Friday, February 15, 2019

Cerpen | Demi Bisa Membaca

Kompasiana
Semilir angin malam menembus kulitku. Sesekali aku mengusap lengan agar rasa hangat bisa menjalar ke tubuhku yang mungil. Aku duduk di tepi gubuk sembari memandang api unggun yang dibuat Bapak beberapa jam lalu. 
Malam semakin larut dan aku belum berhasil memejamkan mata. Sesekali kulihat tubuh mungil adikku yang sudah terlelap di dalam gubuk yang hanya beralas dan berdinding papan bekas. Tak ada penerangan di gubuk ini kecuali api yang dibuat Bapak sejak hari mulai gelap. Bapak dan Mamak juga belum terlelap. Sesekali Bapak menambahkan belahan kayu ulin ke pembakaran setiap kali kayu sudah mulai habis. Dan Mamak memanggang panci berisi air di atasnya. Air yang akan kami gunakan untuk minum setiap harinya.
Sejak kecil aku sudah tinggal di gubuk ini. Gubuk ini bukan milik kami, ini milik pak Burhan. Pemilik sawah yang berbaik hati memberikan gubuk untuk kami tinggal. Bapak dan Emak memang tidak memiliki rumah, terlebih hidup kami yang jauh dari kata cukup. Pak Burhan mengizinkan Bapak mengolah sawah miliknya dan tinggal di gubuk sederhana ini.
"Belum ngantuk?" Mamak menghampiriku, duduk di sisiku.
Aku menggelengkan kepala sembari memeluk sebuah buku usang yang aku temukan di belakang rumah salah seorang warga desa. Buku ini sengaja dibuang dan aku memungutnya.
Aku bercita-cita bersekolah seperti anak-anak seumuranku. Namun, keadaan sulit di keluargaku membuatku harus gigit jari dan hanya membantu Mamak di sawah setiap harinya. Jauh dalam lubuk hatiku, aku ingin sekolah. Seperti yang dirasakan anak-anak berumur 10 tahun sepertiku.
"Dapet buku baru?" tanya Mamak.
Aku mengangguk. Bagiku, mendapatkan buku baru dari bekas buangan orang lain adalah kebahagiaan tersendiri. Rasanya seperti menemukan sebongkah emas berlian. Walau tidak pernah sekolah, aku beruntung karena Mamak mengajariku membaca dan menulis dengan baik. Hanya itu saja,  membaca dan menulis. Soal ilmu pengetahuan, sudah jelas Mamak tidak punya banyak ilmu pengetahuan. Sama sepertiku.
Sebab itulah aku suka sekali membaca. Dengan membaca, aku bisa melihat dunia di luar sana. Walau yang aku baca hanya buku baru yang meruakan buku bekas bagi orang lain atau bahkan memang tak bermakna sama sekali bagi mereka. 
"Maafkan Mamak dan Bapak karena tidak bisa menyekolahkanmu hingga saat ini."
"Nggak papa," jawabku lirih.
Sudah beberapa tahun lalu, kalimat itu keluar dari mulut Mamak dan Bapak. Awalnya, aku marah, sedih, menangis dan tidak bisa menerima kenyataan kalau aku tidak bisa bersekolah karena kedua orang tuaku tidak mampu. Yang ada dalam pikiranku, tidak mungkin Bapak dan Mamak tega tidak menyekolahkanku. Aku terus merengek setiap hari, tetap saja tidak berhasil. Saat ini, aku sudah menerima semuanya. Menerima kenyataan kalau aku memang tidak akan pernah merasakan bangganya memakai seragam sekolah.
"Mak, apa Reno juga tidak akan sekolah seperti aku?" Aku memandang tubuh mungil adikku yang tengah terlelap.
"Mamak belum tahu. Semoga saja Mamak dan Bapak bisa menyekolahkan Reno."
"Apa yang bisa aku bantu supaya Reno bisa sekolah nantinya?" Aku menatap wajah Mamak yang sesekali terlihat terang terkena pancaran cahaya api unggun.
"Kamu sudah terlalu banyak membantu dan mengorbankan masa depanmu. Biarkan kami yang berjuang untuk Reno!" pinta Mamak.
"Kenapa hanya Mamak dan Bapak yang boleh berjuang? Bukankah kita keluarga?" Aku menatap Mamak yang juga memandangku dengan rasa bersalah.
Ia tak mengatakan apa pun, hanya memeluk tubuhku yang mungil. "Tidurlah! Ini sudah malam," bisiknya.
Aku mengangguk, beranjak dari tempat dudukku dan memasuki bilik gubuk yang tidak di sekat. Di dalam bilik justru semakin dingin karena jauh dari perapian. Lantai dan dinding yang terbuat dari papan bekas terdapat banyak sela yang membuat angin berhembus dengan mudahnya dan menusuk-nusuk ke kulit.
Aku menatap wajah adikku kembali yang kini sudah di hadapanku. Aku rapikan posisi selimutnya, selimut dari sarung yang sudah lusuh dengan beberapa jahitan.
Kepalanya beralas bantal yang aku buat sendiri dengan tanganku. Setiap hari aku selalu bermain di bawah pohon randu dan mengambil kapuk-kapuk yang jatuh. Pemiliknya tidak peduli dengan kapuk yang hanya beberapa saja, mereka lebih senang membeli bantal di toko daripada harus capek-capek membuatnya. Berbeda dengan keluargaku yang hanya bisa mencari bahan gratisan. Sebelumnya, aku selalu izin pada pemilik kebun jika ingin meminta sesuatu di kebunnya. Mereka semua baik, tidak ada yang memarahiku. Justru mereka sering menyuruhku memanjat pohon kelapa, menjatuhkan buah-buahnya dan mereka memberikan aku sedikit upah. Upah yang biasanya aku tabung atau aku pakai membelikan jajan untuk Reno.
Aku merebahkan tubuhku di sisi Reno. Menarik selimut yang aku jahit dari kain-kain sisa pemberian orang. Ya, kami sering menerima pakaian dari beberapa warga yang memiliki pakaian lebih. Semuanya masih bagus-bagus dan bisa kami gunakan. Itu jauh lebih baik daripada harus membeli pakaian baru ke pasar. Pasarnya jauh, uangnya juga pasti butuh banyak.
Huft ... kenapa aku tak bisa sebahagia anak-anak lainnya? Takdir yang membuat aku terlahir dari keluarga miskin. Ah, tidak ... tidak! Bapak dan Mamak tidak miskin. Mereka sangat kaya bagiku. Memberikan aku kasih sayang setiap harinya. Mamak juga sering mengajari aku mengaji. Sekarang di usiaku yang sudah 10 tahun, aku sudah menghafal 20 juz Al-Qur'an. 
Setiap hari aku selalu mengaji, karena aku tidak pernah bersekolah. Hanya Mamaj dan Bapak yang menjadi guru mengajiku. Jelas berbeda dengan anak-anak yang bisa bersekolah. Mereka pasti pintar-pintar. Tidak sepertiku yang hanya bisa membaca dan menulis saja.
Aku menatap tumpukan buku yang ada di sudut bilik. Buku-buku itu bukan aku, Mamak atau Bapak yang membelinya. Buku itu hasil dari memungut di tepi jalan, di belakang rumah warga dan di tempat-tempat orang membuang setiap lembaran-lembaran kata itu. Aku senang sekali membaca, bahkan selembar kertas brosur saja aku ambil, aku baca dan simpan di rumah. Sehingga, buku-buku bekas tersebut sudah menumpuk di sudut ruangan. 
Di antara buku-buku itu, ada sebuah kalimat yang masih terngiang di ingatanku. "Membaca adalah jendela dunia".
Ya, aku rasa itu benar. Aku jadi tahu banyak hal dari buku itu. Aku bisa melihat dunia hanya dari buku, tidak dari gubukku yang tak memiliki jendela.
Aku heran, kenapa teman-temanku sering membuang bukunya setiap kali kenaikan kelas. Katanya sudah tidak terpakai lagi. Padahal, buku itu masih bisa dibaca. Ah, mungkin saja isi buku-buku ini sudah berpindah ke otak mereka. Sehingga mereka tak lagi memerlukan buku-buku ini. 
Mereka setiap hari bersekolah, pastinya mereka semua pintar. Berbeda dengabku yang masih terus membaca setiap hari karena aku tidak bersekolah dan tidaj pintar.
Aku masih memeluk buku yang sedari tadi aku bawa. Aku sering membawanya tidur ketika dapat buku baru. Buku ini sangat bagus bagiku. Untuk pertama kalinya, buku ini bukan hasil memungut dari tempat sampah. Buku ini pemberian dari salah satu temanku yang duduk di bangku kelas 4 SD. 
Dia sering mengajakku bermain setiap kali aku mengintip dari luar jendela saat mereka sedang belajar. Dia tahu kalau aku suka membaca. Hanya saja, aku bukan anak yang beruntung bisa mengenyam pendidikan.
"Wardah ... aku punya buku baru. Ayah baru saja membelikan 2 hari yang lalu. Aku sudah membaca beberapa halaman dan sepertinya seru. Ini untukmu!" Irwansyah mengulurkan buku berjudul "Keliling Dunia"
Aku tidak bisa menyembunyikan rasa bahagiaku ketika Irwansyah memberikan buku ini. Aku mengucapkan terima kasih berkali-kali sampai ia bosan mendengarnya. Ini pertama kalinya aku diberi sebuah buku dan aku sangat senang. Buku dengan gambar pesawat dan beberapa gambar orang yang tertawa bahagia ini kini sudah ditanganku.
"Jaga baik-baik buku itu! Suatu hari nanti, kita pasti bisa keliling dunia!" teriak Irwansyah sambil tertawa bahagia.
Aku tahu, itu hanya teriakan mimpi seorang anak kecil. Tidak pernah tahu akan jadi nyata atau tidak. Mungkin saja bisa.jadi kenyataan baginya yang memiliki banhak uang dan cerdas. Tidak berlaku untuk aku, gadis kecil yang tidak tahu apa-apa.
Aku membaca doa sebelum tidur, doa untuk kedua orang tua, doa kebaikan dunia akhirat, Al-Fatihah, Ayat Qursi dan Doa Selamat. Sampai akhirnya aku terlelap dalam mimpi-mimpi indah. Aku bermimpi bisa berkeliling dunia. Mungkin saja mimpi itu datang karena aku membaca buku dan terus membayangkannya.
Keesokan harinya, aku bangun dengab tubuh yang segar. Kembali beraktivitas seperti biasa usai menjalankan ibadah sholat subuh dan mengaji. Aku sedang berusaha menghafalkan juz berikutnya. Sembari membantu Mamak melakukan pekerjaannya di sawah, aku selalu komat-kamit menghafalkan satu lembar naskah Al-Qur'an yang aku baca usai sholat subuh tadi.
Aku suka sekali membaca. Dan aku selalu memungut buku-buku bekas demi bisa membaca. Bahan bacaan terbaikku adalah kitab Al-Qur'an. Sehingga aku senang sekali membaca dan menghafalkannya.
Kata Mamak dan Bapak, ini bekal untukku keliling dunia dan akhirat sekaligus.
Cukup sampai di sini ceritaku hari ini.
Kalau kamu punya buku bacaan ya g bagus  dan tidak dibaca, mending kamu sumbangin aja deh. Terutama untuk anak-anak yang tinggal di pedalaman seperti aku. Hehehe...
  • Ditulis oleh Rin Muna untuk Kompasiana
  • East Borneo, 13 Februari 2019

Friday, February 8, 2019

Banjir dan Si Tajir

Kompasiana


Sudah puluhan tahun Indu Baweh dan keluarganya tinggal di sebuah desa yang berada di area rawa. Setiap hujan deras, rumah Indu Baweh selalu tergenang air. Semua cara sudah dilakukan agar air banjir tidak masuk ke dalam rumahnya. Termasuk menaikkan pondasi rumah setinggi 1,5 meter. 
Sejak meninggikan rumahnya, air tidak lagi masuk ke dalam rumah setiap hujan deras. Namun, tetap saja menggenang di sekeliling rumahnya. Hal ini sudah terjadi sejak puluhan tahun lalu. Terlebih lagi warga yang membangun rumahnya, tidak lagi memikirkan drainase. Beberapa titik selokan dan parit yang seharusnya menampung air saat hujan turun, malah ditutup dan akhirnya banyak titik jembatan mati. Jembatan itu menjadi penghubung arus air dari hulu ke hilir. Namun, tiba-tiba menjadi jembatan mati. Tidak ada air yang mengalir karena dari hulu dan hilir sudah tidak terlihat lagi paritnya, sudah berubah menjadi halaman rumah yang cantik.
Indu Baweh dan keluarganya bisa tidur tenang setiap kali hujan. Walau banjir, tidak masuk ke dalam rumah dan sudah menjadi hal yang biasa. Banjir setinggi 50-70 cm sudah biasa. Juga bagi warga di sekeliling rumah Indu Baweh.
Setahun kemudian, hadir sosok orang yang kaya yang disebut Si Tajir. Karena kekayaan yang dimilikinya, ia membuka tambang batubara di sekitar pemukiman warga sebagai ladang uangnya untuk semakin memperkaya diri. Tidak hanya hutan sebagai resapan air yang digusur, rumah penduduk juga digusur pada akhirnya agar uang si Tajir tetap mengalir deras di kantongnya.
Beberapa bukit sudah berubah jadi lembah. Pohon-pohon yang indah sudah berubah jadi galian tambang batubara. Hal ini sangat dirasakan berbeda bagi Indu Baweh dan keluarganya. Indu Baweh yang usianya sudah tua, seringkali bercerita tentang keindahan desa di masa lalu pada cucu-cucunya.
Bercerita tentang dirinya yang masih bisa mandi di sungai yang airnya jernih, bahkan ikan-ikan pun bisa terlihat dengan jelas di sungai itu.
"Indu ... di mana sungai tempat Indu dan teman-teman bermain?" Etak, salah satu cucu Indu Baweh bertanya. 
"Kau lihat jembatan yang ada di ujung barat desa sana?" Indu Baweh balik bertanya.
"Lihat, Indu."
"Dulu ... di sana ada sungai yang lebar, dalam, dan airnya sangat jernih. Kami biasa mandi di sungai itu."
"Tapi, sekarang sudah tak ada. Sudah rata dengan tanah. Hanya ada jembatannya saja."
"Yah ... itulah. Semua berubah karena tangan manusia juga. Dan semuanya akan berubah selama kita tidak bisa mencintai dan menjaga lingkungan."
"Indu ... mau teh hangat?" tiba-tiba Ara, si cucu paling cantik datang membawa nampan berisi teh hangat dan kudapan.
"Wah ... cantik nian cucu Indu. Pas sekali hujan-hujan begini."
"Indu ... sepertinya air mulai meninggi. Padahal hujan baru satu jam dan tidak begitu deras," keluh Ara.
Benar saja, air datang begitu deras dan tidak dapat dibendung lagi. Menggenangi sekeliling rumah Indu Baweh. Etak buru-buru ke belakang rumah untuk menyelamatkan ternak-ternak peliharaan. Kedua orang tuanya sedang berada di kebun, sehingga ia harus memperhatikan ternak peliharaannya.
"Indu ... kenapa hanya rumah yang lurus dengan rumah kita yang terkena banjir. Rumah Pak Modang yang jaraknya tiga rumah dari rumah kita, baik-baik saja. Bahkan dia tidak meninggikan pondasi rumahnya." Ara duduk di samping Indu Baweh sembari memandangi banjir yang semakin deras dari teras rumahnya.
"Ah, kau ini. Seperti tidak pernah sekolah saja. Kau lihat jalan yang di seberang rumah kita ini." Indu baweh menunjuk dengan dagunya. "Jalan itu harusnya melewati sungai yang ada di sisi rumah kita ini. Jalan yang dipakai untuk hauling batu bara ini seharusnya tidak menimbun sungai yang sudah ada. Mungkin, membuat jembatan itu sulit bagi mereka. Jadi, ditimbun saja supaya proses hauling lancar."
"Lalu, apa hubungannya banjir dengan jalan hauling?" tanya Ara masih bingung.
Indu Baweh mengetuk kepala Ara, membuatnya mengaduh kesakitan. "Air itu harusnya mengalir ke sungai, karena sungainya ditimbun dan dijadikan jalan, akhirnya air itu limpas ke rumah kita."
"Oooo ...." Mulut Ara membesar membentuk huruf O.
"Sepertinya banjir kali ini makin parah. Kalau hujan tidak segera reda, banjir akan masuk ke rumah kita." Indu Baweh memperhatikan ketinggian air yang tinggal 10 sentimeter dari lantai rumahnya.
"Kenapa setiap tahun banjirnya semakin parah, ya?" gumam Ara.
"Ada banyak penyebabnya. Besar kemungkinan karena sungai yang dimatikan alirannya, juga peran serta pengusaha tambang batubara yang membuat lingkungan kita kekurangan resapan air."
"Indu ... jangan salah-salahin tambang batubara. Paman Lapeh kan kerjanya di tambang batubara," celetuk Ara.
"Sebenarnya, Indu tak ingin menyalahkan adanya tambang. Tapi, teorinya sudah ada sejak dulu. Penggundulan hutan bisa menyebabkan longsor dan banjir. Di sekolahmu sekarang sudah tidak diajari lagi seperti itu?" tanya Indu Baweh.
"Diajari, Indu. Tapi ..."
"Lebih penting uang daripada lingkungan kita." Tiba-tiba Narai ikut bergabung dalam pembicaraan.
"Sudah pulang? Lewat mana? Kok, Indu tak melihat."
"Lewat belakang."
"Ara ... buatkan kopi untuk bapakmu!" pinta Indu Baweh.
Ara segera bangkit, menuju ke dapur untuk membuatkan kopi. Sementara Narai dan Indu Baweh terlibat pembicar aan serius soal keadaan lingkungan yang sudah banyak berubah.
"Huft ... musim panas, panasnya terik sekali dan debu tebal. Musim hujan, kebanjiran." Narai menyandarkan tubuhnya di kursi.
"Sudah kau tanya sama Si Tajir? Apa dia bisa membantu mengatasi banjir di pemukiman ini?" tanya Indu Baweh.
"Sudah."
"Lalu, apa hasilnya?"
"Nihil."
"Kenapa?"
"Katanya ... banjir bukan diakibatkan karena adanya tambang. Sebelum ada tambang, wilayah kita sudah terkena banjir."
"Tapi ... banjir semakin parah seperti ini. Lama-lama kita bisa ditenggelamkan oleh banjir kalau perusahaan batubara dan pemerintah desa tidak segera bertindak. Lalu, apa tanggapan aparat desa?" tanya Indu Baweh lagi.
"Mereka berpihak pada pengusaha tambang."
"Oh ... uang memang bisa menguasai segalanya. Si Tajir sekarang sedang bersenang-senang dengan uang hasil tambangnya. Dia tidak memikirkan nasib warga lain yang merasakan dampaknya seperti ini. Suatu saat, dia akan membayar semuanya. Alam yang akan marah dan membalasnya." Indu Baweh terlihat geram. Bahkan kulit-kulit tua yang menutupi wajahnya tidak bisa menyembunyikan kegeramannya.
"Indu ... tak usahlah kita terus mengeluh! Orang kecil seperti kita ini tidak akan ada yang mendengarkan. Percuma kita mengomel ke sana kemari. Yang berkuasa tetaplah yang punya uang banyak seperti Si Tajir itu.
Indu Baweh manggut-manggut. "Ya, Si Tajir sedang mencoba bermusuhan dengan alam. Ada saatnya alam akan membalas perbuatan Si Tajir dan orang-orang yang seperti dia. Dan Indu yakin ... ketika alam marah, bukan hanya Si Tajir dan antek-anteknya yang jadi korban. Tapi, kita juga yang ada di sekitarnya karena tidak bisa mencegah perbuatan mereka melukai alam." Gigi-gigi Indu Baweh terdengar berkerut menahan emosi.
"Indu ... sabar. Kita hanya perlu berdoa. Semoga mereka disadarkan dan bisa mencintai alam dengan baik."
"Narai ... mereka tidak akan pernah sadar selama uang adalah nomor satu dalam hidup mereka. Bahkan mereka memuja uang melebihi Tuhan."
Narai mulai pusing melihat Indu Baweh yang selalu sibuk mengurusi setiap perubahan yang terjadi di sekitarnya.
"Indu ... sudah tengok si Elok?" Narai mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Kenapa si Elok?" Indu Baweh balik bertanya.
"Dia sakit."
"Sejak kapan? Tak ada yang beritahu Indu. Nanti, antar Indu tengok si Elok!" pinta Indu Baweh.
Narai menganggukkan kepalanya. Tak lama, Ara datang membawakan secangkir kopi bersama dengan Etak. Mereka akhirnya terlibat dalam obrolan seru. Indu Baweh selalu mengaitkan dengan keadaan alam setiap kali Narai bertanya pada Ara dan Etak mengenai sekolah mereka.
Indu Baweh memang sudah tua. Tidak ada pekerjaan lain yang bisa ia lakukan selain mengamati dan menganalisa keadaan sekitarnya. Bahkan, beberapa orang menyebutnya setress atau gila. Beberapa kali Indu Baweh memaki kepala desa karena beberapa infrastruktur tidak berfungsi dengan baik. Ia juga sempat menemui Si Tajir hanya untuk memaki dan mengutuk perbuatannya merusak alam.
Semua warga mengerti dan tidak ada yang berani melawan Indu Baweh. Indu Baweh hanya seorang nenek renta yang butuh seseorang untuk mendengarkan cerita dan keluhan-keluhannya yang oleh sebagian orang dianggap gila. Sebagian lagi menganggap Indu Baweh adalah nenek tua yang cerdas dan bijaksana dalam beberapa hal.

Ada hal yang tidak bisa kita lawan. Ada hal yang tidak bisa kita ubah. Yakni, perubahan yang terjadi di sekitar kita. Semua ditakdirkan untuk berubah setiap detiknya dan kita tidak bisa melawan perubahan. Semuanya memang akan berubah menuju kehancuran, seperti yang telah difirmankan oleh Allah.
 Kiamat (kehancuran) itu pasti.


Ditulis oleh Rin Muna untuk Dunia...
East Borneo, 8 Februari 2019

Saturday, February 2, 2019

Yuk, Kita Kenali 3 Gaya Belajar Anak!


Yuk, Kita Kenali 3 Gaya Belajar Anak!
Pena Kata


Beberapa orang tua sering kali mengeluhkan tentang proses belajar anak di sekolah yang kurang memperhatikan guru ketika di sekolah.  Terlebih ketika anak kita hyperaktif dan kurang merespon terhadap materi yang diberikan guru.
Setiap anak memiliki kemampuan dan gaya yang berbeda-beda. Satu guru mengajari lebih dari 20 orang murid di dalam satu kelas, menjadi tidak efektif melakukan pendekatan pengajaran sesuai dengan gaya belajar anak itu sendiri.

Ada 3 gaya belajar yang perlu kita ketahui agar kita tidak serta-merta menyalahkan anak kita.

  • 1.       Gaya Belajar Auditori (Pendengaran)

Gaya belajar auditori adalah gaya belajar anak yang suka mendengarkan, kaitannya dengan proses belajar menghafal, matematika, mengerjakan soal cerita, membaca dan memahami isi bacaan. Ciri-ciri anak yang memiliki gaya belajar auditori adalah mudah mengingat dari apa yang ia dengar  atau yang sesuatu yang didiskusikan. Anak dengan gaya seperti ini tidak bisa belajar dalam keadaan berisik atau ribut, karena mudah tergoda dengan hal-hal yang didengarnya dan sulit untuk fokus belajar.  Anak lebih senang dengan musik, senang membaca cerita dengan suara keras, lebih suka dibacakan cerita ketimbang membaca, bisa mengulangi apa yang didengarnya, baik nada, irama dan lainnya.
Kendala yang dialami anak ialah sering lupa dengan apa yang dijelaskan oleh guru, kerap keliru mengerjakan tugas yang diperintahkan guru, dan kesulitan mengekspresikan yang dipikirkan.

  • 2.       Gaya Belajar Visual (Penglihatan)

Gaya belajar visual adalah gaya belajar anak yang lebih melihat daripada mendengarkan. Berkaitan dengan proses belajar seperti matematika (geometri), bahasa Mandarin atau Arab atau yang berkaitan erat dengan simbol dan letak-letak simbol.  Perbedaan letak simbol bisa berpengaruh karena ada perbedaan bunyi.
Anak dengan gaya belajar seperti ini mudah mengingat dengan cara melihat, tidak terganggu dengan suasana belajar yang ribut, lebih suka membaca, lebih suka mendemonstrasikan daripada menjelaskan, tertarik pada seni lukis , pahat, daripada seni musik. Sering lupa jika menyampaikan pesan secara verbal kepada orang lain.

  • 3.       Gaya Belajar Kinestetik (Gerak)

Gaya belajar kinestetik adalah gaya belajar anak yang suka bergerak, biasanya ini terjadi pada anak-anak yang hyper aktif. Gaya belajar seperti ini berkaitan dengan proses belajar yang membutuhkan banyak gerak seperti olahraga dan percobaan-percobaan sains.
Anak dengan gaya belajar seperti ini lebih banyak menggunakan bahasa tubuh, menyukai permainan yang menyibukkan secara fisik. Ketika membaca, menunjuk kata-kata dengan jarinya. Kalau menghafal sesuatu dengan cara berjalan atau melihat langsung. Belajar melalui praktik langsung, banyak melakukan pergerakan dan punya perkembangan otot yang baik. Ia juga senang menanggapi perhatian fisik.
Anak kinestetik cenderung tidak bisa diam. Ia biasanya akan memainkan alat belajarnya atau memukul-mukul meja ketika guru sedang memberikan materi. Anak dengan gaya belajar seperti ini tidak bisa belajar di sekolah-sekolah yang bergaya konvensional di mana guru menjelaskan dan anak duduk diam.  Anak akan lebih cocok dan berkembang bila di sekolah dengan sistem active learning, di mana anak banyak terlibat dalam proses belajar.

Tiga gaya belajar anak ini wajib diketahui oleh kita, para orang tua dan guru. Agar anak dapat belajar sesuai dengan gayanya dan kemampuannya. Sebab kita tidak bisa memperlakukan sama antara anak yang memiliki gaya belajar auditori dengan visual.



Sumber Referensi: kompas.com

Resensi Buku | Back to Love


Resensi Buku “Back to Love”
Komunitas Suka Baca Buku


Judul                       : Back to Love
Penulis                    : Kaka HY
Isi                            : vi + 358 hlm; 13x19 cm
Penerbit                  : Gagas Media
ISBN                      : 978-979-780-880-8
Tahun Terbit           : 2018
Harga                      : Rp 75.000

Sinopsis :
Kepergian kekasih bisa membuat seseorang seolah jauh dari perputaran dunia. Kosong. Sepi. Begitulah hari-hari yang tersisa bagi ia yang patah hati, begitu juga Abid. Meski sang kekasih sudah lama meninggalkannya, entah sampai kapan, Abid masih menginginkannya kembali. Sosok Aline tak pernah berhenti mengisi hatinya.
Aline kembali dengan cara yang tak terduga, bersama Fay perempuan yang kerap bersikap tak acuh dengan sekitarnya. Namun, Fay tahu hanya dirinyalah yang mampu mengakhiri kisah Abid dan Aline yang seharusnya telah lama usai. Kisah yang membuatnya seperti tersesat.
Kematian Aline membuat kehidupan Abid berubah seketika. Ia masih terus menyalahkan dirinya sendiri atas kematian Aline. Dia masih terus berharap Aline akan kembali ke kehidupannya. Ada hal yang belum sempat tersampaikan dan itu terus membuat Abid merasa bersalah. Sikapnya dingin, pikirannya tak menentu. Teman-teman Abid perihatin dengan keadaannya yang semakin menyedihkan, dia hidup tapi seperti mati.
Tahun ajaran baru adalah awal Abid bertemu dengan Fay. Gadis biasa yang pandai melukis dan sangat cuek dengan sekitarnya. Kemampuan Fay untuk melihat arwah, membuatnya berkenalan dengan Aline. Aline yang ingin Abid hidup dengan bahagia, terus berusaha meminta tolong pada Fay untuk menyadarkan Abid agar bisa melanjutkan hidup normal seperti biasanya. Sejak itu, Fay dan Abid sering bertemu dalam beberapa kegiatan. Hingga akhirnya, Fay jatuh cinta untuk pertama kalinya pada Abid, namun Abid masih belum bisa menyerahkan cintanya karena masih mencintai Aline.
Setelah meninggalkan Fay karena Abid masuk perguruan tinggi, batinnya mulai mengalami pergulatan. Ia merasa tidak bisa jauh dari Fay dan tidak mengerti apa alasan yang membuatnya ingin selalu dekat dengan gadis itu. Di akhir cerita, Abid memenuhi janjinya untuk menggendong Fay sembari mendaku Gunung Papandayan yang menjadi saksi cerita cinta mereka.

Kelebihan Buku:
Kelebihan dari buku ini adalah alur cerita yang menarik, masa kini, mudah dipahami dan tidak membosankan. Kisah cinta yang terjadi di masa-masa SMA yang begitu manis. Dikemas dalam cerita yang indah dan menarik. Karakter tokohnya kuat dan menarik.


Kekurangan :
Kekurangan dari buku ini, sejauh ini sudah sangat bagus. Tema yang diangkat sangat umum mudah ditebak. Namun, di dalamnya tetap terdapat cerita-cerita cinta yang manis dan menarik yang sayang untuk dilewatkan.

Review Novel | Arok Dedes | Parmoedya Ananta Toer


Resensi Buku “Arok Dedes”
Komunitas Suka Baca Buku



Judul                     : Arok Dedes
Penulis                   : Pramoedya Ananta Toer
Isi                          : xiv + 561 halaman
Penerbit               : Lentera Dipantara
ISBN                     : 978-979-3820-14-9
Tahun Terbit        : Juli 2009
Harga                    : Rp -


Sinopsis :
Buku Roman Politik “Arok Dedes” ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer dan diterbitkan pertama kali pada Desember 1999. Pramoedya Ananta Toer lahir pada 1925 di Blora, Jawa Tengah, Indonesia.  Hampir separuh hidupnya dihabiskan dalam penjara. Penjara tak membuatnya berhenti sejengkal pin menulis. Baginya, menulis adalah tugas pribadi dan nasional. Dan ia konsekuen terhadap semua akibat yang ia peroleh.  Berkali-kali karyanya dilarang dan dibakar. Dari tangannya yang dingin telah lahir lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 42 bahasa asing. Sampai akhir hidupnya, ia adalah satu-satunya wakil Indonesia yang namanya berkali-kali masuk dalam daftar kandidat Pemenang Nobel Sastra.

Buku ini menceritakan tentang roman politik yang begitu apik. Pergulatan batin seorang wanita cantik bernama Dedes. Dan pergelutan politik dengan kecerdikan Arok dalam menjatuhkan kekuasaan Tunggul Ametung.
***
Roman Arok Dedes bukan roman mistika-irasional (kutukan keris Gandring tujuh turunan). Ini adalah roman politik seutuh-utuhnya. Berkisah tentang kudeta pertama di Nusantara. Kudeta ala Jawa. Kudeta merangkak yang menggunakan banyak tangan untuk kemudian memukul habis dan mengambil bagian dari kekuasaan sepenuh-penuhnya. Kudeta licik tapi cerdik. Berdarah, tapi para pembunuh yang sejati bertepuk dada mendapati penghormatan yang tinggi. Melibatkan gerakan militer (Gerakan Gandring), menyebarkan syak wasangka dari dalam, memperhadapkan antarkawan, dan memanasi perkubuan. Aktor-aktornya bekerja seperti hantu. Kalaupun gerakannya diketahui, namun tiada bukti paling sahih bagi penguasa untuk menyingkirkannya.

Arok adalah simpul dari gabungan antara mesin paramiliter licik dan politisi sipil yang cerdik-rakus (dari kalangan sudra/agrari yang merangkakkan nasib menjadi penguasa tunggal tanah Jawa). Arok tak mesti memperlihatkan tangannya yang berlumur darah mengiringi kejatuhan Ametung di Bilik Agung Tumapel, karena perang politik tak selalu identik dengan perang terbuka. Politik adalah permainan catur di atas papan bidak yang butuh kejelian, pancingan, ketegaan melempar umpan-umpan untuk mendapatkan peruntungan besar. Tak ada kawan dan lawan. Yang ada hanya takhta di mana seluruh hasrat bisa diletupkan sejadi-jadinya yang dimau.
Pada akhirnya roman Arok Dedes menggambarkan pera kudeta politik yang kompleks yang “disumbang” Jawa untuk Indonesia.


Kelebihan Buku:
Alur yang sederhana dan mudah dipahami, terutama tentang birokrasi dan politik kerajaan. Penggambaran tokoh, tempat dan kejadian ditulis secara detail sehingga pembaca ikut terbawa masuk ke zaman kerajaan di mana kerajaan Kediri masih berdiri. Ada banyak kejutan dalam buku ini. Arok yang awalnya berada di medan pertempuran untuk menghadapi Tunggul Ametung, ia berpindah ke medan siasat untuk bisa menggulingkan Tunggul Ametung. Juga tentang pergulatan batin Paramesywari Ken Dedes yang jatuh cinta pada Arok dan tidak ingin kedudukannya sebagai Paramesyari Tumapel digantikan oleh Umang, istri pertama Arok yang kastanya jauh lebih rendah daripada dirinya.


Kekurangan :
Kekurangan yang terdapat dalam Novel Arok Dedes adalah gaya bahasa yang digunakan masih ejaan lama dan sulit dimengerti untuk pembaca masa sekarang. Hal ini termasuk wajar karena novel ini diterbitkan pada tahun 1999 dan ditulis pada masa dahulu dengan gaya bahasa sesuai dengan zamannya.










Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas