Tuesday, August 15, 2023

Cerpen Kompetisi : Meski Tidak Seperti Cut Nyak Dhien Karya Kim Sumi Ryn

 



        

Meski Tidak Seperti Cut Nyak Dhien

Penulis: Kim Sumi Ryn

 


Aku tersiksa melihat semuanya berubah.

Mengapa kau tak mau tahu?

Bagaimana hati ini tanpamu.

Cintamu ....

Oh, di mana aku bisa temui dirimu?

Yang dulu cinta dan anggap aku ada.

 

Jika kau minta aku menjauh,

hilang dari seluruh memori indahmu.

Kan kulakukan semua,

walau tak mungkin sanggup bohongi hatiku.

 

Suara alunan musik dan indahnya suara Mahalini mendadak berhenti. Aku yang sedang sesegukan menangis, langsung menoleh ke samping. Menjijikkan sekali sepertinya wajahku sekarang.

 

Terbukti ibu tiriku langsung melempar wajah ini dengan bantal. "Dasar Cengeng!" umpatnya dengan wajah masam. Selalu begitu, kadang aku kesal melihat wajah Nenek Sihir itu. Kalau bukan karena ayah aku tidak sudi tinggal di rumah yang sudah bak neraka ini. "Cuma disuruh nyuci piring aja sampai nangis-nangis kayak gitu? Udah enggak betah kamu di sini? Pergi aja sana, tinggal sama ibu kamu yang Pelakor itu!"

 

 Perempuan itu betul-betul selalu membuat kepalaku ingin meledak. Pelakor dia bilang? Padahal dia sendirilah yang merebut ayah dari ibu. Aku pun berdiri dengan dada sesak, menahan sakit yang belum berkesudahan sejak hari dua minggu lalu. "Aku bakal pergi! Aku enggak sudi tinggal sama perempuan enggak tahu malu kayak kamu! Aku bakal pergi kalau ayah udah menceraikan kamu. Puas?!" Aku menunjuk perempuan berdaster merah tersebut.

 

 Ibu tiriku semakin meradang, dia mendorong tubuh ini. "Pergi-pergi! Sana kamu pergi sekolah! Dasar Pemalas! Disuruh ini itu enggak mau, bisanya molor doang." Akan begitulah dia, kalau aku mengatakan perihal perceraian ayah dan dirinya.

 

 "Sudah pergi sana!" Dia kembali mendorong tubuhku. Untung saja aku sudah memakai tas, jadi bisa langsung pergi dari hadapan perempuan itu. Dia lemah kalau menyangkut hubungannya dengan ayah. Tentu saja, dia tidak mungkin mau kehilangan ayah karena sedang mengandung.

 

 Aku bisa saja memaksa ayah menceraikan ibu tiriku atau bahkan melaporkan perempuan itu sebagai Pelakor, sekarang kan ada hukumnya. Namun, tentu sebagai manusia aku mempunyai hati. Aku tidak tega dengan janin yang ada di rahim ibu tiriku, meski karena kehadirannya memporak-porandakan keluargaku.

 

 Ah, sial! Aku sangat membenci hidupku sendiri, kalau mengingat apa yang terjadi pada keluargaku sekarang. Ayah menikahi pacarnya, karena pacarnya mengandung benih ayah. Kemudian, ayah juga meninggalkan ibu. Ibu sekarang berada di rumah sakit karena depresi oleh sikap ayah. Ayah masih bertanggung jawab dan membiayai pengobatan ibu, tapi kalau aku mengingat keadaan sekarang malah semakin mengiris hatiku.

 

 Dua minggu lalu tepatnya, perasaanku kembali dihancurkan oleh seseorang yang sangat aku percaya. Dia adalah kekasihku, lelaki yang aku anggap sempurna. Memiliki usia di atasku, tampak dewasa, lembut, dan selalu memanjakanku. Sikap yang tidak pernah aku dapatkan di rumah aku mendapatnya dari dia. Si Brengsek Johan! Iya, laki-laki itu sekarang telah merubah pandanganku tentang laki-laki baik dan lembut. Dia yang baik, lembut dan perhatian tidak selamanya memang betul-betul laki-laki yang setia.

 

 Johan pergi ke luar kota untuk bekerja, katanya. Aku begitu percaya pada dia, karena sering melakukan video call, tapi beberapa hari lalu seorang perempuan menghubungiku dan mengatakan untuk menjauhi Johan. Kalian tahu siapa perempuan itu? Dia adalah istri Johan. Dasar laki-laki Jahat! Aku yang tidak mau dicap sebagai Pelakor tentu saja langsung memutuskan hubungan dengannya, meski laki-laki itu menolak. Aku tidak peduli, dia sudah menghancurkan perasaanki.

 

  Sakit sekali hatiku, selama di sini dia selalu berjanji akan menikahiku, tidak peduli sekarang aku yang masih SMP, katanya dia rela menunggu asal menikah denganku. Namun, semua itu hanya dusta saja, perempuan itu mengatakan sudah menikah dengan Johan selama satu bulan. Hah? Berarti aku sudah dibohongi Johan selama tiga puluh hari terakhir. Bodoh, Rena! Aku benar-benar bodoh, bisa-bisanya aku tidak mengikuti saran Aira untuk putus dengan Johan. Sekarang, aku merasakan sakit hati, karena benar ternyata pacaran memang tidak ada manfaatnya, hanya menuai luka batin.

 

 "Bodoh!" umpatku lirih sambil menendang botol minuman di jalanan. "Kenapa aku begitu percaya sama si Brengsek itu? Sekarang, dia bahkan enggak peduli sama aku yang udah terlanjur sayang sama dia?" Aku kembali menangis. Sesak di dada rasanya tak sanggup lagi aku tahan. Hubungan kami sudah ada satu tahun. Laki-laki itu selalu baik bahkan tidak pernah menyentuh sembarangan padaku. Dia selalu ada untukku, membantu urusan pelajaran bahkan mengantar jemput sekolah. Namun, sekarang di mana dia?

 

 Rasanya aku ingin menjerit sekencang-kencangnya. Masalah di rumah tidak pernah selesai, tugas sekolah, lalu sekarang pengkhianatan Johan. Sungguh dunia ini terasa menyakitkan untuk anak remaja sepertiku. Aku hanya ingin bahagia, apa sesulit itu?

 

 Ibu, aku ingin sekali kembali ke masa lalu, di saat ibu masih sehat, ayah masih setia, keluarga kami masih utuh, tidak ada si Nenek Sihir. Perih ini menyesakkan, setiap rasa sakit seolah menghimpit dada, menyulitkan aku untuk bernapas.

 

  Merasa kaki ini lemas, aku pun terduduk, jongkok di pinggir jalan. Aku tidak peduli dan menenggelamkan wajah di antara lutut. Kupuaskan menangis detik ini juga. Aku lelah.

 

 "Rena!" Suara seorang perempuan membuatku mendongkak. Mataku masih mengeluarkan bulir-bulir kepedihan. Aku menatap Aira, lalu berdiri lekas memeluk sahabatku itu.

 

 "Aira!" Tangisku pecah dalam pelukan Aira. "Kamu bener, cowok yang kayak Johan itu bakal jadi pengkhianat. Aku selalu berprasangka baik sama dia, aku pikir dia enggak mungkin mengkhianati aku, dia baik. Tapi, kamu benar, Ra, laki-laki yang obral janji bisa jadi pengkhianat dan pembohong. Aku salah, Ra. Aku sadar sekarang, Johan udah jahatin aku."

 

 "Maksud kamu apa, Re. Aku bingung, kamu kenapa? Johan mengkhianati gimana?" Aira melerai pelukan. Jemari dinginnya terasa mengusap pipiku.

 

 "Si Johan nikah, Ra. Dia ternyata pergi ke luar kota buat nikah, ninggalin aku. Kamu bener, dia cuma basa-basi aja enggak sanggup LDR, nyatanya dia mau menikah sama perempuan lain." Aku panjang lebar menceritakan sambil sesegukan menangis.

 

 "Ya Allah, Ra." Perempuan yang dua tahun lebih tua dariku itu kembali mengusap lembut air mata yang tak mau berhenti ini. "Sabar, sabar, kamu masih diselamatkan Allah dari orang yang salah."

 

 "Maksud kamu apa? Aku sakit hati." Sungguh memang agak aneh temanku satu ini. Kata-katanya memang baik, tapi sabar untuk saat ini rasanya tidak semudah itu. "Ini sakit banget, Ra. Aku bener-bener ngerasa enggak mau hidup, mau mati aja. Hidup aku bener-bener sulit." Kembali aku menangis mengingat begitu banyaknya penderitaan yang aku rasa. Nanti saja kalau pulang, Nenek Sihir itu pasti mengomel lagi, karena ayah sedang kerja dinas. Aku benci perempuan itu! Aku ingin ibu, ingin ibu sembuh.

 

 "Bukan begitu, Ra. Aku mengerti perasaan kamu. Tapi, jangan kamu jadikan alasan ujian hidup untuk menyerah dan bunuh diri. Kok kamu yakin banget masalah kamu akan selesai dengan bunuh diri?" Perempuan di depanku itu berbicara dengan nada lembut, tapi agak sedikit menusuk.

 

 "Hidup aku susah sejak ayah menikah dengan si Nenek Sihir, ibu juga belum sembuh, malah makin parah sering melamun. Belum lagi si Nenek Sihir yang suka nyuruh-nyuruh aku, ditambah si Johan ninggalin aku demi perempuan lain. Gimana aku enggak mau nyerah, Ra? Hidup aku udah enggak ada sandaran, aku udah enggak tahu harus berlindung sama siapa?" ceritaku masih dengan dada berdebar-debar. Sakit ini betul-betul menyakiti setiap sendi di tubuhku. Perut yang perih akibat belum sarapan juga terasa semakin melilit.

 

 "Aduh-duh." Tanganku repleks menekan perut karena sudah begitu perih.

 

 "Kenapa, Re? Kamu pasti telat makan lagi, ya?" Aku melihat Aira tampak cemas. "Ayo-ayo kita sarapan dulu."

 

 ***

 

 Aku dan Aira makan di kantin sekolah. Masih belum ramai sekolah di jam tujuh pagi. Hari ini adalah 17 Agustus. Rencananya memang tidak akan ada pelajaran, tapi akan ada upacara bendera pukul delapan, setelahnya lomba-lomba.

 

 Aku menghela napas melihat bendera-bendera kecil yang diterpa angin. "Makasih, ya, Ra. Aku lupa minta uang jajan tadi. Habis kesal sama si Nenek Sihir. Dia emang bakal ngasih uang, tapi aku males denger omelannya."

 

 "Iya, sama-sama, Re. Jadi, gimana? Kamu sama Johan sekarang udah enggak kontekan?"

 

 Sedikit denyutan menyakitkan terasa di hati ini, tapi aku berusaha tegar, mengingat obrolan Aira di perjalanan tadi membuatku sadar bahwa aku memang termasuk beruntung.

 

 "Enggak. Enggak mau aku kenal dia lagi. Cukup! Dia udah nyakitin aku, meskipun sakit, tapi aku enggak mau jadi Pelakor." Aku menyeka air yang sudah menggenang di sudut mata.

 

 "Alhamdulillah kalau gitu. Sekarang, kamu lebih baik fokus belajar aja. Kita adalah pejuang untuk negara kita. Masa di hari kemerdekaan ini hati kamu masih mau dijajah cinta yang enggak jelas. Iya, emang luka kamu masih basah tapi enggak seharusnya kamu terus berlarut-larut membiarkan luka itu," jelas Aira yang membuat aku menoleh padanya.

 

 "Iya, Ra, makasih, ya? Btw, kata kamu, kamu mau bacain satu sejarah tentang pahlawan kita biar aku ada motivasi hidup. Memang siapa tokoh itu?" Aku ingat tentang ucapan Aira tadi, membuatku penasaran.

 

 "Oh, itu. Sebentar." Aira tampak mengambil buku dari tas, lalu dia membukanya. "Aku bacain, ya?"

 

 Aku hanya mengangguk dan bersiap menyimak apa yang akan Aira baca.

 

 "Jadi, ceritanya aku mau pidato soal perempuan yang dijajah rasa cinta supaya jangan galau karena masalah cinta." Aira terkekeh sebentar, mungkin menurutnya ini lucu, ya? Padahal ini sangat menyakitkan bagiku. Kata-kata Aira seolah menyindir.

 

 "Ketika Cut Gambang, anak Cut Nyak Dhien, menangis karena kematian ayahnya, ia ditampar oleh ibunya yang lalu memeluknya dan berkata:

 

Sebagai perempuan Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang yang sudah syahid.

 

 Cut Nyak Dien lalu memimpin perlawanan melawan Belanda di daerah pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya dan mencoba melupakan suaminya. Pasukan ini terus bertempur sampai kehancurannya pada tahun 1901 karena tentara Belanda sudah terbiasa berperang di medan daerah Aceh. Selain itu, Cut Nyak Dien sudah semakin tua. Matanya sudah mulai rabun, dan ia terkena penyakit encok dan juga jumlah pasukannya terus berkurang, serta sulit memperoleh makanan. Hal ini membuat iba para pasukan-pasukannya.

 

Anak buah Cut Nyak Dhien yang bernama Pang Laot melaporkan lokasi markasnya kepada Belanda karena iba. Akibatnya, Belanda menyerang markas Cut Nyak Dien di Beutong Le Sageu. Mereka terkejut dan bertempur mati-matian. Dhien berusaha mengambil rencong dan mencoba untuk melawan musuh. Namun, aksi Dhien berhasil dihentikan oleh Belanda. Cut Nyak Dhien ditangkap, sementara Cut Gambang berhasil melarikan diri ke hutan dan meneruskan perlawanan yang sudah dilakukan oleh ayah dan ibunya."

 

 Aku mendengar dengan seksama cerita Aira. Perempuan itu lalu tersenyum, masih melanjutkan bacaannya.

 

 "Jadi, sebagai perempuan yang hebat kita pun harus bisa melupakan duka untuk memerdekakan diri dari jajahan perasaan yang menyakitkan. Umumnya, perempuan di zaman sekarang memang diresahkan karena perasaan cinta.

 Maka, dirinya bukan berperang dengan orang lain, melainkan perasaannya sendiri. Terkadang perempuan juga tidak sadar, jika perasaannya yang berlebihannya itu hanya nafsu dan bisa melukai diri sendiri.

 Kita memang bukan Cut Nyak Dhien, perempuan hebat yang berperang melawan Belanda. Namun, setidaknya kita bisa meneladani semangat juang beliau dalam memerdekankan diri dari penjajahan.

 Jika dulu yang menjajah beliau adalah Belanda dan beliau berusaha merdeka dari penjajah tersebut. Maka kini, sebetulnya kita sebagai perempuan juga harus semangat memerdekakan diri dari segala perasaan menyakitkan yang menjajah kita, salah satunya perasaan cinta pada orang yang salah.

 Kenapa kita harus repot-repot memikirkan orang yang tidak mencintai kita? Bukankah itu hanya menjajah hati kita untuk semakin menderita?"

 

 Aira beralih menatapku. "Itu isi pidato yang aku buat nanti, Re. Kamu harus semangat, ya? Kita bukan dijajah sama orang lain, malah terkadang kita dijajah sama perasaan negatif. Termasuk kamu sekarang ini."

 

 Aku merasakan tangan Aira menepuk-nepuk bahuku. Sedikitnya aku merasa terharu. "Makasih, ya, Ra." Aku kembali memeluk Aira.

 

 Betul juga apa kata Aira, aku tidak harus mengangkat senjata. Ketika dulu orang-orang dijajah negara lain dan harus berjuang memerdekankan diri, sekarang aku hanya diharuskan belajar untuk mengharumkan nama bangsa, untuk bersyukur karena ada sekolah yang membantuku mencari ilmu, juga ayahku masih membiayai sekolah.

 

 Negara kita aman sekarang, mungkin kitanya saja yang tidak bersyukur. Iya, aku lebih tepatnya. Aku merasa paling menderita padahal dulu Cut Nyak Dhien sampai harus kehilangan suami tercinta karena perang.

 

 "Aku enggak bersyukur, ya, Ra. Derita aku enggak seberapa dibanding orang-orang di zaman penjajahan dulu," ucapku lagi sambil melerai pelukan.

 

 "Mulai sekarang, kita harus bersyukur. Lagi pula kamu pintar, Re. Kita masih muda dan banyak kesempatan untuk sukses di masa depan. Ayo kita semangat seperti pahlawan di masa penjajahan dulu. Kita harus merdeka, jadi perempuan independen yang hebat. Semua belum terlambat, kamu hanya baik pada orang yang salah. Lupakan Johan dan mulai untuk memperbaiki diri, semangat belajar!" Aira menggebu-gebu mengatakan itu seolah tengah menyalurkan semangat untukku.

 

 "Iya, Ra. Aku akan semangat." Aku melukis senyum. Senang rasanya memiliki teman seperti Aira. Dia baik, sholehah dan selalu mengingatkan aku dalam hal kebaikan. Ah, rasanya aku juga lupa untuk bersyukur karena memiliki sahabat sebaik dia.

 

 "Terima kasih, Aira. Aku bersyukur punya teman sebaik kamu," ucapku terharu.

 

 "Iya, kembali kasih, Rena." Dia menjawab sambil memperagakan finger heart, membuat kami tertawa setelahnya.

 

 

Profil Penulis


 Kim Sumi Ryn (No. ID: PK23-1646891784), 

Penulis yang satu ini, katanya suka mager nulis, bahkan sampai bingung pas bikin cerita ini. Kebetulan doi sedang galau, tema kemerdekaan dia jadikan jalan untuk memerdekakan hati kamu perempuan. (Ea! Semoga begitu, ya). Dia sudah menulis di beberapa platform online dengan nama pena Sumiryni dan Kim Sumi Ryn. Untuk tahu novel-novelnya boleh add Facebook: Kim Sumi Ryn or Instagram @sumi_ryn9. Thank you so much. 

Much love for Kak Rin Muna and Pena Kreatif community. ( ◜‿◝ )

 

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas