambah si Johan ninggalin aku demi perempuan lain. Gimana aku enggak mau nyerah, Ra? Hidup aku udah enggak ada sandaran, aku udah enggak tahu harus berlindung sama siapa?" ceritaku masih dengan dada berdebar-debar. Sakit ini betul-betul menyakiti setiap sendi di tubuhku. Perut yang perih akibat belum sarapan juga terasa semakin melilit.

 

 "Aduh-duh." Tanganku repleks menekan perut karena sudah begitu perih.

 

 "Kenapa, Re? Kamu pasti telat makan lagi, ya?" Aku melihat Aira tampak cemas. "Ayo-ayo kita sarapan dulu."

 

 ***

 

 Aku dan Aira makan di kantin sekolah. Masih belum ramai sekolah di jam tujuh pagi. Hari ini adalah 17 Agustus. Rencananya memang tidak akan ada pelajaran, tapi akan ada upacara bendera pukul delapan, setelahnya lomba-lomba.

 

 Aku menghela napas melihat bendera-bendera kecil yang diterpa angin. "Makasih, ya, Ra. Aku lupa minta uang jajan tadi. Habis kesal sama si Nenek Sihir. Dia emang bakal ngasih uang, tapi aku males denger omelannya."

 

 "Iya, sama-sama, Re. Jadi, gimana? Kamu sama Johan sekarang udah enggak kontekan?"

 

 Sedikit denyutan menyakitkan terasa di hati ini, tapi aku berusaha tegar, mengingat obrolan Aira di perjalanan tadi membuatku sadar bahwa aku memang termasuk beruntung.

 

 "Enggak. Enggak mau aku kenal dia lagi. Cukup! Dia udah nyakitin aku, meskipun sakit, tapi aku enggak mau jadi Pelakor." Aku menyeka air yang sudah menggenang di sudut mata.

 

 "Alhamdulillah kalau gitu. Sekarang, kamu lebih baik fokus belajar aja. Kita adalah pejuang untuk negara kita. Masa di hari kemerdekaan ini hati kamu masih mau dijajah cinta yang enggak jelas. Iya, emang luka kamu masih basah tapi enggak seharusnya kamu terus berlarut-larut membiarkan luka itu," jelas Aira yang membuat aku menoleh padanya.

 

 "Iya, Ra, makasih, ya? Btw, kata kamu, kamu mau bacain satu sejarah tentang pahlawan kita biar aku ada motivasi hidup. Memang siapa tokoh itu?" Aku ingat tentang ucapan Aira tadi, membuatku penasaran.

 

 "Oh, itu. Sebentar." Aira tampak mengambil buku dari tas, lalu dia membukanya. "Aku bacain, ya?"

 

 Aku hanya mengangguk dan bersiap menyimak apa yang akan Aira baca.

 

 "Jadi, ceritanya aku mau pidato soal perempuan yang dijajah rasa cinta supaya jangan galau karena masalah cinta." Aira terkekeh sebentar, mungkin menurutnya ini lucu, ya? Padahal ini sangat menyakitkan bagiku. Kata-kata Aira seolah menyindir.

 

 "Ketika Cut Gambang, anak Cut Nyak Dhien, menangis karena kematian ayahnya, ia ditampar oleh ibunya yang lalu memeluknya dan berkata:

 

Sebagai perempuan Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang yang sudah syahid.

 

 Cut Nyak Dien lalu memimpin perlawanan melawan Belanda di daerah pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya dan mencoba melupakan suaminya. Pasukan ini terus bertempur sampai kehancurannya pada tahun 1901 karena tentara Belanda sudah terbiasa berperang di medan daerah Aceh. Selain itu, Cut Nyak Dien sudah semakin tua. Matanya sudah mulai rabun, dan ia terkena penyakit encok dan juga jumlah pasukannya terus berkurang, serta sulit memperoleh makanan. Hal ini membuat iba para pasukan-pasukannya.

 

Anak buah Cut Nyak Dhien yang bernama Pang Laot melaporkan lokasi markasnya kepada Belanda karena iba. Akibatnya, Belanda menyerang markas Cut Nyak Dien di Beutong Le Sageu. Mereka terkejut dan bertempur mati-matian. Dhien berusaha mengambil rencong dan mencoba untuk melawan musuh. Namun, aksi Dhien berhasil dihentikan oleh Belanda. Cut Nyak Dhien ditangkap, sementara Cut Gambang berhasil melarikan diri ke hutan dan meneruskan perlawanan yang sudah dilakukan oleh ayah dan ibunya."

 

 Aku mendengar dengan seksama cerita Aira. Perempuan itu lalu tersenyum, masih melanjutkan bacaannya.

 

 "Jadi, sebagai perempuan yang hebat kita pun harus bisa melupakan duka untuk memerdekakan diri dari jajahan perasaan yang menyakitkan. Umumnya, perempuan di zaman sekarang memang diresahkan karena perasaan cinta.

 Maka, dirinya bukan berperang dengan orang lain, melainkan perasaannya sendiri. Terkadang perempuan juga tidak sadar, jika perasaannya yang berlebihannya itu hanya nafsu dan bisa melukai diri sendiri.

 Kita memang bukan Cut Nyak Dhien, perempuan hebat yang berperang melawan Belanda. Namun, setidaknya kita bisa meneladani semangat juang beliau dalam memerdekankan diri dari penjajahan.

 Jika dulu yang menjajah beliau adalah Belanda dan beliau berusaha merdeka dari penjajah tersebut. Maka kini, sebetulnya kita sebagai perempuan juga harus semangat memerdekakan diri dari segala perasaan menyakitkan yang menjajah kita, salah satunya perasaan cinta pada orang yang salah.

 Kenapa kita harus repot-repot memikirkan orang yang tidak mencintai kita? Bukankah itu hanya menjajah hati kita untuk semakin menderita?"

 

 Aira beralih menatapku. "Itu isi pidato yang aku buat nanti, Re. Kamu harus semangat, ya? Kita bukan dijajah sama orang lain, malah terkadang kita dijajah sama perasaan negatif. Termasuk kamu sekarang ini."

 

 Aku merasakan tangan Aira menepuk-nepuk bahuku. Sedikitnya aku merasa terharu. "Makasih, ya, Ra." Aku kembali memeluk Aira.

 

 Betul juga apa kata Aira, aku tidak harus mengangkat senjata. Ketika dulu orang-orang dijajah negara lain dan harus berjuang memerdekankan diri, sekarang aku hanya diharuskan belajar untuk mengharumkan nama bangsa, untuk bersyukur karena ada sekolah yang membantuku mencari ilmu, juga ayahku masih membiayai sekolah.

 

 Negara kita aman sekarang, mungkin kitanya saja yang tidak bersyukur. Iya, aku lebih tepatnya. Aku merasa paling menderita padahal dulu Cut Nyak Dhien sampai harus kehilangan suami tercinta karena perang.

 

 "Aku enggak bersyukur, ya, Ra. Derita aku enggak seberapa dibanding orang-orang di zaman penjajahan dulu," ucapku lagi sambil melerai pelukan.

 

 "Mulai sekarang, kita harus bersyukur. Lagi pula kamu pintar, Re. Kita masih muda dan banyak kesempatan untuk sukses di masa depan. Ayo kita semangat seperti pahlawan di masa penjajahan dulu. Kita harus merdeka, jadi perempuan independen yang hebat. Semua belum terlambat, kamu hanya baik pada orang yang salah. Lupakan Johan dan mulai untuk memperbaiki diri, semangat belajar!" Aira menggebu-gebu mengatakan itu seolah tengah menyalurkan semangat untukku.

 

 "Iya, Ra. Aku akan semangat." Aku melukis senyum. Senang rasanya memiliki teman seperti Aira. Dia baik, sholehah dan selalu mengingatkan aku dalam hal kebaikan. Ah, rasanya aku juga lupa untuk bersyukur karena memiliki sahabat sebaik dia.

 

 "Terima kasih, Aira. Aku bersyukur punya teman sebaik kamu," ucapku terharu.

 

 "Iya, kembali kasih, Rena." Dia menjawab sambil memperagakan finger heart, membuat kami tertawa setelahnya.

 

 

Profil Penulis


 Kim Sumi Ryn (No. ID: PK23-1646891784), 

Penulis yang satu ini, katanya suka mager nulis, bahkan sampai bingung pas bikin cerita ini. Kebetulan doi sedang galau, tema kemerdekaan dia jadikan jalan untuk memerdekakan hati kamu perempuan. (Ea! Semoga begitu, ya). Dia sudah menulis di beberapa platform online dengan nama pena Sumiryni dan Kim Sumi Ryn. Untuk tahu novel-novelnya boleh add Facebook: Kim Sumi Ryn or Instagram @sumi_ryn9. Thank you so much. 

Much love for Kak Rin Muna and Pena Kreatif community. ( ◜‿◝ )

 

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas