Showing posts with label Relima Perpusnas RI. Show all posts
Showing posts with label Relima Perpusnas RI. Show all posts

Thursday, October 30, 2025

Sebuah Langkah Kecil Menuju Cahaya Literasi di Kalimantan Timur

 

Sebuah Langkah Kecil Menuju Cahaya Literasi di Kalimantan Timur

Senin, 27 Oktober 2025 menjadi hari yang tak akan mudah kulupakan. Pagi itu, aku melangkah dari Kota Tenggarong menuju Samarinda untuk menghadiri acara Gebyar Anugerah Literasi dan Talkshow di Gedung Olah Bebaya, Pendopo Lamin Etam. Sebuah kegiatan besar yang mengusung tema “Membumikan Literasi, Menumbuhkan Generasi Emas”, dihadiri oleh berbagai tokoh penting—termasuk Gubernur Kalimantan Timur dan Bunda Literasi Kaltim.

Perjalanan yang kutempuh terasa panjang, namun setiap kilometer adalah jejak semangat. Aku datang sebagai bagian dari Relima (Relawan Literasi Masyarakat) Kutai Kartanegara, membawa harapan sederhana: ingin menjadi saksi bahwa gerakan literasi di Kalimantan Timur benar-benar hidup dan dihargai.

Setibanya di Pendopo Lamin Etam, suasana terasa hangat dan penuh semangat. Para pegiat literasi dari berbagai kabupaten hadir dengan wajah berseri. Panggung acara dihiasi dengan nuansa budaya khas Kalimantan Timur, lengkap dengan tarian selamat datang dari siswa SMP Negeri 3 Tenggarong yang menambah suasana megah dan membanggakan.

Bagian paling mengharukan dalam acara ini adalah penganugerahan penghargaan peningkatan kepustakawanan dan literasi masyarakat, yang meliputi tujuh kategori lomba—mulai dari Lomba Perpustakaan SD, SMP, SMA/SMK, Perpustakaan Desa, Lomba Resensi, Mewarnai, hingga Lomba Puisi. Satu per satu nama penerima penghargaan dipanggil, disambut tepuk tangan hangat dari seluruh hadirin. Di antara mereka ada pustakawan, siswa, guru, dan pegiat literasi yang telah berjuang dalam diam untuk menyalakan api baca di lingkungannya masing-masing.

Melihat wajah-wajah penuh haru di atas panggung membuatku teringat pada semua perjuangan kecil di daerah—di rumah baca sederhana, di taman bacaan swadaya, di desa-desa yang jauh dari hiruk pikuk kota. Ternyata, perjuangan mereka tidak sia-sia. Pemerintah Provinsi Kaltim benar-benar memberikan ruang dan apresiasi bagi setiap insan yang mencintai dunia literasi.


Momen paling berkesan adalah ketika aku berkesempatan berjabat tangan langsung dengan Bapak Gubernur Kalimantan Timur. Rasanya luar biasa—campuran antara haru, bangga, dan syukur. Dalam genggaman singkat itu, aku seperti menemukan kembali makna perjuangan kecil yang selama ini kulakukan di komunitas literasi. Bahwa sekecil apa pun upaya kita, ketika dilakukan dengan tulus, akan selalu memiliki arti di mata orang lain.

Aku juga merasa bahagia bisa menyapa Bunda Literasi Kaltim, sosok yang begitu anggun dalam balutan pakaian yang khas dan nyentrik. Ciri khas beliau memang seperti itu dan aku sangat suka melihatnya karena beliau sangat fashionable dan selalu tampil bak ratu kerajaan.

Meski harus mengorbankan acara penutupan pelatihan PKT Jospol di SMK Negeri 2 Tenggarong, aku tidak menyesal sedikit pun. Sebab hari itu aku belajar bahwa perjuangan literasi bukan hanya tentang hadir di tempat yang mudah, tapi tentang berani menempuh jarak demi menyampaikan pesan kebaikan.

Sore harinya aku kembali ke Samboja dengan rasa lelah yang indah. Di jalan, angin sore menampar lembut wajahku, seolah berbisik, “Langkahmu hari ini bukan akhir, tapi awal dari perjalanan panjang menuju terang.”

Dan aku tahu, perjuangan ini belum selesai—karena setiap pertemuan, setiap jabatan tangan, dan setiap cerita yang dibawa pulang… adalah bagian dari sejarah kecil gerakan literasi Kalimantan Timur.








Jejak Senja di Perpustakaan Musholla Al-Fattah, Oleh: Rin Muna

 




Jejak Senja di Perpustakaan Musholla Al-Fattah
Oleh: Rin Muna


Kutai Kartanegara, 23 Oktober 2025



Perjalanan kali ini terasa seperti menulis bab baru dalam buku hidupku—penuh debu jalanan, tawa yang menular, dan rasa syukur yang hangat. Pukul lima sore, langit di Kelurahan Maluhu, Tenggarong, mulai menua. Aku baru saja tiba di Perpustakaan Musholla Al-Fattah, tempat yang sederhana namun berkilau oleh semangat ilmu dan kebersihan yang nyaris menenangkan hati. Tapi sebelum sampai ke sana, perjalanan panjang dari pagi masih membekas di badan.

Pagi itu, aku berangkat lebih awal karena harus mengisi sosialisasi di Perpustakaan Gema Loa Duri Ilir. Selesai kegiatan, aku menunggu waktu makan siang sambil menanti rombongan anggota UMKM Mamuja (Mama Muda Samboja)—Rety, Anis, Eni, dan Alfia—yang masih menempuh perjalanan tiga jam dari Samboja menuju Tenggarong. Mereka semua naik motor, dengan semangat yang tak kalah dari embusan angin jalanan. Aku sempat menjemput mereka di sekitar Desa Purwajaya, lalu kami bersama-sama melanjutkan perjalanan.

Tentu, hidup tak pernah lurus seperti jalan tol—kami sempat mampir dulu ke Desa Rapak Lambur untuk menyimpan barang-barang. Barulah selepas itu, kami melaju menuju Perpustakaan Musholla Al-Fattah.



Saat tiba menjelang magrib, suasana musholla dan perpustakaan itu benar-benar membuat kami terdiam. Lantai yang bersih berkilau, rak-rak buku tertata rapi, dan jamaah yang ramai datang bersahutan dengan azan magrib. Ada kesederhanaan yang menenangkan di sana—seolah setiap halaman buku dan setiap sajadah menyimpan doa tentang keberkahan ilmu.

Kami disambut hangat oleh Bapak Muhammad, pengelola perpustakaan yang begitu ramah dan rendah hati. Beliau bercerita banyak tentang bagaimana musholla ini bukan hanya tempat beribadah, tapi juga tempat menumbuhkan minat baca anak-anak di sekitar. “Ilmu dan iman harus berjalan seiring,” katanya, dengan senyum yang menular.
Pak Muhammad langsung mengajak kami berkeliling. Di pojok kiri bangunan musholla, terdapat Ronda Baca yang tempatnya sangat mewah dan estetik meski ukurannya kecil. Dinding pembatas musholla dipenuhi dengan literasi yang menggugah jiwa. Terdapat tempat bersantai/berdiskusi yang cozy. 
Di belakang bangunan musholla, terdapat ruang mungil berukuran sekitar 2x2meter yang dijadikan sebagai ruang penyimpanan buku-buku. Tepat di sebelah ruangan itu adalah tempat berwudhu untuk pria dan wanita. Tempat wudhu wanita sendiri dibatasi oleh tirai. Sehingga, meski ruangan mungil, tapi para wanita tetap memiliki privasi untuk tidak memperlihatkan aurat mereka pada lawan jenis. 

Bangunan itu terlihat sangat sederhana, tapi terkesan mewah dan rapi. 
Pak Muhammad mengajak kami menaiki tangga yang berada di sisi kanan bangunan musholla. Ah, ternyata itu adalah ruang baca dan ruang belajar untuk anak-anak. Tidak hanya sebagai tempat untuk membaca buku, ruangan itu juga dijadikan pusat belajar untuk mengaji, kelas bahasa Inggris, dll. 


Tak lama, azan berkumandang, dan kami ikut shalat berjamaah. Ada perasaan tenteram yang sulit dijelaskan—mungkin karena di tempat itu, antara buku dan ibadah seolah berdialog dalam diam. Setelah shalat, kami berbincang panjang dengan Bapak Muhammad tentang berbagai kegiatan literasi di Maluhu. Dari obrolan itu, aku belajar satu hal: perpustakaan kecil bisa memiliki jiwa sebesar dunia, asalkan dikelola dengan cinta dan ketulusan.

Malamnya, kami menginap di rumah Ibu Siti, kakak yang sekaligus menjadi teman perjalanan baru kami. Rumahnya sederhana tapi penuh kehangatan. Kami menutup hari dengan obrolan ringan, tawa, dan rencana kecil untuk berkolaborasi suatu saat nanti.

Perjalanan panjang ini membuatku semakin yakin bahwa literasi bukan hanya soal membaca dan menulis, tapi tentang menghidupkan nilai-nilai—tentang bagaimana sebuah musholla bisa menjadi taman ilmu, dan bagaimana komunitas kecil bisa melahirkan inspirasi besar.

Seperti kata Ki Hadjar Dewantara, “Setiap tempat adalah sekolah, dan setiap orang adalah guru.” Maka, hari itu aku merasa telah belajar banyak dari jalan, dari teman seperjalanan, dari buku-buku di rak Musholla Al-Fattah, dan dari keikhlasan orang-orang yang menjaganya.

Perjalanan ini mungkin sederhana, tapi di dalamnya ada makna yang tak sederhana—tentang persaudaraan, perjuangan, dan keyakinan bahwa cahaya literasi bisa tumbuh di mana pun, bahkan di antara sajadah dan rak buku.




Referensi:

1. Ki Hadjar Dewantara. (1935). Pendidikan: Pengaruhnya bagi Kemajuan Bangsa. Taman Siswa Press.


2. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. (2024). Gerakan Literasi Nasional: Panduan Implementasi di Komunitas. Jakarta.


3. Data lapangan pribadi penulis dalam kunjungan ke Perpustakaan Musholla Al-Fattah, Kelurahan Maluhu, Tenggarong (Oktober 2025).




Friday, October 10, 2025

Jejak Kisah di Perpustakaan Cerdas Desa Ponoragan



Desa Ponoragan, 15 September 2025

Langit Kalimantan masih basah oleh embun pagi ketika aku ... Relima Perpusnas RI baru keluar dari rumah untuk menuju ke Perpustakaan Cerdas Desa Ponoragan. Kali ini aku tidak pergi sendiri karena kebetulan suami sedang libur bekerja. Jadi, dia punya waktu untuk mengantar dan menemaniku.

Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih 3 jam, kami sampai juga di Desa Ponoragan. Awalnya, aku berhenti di depan kantor desa karena aku pikir kalau gedung perpustakaan tidak jauh dari kantor Kepala Desa seperti perpustakaan yang lain. Ternyata, ada Ketua BPD yang menyambut kedatangan kami dan mengarahkan kami ke gedung Perpustakaan Cerdas Desa Ponoragan yang letaknya sekitar 1,5 kilometer dari Kantor Kepala Desa.

Sesampainya di depan gedung perpustakaan, aku sangat terkejut karena sudah ada barisan kursi yang tersusun rapi dan cantik, lengkap dengan spanduk bertuliskan "Audiensi Relima". Padahal, aku berniat datang sendiri tanpa pendampingan dari Perpustakaan Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara karena jaraknya masih dekat dan cukup terjangkau oleh sepeda motor.



 Bangunan gedung Perpustakaan Cerdas Desa Ponoragan sangat menarik dan penuh warna. Anak-anak yang datang ke sini juga pasti sangat senang. Terlebih fasilitas di perpustakaan juga sudah sangat baik. Sebab, Perpustakaan Cerdas Desa Ponoragan adalah salah satu juara perpustakaan dan telah terakreditasi.

Di sana sudah berkumpul sejumlah warga, petugas perpustakaan desa, dan unsur pemerintahan desa — kepala desa, sekretaris, bahkan Ketua RT dan perangkat desa. Saat itu, udara penuh kehangatan yang mungkin tidak bisa digambarkan dari huruf-huruf di layar.

Aku ingat satu momen: ketika kami membuka sesi sambutan, Kepala Desa Ponoragan Pak Sarmin berdiri di depan mikrofon, menatap kami dan berkata bahwa perpustakaan itu bukan sekadar tempat menyimpan buku, tapi ruang hidup desa. Ruang di mana warga bisa belajar, berdiskusi, dan membuka jendela dunia.  Ia juga mengatakan bahwa perpustakaan kadang juga dipakai sebagai ruang posyandu, pertemuan PKK atau ruang publik lain karena fungsinya yang fleksibel dan vital bagi masyarakat .

Sambutan itu membekas. Aku merasa seperti disambut ke “rumah besar” di mana Relima hanya tamu yang diijinkan meminjam ruang untuk menabur semangat literasi.

Aku menjelaskan apa itu Relima—gerakan literasi mobile dari Perpusnas yang bertujuan menjangkau wilayah-wilayah yang belum terlayani perpustakaan di tingkat desa. Warga menyimak dengan penuh antusias; beberapa menuliskan pertanyaan di kertas kecil, lalu aku ajak mereka berdiskusi.


Diskusi dengan Pengelola Perpustakaan & Pemerintah Desa sangat menguras emosiku. Pengelola perpustakaan desa menceritakan perjalanan panjang mereka: dari rak buku yang berdebu, sapu pinjaman yang belum teratur, hingga bagaimana mereka menggalang dana kecil dari warga agar perpustakaan tetap hidup. Pemerintah desa juga hadir mendukung penuh. Mereka siap menyisihkan anggaran desa untuk pemeliharaan perpustakaan agar tidak menjadi “projek sekali lalu mati”. Peran Pemerintah Desa tentunya menjadi salah satu hal penting dalam keberlanjutan kegiatan di perpustakaan. Selain pemerintah desa, dukungan dari pemerintah daerah juga mampu membuat fasilitas di Perpustakaan Cerdas Desa Ponoragan menjadi lebih baik dari perpustakaan-perpustakaan lain.




  

Terkadang kita sebagai pihak luar (Relima, Perpusnas) merasa “kami datang menyelamatkan”. Tapi di Ponoragan aku menyadari jika semangat itu ada di warga sejak lama. Kami datang hanya sebagai pemantik. Sambutan hangat dari pengelola perpustakaan dan pemerintah desa membuktikan bahwa mereka mau, mereka siap. Tanpa itu, program apa pun akan sulit lestari.


Sejak acara sosialisasi sampai diskusi, kami melihat bagaimana perpustakaan desa itu menjadi ruang multifungsi, ruang belajar, ruang komunitas, ruang kecil perubahan. Media lokal menyebut bahwa perpustakaan desa Ponoragan dirancang menjadi ruang multifungsi, memberi pelayanan literasi digital bagi masyarakat desa .


Inisiatif Relima harus dibarengi kerjasama dengan perangkat desa, pengelola perpustakaan lokal, komunitas, dan masyarakat luas. Di Ponoragan, perhatian pemerintah desa terhadap literasi dan dukungan logistik menjadi faktor penting agar sosialisasi itu tidak berhenti di “moment”, tapi bisa terus tumbuh.


Saat aku meninggalkan Ponoragan, sesosok cahaya kecil menyala di hatiku: bahwa desa-desa lain pun bisa seperti ini. Bahwa literasi bisa menjangkau tempat paling pinggiran. Bahwa Relima dan Perpustakaan Desa tak lagi menjadi istilah abstrak, tapi jalan konkret memperkuat masyarakat. 


Thursday, October 9, 2025

Deras Hujan Literasi di Rempanga dan Cerita Usai Read Aloud

 


16 September 2025.



Hari itu, udara di Desa Rempanga terasa hangat dan bersahabat ketika kami tiba untuk melakukan kegiatan Read Aloud dan sosialisasi program Relima dari Perpustakaan Nasional RI. Langit masih biru pucat, angin berhembus lembut, dan anak-anak yang duduk bersila di ruang perpustakaan tampak antusias mendengarkan cerita yang kami bacakan. Suasana begitu hidup, penuh tawa, tepuk tangan, dan mata berbinar yang membuat lelah perjalanan terasa lenyap begitu saja.

Sesi Read Aloud menjadi pembuka yang menyenangkan. Kami berbagi kisah dari buku-buku pilihan yang sarat pesan moral dan semangat literasi. Di sela kegiatan, beberapa anak ikut menirukan suara tokoh dalam cerita, ada pula yang dengan polosnya bertanya hal-hal lucu yang membuat kami semua tertawa. Momen sederhana itu terasa istimewa, mengingatkan bahwa literasi bukan sekadar membaca, tetapi tentang menghidupkan imajinasi dan menumbuhkan rasa ingin tahu.


Usai sesi membaca bersama, kegiatan dilanjutkan dengan sosialisasi program Relima. Saya menjelaskan tujuan utama Relima — Revitalisasi Literasi Masyarakat — agar masyarakat desa memahami bahwa keberadaan perpustakaan bukan hanya tempat menyimpan buku, tetapi jantung pengetahuan yang bisa menggerakkan perubahan. Antusiasme warga begitu terasa. Ibu Kepala Desa Rempanga bahkan ikut menanggapi dengan semangat, bercerita tentang bagaimana anak-anak dan remaja di desanya mulai gemar membaca setelah kegiatan literasi sering diadakan.

Namun, begitu kegiatan selesai dan kami berkemas untuk pulang, langit tiba-tiba berubah. Awan gelap menggantung berat di atas atap balai desa, lalu hujan turun deras tanpa jeda. Jalanan desa yang tadinya berdebu seketika berubah menjadi aliran air kecil yang menari-nari di antara rerumputan. Kami semua terjebak di sana, menunggu reda sambil menyeruput teh hangat yang disuguhkan dengan ramah.

Tak lama kemudian, Ibu Kepala Desa datang menghampiri kami dengan senyum tulus. “Sudah hujan begini, jangan pulang dulu. Ayo makan siang,” ujarnya sembari membawakan beberapa bungkus nasi yang ia beli dari warung terdekat. 

Ada sayur asam yang segar, ayam bakar, dan sambal terasi yang menggugah selera. Kami makan sambil berbagi cerita tentang literasi, tentang anak-anak desa, dan tentang hujan yang tak kunjung reda di luar sana.



Hujan di Rempanga sore itu meninggalkan kesan mendalam. Bukan hanya karena kami sempat terjebak cuaca, tetapi karena hangatnya sambutan dan keramahan yang kami terima. Di balik hujan deras dan sepiring nasi hangat, saya menyadari bahwa semangat literasi memang tumbuh dari hal-hal sederhana. Dari tawa anak-anak, dari dukungan pemerintah desa, dan dari kepedulian bersama untuk menyalakan api pengetahuan.


Kami pulang saat hujan mulai reda, dengan hati penuh syukur dan pikiran yang kembali segar. Rempanga memberi pelajaran bahwa literasi bukan hanya tentang buku—tetapi juga tentang hubungan antarmanusia, tentang berbagi, dan tentang kehangatan yang tumbuh dari setiap cerita yang kita bawa.


Monday, October 6, 2025

Mengejar Pagi di Antara Gotong Royong dan Gelombang Siaran Radio IDC Kota Balikpapan

 


Balikpapan, 20 September 2025


Pagi itu aku bangun lebih cepat dari biasanya. Udara Samboja masih basah oleh embun, tapi di kepala sudah ramai daftar kegiatan hari ini. Sebagai ketua RT, aku harus ikut gotong-royong di lingkungan RT 3. Ibu-ibu kelompok Dasawisma Kantil mengajak untuk bergotong-royong membersihkan arena tanam karena ingin memulai kembali menanam sayuran. Di sisi lain, aku juga punya jadwal penting, yaknu mengisi siaran di Radio IDC Balikpapan, mewakili Relima Perpusnas RI lokus Kutai Kartanegara, bersama sahabat Relima Balikpapan (Budi Utomo). Aku tidak boleh terlambat karena jam tayang siaran tidak mungkin diubah. 

Dua peran di hari yang sama, sebagai pemimpin lingkungan dan relawan literasi. 

Aku tersenyum sendiri membayangkannya. Rasanya seperti hidup yang berlari dengan double sepatu. Satu untuk tanggung jawab sosial, satu lagi untuk panggilan jiwa.

Begitu gotong royong selesai, aku langsung bergegas berganti baju, membawa berkas kecil yang berisi catatan tentang program literasi. Suamiku sudah menunggu di depan rumah dengan kendaraan yang mesinnya berderum pelan.
“Sudah siap?” tanyanya.
Aku hanya mengangguk sambil menarik napas dalam. “Siap, asalkan kamu ngebutnya jangan keterlaluan,” kataku setengah bercanda.

Dia tertawa kecil, dan dalam sekejap kami sudah melaju meninggalkan Samboja. Biasanya aku butuh satu jam tiga puluh menit untuk sampai ke Balikpapan jika membawa motor sendiri. Tapi pagi itu, berkat suamiku yang lihai di jalan, kami tiba dalam empat puluh lima menit saja. Aku merasa seperti sedang berpacu dengan waktu, tapi kali ini waktu berpihak padaku.


Pukul 10.00 WITA, siaran dimulai. Suasana studio Radio IDC Balikpapan terasa hangat, penuh antusiasme. Aku duduk di hadapan mikrofon, bersama perwakilan Relima dari Balikpapan, membahas hal yang paling aku cintai, yakni literasi dan gerakan Relima di dua wilayah yang berbeda namun sejiwa, Balikpapan dan Kutai Kartanegara.

Kami bercerita tentang bagaimana Relima hadir sebagai jembatan antara masyarakat dan perpustakaan, tentang semangat relawan yang mendirikan pojok baca di musholla, di rumah pribadi, bahkan di warung kopi. Tentang tantangan menghadirkan buku ke tempat-tempat yang jauh dari pusat kota, dan tentang rasa bahagia ketika melihat anak-anak mulai jatuh cinta pada buku pertama mereka.

Ada satu momen yang paling aku ingat ketika penyiar bertanya, “Apa yang membuat Ibu Rin terus bertahan di dunia literasi, padahal sibuk juga mengurus lingkungan?”
Aku sempat diam beberapa detik, lalu menjawab pelan tapi mantap,
“Karena aku ingin menjadi orang yang bermanfaat seperti pesan Buya Hamka. Aku tidak ingin menjadi orang yang sekedar hidup. Aku ingin punya arti melalui literasi.”

Ruang siaran terasa hening sesaat, lalu tepuk tangan kecil terdengar. Aku tahu, bukan karena kalimatku luar biasa, tapi karena semua orang di ruangan itu merasakannya juga. Kami sama-sama percaya, literasi adalah kerja hati, bukan hanya kerja tangan.




Siaran berakhir sekitar tengah hari. Aku keluar studio dengan rasa lega dan bahagia yang sulit dijelaskan. Suamiku sudah menunggu di luar dengan senyum tenangnya. 

"Tadi dengerin aku siaran, nggak?" tanyaku dengan senyum manja seperti biasa. 

"Nggak," jawab suamiku. 

Aku mengerucutkan bibirku. Sedikit kecewa karena tidak ada komentar dari suami tercinta. 

"Nggak tahu frekuensinya," ucap suamiku lagi. 

Ya sudahlah. Tidak apa-apa. Ada bagusnya juga tidak mendengarkan dan tidak tahu apa yang aku lakukan. Jadi, tidak perlu memikirkan banyak komentar. 

Kami sepakat untuk tidak langsung pulang, tapi beristirahat sejenak di Lapangan Merdeka Balikpapan.

Angin kota berhembus lembut, membawa aroma khas Balikpapan yang selalu kukenal sejak masih remaja. Campuran antara laut, minyak, dan kenangan masa remajaku. 

Aku berjalan menyusuri para pedagang UMKM. Tidak ada yang menarik perhatianku. Sampai kemudian, aku melihat penjual gado-gado yang khas. Aku langsung mengajak suamiku untuk makan gado-gado. Kebetulan, itu makanan kesukaannya juga. 

Kami duduk di bawah pohon rindang sambil menunggu racikan gado-gado datang. Kami berbincang banyak hal, termasuk hal receh yang tidak begitu penting, tapi mampu mengundang tawa bagi kami berdua. 

Dari tempat itu, aku menatap sekitar. Anak-anak berlarian, beberapa keluarga duduk di tepi taman, dan di kejauhan gedung-gedung tinggi Balikpapan berdiri anggun dan penuh ketenangan. Entah kenapa, suasana itu mengembalikan ingatanku ke masa SMA, ketika aku masih bersekolah di SMA Negeri 6 Balikpapan.

Di masa itu, aku mulai jatuh cinta pada dunia tulis-menulis. Aku menulis puisi buku diary, menulis cerita pendek di belakang buku matematika, dan bermimpi suatu hari bisa punya buku sendiri.
Dan kini, bertahun-tahun kemudian, aku kembali ke kota ini, bukan lagi sebagai siswi pemimpi, tapi sebagai perempuan yang masih menjaga mimpinya tetap hidup, lewat tulisan, lewat siaran, lewat kegiatan literasi.

 

Dalam perjalanan pulang, aku berpikir betapa hidup ini seperti buku yang halamannya ditulis dengan berbagai warna. Ada hari-hari penuh tanggung jawab, ada hari-hari penuh mimpi, tapi semuanya tetap saling terhubung.

Menjadi ketua RT, aktif di Relima, menulis, mengisi siaran, dan lain-lain. Semua itu mungkin terdengar melelahkan. Tapi bagiku, itulah caraku menghidupkan literasi, bukan hanya lewat kata, tapi lewat tindakan kecil setiap hari.

Dan tentu, di balik semua langkah itu, ada satu sosok yang selalu setia di sampingku, suamiku. Tanpanya, aku mungkin akan selalu terlambat datang ke setiap acara penting. Tapi dia selalu ada, dengan tawa yang menenangkan dan cara mengemudi yang cepat namun penuh perhatian.


Sore itu, ketika kami meninggalkan Balikpapan, aku menatap langit yang mulai berubah jingga. Ada rasa syukur yang meluap dalam dada. Syukur karena diberi waktu, kekuatan, dan kesempatan untuk terus berbuat baik.

Literasi bukan hanya tentang membaca buku. Ia tentang menulis kehidupan dengan cara yang lebih bermakna. Tentang berbagi cerita, tentang menyalakan cahaya di tempat yang gelap, dan tentang mencintai setiap proses, sekecil apa pun itu.

Aku tersenyum sambil berbisik pada diri sendiri,
“Aku ingin suatu hari nanti punya nama besar seperti Kang Maman atau Najwa Shihab. Supaya aku punya kekuatan besar untuk 
menggerakkan literasi di negeri ini. Aku tidak ingin hanya menunggu dan semuanya jadi hancur karena tak ada satu pun yang bertindak.”

Dan perjalanan hari itu, dari RT 3 Beringin Agung Samboja ke Radio IDC Balikpapan, lalu ke Lapangan Merdeka, menjadi satu bab baru dalam buku panjang bernama kehidupan.

Sunday, October 5, 2025

Read Aloud di Perpustakaan Khasanah Desa Mulia Desa Rempanga

 

Kutai Kartanegara, 16 September 2025

Satu hal yang tidak terpikirkan dalam benakku, aku bisa berkeliling ke banyak perpustakaan dan membacakan buku untuk anak-anak di sana. Biasanya, aku hanya membaca buku untuk anak-anak di taman bacaku saja. Tidak sampai keluar dari desa. 

Pagi ini, aku bersemangat sekali untuk berkunjung ke Desa Rempanga. Desa Rempanga terletak di Kecamatan Loa Kulu, Kabupaten Kutai Kartanegara. Salah satu desa yang memiliki perpustakaan dan mendapatkan bantuan buku dari Perpustakaan Nasional. Oleh karenanya, aku harus mengunjungi perpustakaan ini sebagai bentuk tanggung jawabku sebagai Relima (Relawan Literasi Masyarakat) dari Perpustakaan Nasional. 

Aku sudah bersiap pagi-pagi sekali. Perjalanan dari Samboja ke Loa Kulu tidak sebentar, tapi masih bisa ditempuh dalam waktu sehari. Apalagi kalau ada suami yang mengantarku. Aku bisa sampai lebih cepat daripada aku mengendarai sepeda motor sendiri. 

Cuaca cukup bersahabat. Mendung, tapi tak hujan sepanjang perjalanan dari Samboja sampai ke Loa Kulu. 
Sesuai jadwal, aku tiba di Desa Rempanga pada jam 10 pagi. Aku langsung disambut oleh Rina, petugas perpustakaan Khasanah Desa Mandiri milik Desa Rempanga. Di saat yang bersamaan juga, Pak Triyadi dari perpustakaan daerah Kabupaten Kutai Kartanegara juga tiba di lokasi dengan sepeda motornya. 
Loa Kulu, letaknya tidak jauh dari Kota Tenggarong. Sehingga Pak Triyadi bisa mendampingiku hanya dengan mengendarai sepeda motor. Jelas jauh berbeda dengan lokasi di wilayah hulu yang sulit ditempuh dengan sepeda motor karena jaraknya sangat jauh dan pastinya melelahkan. 
Perpustakaan desa berada tepat di sampung gedung kantor desa. Aku terpesona dengan kondisi perpustakaan ini. Di luar gedung perpustakaan terdapat beberapa gazebo dan literasi tentang tanaman toga yang menjadi program unggulan PKK. 


Saat aku masuk ke dalam ruang perpustakaan, sudah ada beberapa anak dan orang tuanya yang hadir di dalam perpustakaan tersebut. Pengelola perpustakaan sudah memberikan kabar bahwa akan ada kegiatan Read Aloud atau Membaca Nyaring yang akan aku isi. 
Aku segera menyapa anak-anak dengan ceria dan membacakan buku untuk mereka sembari berinteraksi.
Sebagian besar dari mereka adalah anak-anak yang belum bisa membaca, sehingga saat antusias dalam mendengarkan cerita. Sampai tidak mau berhenti dibacakan cerita dan minta nambah lagi. Sayangnya, waktuku terbatas. Aku tidak bisa berlama-lama karena sudah ada jadwal kegiatan berikutnya yang menanti. 
Meski aku sudah selesai membacakan buku, tapi kegiatan belum selesai. Karena ada Ibu Kepala Desa yang juga ikut membacakan buku. 
Wah, aku tidak menyangka kalau ternyata Ibu Kepala Desa langsung yang berkontribusi dalam kegiatan Read Aloud ini. Beliau juga sangat antusias dalam membacakan buku. 
Setelah Ibu Kepala Desa membaca nyaring untuk anak-anak, semua bisa langsung pulang untuk beristirahat. Karena aku tahu, para ibu juga punya banyak pekerjaan rumah dan tanggung jawab di rumah yang harus ditunaikan. Jadi, aku tidak akan meminta waktu terlalu lama. 
Sebelum berpindah ke kegiatan berikutnya, aku berbincang bersama Ibu Kepala Desa. Di sana juga ada beberapa siswa SMA yang sedang magang dan membantu aktivitas di perpustakaan. Jadi, kegiatan di perpustakaan bisa lebih teratur dan tertata jika dibantu oleh anak magang. Sebab, ada yang membantu pengelola perpustakaan. 
Perpustakaan akan berjalan dengan baik jika pengelolanya diberi honor. Pengelola perpustakaan di desa ini diperlakukan sama seperti staff desa atau menjadi bagian dari staff desa. Sehingga operasional perpustakaan bisa berjalan dengan baik. 



Walau bagaimanapun, manusia butuh makan. Sejatinya perpustakaan bukan hanya menjadi sumber ilmu, tapi juga sumber kehidupan. 


Terima kasih banyak sudah membaca tulisan kecil ini. Semoga, kita bertemu dalam keadaan baik dan penuh berkah dari Allah. 


Salam literasi Relima Perpusnas RI lokus Kabupaten Kutai Kartanegara. 

Dari hati untuk masa depan bangsa. 



Monday, September 29, 2025

Relima Lokus Kaltim Hadir Membersamai Kegiatan Kang Maman di Kota Balikpapan

 

Minggu, 28 September 2025


Siapa yang menyangka kalau anak desa sepertiku bisa bertemu dengan penulis nasional sekelas Kang Maman? 

Menjadi Relima Perpustakaan Nasional, membuatku memiliki privilege yang luar biasa. Salah satunya adalah mengenal sosok Kang Maman yang begitu bersahaja bagiku. 

Pertama kali bertemu beliau di acara Badan Bahasa tahun 2024 saat Festival Literasi Nasional. Bukan hanya bertemu beliau, tapi juha bertemu banyak penulis terkenal seperti Helvi Tiana Rosa, Okky Madasari, dan lain-lain. 
Saat aku mengikuti Festival Literasi, aku bertemu dengan banyak penulis yang karyanya diterbitkan oleh Perpustakaan Nasional. Dalam hati kecilku berkata, "Kapan ya aku bisa menjadi bagian dari Perpustakaan Nasional?" 

Buatku, menjadi bagian dari Perpustakaan Nasional adalah hal yang sangat istimewa. Kenapa? Karena untuk masuk ke Perpusnas bukanlah hal yang mudah. Satu esai saja bisa diterbitkan oleh Perpusnas, itu adalah hal yang istimewa. Sistem kurasi naskah di Perpustakaan Nasional tidak main-main. Sulit sekali untuk bisa menembus benteng editor karena standar naskah Perpusnas sangatlah tinggi. 
Alhamdulillah, Allah menjawab pertanyaanku dengan memberikan kesempatan menulis esai tentang praktik baik pemanfaatan bantuan 1000 buku di taman bacaku yang difasilitasi oleh Forum TBM. Esai itu langsung diterbitkan oleh Perpusnas dan menjadi buku antologi karya pertamaku yang diterbitkan oleh Perpustakaan Nasional. 
Kemudian, Allah juga memberikan sebuah kesempatan besar di tahun ini di mana aku bisa menjadi bagian dari keluarga besar Perpusnas RI melalui program Relima (Relawan Literasi Masyarakat). 
Program Relima ini membuatku mengenal lebih jauh tentang sosok Kang Maman. Karena beliau juga yang mewawancaraiku saat seleksi Relima Perpusnas RI. Beliau juga menjadi bagian dari Satgas Relima dan memberikan pendampingan intens selama perjalanan Relima. Membuatku begitu bahagia bisa mengenal lebih dekat penulis nasional yang satu ini. 

Beberapa hari yang lalu, Kang Maman memberi kabar kalau beliau akan ke Kaltim pada tanggal 28 September 2025. Awalnya, kami tidak tahu beliau datang dalam acara apa. Ternyata, acara bedah buku yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia. 
Saya dan teman-teman Relima lokus Kaltim berusaha untuk mendaftar. Ternyata, pendaftaran sudah ditutup karena sudah penuh. Kami menghela napas kecewa, tapi tidak berhenti berusaha. 

Kebetulan, aku dan Pak Budi Utomo tergabung dalam komunitas BWF (Balikpapan Writer Festival). Ada beberapa peserta yang mengundurkan diri karena berbagai hal, sehingga kami bertiga bisa masuk untuk memenuhi kuota dan bisa menjadi peserta dalam acara Talkshow dan Bedah Buku Mahligai Nusantara 2025 yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia Balikpapan. 
Jadwal acaranya pukul 11.00 WITA. Sementara, pagi hari aku masih harus gotong-royong bersama ibu-ibu dasawisma RT 3 karena kebetulan aku juga Ketua RT. Jadi, aku punya tanggung jawab untuk mengikuti kegiatan gotong-royong terlebih dahulu. 
Pukul 09.30 pagi, aku mohon izin untuk pulang lebih dahulu karena harus ke Balikpapan. Awalnya, aku ingin berangkat sore. Tapi, sayang juga kalau sampai melewatkan acara di Bank Indonesia karena Pak Budi Utomo sudah mengusahakan mendapatkan tiket masuk untuk kami. 

Meski terlambat, aku masih bisa mengikuti acara dan melihat Kang Maman dari kejauhan. Aku sengaja tidak mendekat karena beliau sudah sangat sibuk dikerubungi oleh banyak orang. Aku pikir, aku juga akan punya sesi khusus dengan beliau di balik layar tanpa harus berebut dengan yang lain. Jadi, aku tidak perlu ikut berebut dan membuat Kang Maman kelelahan nantinya. 

Usai acara BI, aku mengajak teman-teman Relima untuk beristirahat sejenak sambil ngopi. Aku pilih Batavia Coffee sebagai tempat untuk kami bersantai. Karena tempat ini termasuk tempat yang familier bagiku. Sebelumnya, aku pernah diajak ngopi ke tempat ini bersama Ketua Forum KIM Kukar dan GM BSB. Jadi, tempat ini tidak asing bagiku meski jarang aku kunjungi. Tidak banyak yang berubah. Batavia Coffee tetap menjadi tempat favorite untuk nongkrong karena pemandangan lautnya yang indah, juga design taman yang aesthetic. 

Usai sholat Ashar, kami langsung bergeser ke Gramedia MT Haryono. Di sana, kami ikut kegiatan Kang Maman lagi tentang dunia kepenulisan. 
Usai acara, kami menunggu Kang Maman berfoto bersama panitia. Aku dan teman-teman tidak mau mengganggu sesi panitia. Karena, itu sudah menjadi jatah mereka. Panitia memang selalu memiliki keistimewaan dengan narasumber. Setelah sesi foto bersama panitia selesai, aku dan teman-temannya Relima menghampiri Kang Maman untuk memastikan sesi selanjutnya bisa bersama kami.
Kang Maman langsung tersenyum sumringah menyambut kedatangan kami. Beliau bahkan membelikan buku gratis untuk kami yang beliau bayar dengan uang pribadinya. Alhamdulillah, aku tidak mengeluarkan uang untuk membayar karena ada Kang Maman. Kemudian, kami berfoto bersama sebagai kenang-kenangan. 

Acara dengan Gramedia MT Haryono Balikpapan selesai pukul 19.00 WITA. Ternyata, panitia dari Gramedia masih ada kegiatan bersama Kang Maman. Yakni, mengajak untuk makan malam bersama terlebih dahulu. 
Aku hampir hopeless karena tidak ada sesi khusus lagi bersama Kang Maman jika menunggu usai makan malam. 
Tapi Kang Maman dengan cepat berdiskusi dengan panitia Gramedia untuk mengajak kami bertiga bersamanya. Jadi, kami juga ikut serta makan malam bersama dan mengobrol banyak hal. Aku juga mendapatkan kesempatan untuk berkolaborasi dengan Gramedia dalam pergerakan literasi di daerah. Semoga, bisa terwujud dengan cepat dan bermanfaat untuk masyarakat luas, terutama untuk anak-anak daerah yang kesulitan mengakses bahan bacaan karena toko buku Gramedia sangat jauh dari tempat kami. 



Terima kasih untuk Bank Indonesia Balikpapan dan Gramedia MT Haryono yang telah mengundang Kang Maman sehingga kami bisa bertemu dan berkeluh kesah tentang perjalanan Relima, terutama Relima Kukar yang letak geografisnya sangat menguji kesabaran. 

Sunday, September 21, 2025

Perpustakaan Desa Sangkuliman - Perpustakaan Mengagumkan di Hulu Sungai Kutai Kartanegara

 


Cerita Septemberku dimulai dari Desa Pela. Salah satu desa wisata yang menjadi destinasi favorite bagi turis mancanegara. Sebab, disinilah hewan langka khas Kalimantan bisa dilihat dan menjadi momen yang sangat langka. Ya, di sinilah pemandangan pesut yang beratraksi di air menjadi hal yang mewah bagi para turis. 

Ceritaku kali ini bukan sekedar tentang Desa Pela dan perairannya yang luar biasa. Namun, ada cerita lain di baliknya. Yakni, cerita di Desa Pela Baru. Masyarakat lokal lebih sering menyebutnya Desa Sangkuliman. 
Desa Sangkuliman memiliki banyak cerita unik. Mulai dari cerita perpindahan penduduknya, cerita tentang wisatanya, juga tentang buku-buku yang terpajang begitu indah dan rapi. 



Yang membuatku lebih kagum lagi, di sini ada sebuah perpustakaan yang dikelola secara pribadi oleh Bapak Rojali. Beliau membagi sebagian sudut rumahnya untuk dijadikan perpustakaan. 

Sebagai pegiat literasi, aku sangat mengerti bagaimana perjuangan mendirikan taman baca atau perpustakaan dengan uang pribadi. Tentunya bukan hal yang mudah. Banyak dilema yang terus bergelut di kepala dan tubuh para pegiat literasi. 

Bahkan, pemerintah desa yang seharusnya memiliki kebijakan untuk menyisihkan anggarannya, masih banyak yang tutup mata dengan kehadiran perpustakaan. Bahkan, mereka menganggap perpustakaan tidak perlu ada dalam keseharian mereka. 

Sebelum kami menuju Perpustakaan BMT (Bertata, Menata, Tertata), kami lebih dahulu mengunjungi Kantor Kepala Desa Sangkuliman. Kami mencoba untuk bertemu dengan Kepala Desa atau Sekretaris Desa. Namun, mereka tidak ada di tempat. Padahal, aku datang bersama Ibu Kepala Bidang Pembinaan Perpustakaan. Sangat disayangkan kami tidak bisa bertemu langsung dengan mereka. Hanya ada staff desa dan satu orang staff desa mendampingi kami ke lokasi perpustakaan. 

"Argh! Ternyata lokasi perpustakaannya masih jauh dari Kantor Kepala Desa," batinku. 

Kami salah memilih dermaga. Harusnya, kami langsung ke Perpustakaan BMT supaya tidak perlu jauh-jauh pergi ke sana. 

Dengan bantuan dari staff desa, kami menuju ke Perpustakaan BMT menggunakan sepeda motor. Letaknya tidak begitu jauh. Tapi cukup ngos-ngosan kalau kami harus jalan kaki. Terlebih ada Ibu Kabid yang datang bersama kami. 



Kami merasa sangat nyaman. Perpustakaan BMT cukup sejuk dam rindang. Ada banyak kegiatan yang telah dilakukan di perpustakaan ini. 
Pak Rojali, selaku pengelola perpustakaan BMT, mengajak kami untuk berkeliling desa Sangkuliman. Namun, kami tidak bisa berlama-lama berkunjung di tempat ini karena ada 4 Perpustakaan Desa yang harus kami kunjungi dalam 1 hari. Hal ini dimaksudkan agar kami bisa meminimalisir biaya perjalanan, biaya makan, dan biaya penginapan. 
Tak hanya itu. Pak Rojali juga menyiapkan banyak makanan/cemilan yang begitu banyak untuk kami. Beliau juga membelikan kami makan siang. Aku tahu, beliau pasti menggu akan dana pribadi untuk menjamu kehadiran kami. Sebab, tidak ada peran dari pemerintah Desa terhadap kegiatan-kegiatan yang kami lakukan, seperti kunjungan ini. 
Kami langsung berpamitan begitu selesai makan siang. Pak Rojali mengantarkan kami sampai di dermaga. Di perjalanan, aku berbincang dengam beliau. Aku menyempatkan diri untuk mengambil video bersamanya selama beberapa detik. Aku harap, video itu bisa aku simpan dan aku tonton beberapa tahun lagi sebagai pengingat bahwa masa mudaku pernah menginjakkan kaki ke tempat yang istimewa ini. 

Tuesday, September 9, 2025

Press Release : Diarpus Kukar Komitmen Mendukung Pergerakan Relima Perpusnas RI Hingga Ke Pelosok

 


Diarpus (Dinas Kearsian dan Perpustakaan) Kutai Kartanegara berkomitmen penuh dalam mendukung pergerakan Relima Perpusnas RI di Kabupaten Kukar. 

Pada bulan Juli 2025, Relima Perpusnas RI lokus Kukar telah melaksanakan koordinasi dengan pihak Diarpus Kukar tentang pergerakan Relima (Relawan Literasi Masyarakat). Kepala Dinas Kearsipan dan Perpustakaan menyambut baik dan siap mendukung sepenuhnya pergerakan Relima Kutai Kartanegara dengan memperhatikan regulasi yang ada. 

Sesuai data yang diberikan oleh Perpustakaan Nasional, Relima Kukar akan melaksanakan audiensi ke 45 Perpustakaan Desa, Perpustakaan Khusus, dan Taman Baca yang telah mendapatkan bantuan dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. 

Kendala terbesar yang dialami Relima Kukar ialah letak geografis yang sangat luas. Kabupaten Kutai Kartanegara memiliki luas wilayah 54 kali lipat dari kota Balikpapan. Bahkan, 1 kecamatan di Kukar bisa lebih luas dari Kota Jakarta. Lokasi perpustakaan yang mendapat bantuan juga jaraknya sangat jauh dan Relima Kukar belum mengetahui kondisi wilayah secara geografis maupun budayanya. 

Untuk mengatasi kendala tersebut, Relima Kukar mengirimkan surat permohonan pendampingan kepada Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Kabupaten Kutai Kartanegara. Surat permohonan disambut dengan baik. Diarpus Kukar bersedia mendampingi pergerakan Relima hingga selesai. 

Pendampingan pertama kali dilaksanakan di Kecamatan Marang Kayu pada tanggal 25-27 Agustus 2025. Relima didampingi oleh 3 orang staff Diarpus Kukar, yakni Hj. Arlina, S.Pd selaku Pustakawan Ahli Muda, Mida Israwardhini dan Sopyan Agus selaku Pustakawan Terampil. Mereka berkunjung ke 3 lokasi sesuai data penerima bantuan. Yakni, Komunitas SMP Negeri 5 Marang Kayu Desa Semangko, Perpustakaan  Iqro' Smart Desa Perangat Baru, dan Perpustakaan  Pustaka Terang Desa Santan Ilir. 

Selanjutnya, pendampingan Relima Lokus Kukar dilaksanakan di Kecamatan Kota Bangun pada tanggal 01-02 September 2025. Relima Kukar didampingi langsung oleh Kepala Bidang Pembinaan Perpustakaan (Nur Azizah Abdul Bahri, S.H), Pustakawan Terampil (Triyadhy,  J), dan  Penata Layanan Operasional (Sri Wahyuni, S.H). Ada 5 desa yang harus dikunjungi dalam 2 hari yang jaraknya jauh-jauh. Yakni, Desa Pela, Desa Sangkuliman, Desa Liang, Desa Liang Ulu, dan Desa Kota Bangun 3. 

Pendampingan masih akan terus berlanjut hingga bulan Desember nanti. Relima Perpusnas RI Lokus Kukar akan melakukan kunjungan/audiensi ke Kecamatan Sanga-Sanga, Kecamatan Loa Kulu, Kecamatan Loa Janan, Kecamatan Tenggarong, Kecamatan Tenggarong Seberang, Kecamatan Muara Muntai, dan Kecamatan Muara Badak. 












Wednesday, September 3, 2025

Keseruan Read Aloud di Perpustakaan Pustaka Terang Desa Santan Ilir

 


Kenapa ada Relima di Kukar? 
Apa sebenarnya tujuan Relima datang ke desa-desa? 

Kutai Kartanegara merupakan salah satu daerah yang ditentukan oleh Perpustakaan Nasional untuk didampingi agar pemanfaatan buku dapat berjalan dengan baik dan mampu meningkatkan literasi. 

Dalam Laporan Akhir Kajian yang dirilis oleh Perpusnas RI, Laporan Akhir Kajian pada tahun 2023, menunjukkan tingkat IPLM (Indeks Pembanguna  Literasi Masyarakat) di Kutai Kartanegara sebanyak 56,94%. Kemudian mengalami peningkatan sebanyak 62,57 pada tahun 2024.

Oleh karenanya, pemerintah berupaya meningkatkan literasi dengan berbagai cara. Salah satu upaya terbaru yang dilakukan oleh Perpusnas RI ialah dengan meluncurkan program Relima. 

Relima (Relawan Literasi Masyarakat) berperan untuk menginventarisasi dan mendampingi perpustakaan dan taman baca yang menerima bantuan dari Perpusnas RI. 

Desa Santan Ilir, Kecamatan Marang Kayu adalah salah satu desa yang mendapatkan bantuan buku dari Perpustakaan Nasional. Oleh karenanya, sebagai Relima Kukar, aku memiliki tanggung jawab moral untuk bersilaturahmi dan mendampingi perpustakaan ini. 

Dua hari sebelumnya, aku sudah berkegiatan di Kecamatan Marang Kayu, yakni di SMP Negeri 5 Marang Kayu dan Perpustakaan Iqro' Smart Desa Perangat Baru. 


Pagi-pagi sekali aku sudah bersiap-siap. Karena jarak tempatku menginap dengan Desa Santan Ilir cukup jauh. Jadi, aku harus bersiap lebih pagi agar aku bisa sampai tepat waktu. 
Pagi ini aku tidak lagi didampingi oleh staff Pusda. Sebab, SPT mereka hanya 2 hari. Sementara, aku masih ada 1 jadwal lagi yang harus aku lakukan di Desa Santan Ilir. Jadi, aku berangkat seorang diri dengan sepeda motor. 
Karena aku menggunakan sepeda motor, kemungkinan aku akan sampai lebih cepat. 
Benar saja, aku sampai di Kantor Desa Santan Ilir sekira pukul 09.30 WITA. Sekdes Desa Santan Ilir telah menjadwalkan kegiatan pada pukul 10.00 WITA. 





Pukul 09.30 WITA, aku sudah sampai di Perpustakaan Desa "Pustaka Terang" Desa Santan Ilir. Bersamaan dengan petugas perpustakaan dan peserta Read Aloud dari sekolah terdekat. Awalnya aku pikir yang datang adalah murid-murid TK/PAUD. Ternyata, yang datang adalah murid-murid SD. Otomatis, aku harus menyesuaikan bahan bacaan yang cocok untuk jenjang usia mereka. 

Kegiatan membaca nyaring berjalan dengan seru. Kami banyak berfoto ria. Di penghujung acara, Sekdes Desa Santan Ilir memberikan souvenir kepada saya dan saya menyambutnya dengan bahagia. 
Setelah kegiatan Read Aloud selesai, aku langsung diarahkan ke ruang rapat yang ada di lantai 2 kantor desa tersebut untuk melakukan kegiatan selanjutnya, yakni melakukan sosialisasi Relima kepada seluruh lembaga desa dan masyarakat di Desa Santan Ilir. 

Tuesday, September 2, 2025

Sosialisasi Relima Kukar di Desa Santan Ilir: Menyalakan Cahaya Literasi dari Ruang Rapat Desa

 


Sosialisasi Relima Kukar di Desa Santan Ilir: Menyalakan Cahaya dari Ruang Rapat Desa

📅 27 Agustus 2025
📍 Desa Santan Ilir, Kecamatan Marang Kayu, Kutai Kartanegara


Langit Santan Ilir siang itu tampak cerah dan tenang. Dari lantai dua kantor desa, aku bisa melihat pemandangan desa yang tenang, pepohonan yang rimbun seolah menjadi peneduh dalam menjalankan semangat literasi yang hendak kami bawa hari itu.

Setelah kegiatan Read Aloud pagi di Perpustakaan Desa Pustaka Terang milik Desa Santan Ilir, langkahku berlanjut ke ruang rapat lantai dua Kantor Kepala Desa Santan Ilir, tempat sosialisasi Relima akan digelar.

Ruang rapat itu sederhana, namun penuh kehangatan. Di sana telah hadir Kepala Desa Santan Ilir, lembaga desa, tokoh masyarakat, akademisi, serta masyarakat yang aktif di kegiatan perpustakaan. Beberapa dari mereka masih menenteng buku bacaan anak yang tadi digunakan untuk kegiatan membaca nyaring.

Di tengah tumpukan dokumen, gelas kopi, dan kipas angin yang berputar pelan, kami membicarakan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar tumpukan buku, yakni tentang masa depan literasi di desa.


Kenapa Ada Relima di Santan Ilir?

Pertanyaan itu kembali kuucapkan, seperti yang pernah kutulis di blog sebelumnya.

“Kenapa ada Relima di Kutai Kartanegara?”
“Apa sebenarnya tujuan Relima datang ke desa-desa seperti Santan Ilir ini?”

Aku lalu menjelaskan bahwa Relima (Relawan Literasi Masyarakat) adalah bagian dari upaya Perpustakaan Nasional RI untuk memastikan bantuan buku dan sarana baca benar-benar dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat.
Relima bukan hanya mengirimkan buku, tapi menghidupkan buku-buku itu, menjadikannya bagian dari denyut kehidupan sehari-hari.

Kehadiran kami di Santan Ilir bukan sekadar menjalankan program, tapi menyambung tali silaturahmi pengetahuan antara pemerintah, masyarakat, dan para penjaga kecil literasi yang bekerja diam-diam di perpustakaan desa.

Diskusi berlangsung hangat. Kepala desa bercerita tentang rencana memperluas jangkauan perpustakaan agar bisa melayani lebih banyak warga. Sekretaris Desa juga terlihat bersemangat dan antusias untuk menyalakan api literasi di desa ini. Kurasa, desa ini akan segera menjadi desa yang maju dan penuh prestasi lewat peningkatan kemampuan literasi.

Aku ingin di tempat ini buku-buku bisa hidup. Ia tidak berdiam di rak buku, tapi berdenyut di antara percakapan warga dan secangkir kopi.


Menjelang sore, sinar matahari masuk lembut dari jendela besar. Cahayanya jatuh ke meja, menyinari wajah-wajah lelah tapi bahagia.
Di bawah sana, anak-anak masih berlarian di sekitar perpustakaan desa, membawa buku yang mereka pinjam pagi tadi. Suara mereka bercampur dengan desir angin, menciptakan harmoni yang menenangkan.

Sebelum acara berakhir, Kepala Desa menyalamiku sambil tersenyum.

“Terima kasih sudah datang jauh-jauh untuk berbagi semangat,” katanya.
“Kadang kami hanya butuh diingatkan bahwa membaca itu penting.”

Aku mengangguk, menahan haru.
“Dan saya datang untuk itu, Pak,” jawabku, “mengingatkan, bukan dengan kata-kata besar, tapi lewat langkah kecil.”

Ketika kegiatan selesai, aku langsung berpamitan untuk pulang. Desa ini tampak tenang, tapi aku tahu di dalamnya ada semangat yang baru saja menyala.
Semangat untuk membaca, menulis, dan terus belajar.

Dalam perjalanan pulang, suara mesin motor berpadu dengan desir angin sore. Di kepalaku, terulang percakapan tadi. Tentang perpustakaan, anak-anak, dan masa depan. Dan aku tahu, perjalanan hari itu bukan hanya tentang sosialisasi, tapi tentang keyakinan.

Keyakinan bahwa literasi bisa mengubah arah hidup banyak orang, sejauh mana pun mereka dari kota.

Desa Santan Ilir hari itu bukan hanya lokasi kegiatan, tapi cermin kecil dari impian besar bangsa ini. Di ruang rapat yang hangat itu, aku belajar bahwa literasi tak akan pernah mati selama masih ada orang-orang yang mau menjaga nyalanya.

Karena sesungguhnya, literasi bukan hanya tentang membaca buku.
Ia adalah tentang membaca kehidupan, memahami manusia, dan berani menulis ulang masa depan dengan pena harapan.

Dan hari itu, di Santan Ilir, aku melihat sendiri, cahaya kecil itu telah menyala.





Suatu hari nanti aku akan kembali ke desa ini dan mendengarkan cerita-cerita luar biasa dari masyarakatnya.

Sunday, August 31, 2025

Workshop Jurnalistik, Teknik dan Tips Menulis Press Release

 


Kamis pagi, 28 Agustus 2025, aku masih berada di Desa Perangat Selatan, Marang Kayu. Sudah 4 malam aku menginap di rumah orang tua temanku, Linda. 

Pukul 08.00 WITA, aku harus mengikuti acara Workshop Jurnalistik yang diselenggarakan oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Kaltim di Kota Samarinda. 

Untuk bisa sampai ke Samarinda, aku harus menempuh perjalanan sekitar 2 jam. Jadi, aku harus bangun lebih pagi karena harus berkemas lebih dahulu. 
Usai mandi dan  sholat subuh, aku langsung cepat-cepat mengemasi barang-barangku. Kebetulan, tugas kerjaku di Marang Kayu sudah selesai. Jadi, aku sekalian pulang ke Samboja setelah mengikuti acara di DPK (Dinas Perpustakaan dan Kearsipan) Samarinda. 

Aku tidak langsung nyelonong pulang begitu saja. Sebenarnya, aku menunggu Linda datang karena rumahnya berbeda dengan rumah orang tuanya. Tapi, Linda tak kunjung datang hingga pukul 06.30 WITA. Sementara aku tidak bisa menunggu lebih lama karena aku juga harus datang tepat waktu di kantor Dinas Perpustakaan Provinsi Kaltim. 

Tepat pukul 06.30 WITA, aku berpamitan dengan keluarga Linda dan berangkat ke kota Samarinda. Aku sampai di DPK Kaltim tepat pukul 08.10 WITA. 

Begitu memarkirkan motor, aku langsung menghubungi Bunda Yeni. Salah satu staff DPK Kaltim yang aku kenal dan bertugas di ruang majalah. 

Aku melangkah memasuki pintu gedung DPK Provinsi Kaltim, menyusuri lorong dengan santai menuju ruang majalah yang ada di gedung ini. 

"Assalamualaikum ...!" sapaku sembari menarik pintu kaca ruang majalah. Ruangan itu terlihat sepi, tapi dapat kulihat kepala berbalut kain warna pink itu menyembul di antata tumpukan buku yang tersusun tinggi di atas meja. 
"Waalaikumussalam ...!" Bunda Yeni menyahut. Ia langsung bangkit dari kursi dan menyambutku dengan hangat. Kami berpelukan sejenak untuk saling melepas kerinduan. 
"Sama siapa ke sini?" tanya Bunda Yeni. 
"Sendirian," jawabku. 
"Pakai motor?"
"Iya."
"Memang wanita tangguh," ucap Bunda Yeni. 
Aku hanya tertawa kecil menanggapi ucapan Buna Yeni. 
Kami berbincang selama beberapa saat. Kemudian, aku mohon izin untuk bergeser ke ruang rapat Oemar Dachlan yang bersebelahan dengam ruang majalah. 
Di depan pintu ruang rapat, sudah ada petugas registrasi yang menanti. Aku langsung mencari namaku dan menandatangani kehadiran. Kemudian, aku pergi ke toilet sebelum memasuki ruang rapat. Kebetulan, acara belum dimulai. Jadi, aku tidak tergesa-gesa untuk masuk ke ruangan. 

Tak lama kemudian, acara dimulai. Acara dibuka dengan sambutan dari Plt. Kepala Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Provinsi Kaltim, Endang Effendi. 

Kegiatan ini dimoderatori oleh Bapak Dr. Sudarman, M. Pd. yang merupakan akademisi dari Universitas Mulawarman. 

Materi pertama disampaikan oleh Bapak Syafruddin Pernyata, M. Hum (Ketua GPMB Kaltim). Pemateri yang satu ini menjadi favorite-ku karena beliau begitu ramah dan asyik dalam menyampaikan materi. Terkadang jokes yang beliau lempar membuat peserta tertawa.. Hal itulah yang membuatku rindu untuk bertemu dan mendengarkan cerita-cerita dari beliau. 
Sepanjang materi, aku menyimak dengan baik pemaparan tentang Teknik dan Tips Menulis Press Release. Beliau menyampaikan tentang perbedaan menulis berita di Website dan Media Sosial. Berita di Media Sosial lebih cepat dan singkat, sehingga banyak diminati. Namun, pemberitaan di media sosial yang tidak lengkap juga memiliki sisi negatif, yakni hoax. Sementara, berita pada website lebih tersusun rapi, terstruktur dan dapat dipertanggungjawabkan.

Materi berikutnya disampaikan oleh Muhammad Fachri Ramadhani, S.I.Kom (Editor Online Tribun Kaltim) yang memberikan materi tentang "Kesalahan pada Press Release". Ternyata, kesalahan yang terjadi saat press release akan memberikan dampak negatif pada organisasi/kelompok/perorangan yang menjadi pokok utama dalam berita tersebut. Press Release yang baik akan menghasilkan berita yang baik pula dan bisa sampai ke masyarakat dengan baik.

Kegiatan yang direncanakan selesai pada pukul 15.00 WITA, ternyata bisa selesai lebih awal. Kami keluar dari ruangan saat adzan dzuhur, tapi masih ada satu kegiatan lagi yang harus dilaksanakan, sehingga kami tidak diizinkan pulang oleh panitia.

Aku langsung melangkah keluar dari ruang rapat dan masuk ke ruang majalah. Aku meminta izin pada Bu Yeni untuk mengisi daya ponselku dan sholat dzuhur di ruangan tersebut terlebih dahulu. Awalnya, Babe Syafruddin Pernyata mengajakku untuk sholat berjamaah di musholla. Tapi aku memilih untuk sholat di ruang majalah karena ruangan tersebut memiliki bilik kecil yang biasa dipergunakan untuk sholat.

Usai sholat dzuhur, aku bergabung dengan teman-teman untuk makan siang terlebih dahulu sebelum kembali ke ruangan. Begitu panitia mengintruksikan untuk kembali ke ruang rapat, maka kami semua bergegas melangkah masuk kembali ke ruangan tersebut.

Aku pikir, masih akan ada materi tambahan. Ternyata tidak. Kami hanya diminta untuk berfoto bersama karena memang belum ada sesi foto bersama semua peserta dan narasumber.

Aku yang terlambat masuk ruangan, langsung berlari untuk bergabung dengan teman-teman yang lainnya. Di tengah sesi foto, tiba-tiba terdengar musik Jamrud yang begitu khas, yakni lagu Selamat Ulang Tahun.

Semua peserta bersuka cita menyanyikan lagu "Selamat Ulang Tahun" yang ditujukan kepada Babe Syafruddin pernyata yang kebetulan sedang berulang tahun hari ini, tepat pada tanggal 28 Agustus 2025.

Panitia memberikan kejutan kecil kepada Babe Syafruddin Pernyata dan kami pun ikut terlarut dalam suasana pelatihan yang begitu hangat.

Setelah selesai berfoto-foto ria, semua peserta membubarkan diri karena acara sudah usai. Aku melangkah keluar ruangan, sama seperti yang lain. Ada harapan kecil yang tersemat di genggaman tanganku. Semoga, aku bisa membawa literasi yang lebih baik di daerahku.
Aku tahu, workshop jurnalistik seperti ini bukanlah hal baru untukku. Aku sudah sering mengikuti pelatihan/workshop tentang jurnalistik. Tapi aku masih punya keinginan besar untuk belajar sesuatu yang baru. Motivasi terbesarku selain belajar hal-hal baru adalah bisa bertemu dengan orang-orang yang sejalan dengan dunia literasi, yakni orang-orang yang mencintai buku.
Bisa bertemu dengan Bunda Yeni, Babe Syafruddin Pernyata, dll. adalah momen yang sangat mahal bagiku. Aku tidak hanya harus mengeluarkan uang bensin untuk bisa bertemu dengan mereka. Aku juga sudah mengerahkan seluruh waktu dan tenagaku untuk bisa sampai di tempat ini. Begitu sulitnya bertemu dengan orang-orang hebat ini. Terkadang, kita tidak bertemu lagi sampai 1 atau 2 tahun ke depan.
Semoga Allah berikan kesehatan dan kemudahan rezeki untukku agar aku bisa memberikan dedikasi yang baik untuk negeriku, juga bisa lebih sering bersilaturahmu kepada senior-seniorku. Aamiin.

Saturday, August 30, 2025

Read Aloud di Desa Perangat Baru

 

Selasa pagi, 26 Agustus 2025, langit pagi di Desa Perangat Selatan sangat cerah. Tapi, aku tidak buru-buru pergi mandi. Aku ingin sedikit bersantai sebelum aku pergi menuju Desa Perangat Baru.
Sebelumnya, aku harus bersiap-siap sebelum jam 7 pagi karena harus menempuh perjalanan jauh. Kali ini aku lebih santai karena Desa Perangat Baru dapat ditempuh dalam waktu 10 menit dari tempatku menginap. 
Tepat pada jam 10.00 WITA, aku sampai di Kantor Desa Perangat Baru. Staff di sana sudah menungguku. Bahkan, beberapa warga sudah menunggu di ruang BPU desa tersebut. 
Aku langsung masuk ke ruang kantor tersebut dan melakukan inventarisasi aset-aset yang dimiliki oleh perpustakaan desa tersebut. 
Tak lama kemudian, kami bergeser ke ruang BPU untuk melakukan sosialisasi Relima kepada masyarakat Desa Perangat Baru. 
Saya merasa sangat senang karena mendapat sambutan baik dari masyarakat desa tersebut. 
Sosialisasi Relima selesai tepat pada pukul 12.00 WITA. Kepala Desa Perangat Baru langsung mempersilakan kami untuk makan siang usai sholat dzuhur. 
Tak cukup sampai di situ. Pihak pemerintah desa Perangat Baru juga telah menyiapkan kegiatan berikutnya, yakni Read Aloud. 
Perpustakaan desa di sini telah memiliki bangunan sendiri. Design bangunan juga memiliki gaya arsitektur yang unik. Hanya perlu beberapa langkah dari kantor desa untuk bisa sampai ke gedung perpustakaan. 
Saat memasuki gedung Perpustakaan Iqro' Smart, aku langsung disambut dengan tumpukan buku-buku yang sedang dipilah oleh pengelola perpustakaan. 
Ada sekitar 2.000 buah buku di perpustakaan ini. 1000 buku bantuan dari Perpusnas sudah tersusun rapi di rak. Sementara sisanya masih diletakkan di dalam kardus karena belum memiliki rak buku. 
Bangunan perpustakaan ini berlantai kayu ulin yang khas. Namun, terhubung dengan ruangan yang dibangun permanen. Di dalam ruangan itulah anak-anak TK/PAUD Kusuma Bangsa telah berkumpul untuk membaca buku bersamaku. 
Wajah-wajah mungil murid TK itu sangat antusias dan ceria. Membuatku  begitu bersemangat untuk membaca nyaring. Sayangnya, aku tidak sempat menyiapkan hadiah kecil untuk mereka, sehingga ada beberapa anak yang asyik main sendiri dan tidak memperhatikan apa yang sedang kubaca. Tapi tak apa, hal normal bagi anak-anak jenjang TK/PAUD.
Usai Read Aloud, aku langsung pamit pulang. Namun, ada hal yang menarik perhatian sebelum pulang. Ternyata, buku-buku di sana belum dikatalogisasi. Sehingga, aku memberikan saran dan masukan untuk segera dikatalogisasi agar mudah dalam mencari buku bacaan. 
Setelah semua selesai, aku kembali berpamitan untuk pulang. Kali ini benar-benar pulang. 
Aku mengendarai sepeda motor menuju Perangat Selatan. Sesampaiya di rumah, aku langsung beristirahat. Aku harus re-charge energi untuk esok hari. Sebab, esok harinya aku masih harus giat ke Desa Santan Ilir yang jaraknya sekitar 2 jam dari Desa Perangat Selatan. 
"Sehat-sehat, ya, badan! Masih banyak amanah dari Tuhan yang harus kita jalankan!" 💪💪💪




Thursday, August 28, 2025

Perjuangan Relawan Literasi di Ujung Perbatasan Kukar | Audiensi Relima Ke SMP Negeri 5 Marang Kayu Desa Semangko

 


25 Agustus 2025.

Pagi-pagi aku sudah disibukkan dengan banyak hal, padahal aku sedang menginap di rumah orang. Karena aku bangun kesiangan, jadi semuanya terkesan terburu-buru. 
Perjalanan semalam cukup melelahkan. Aku harus menempuh perjalanan sekitar 5 jam dari Samboja untuk bisa sampai ke sini. Jadi, tubuhku cukup lelah sehingga baru bangun di jam enam pagi. 
Aku langsung bergegas mengurus suamiku. Sebab, ia harus segera pulang ke Samboja untuk bekerja. Dia hanya mengantarku ke tempat ini karena aku tidak berani mengendarai motor seorang diri di malam hari. 
Menurut informasi, bus jurusan Bontang-Balikpapan akan tiba pada pukul 07.30 WITA. Jadi, kami harus bergegas agar tidak ketinggalan bus. 
Kami bergegas menuju salah satu rumah makan, tempat biasanya bus ngetem di sana. 
Begitu suamiku berangkat ke Samboja dengan menggunakan bus, aku langsung kembali ke rumah. Menunggu staff Pusda Kukar yang mendampingik datang. 
Awalnya, aku ingin pergi ke Desa Semangko menggunakan sepeda motor, tapi Staff Pusda melarangku dan memintaku untuk ikut serta dalam mobil mereka. 

Sekitar jam sembilan pagi, kami mulai bergerak menuju SMP Negeri 5 Marang Kayu yang terletak di Desa Semangko, Kecamatan Marang Kayu. 

Begitu sampai di SMP Negeri 5 Marang Kayu, kami disambut dengan baik dan ramah oleh Kepala Sekolah (Bapak Parmaiyanto, S.Pd, M.Pd). 

Kami berbincang sejenak di ruang kepala sekolah. Kemudian, aku memilih untuk berdiskusi dengan murid-murid tentang literasi dan bagaimana menjadikan perpustakaan sekolah sebagai pusat belajar, bukan sekedar ruang tempat menyimpan buku yang tak pernah dilirik, apalagi dijadikan tempat yang nyaman untuk berkegiatan. 

Dalam kegiatan diskusi dengan murid-murid, aku bisa menangkap bahwa pemikiran mereka tentang literasi hanya sebatas membaca. Padahal, literasi jauh lebih luas dari membaca di mana goals dari literasi adalah untuk kesejahteraan. 

Dalam diskusi, aku juga menyampaikan kepada pengelola perpustakaan dan kepala sekolah untuk memiliki akun instagram dan website yang bisa memublikasikan kegiatan-kegiatan sekolah dan juga prestasi sekolah. Sebab, SMP Negeri 5 Marang Kayu termasuk sekolah yang sangat aktif dan memiliki banyak prestasi, tetapi tidak terpublikasikan dengan baik. 

Usai berdiskusi dengan murid-murid, aku bergeser ke ruang perpustakaan untuk melakukan inventarisasi. Namun, ada hal tak terduga ketika aku mempertanyakan keberadaan buku bantuan dari Perpusnas RI. 
Pihak sekolah menyatakan tidak pernah menerima bantuan buku dari Perpusnas RI. Hal ini tentu mengejutkanku dan mencoba untuk menelusuri keberadaan buku bantuan tersebut. 


Aku segera menghubungi Kepala Desa Semangko. Mungkin saja buku bantuan dari Perpusnas RI masih nyangkut di kantor desa. Tetapi, kepala Desa juga mengatakan tidak menerima bantuan dan tidak ada BAST buku bantuan dari Perpusnas RI yang disalurkan ke SMP Negeri 5 Marang Kayu. 

Setelah berdiskusi selama beberapa saat, aku berpamitan untuk pulang. Maka, aku punya PR baru untuk menelusuri keberadaan bantuan buku tersebut bersama Satgas Relima Perpusnas RI di kantor pusat Jakarta. 

Perjalananku tak selesai sampai di sini. Aku dan tim Pusda Kukar masih harus pergi ke Desa Santan Ilir untuk mengambil visum perjalanan Staff Pusda karena mereka hanya bisa mendampingiku selama 2 hari, sementara kegiatanku akan dilakukan selama 3 hari. Alhasil, kami harus bergerak ke Desa Santan Ilir terlebih dahulu meski nantinya aku akan kembali ke desa tersebut pada tanggal 27 Agustus 2025 sesuai jadwal. 

Ternyata, Desa Santan Ilir berada di ujung perbatasan antara Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kota Bontang. Jalan menuju ke desa tersebut juga rusak dan sulit dilalui mobil karena sedang ada proyek pembangunan jalan. Hal ini, menjadi bahan pertimbangan kami untuk pulang melalui jalan lain, yakni lewat Bontang. 

Jarak tempuh pulang ke rumah tentunya lebih lama dan melelahkan agar mobil tetap aman (tidak nyangkut). Untungnya, kami menggunakan mobil. Jadi, aku bisa tidur sebentar di perjalanan. 

Aku baru sampai di Perangat Selatan menjelang magrib. Awalnya, aku pikir akan pulang saat tengah hari sehingga aku bisa ikut nonton pertandingan volly di Perangat Selatan. Tapi, perjalanan panjang membuatku tak bisa menonton pertandingan volly. Aku memilih untuk berbaring di kamar, mengistirahatkan tubuh dan pikiran yang sudah lelah beraktifitas seharian. 

Ada jiwa yang harus aku re-charge secepatnya karena esok harinya masih ada giat Relima di Desa Perangat Baru. 



[Cerita Relima Kukar] Semangatku Dimulai dari Marang Kayu

 



Embun pagi di Desa Perangat Selatan begitu menyejukkan. Langit terlihat cerah meski matahari belum terbit. Cuaca pagi di desa ini cukup dingin, tapi juga ada sedikit kehangatan. 
Aku menyusuri jalan aspal tanpa alas kaki. Katanya, ini baik untuk melancarkan peredaran darah. Sekaligus aku bisa menikmati pemandangan pagi yang indah.
 
Sudah satu malam aku menginap di rumah orang tua temanku yang berada tepat di kilometer 79 jalan poros Samarinda-Bontang. 

Awalnya aku bingung harus menginap di mana. Terlebih aku tidak pernah pergi ke Marang Kayu dan tidak punya kenalan di tempat ini. Tapi kemudian, Allah memberikanku sebuah kesempatan yang baik. 
Ternyata, aku punya kenalan bernama Linda. Dia tinggal di Perangat Selatan. Aku rasa, Perangat Selatan berada di Kecamatan Marang Kayu. Kami berkenalan saat mengikuti pelatihan konstruksi di Smart Academy sekitar tahun 2018.

Ah, ternyata sudah 7 tahun berlalu dan kami tidak pernah bertemu. Tapi Linda masih menyimpan nomorku, begitu juga sebaliknya. Sehingga kami kerap saling tahu lewat psan Whatsapp. Terkadang kami menyapa sesekali. 

Satu hari sebelum keberangkatan, aku mengirimkan pesan pribadi pada Linda. Dia langsung menyambutku dengan ramah. Bisa kupastikan kalau Linda berada di wilayah Marang Kayu. 

Sebelum bertanya soal penginapan, Linda memberikan tawaran lebih dahulu untuk menginap di rumahnya saja. 

"Wah ...! Serius!?" Mataku langsung berbinar. Baru saja aku ingin meminta izin untuk bisa menginap di rumahnya. Tapi Linda memberikan tawaran lebih dulu. 

Tentunya aku sambut dengan sangat bahagia. Sebab, ini bisa mengurangi biaya penginapanku. Sebab, Relima tidak ditanggung biaya perjalanan dan penginapannya oleh Perpusnas RI. 

Aku merasa lega setelah aku bisa mendapatkan tempat untuk menginap. Setidaknya, aku tidak harus menginap di musholla/masjid untuk menghemat pengeluaran. 

Aku langsung bersiap-siap pergi ke Desa Perangat Selatan, Kecamatan Marang Kayu. Awalnya aku ingin berangkat pagi hari, tapi tidak bisa kulakukan karena aku masih harus mengisi kegiatan di daerahku. 

Pagi hari di tanggal 24 Agustus, cuaca hujan. Hingga tengah hari, hujan tak kunjung reda. 

"Ya Allah, gimana mau berangkat ke Marang Kayu kalau hujan terus kayak gini? Apa nggak kemalaman sampai sana?" batinku sembari menatap langit yang sedang mendung dari balik jendela kamarku. 

Aku berbaring di dalam kamar sembari menunggu cuaca bagus. Selain hujan yang mengguyur, listrik di kampung kami juga padam. Setiap listrik padam, jaringan seluler juga ikut menghilang entah ke mana. Membuatku tak bisa melakukan apa pun selain berdiam diri di dalam kamar. Aku menunggu waktu menunjukkan pukul 12.00 WITA karena asa jadwal menjadi juri lomba pada jam 12.30 WITA. 

Sementara itu, suamiku masih sibuk berkutat si teras belakang rumah. Ada beberapa pekerjaan rumah yang harus ia rapikan dan aku tidak berani mengganggunya. 

Tepat di jam 3 sore, suamiku menyelesaikan pekerjaannya. Kami pun segera bersiap-siap untuk pergi ke Perangat Selatan menggunakan sepeda motor. Kami pun masih harus memenuhi undangan khitanan dari salah satu guru Arga di sekolah. 

Tepat di jam 17.30 WITA, kami baru keluar dari jalan polewali kilometer 48. Dengan cepat, suamiku melaju kencang menuju ke Kecamatan Marang Kayu. 
Setelah melewati banyak drama, akhirnya kami sampai di Perangat Selatan pada jam 22.30 WITA. 

Aku kira rumah kayu bercat biru itu adalah rumah Linda. Ternyata bukan. Ini adalah rumah orang tua Linda. Rumah Linda masih jauh dari tempat ini dan berada di tempat yang sepi. Itulah mengapa orang tua Linda meminta agar aku menginap di sini saja agar aku tidak kesepian. 

Karena hari sudah malam, suamiku ikut menginap semalam. Ia baru pulang pagi harinya menggunakan bus rute Bontang-Balikpapan karena dia harus bekerja. 

Rumah mungil milik orang tua Linda ini sangat hangat dan ramah. Semua menyambutku dengan begitu baik, terutama Linda. 
Aku bisa menginap di rumah ini tanpa harus mengeluarkan biaya penginapan. Bahkan, setiap pagi sudah tersedia sarapan untukku. Sungguh, ini adalah berkah yang luar biasa dari Allah. 
Aku bersyukur, Allah selalu pertemukan aku dengan orang-orang baik. Aku merasa sangat terbantu ketika aku diberi tempat menginap yang sehangat ini. 
Meski bangunannya sederhana, tapi isi di dalamnya sangat mewah bagiku. Aku merasa begitu nyaman sampai aku sering bangun kesiangan setiap paginya. Untungnya, semua kegiatan Relima dijadwalkan pada jam 10 pagi. Jadi, aku tidak terlalu terburu-buru. 

Pagi ini, aku siap memulai perjalanan Relima Kukar dari Perangat Selatan. Aku akan berkegiatan selama 3 hari karena 3 desa ya g ada di sini berjauhan. Hari pertama aku harus ke Semangko, jarak tempuhnya sekitar 1,5 jam dari Perangat Selatan. Hari Kedua aku bergiat di Desa Perangat Baru. Desa ini cukup dekat, hanya 10 menit saja dari rumah Linda. Hari Ketiga aku harus ke Desa Santan Ilir yang jarak tempuhnya sekitar 2 jam dari Perangat Selatan. 

Kunjungan-kunjungan ini harus menggunakan dana pribadi karena tidak di-cover oleh Perpusnas RI. Sehingga, aku harus menghemat biaya perjalanan dan penginapan agar pengeluaranku tidak membengkak. 

Sebagai relawan, aku dituntut untuk selalu ikhlas menjalani segalanya. Bahkan, aku merasa kalau aku bukan hanya sebagai relawan literasi untuk Perpusnas RI, tapi juha sebagai donatur untuk kegiatan ini. 

Apa diriku sudah kaya sampai harus jadi donatur? Semoga saja segera diberi banyak kekayaan. Supaya kalau aku bergiat sebagai relawan, aku tidak perlu mikir dua kali untuk mengeluarkan uang pribadiku. Aku yakin, Allah pasti akan menolongku. Ia tidak akan membiarkan aku berjalan seorang diri selama itu berada di jalan kebenaran. 

Jika kamu membaca tulisan ini, maka bacalah tulisan-tulisanku yang lain. Bantu aku untuk menghasilkan uang yang bisa aku sedekahkan untuk mencerdaskan anak-anak bangsa lewat literasi dan juga membantu anak-anak Palestina. 
Terima kasih.. 🙏

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas