Lion melangkah perlahan memasuki pondok kecil yang
berada di belakang bukit dan dipenuhi oleh pepohonan yang lebat. Di punggungnya
sudah ada keranjang besar berisi buah dan sayuran yang akan ia bawa ke villa
pembunuh bayaran itu.
Lion bisa keluar dari villa setelah berhasil meyakinkan
semua penjaga yang ada di sana jika ia membutuhkan banyak bahan makanan untuk
makan malam, sementara semua bahan sudah habis. Iya sudah mengatur semuanya
agar bahan makanan habis dan dia bisa keluar dari villa itu untuk mencari bahan
makanan di hutan.
“Kakek ...!” panggil Lion lirih sambil membuka pintu
pondok yang tidak pernah terkunci itu. Dinding pondok yang jarang-jarang,
membuatnya bisa melihat tubuh kakek meski ia berada di luar pondok.
Kakek tua yang selama ini mengajari Lion untuk
mengendalikan indera keenamnya, langsung menoleh ke arah sumber suara. “Kamu
masih di sini? Kakek pikir, kamu sudah kembali ke Jakarta.”
Lion segera meletakkan keranjang buah dan sayuran ke
lantai dan duduk bersila di hadapan kakek. Tak lupa ia menyalami dan mencium
punggung pria tua itu sebagai tanda hormat.
“Kek, ada hal darurat yang tidak bisa saya ceritakan. Ini
berhubungan dengan nyawa seseorang yang sangat penting dalam hidup saya. Kakek
sangat tahu siapa orang yang mengirimku ke sini. Siapa pun dia, tolong berikan
surat ini secepatnya, Kek! Nyawa kami semua sedang terancam. Sebisa mungkin
Kakek jangan melewati villa mewah yang ada di balik bukit ini. Mereka sangat
berbahaya. Tolong kami, Kek!” pinta Lion tanpa basa-basi sembari menyodorkan
sepucuk surat yang sudah ia tulis agar ia bisa mendapatkan pertolongan. Sebab,
tidak ada listrik dan sinyal di hutan itu. Handphone miliknya tak pernah lagi
menyala sejak ia tinggal dan berlatih di dalam hutan.
Kakek tua itu mengangguk. “Gunakan kemampuanmu untuk
kebaikan. Sebab, orang jahat di bumi sudah sangat banyak. Jika tidak ada
kebaikan, dunia ini akan hancur lebih cepat.”
Lion mengangguk. “Terima kasih banyak, Kek! Saya tidak
tahu harus minta tolong pada siapa lagi. Mohon maaf sudah merepotkan Kakek
untuk yang kesekian kalinya. Jika saya berhasil mengendalikan semuanya dan bisa
kembali ke Jakarta, saya akan ajak Kakek hidup di sana bersama saya.”
Kakek tua itu menggeleng. “Kakek lebih bahagia hidup
menyatu dengan alam.”
Lion tersenyum sembari memasangkan kembali keranjang di
punggungnya. “Kalau begitu, saya akan sering mengunjungi Kakek. Saya akan
kumpulkan banyak uang, supaya bisa sering ke sini,” ucapnya.
Kakek tua itu mengangguk-anggukkan kepala.
Lion segera berpamitan dan bergegas pergi meninggalkan
pondok kecil itu. Iya menggendong keranjang berisi buah dan sayur-sayuran yang
ia petik dari hutan tersebut, kemudian kembali ke villa untuk memasak dan
menyiapkan makan malam.
***
Di saat bersamaan...
“What they want?” tanya Cakra pada Alvaro karena mereka
tidak mendapat kabar apa pun tentang Chessy. Ia berharap ada seseorang yang
menghubunginya untuk bernegosiasi. Pikirannya sudah mulai kacau karena ia
kehilangan jejak Chessy selama empat hari.
Kalimantan pulau yang sangat luas. Delapan puluh
persennya masih hutan dan tidak ada CCTV yang terpasang sepanjang jalan antar
kabupaten/kota atau provinsi. Hal inilah yang membuat Cakra kehilangan jejak
dan membuatnya nyaris gila.
Drrt... Drrt... Drrt...!
Cakra langsung menatap layar ponselnya yang berdering.
Ia enggan mengangkat panggilan telepon dari ibunya tersebut. Ia tidak sanggup
jika terus-menerus membohongi ibunya. Ia juga tidak bisa mengatakan tentang apa
yang terjadi pada Chessy karena takut jika ibunya akan khawatir dan juga
menyalahkan dirinya. Meski ia sudah dewasa dan mampu membuat keputusan sendiri,
hal paling menakutkan dalam dirinya adalah mendengar omelan dari sang mama.
“Nggak mau diangkat, Cak?” tanya Alvaro. Meski ia tidak
ikut melihat layar handphone Cakra, tapi ia bisa mengetahui jika orang yang
menelepon itu adalah ibunya. Sebab, sudah berkali-kali juga Mama Rose
menghubunginya dan ia memilih untuk menuruti permintaan Cakra, yakni membohongi
ibunya sendiri dengan mengatakan jika Cakra dan Chessy sedang berlibur ke
Venezuela.
Cakra menggeleng. “Katakan sana jika aku masih
berlibur!”
Tak lama kemudian, ponsel Alvaro berdering dan yang
menelepon adalah orang yang sama, yakni Mama Rose.
“Tidak perlu diangkat, Al! Kita fokus saja mencari
Chessy. Aku tidak ingin menambah masalah. Mama bisa saja menyusul dan membuat
pikiran kita pecah.”
Alvaro mengangguk. Ia sangat setuju dengan Cakra karena
Mama Rose tipe ibu yang tidak mau diam dan pastinya akan ikut campur jika itu
berurusan langsung dengan keadaan menantunya.
“Cak, kalau kita nggak pernah nemuin Chessy lagi,
gimana?” tanya Alvaro sambil menyandarkan kepalanya ke kursi mobil.
Cakra terdiam. Pertanyaan Alvaro benar-benar menusuk ulu
hatinya. Ia baru saja menemukan wanita yang selama ini ia nanti kehadirannya.
Ia baru saja merasakan menjadi pria yang sangat dicintai. Bagaimana bisa ia harus
kehilangan sebelum ia bisa benar-benar membahagiakan Chessy?
Alvaro menghela napas kasar. “Weslah, Cak. Golek bojo
maneh, ae. Piye?” candanya sambil merangkul pundak Cakra.
“Tidak semudah itu, Al.”
“Apanya yang sudah buat seorang Cakra? Kamu tinggal
tunjuk aja cewek mana yang mau kamu jadikan istri. Nggak mungkin ada cewek yang
nolak meski jadi istri ke sepuluh,” ucap Alvaro menggoda.
Cakra menatap tajam ke arah Alvaro. “Kamu sudah bosan
hidup? Aku bisa patahkan kaki dan tanganmu sekarang juga!”
Alvaro tergelak mendengar ancaman Cakra. “Nggak usah
terlalu serius gitu! Nggak perlu setegang ini juga, Cak! Rileks ... rileks ... supaya
bisa berpikir jernih dan kita dapetin jalan buat nemui. Chessy.”
“Kamu boleh mengajakku bercanda setiap saat. Tapi tidak
menjadikan istriku sebagai bahan candaan!” sentak Cakra.
Alvaro terdiam. Ia menghela napas dan memilih untuk
diam. Ia tidak tahu lagi cara apa yang bisa ia gunakan untuk menghibur Cakra
dan membuat suasana tidak lagi menegangkan. Mengingat adik sepupunya itu sudah
tidak tidur selama empat hari empat malam karena mencari keberadaan istrinya.
“Bos, ada telepon dari nomor asing,” ucap Fikri yang
sedang mengendarai mobil. Begitu sampai di kota Balikpapan, mereka sudah
mendapatkan fasilitas kendaraan dari anak perusahaan yang ada di kota tersebut.
“Cepet angkat! Siapa tahu Chessy!” perintah Alvaro.
Fikri segera menepikan mobilnya terlebih dahulu,
kemudian mengangkat telepon.
“Halo ...!”
“Ini Cakra Hadikusuma!?” tanya seseorang dari seberang
sana dengan nada suara yang tinggi.
Cakra langsung merebut ponsel dari tangan Fikri.
Sementara, Alvaro langsung membuka laptop dan berusaha untuk mengecek lokasi
dari si penelepon.
“Kamu siapa?” tanya Cakra.
“Nggak penting aku siapa. Kamu lagi cari istrimu, kan?
Istrimu ada di tangan kami.”
“Berani-beraninya kalian menyentuh istriku!” sentak
Cakra penuh amarah.
“Hahaha. Emang kamu siapa? Kamu pikir kami takut, hah!?”
“Kembalikan istriku segera atau kuhabisi kalian semua!”
ancam Cakra.
“Hahaha. Sebelum kamu menghabisi kami, kami pastikan
kalau kami akan menghabisi istrimu lebih dahulu.”
“Kamu!?” Cakra menahan geram mendengar suara seseorang
di seberang sana.
“Antarkan uang lima ratus milyar ke kota Manado. Setelah
kami menerima uangnya, kami akan melepaskan istrimu!”
“Manado?” Cakra mengerutkan keningnya.
“Ya. Kami kasih waktu 24 jam untuk sampai ke Manado.
Jika kami tidak menerima uangnya dalam waktu dua puluh empat jam, akan kami
habisi wanita ini dan kami kirimkan kepalanya untukmu!” ancamnya.
Belum sampai menyahut, panggilan telepon tersebut sudah
ditutup. Cakra tak lagi punya kesempatan untuk berbicara.
“Fik, kita kembali ke bandara!” perintah Cakra pada
Fikri.
“Sebentar, Cak! Lokasi penelepon ini bukan di Manado,
tapi di Kalimantan. Jaraknya sekitar 500 mil dari sini,” ucap Alvaro.
Cakra menaikkan sebelah alisnya. “What do you mean?”
tanyanya.
“Kemungkinan besar Chessy masih ada di kota ini,” jawab
Alvaro. “Biar aku yang pergi ke Manado. Kamu cari keberadaan Chessy di titik
koordinat yang sudah aku temukan.”
Cakra mengangguk. “Berapa banyak uang yang kamu
butuhkan?”
“Yang penting cukup untuk menggerakkan anggota di Manado,”
jawab Alvaro.
“Fik, berapa banyak uang cash yang bisa dikeluarkan hari
ini?” tanya Cakra.
“Sesuai perintah Pak Bos. Dana di rekening pribadi
unlimited, tidak seperti rekening perusahaan,” jawab Fikri.
“Oke. Ambilkan lima ratus milyar dan kirimkan ke Manado
bersama Alvaro!” perintahnya.
“APA!? Kamu nyuruh aku bawa uang cash sebanyak itu?
Nggak bisa ditransfer aja? Aku nggak bisa bawa barang terlalu banyak. Lagian,
nggak perlu siapin uang sebanyak itu. Begitu aku temuin pennjahatnya, bakal
langsung kuhabisi. Mereka nggak akan dapet sepeserpun dari kita.”
“How about my wife?” tanya Cakra.
“Kamu selamatin dia duluan. Setelah berhasil, aku bakal
habisi mereka semua tanpa melukai Chessy,” jawab Alvaro.
“Lokasi penelepon itu termasuk lokasi blank spot. Susah
dapetin sinyal kecuali mereka punya pemancar sendiri, “ ucap Alvaro lagi.
“So?”
“Kamu juga harus bawa pemancar!” jawab Alvaro sambil
mengeluarkan sebuah benda dari tas ranselnya. “Ini pemancar sinyal punyaku.
Pakai ini untuk menghubungkiku!”
“Kamu sendiri, bagaimana?”
“Gampang! Nanti aku minta kirimin lagi sama King. Manado
itu kota besar, bukan daerah pelosok seperti Sangkulirang,” jawab Alvaro
santai. Ia segera mengemas laptop dan beberapa perangkat elektronik miliknya ke
dalam ransel.
“Aku turun di sini. Biar aku yang urus penjahat di
Manado itu,” ucap Alvaro lagi. “Aku juga sudah minta bantuan dari Polda Kaltim.
Mereka akan kirim prajurit terbaik mereka untuk dampingi kalian,” lanjutnya.
“Thank you so much, Al,” ucap Cakra.
“Kita saudara. Nggak perlu sungkan!” sahut Alvaro. Ia
segera keluar dari mobil Rubicon tersebut dan membiarkan Fikri melaju kencang
meninggalkannys.
((Bersambung ...))