Tuesday, April 23, 2019

Apa Yang Kamu Dapat Saat Datang ke TPS?



Rabu, 17 April menjadi momen bersejarah bagi bangsa Indonesia. Karena hari ini merupakan hari Pemilihan Presiden RI yang ke-8.
Banyak media dan netizen yang membahas tentang pemilu yang dilakukan serempak untuk pertama kalinya. Dan yang selalu bikin heboh saat pemilu ada foto jari kelingking ya g sudah dicelupkan tinta sebagai bukti kalau kita tidak golput.
Juga banyak hal lain yang bisa kita dapatkan di suasana pesta demokrasi ini.
Selain menyaksikan orang yang berdebat karena jagoan mereka berbeda. Ini sangat menjenuhkan bagiku. Melihat orang-orang pintar beradu argumen. Entah apa yang mereka cari sampai rela meluangkan waktu dan pikirannya hanya untuk berdebat.
Padahal, sudah jelas dalam film "Sexy Killers" yang kami tonton bareng pada tanggal 13 April lalu meninggalkan sebuah pesan bermakna.
Tapi, bukan tentang pemilu atau film Sexy Killers yang mau aku ceritakan di tulisanku kali ini. Tapi, tentang foto rumah tua yang berhasil aku abadikan saat menunggu antrian nyoblos di TPS.
Bagiku, bangunan ini menjadi saksi sejarah tentang cerita-cerita masa kecilku. Kondisinya sekarang sudah tua dan sepertinya tidak ada yang tinggal di sana karena tidak lagi terawat.
Dua bangunan itu adalah perumahan guru SD tempat aku dahulu menuntut ilmu. Saat aku sampai di TPS 2, separuh dari bangunan sekolah sudah dirobohkan untuk direnovasi. Butuh waktu belasan tahun untuk merenovasi sekolah ini menjadi bangunan permanen. Sebab, sebelum aku masuk sekolah sampai anak dari teman seangkatanku juga ikut bersekolah di sekolah ini, belum ada pergantian bangunan. Kondisinya masih sama seperti 20 tahun silam.

Bagiku, tempat kecil ini menyimpan berjuta cerita. Di sisi rumah itu kami biasa bermain prosotan kalau kata anak-anak. Karena, sekolah kami memang berada di atas bukit. Dan di belakang perumahan guru itu merupakan turunan yang lumayan tinggi. Sehingga, kami seringkali bermain di sana sampai seragam kami kotor. Warna putihnya berubah menjadi cokelat.

Setiap melihat bangunan ini, bukan hanya aku ... puluhan teman-teman seangkatanku akan mengingat momen indah masa anak-anak itu. Masa di mana kami pulang ke rumah ramai-ramai saat jam istirahat hanya untuk makan. 
Masa di mana saat kembali terpikir, sepertinya memang kelakuan yang sia-sia dan bodoh. Tapi, itu sangat menyenangkan. Seperti saat aku dan teman-temanku memilih menerobos hutan dan membuat jalan baru hanya untuk bisa pulang ke rumah. Padahal, sudah ada jalan bagus yang setiap hari kami lewati walau masih tanah. Konyol! Dan ingatan itu yang selalu membuat kami tertawa saat mengingat masa-masa sekolah dasar.

Aku tidak terlalu suka membahas hal yang sedang dibicarakan banyak orang. Aku hanya suka menjadi pembaca atau pendengar. Dan aku selalu mencari hal lain yang lebih menarik agar tidak jenuh.

Oleh karenanya, aku mendapatkan sebuah potret yang akan mengingatkanku pada masa lalu saat aku nyoblos di TPS. Bisa jadi dalam 5 tahun ke depan bangunan ini sudah tidak ada. Yang penting, sudah aku abadikan pakai kamera dan aku bisa mengingatnya setiap kali aku membaca ulang tulisan ini.



Cukup sampai di sini dulu cerita dari aku. Karena ini sudah sore dan aku masih harus meneruskan jahitanku, ditunggu sama yang punya baju. Hehehe ...

Bye ... bye...!


Kreatifitas | Membuat Angpao Lebaran dari Kain Flanel

Desa Beringin Agung. Senin, 22 April 2019.

Hari ini, pukul 16.00 WITA kami berkumpul seperti biasa. Sebenarnya, waktu ngumpulnya adalah hari Minggu. Tapi, karena banyak yang tidak bisa hadir. Akhirnya jadwal ngumpup diubah jadi hari Senin.
Yang hadir hari ini adalah Mbak Rety, Mbak Anis, Mbak Suyati, Mba Eny dan Mba Erna.
Rencananya kami memang mau membuat kreasi angpao dari kain flanel. Karena, angpao tali kur yang sebelumnya sudah kami buat, sudah habis dipesan oleh Bu Kades.
Saat mereka tiba di Taman Bacaan Bunga Kertas, aku malah harus permisi keluar sebentar karena harus mengantar barang pesanan ke Desa Bukit Raya, desa sebelah.

Saat aku kembali, ibu-ibu yang super duper kreatif ini sudah menghasilkan kreasinya sendiri-sendiri.
Nah, ini nih hasil kreatifitas ibu-ibu Mamuja (Mama Muda Samboja).

Angpao karakter ini rencananya akan kami promosikan dan kami jual ke masyarakat. Baik secara offline maupun online.

Anakku juga senang sekali melihat angpao karakter ini. Selain bisa dipakai untuk menyimpan uang, bisa juga dia pakai untuk bercerita. 
Nah, fungsinya juga dapet kan untuk literasinya. Anak-anak yang punya karakter berbeda-beda bisa berkumpul dan bercerita menggunakan angpao karakter ini. Ada nilai edukasi dari angpao karakter ini.

Selain literasi baca tulis yang bisa kita dapatkan dari angpao ini. Ada penerapan literasi finansial dalam kegiatan ibu-ibu di Taman Baca ini. 
Harapan ke depannya, kegiatan di taman baca bisa menghasilkan produk atau jasa yang bermanfaat untuk masyarakat sekitar.

Selain mengisi kegiatan ibu-ibu rumah tangga, pembuatan produk kerajinan ini diharapkan dapat menjadi sumber ekonomi dan menciptakan masyarakat desa yang mandiri secara finansial.

Terima kasih untuk semua pihak yang telah mendukung kegiatan-kegiatan yang ada di taman baca. Jangan lupa pesan produk-produk Mamuja ya! Selain membantu menyemangati ibu-ibu di taman baca, kamu juga sudah berdonasi untuk taman bacaan bunga kertas.


Salam Literasi ...!


Saturday, April 13, 2019

Soal Latihan, 13 April 2019

Reading & Speaking! 

Read this text aloud with right pronunciation!


Max and Mei are best friends.
They live next door to each other.
Max and Mei are both five years old.
They are in the same class at school.

Every summer Max and Mei go to the Dragon Boat Festival.
They love the beautiful boats with their dragon heads and tails.
One year, Max and Mei were sitting on the beach when suddenly whispered, "Look, over there!"

Hiding in a cave was a baby dragon. He was red and gold with long scaly tail.
The dragon seemed sad. Max and Mei wondered why he was all alone. "Let's take him to watch the dragon boats," said Mei.
They watched the colourful boats racing across the sea. It was very exciting.

Max then saw a drum and began to beat it. The baby dragon started dancing. The dragon looked happy. He now seemed bold and adventuros.
After race, it was time for Max and Mei to go home. They look the dragon back to his cave.
All of sudden, the childrem saw a flash of lightning in the sky. There was a large dragon waving down at them.

Max and Mei could hardly believe they had met a dragon. They hope would return next year to dance with them again.





Tulisan dari buku Max and Mei mengenal Shio Naga by Martha Keswick & Mariko Jesse.


Soal Latihan, 12 April 2019

Isilah titik-titik di bawah ini!

1. Penangkap ikan di laut disebut ...
2. Barang yang dihasilkan oleh penjahit antara lain ...
3. Lilin yang dipanaskan akan ...
4. Buaya berkembang biak dengan ...
5. Ikan hanya dapat hidup di ...
6. Bentuk dari daun singkong adalah ...
7. Di sekolah, murid harus patuh kepada ...
8. Sikapku jika temanku nakal adalah ...
9. Bilangan setelah 88 adalah ...
10. Kertas lipat berbentuk ...

Cerpen | Loving Art

pixabay.com

Siang itu sama seperti hari-hari sebelumnya. Aku pulang sekolah dan menghabiskan waktuku di dalam kamar untuk sekedar membaca buku atau bermain gadget kesayangan.

Aku sibuk men-scroll layar ponselku. Melihat postingan di beranda facebook. Postingannya didominasi oleh teman-teman sekelasku dan beberapa teman yang tinggal di daerahku. Aku sempatkan untuk memberikan jempol dan berkomentar di beberapa postingan teman sambil asyik bercanda.

Di sisi pemberitahuan terbaru, tiba-tiba muncul sebuah notifikasi di logo pesan masuk. Ada pesan masuk dari seseorang yang tidak aku kenal.

"Hai ...!" Isi pesan itu menyapaku via inbox.

Aku hanya membaca pesannya tanpa ada keinginan untuk membalasnya sama sekali. Karena aku memang tidak mengenal sosok cowok yang ada di dalam foto itu. Aku juga tidak tertarik untuk membuka profilnya sampai beberapa hari ke depan. Sampai ia mengirim kembali sapaan "Hai...!" itu seminggu kemudian.

"Kamu beneran tinggal di Japan?" tanya cowok itu kemudian.
Hmm ... kok, dia bisa tahu aku tinggal di Japan? Japan sendiri bukan sebuah negara yang terkenal dengan samurainya itu. Japan adalah singkatan dari nama jalan utama yang ada di lingkungan RT tempat tinggalku, yakni Jalan Delapan.

"Iya. Kok, tahu?" balasku via inbox.

"Aku lihat di profil kamu."

"Oh," jawabku singkat.

"Aku nggak pernah lihat kamu."

"Maksudnya?" tanyaku heran.

"Semua anak cewek yang ada di Japan aku kenal, kecuali kamu. Anak baru ya?" tanyanya lagi.

"Nggak. Udah hampir 6 tahun aku tinggal di sini."

"Serius? Kok, aku nggak pernah lihat."

"Aku juga nggak pernah lihat kamu, kucing!" balasku karena cowok itu berganti gambar profil menggunakan gambar kucing.

"Aku bukan kucing!"

Aku mengirim emot tertawa.

Itulah awal aku mengenal sosok Syahri, cowok yang saat ini di sampingku. Yah ... akhirnya kami bertemu setelah banyak melakukan interaksi melalui media sosial. Kamu tahu, Syahri adalah sosok cowok langka yang aku temui. Usianya jauh lebih dewasa dari aku. Tampan, berkulit putih, jago main gitar, bassis salah satu band indie, pencipta lagu dan seniman bonsai juga seni rupa. Ah ... dia adalah cowok pertama yang mengenalkan aku dunia seni. Dunia yang begitu indah ... yang selalu membuat dunia kami ceria dan penuh cerita.

"Rin, suatu saat nanti kamu pasti bisa jadi pelukis yang hebat!" Syahri memandang wajahku yang sedang asyik belajar menggoreskan pensil di atas kertas.

"Preet!!"

"Loh? Kok, pret sih!? Serius, deh! Kalau kamu rajin belajar, kamu pasti bisa menjadi pelukis yang hebat."

"Berarti, kamu akan jadi super hebat, dong? Kan, kamu yang ajarin aku." Aku tersenyum sembari melirik dia, lalu kembali fokus pada lukisan pensil di tanganku.

Syahri tersenyum sembari merapikan rambut-rambutku yang menjuntai menutupi wajah. Sikapnya benar-benar membuatku salah tingkah. Aku meletakkan pensil dan bangkit dari tempat dudukku. Aku berdiri tepat di depan jendela. Dari sini aku bisa memandangi sebuah taman dengan luas 10x12 meter. Ada satu pohon besar yang berdiri kokoh. Di bawahnya, terdapat batu-batu besar yang mengitarinya. Juga aneka tanaman dan bunga yang disusun dengan baik. Terlihat sangat natural dan pastinya sejuk. Galeri seni milik Syahri juga masih terbuat dari kayu ulin. Tangganya dibuat sangat unik. Tidak akan ada yang menyangka kalau bangunan sederhana yang terlihat tua ini adalah sebuah galeri pribadi.

"Kok, berhenti?" Syahri berdiri tepat di sisiku.

Aku tersenyum ke arahnya. "Males ah, dilihatin sama kamu," celetukku.

"Gimana mau bisa kalau belajarnya nggak mau serius!"

Aku cuma cengengesan mendengar ucapan Syahri yang serius mengajariku melukis sementara aku kebanyakan bercanda daripada belajarnya.

"Mau teh anget?"

"Boleh."

Syahri berlalu memasuki dapur. Aku bisa melihatnya dari sini. Dia meracik minuman di dapur kecil dengan gaya kafe yang unik. Tapi, aku sama sekali tidak ingin mendekatinya. Aku sibuk memperhatikan lukisan-lukisan yang terpajang. Di sisi kanan ruangan terdapat lemari yang berisi patung-patung ukiran kayu. Di sisi kiri ada rak buku yang tingginya mencapai plafon, penuh dengan buku-buku seni dan sastra. Di sisi jendela tempat aku berdiri juga terdapat sebuah rak unik yang ketika tidak kita buka, bentuknya menyatu dengan dinding. Di dalam rak ini terdapat koleksi kaset mulai dari tahun 70-an. Aku kurang berminat karena aku memang tidak mengerti sama sekali tentang musik, terlebih musik zaman baheula.

"Minum!" Syahri menyodorkan secangkir teh ke arahku saat aku sedang berdiri di teras galeri. Aku tersenyum menerimanya sembari mengucapkan terima kasih.

"Kenapa kamu suka banget sama seni?" tanyaku sembari menyentuh ujung daun Anting Puteri yang tingginya hanya beberapa sentimeter.

"Karena seni itu punya nilai estetika, keindahan yang bisa membuat kita bahagia. Seni bonsai termasuk seni yang tinggi. Karena yang dibentuk adalah makhluk hidup. Dan masih ada lagi seni yang lebih tinggi."

"Oh ya? Apa itu?"

"Seni mencintaimu ..."

"Halah ... gombal!"

"Sherin, serius!"

"Nggak percaya!"

"Aku ini orangnya serius. Nggak kayak kamu yang bercanda mulu."

Aku meringis menanggapi ucapan Syahri.

"Mencintai seseorang itu bagian dari seni."

"Kok, bisa?"

"Saat kamu jatuh cinta ... kamu akan merasakan hal berbeda yang tidak pernah kamu rasakan. Kadang kamu bisa senyum-senyum sendiri, kecewa, sebel tanpa sebab, ngerasain kangen dan takut kehilangan. Mencintai itu ... seni menata hati."

Aku menaikkan kedua alisku dan duduk di tangga kayu yang terlihat dibuat asal-asalan tapi terlihat lebih estetik.

"Rin, aku nggak pernah pacaran dan nggak pernah tahu gimana rasanya jatuh cinta." Syahri duduk di sisiku.

"Botenya pang. Kamu kan punya banyak fans. Setiap kali band kamu manggung, banyak aja tuh fansmu teriak-teriak di bawah panggung."

"Jadi, kamu diam-diam nonton juga? Kamu selalu bilang nggak bisa datang."

"Datang terus, sih. Tapi cuma sebentar aja. Nggak enak lah sama kamu. Apalagi Joey dan yang lainnya juga minta aku datang."

Syahri tersenyum tanpa memandangku. Pandangannya tertuju pada tanaman-tanaman bonsai yang diatur rapi di depan kami.

"Ada banyak cewek cantik di luar sana. Tapi, cuma satu cewek yang bisa sampai masuk ke galeri pribadiku. Cuma kamu ...." Syahri memandangku dengan serius. Aku belum pernah melihat ekspresinya seserius ini.

"Aku masuk ke sini juga kamu yang minta buat datang. Bukan main nyelonong masuk aja. Bisa aja kan kamu begitu juga sama cewek-cewek yang lain."

Syahri menggelengkan kepalanya. "Entah ... aku sama sekali nggak berminat buat deket sama cewek mana pun. Tapi waktu kenal sama kamu, aku nggak bisa menahan diriku untuk selalu dekat sama kamu."

"Kenapa sih kamu nggak pernah sadar kalau kamu itu wanita spesial yang dengan mudahnya masuk ke dalam hatiku?"

Aku mengangkat kedua pundakku. Aku sendiri tidak paham. Apalagi disuruh buat mengerti tentang hati. Hatiku saja, aku sendiri belum bisa memahami. Apalagi harus memahami isi hati orang lain.
"Kamu nggak suka sama aku ya?" tanya Syahri serius.

Pertanyaannya benar-benar membuatku salah tingkah. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Kalau dibilang tidak suka, nggak mungkin sekarang aku di sini. Kalau dibilang aku suka, mungkin hanya sebatas mengagumi. Sama seperti cewek-cewek lain yang mengagumi sosok Syahri. Apa bedanya aku dengan mereka? Bagiku sama saja. Hanya waktu ... ya, waktulah yang membuat kita sering duduk bersama, bercerita, tertawa dan ... memikirkan tentang masa depan.

Aku tidak tahu apakah aku jatuh cinta padanya atau tidak. Kami sering menghabiskan waktu bersama. Dan yang paling konyol adalah ... memikirkan tentang masa depan bersama. Tanpa status yang pasti. Tanpa hubungan yang pasti. Bisa dibilang kekasih tapi bukan, bisa dibilang teman tapi rasa kekasih. Ah, hariku memang aneh semenjak aku mengenalnya.

Dua tahun setelahnya, aku pindah tempat tinggal. Menjadikan hari yang berat karena aku harus kehilangan cowok yang sudah mewarnai hidupku dengan seni. Seni menata hati seperti yang ia bilang. Karena pada akhirnya aku memang harus menata hatiku. Kami harus bisa menjadikan cinta itu bagian dari keindahan. Walau pada prosesnya, ada banyak hal yang membuat kita merasakan sakit.

Tahun-tahun pertama kepindahanku, semua masih terasa baik-baik saja. Kami masih terus berkomunikasi jarak jauh. Bercerita tentang keseharian kita masing-masing. Namun, lama kelamaan komunikasi kami semakin buruk. Banyak miss komunikasi yang terjadi sampai akhirnya kami tidak pernah lagi saling berkomunikasi.

Aku tahu ... sesungguhnya kekesalan demi kekesalan itu terjadi karena kami sama-sama rindu. Sama-sama ingin bersama tapi jarak kami terlampau jauh. Ada rasa cemburu pada waktu yang seharusnya kita nikmati berdua, tapi kita menikmatinya dengan orang yang berbeda. Aku tidak bisa menyalahkan waktu, aku tidak bisa menyalahkan jarak. Sekuat apapun keinginan kami untuk hidup bersama ... jika tidak jodoh, maka Tuhan akan memisahkan kami dengan caranya. Cepat atau lambat, cerita kebersamaan kita akan menjadi sebuah kenangan.

Ada satu kalimat Syahri yang tidak pernah bisa aku lupakan seumur hidupku. "Jika kita tidak berjodoh, setidaknya aku bisa menjadi sebuah kenangan paling indah dalam hidupmu. Yang akan selalu kamu ingat, ke manapun kakimu melangkah pergi."

Dan sampai saat ini ... aku masih mengingatnya. Bersama dengan kanvas, kuas dan cat yang menemaniku bercerita. Melukiskan setiap keindahan tentang cinta ...

Satu hal yang tidak pernah dia tahu. Aku tidak suka dengan seni. Dia yang teramat mencintai dunia seni. Dan saat ini ... aku mencintai seni karena aku baru sadar kalau aku mencintainya ... setelah kami tidak lagi bisa bersama. I'm loving art, because I'm loving you ...


Melukis adalah bagian dari kerinduan ... kerinduan pada waktu yang tak mungkin bisa aku ulang. Kerinduan pada hari-hari indah yang telah coba ia ciptakan tapi aku selalu membuatnya berantakan. Kerinduan pada sosok orang yang telah mengajarkan aku banyak hal. Yang telah membuka mata dan hatiku, bahwa tidak ada yang lebih indah dari dunia ini selain cinta dan kasih sayang.
Jika suatu hari takdir menemukan kita kembali, aku ingin kamu mengenalku sebagai wanita yang lebih istimewa dari yang telah kamu ucapkan sebelumnya. Dan aku bisa dengan bangga berkata, "Yes, it's me!"


Ditulis oleh Rin Muna untuk Penakata
Samboja, 11 April 2019

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas