Cerita Kehidupan yang Menginspirasi dan Menghibur by Rin Muna a.k.a Vella Nine

Showing posts with label Novel The Cakra. Show all posts
Showing posts with label Novel The Cakra. Show all posts

Monday, May 26, 2025

The Cakra Bab 125 - How to Save Her? || a Romance Novel by Vella Nine

 


Lion melangkah perlahan memasuki pondok kecil yang berada di belakang bukit dan dipenuhi oleh pepohonan yang lebat. Di punggungnya sudah ada keranjang besar berisi buah dan sayuran yang akan ia bawa ke villa pembunuh bayaran itu.

Lion bisa keluar dari villa setelah berhasil meyakinkan semua penjaga yang ada di sana jika ia membutuhkan banyak bahan makanan untuk makan malam, sementara semua bahan sudah habis. Iya sudah mengatur semuanya agar bahan makanan habis dan dia bisa keluar dari villa itu untuk mencari bahan makanan di hutan.

“Kakek ...!” panggil Lion lirih sambil membuka pintu pondok yang tidak pernah terkunci itu. Dinding pondok yang jarang-jarang, membuatnya bisa melihat tubuh kakek meski ia berada di luar pondok.

Kakek tua yang selama ini mengajari Lion untuk mengendalikan indera keenamnya, langsung menoleh ke arah sumber suara. “Kamu masih di sini? Kakek pikir, kamu sudah kembali ke Jakarta.”

Lion segera meletakkan keranjang buah dan sayuran ke lantai dan duduk bersila di hadapan kakek. Tak lupa ia menyalami dan mencium punggung pria tua itu sebagai tanda hormat.

“Kek, ada hal darurat yang tidak bisa saya ceritakan. Ini berhubungan dengan nyawa seseorang yang sangat penting dalam hidup saya. Kakek sangat tahu siapa orang yang mengirimku ke sini. Siapa pun dia, tolong berikan surat ini secepatnya, Kek! Nyawa kami semua sedang terancam. Sebisa mungkin Kakek jangan melewati villa mewah yang ada di balik bukit ini. Mereka sangat berbahaya. Tolong kami, Kek!” pinta Lion tanpa basa-basi sembari menyodorkan sepucuk surat yang sudah ia tulis agar ia bisa mendapatkan pertolongan. Sebab, tidak ada listrik dan sinyal di hutan itu. Handphone miliknya tak pernah lagi menyala sejak ia tinggal dan berlatih di dalam hutan.

Kakek tua itu mengangguk. “Gunakan kemampuanmu untuk kebaikan. Sebab, orang jahat di bumi sudah sangat banyak. Jika tidak ada kebaikan, dunia ini akan hancur lebih cepat.”

Lion mengangguk. “Terima kasih banyak, Kek! Saya tidak tahu harus minta tolong pada siapa lagi. Mohon maaf sudah merepotkan Kakek untuk yang kesekian kalinya. Jika saya berhasil mengendalikan semuanya dan bisa kembali ke Jakarta, saya akan ajak Kakek hidup di sana bersama saya.”

Kakek tua itu menggeleng. “Kakek lebih bahagia hidup menyatu dengan alam.”

Lion tersenyum sembari memasangkan kembali keranjang di punggungnya. “Kalau begitu, saya akan sering mengunjungi Kakek. Saya akan kumpulkan banyak uang, supaya bisa sering ke sini,” ucapnya.

Kakek tua itu mengangguk-anggukkan kepala.

Lion segera berpamitan dan bergegas pergi meninggalkan pondok kecil itu. Iya menggendong keranjang berisi buah dan sayur-sayuran yang ia petik dari hutan tersebut, kemudian kembali ke villa untuk memasak dan menyiapkan makan malam.

 

***

 

Di saat bersamaan...

“What they want?” tanya Cakra pada Alvaro karena mereka tidak mendapat kabar apa pun tentang Chessy. Ia berharap ada seseorang yang menghubunginya untuk bernegosiasi. Pikirannya sudah mulai kacau karena ia kehilangan jejak Chessy selama empat hari.

Kalimantan pulau yang sangat luas. Delapan puluh persennya masih hutan dan tidak ada CCTV yang terpasang sepanjang jalan antar kabupaten/kota atau provinsi. Hal inilah yang membuat Cakra kehilangan jejak dan membuatnya nyaris gila.

Drrt... Drrt... Drrt...!

Cakra langsung menatap layar ponselnya yang berdering. Ia enggan mengangkat panggilan telepon dari ibunya tersebut. Ia tidak sanggup jika terus-menerus membohongi ibunya. Ia juga tidak bisa mengatakan tentang apa yang terjadi pada Chessy karena takut jika ibunya akan khawatir dan juga menyalahkan dirinya. Meski ia sudah dewasa dan mampu membuat keputusan sendiri, hal paling menakutkan dalam dirinya adalah mendengar omelan dari sang mama.

“Nggak mau diangkat, Cak?” tanya Alvaro. Meski ia tidak ikut melihat layar handphone Cakra, tapi ia bisa mengetahui jika orang yang menelepon itu adalah ibunya. Sebab, sudah berkali-kali juga Mama Rose menghubunginya dan ia memilih untuk menuruti permintaan Cakra, yakni membohongi ibunya sendiri dengan mengatakan jika Cakra dan Chessy sedang berlibur ke Venezuela.

Cakra menggeleng. “Katakan sana jika aku masih berlibur!”

Tak lama kemudian, ponsel Alvaro berdering dan yang menelepon adalah orang yang sama, yakni Mama Rose.

“Tidak perlu diangkat, Al! Kita fokus saja mencari Chessy. Aku tidak ingin menambah masalah. Mama bisa saja menyusul dan membuat pikiran kita pecah.”

Alvaro mengangguk. Ia sangat setuju dengan Cakra karena Mama Rose tipe ibu yang tidak mau diam dan pastinya akan ikut campur jika itu berurusan langsung dengan keadaan menantunya.

“Cak, kalau kita nggak pernah nemuin Chessy lagi, gimana?” tanya Alvaro sambil menyandarkan kepalanya ke kursi mobil.

Cakra terdiam. Pertanyaan Alvaro benar-benar menusuk ulu hatinya. Ia baru saja menemukan wanita yang selama ini ia nanti kehadirannya. Ia baru saja merasakan menjadi pria yang sangat dicintai. Bagaimana bisa ia harus kehilangan sebelum ia bisa benar-benar membahagiakan Chessy?

Alvaro menghela napas kasar. “Weslah, Cak. Golek bojo maneh, ae. Piye?” candanya sambil merangkul pundak Cakra.

“Tidak semudah itu, Al.”

“Apanya yang sudah buat seorang Cakra? Kamu tinggal tunjuk aja cewek mana yang mau kamu jadikan istri. Nggak mungkin ada cewek yang nolak meski jadi istri ke sepuluh,” ucap Alvaro menggoda.

Cakra menatap tajam ke arah Alvaro. “Kamu sudah bosan hidup? Aku bisa patahkan kaki dan tanganmu sekarang juga!”

Alvaro tergelak mendengar ancaman Cakra. “Nggak usah terlalu serius gitu! Nggak perlu setegang ini juga, Cak! Rileks ... rileks ... supaya bisa berpikir jernih dan kita dapetin jalan buat nemui. Chessy.”

“Kamu boleh mengajakku bercanda setiap saat. Tapi tidak menjadikan istriku sebagai bahan candaan!” sentak Cakra.

Alvaro terdiam. Ia menghela napas dan memilih untuk diam. Ia tidak tahu lagi cara apa yang bisa ia gunakan untuk menghibur Cakra dan membuat suasana tidak lagi menegangkan. Mengingat adik sepupunya itu sudah tidak tidur selama empat hari empat malam karena mencari keberadaan istrinya.

“Bos, ada telepon dari nomor asing,” ucap Fikri yang sedang mengendarai mobil. Begitu sampai di kota Balikpapan, mereka sudah mendapatkan fasilitas kendaraan dari anak perusahaan yang ada di kota tersebut.

“Cepet angkat! Siapa tahu Chessy!” perintah Alvaro.

Fikri segera menepikan mobilnya terlebih dahulu, kemudian mengangkat telepon.

“Halo ...!”

“Ini Cakra Hadikusuma!?” tanya seseorang dari seberang sana dengan nada suara yang tinggi.

Cakra langsung merebut ponsel dari tangan Fikri. Sementara, Alvaro langsung membuka laptop dan berusaha untuk mengecek lokasi dari si penelepon.

“Kamu siapa?” tanya Cakra.

“Nggak penting aku siapa. Kamu lagi cari istrimu, kan? Istrimu ada di tangan kami.”

“Berani-beraninya kalian menyentuh istriku!” sentak Cakra penuh amarah.

“Hahaha. Emang kamu siapa? Kamu pikir kami takut, hah!?”

“Kembalikan istriku segera atau kuhabisi kalian semua!” ancam Cakra.

“Hahaha. Sebelum kamu menghabisi kami, kami pastikan kalau kami akan menghabisi istrimu lebih dahulu.”

“Kamu!?” Cakra menahan geram mendengar suara seseorang di seberang sana.

“Antarkan uang lima ratus milyar ke kota Manado. Setelah kami menerima uangnya, kami akan melepaskan istrimu!”

“Manado?” Cakra mengerutkan keningnya.

“Ya. Kami kasih waktu 24 jam untuk sampai ke Manado. Jika kami tidak menerima uangnya dalam waktu dua puluh empat jam, akan kami habisi wanita ini dan kami kirimkan kepalanya untukmu!” ancamnya.

Belum sampai menyahut, panggilan telepon tersebut sudah ditutup. Cakra tak lagi punya kesempatan untuk berbicara.

“Fik, kita kembali ke bandara!” perintah Cakra pada Fikri.

“Sebentar, Cak! Lokasi penelepon ini bukan di Manado, tapi di Kalimantan. Jaraknya sekitar 500 mil dari sini,” ucap Alvaro.

Cakra menaikkan sebelah alisnya. “What do you mean?” tanyanya.

“Kemungkinan besar Chessy masih ada di kota ini,” jawab Alvaro. “Biar aku yang pergi ke Manado. Kamu cari keberadaan Chessy di titik koordinat yang sudah aku temukan.”

Cakra mengangguk. “Berapa banyak uang yang kamu butuhkan?”

“Yang penting cukup untuk menggerakkan anggota di Manado,” jawab Alvaro.

“Fik, berapa banyak uang cash yang bisa dikeluarkan hari ini?” tanya Cakra.

“Sesuai perintah Pak Bos. Dana di rekening pribadi unlimited, tidak seperti rekening perusahaan,” jawab Fikri.

“Oke. Ambilkan lima ratus milyar dan kirimkan ke Manado bersama Alvaro!” perintahnya.

“APA!? Kamu nyuruh aku bawa uang cash sebanyak itu? Nggak bisa ditransfer aja? Aku nggak bisa bawa barang terlalu banyak. Lagian, nggak perlu siapin uang sebanyak itu. Begitu aku temuin pennjahatnya, bakal langsung kuhabisi. Mereka nggak akan dapet sepeserpun dari kita.”

“How about my wife?” tanya Cakra.

“Kamu selamatin dia duluan. Setelah berhasil, aku bakal habisi mereka semua tanpa melukai Chessy,” jawab Alvaro.

“Lokasi penelepon itu termasuk lokasi blank spot. Susah dapetin sinyal kecuali mereka punya pemancar sendiri, “ ucap Alvaro lagi.

“So?”

“Kamu juga harus bawa pemancar!” jawab Alvaro sambil mengeluarkan sebuah benda dari tas ranselnya. “Ini pemancar sinyal punyaku. Pakai ini untuk menghubungkiku!”

“Kamu sendiri, bagaimana?”

“Gampang! Nanti aku minta kirimin lagi sama King. Manado itu kota besar, bukan daerah pelosok seperti Sangkulirang,” jawab Alvaro santai. Ia segera mengemas laptop dan beberapa perangkat elektronik miliknya ke dalam ransel.

“Aku turun di sini. Biar aku yang urus penjahat di Manado itu,” ucap Alvaro lagi. “Aku juga sudah minta bantuan dari Polda Kaltim. Mereka akan kirim prajurit terbaik mereka untuk dampingi kalian,” lanjutnya.

“Thank you so much, Al,” ucap Cakra.

“Kita saudara. Nggak perlu sungkan!” sahut Alvaro. Ia segera keluar dari mobil Rubicon tersebut dan membiarkan Fikri melaju kencang meninggalkannys.

 

((Bersambung ...))

 

 

 

 

 

 

 

The Cakra Bab 124 - Kill or Reedem? || a Romance Novel by Vella Nine

 


“Kita dibayar untuk membunuh orang. Apa kita akan selamat kalau masih minta uang tebusan?” tanya salah seorang pria gundul kepada bos mereka.

”Nyawa perempuan itu cuma dihargai dua ratus juta. Sedangkan dia istri dari konglomerat. Kita bisa minta tebusan milyaran. Untung mana, hah!?” sahut pria yang kerap dipanggil bos oleh orang-orang di sana.

”Apa mereka nggak akan menangkap kita juga? Apa artinya uang milyaran kalau kita masuk penjara?” tanya pria lain yang berambut keriting.

”Hahaha.” Bos mafia itu tergelak mendengar ucapan anak buahnya. ”Penjara bukan hal menakutkan buat kita. Coba hitung berapa kali kita berurusan sama polisi? Sudah puluhan kali. Kasih uang aja ke mereka dan kita bisa bebas.”

Semua orang yang ada di sana manggut-manggut.

”Jadi, kita nggak bunuh wanita ini? Gimana caranya kita bisa minta tebusan?” tanya pria gundul yang ada di sana.

”Aku sudah dikasih nomernya sama nona. Dia perintahkan kita untuk mengalihkan perhatian. Aku akan telepon Mr. Cakra dan minta dia antarkan uang cash ke kota Manado. Suruh Jono ambil uang itu dan kita lepaskan perempuan ini,” ucap bos mafia itu.

”Lepaskan gitu aja?” tanya pria berambut keriting. ”Gimana nasib Jono di sana? Nggak mungkin dia bisa dapatkan uangnya kalau dia nggak bawa tawanan kita.”

”Kamu pikir Jono akan sendirian? Aku sudah siapkan puluhan anak buah bersenjata api untuk mendampingi dia. Asal kita sudah dapatkan uangnya, kita tidak perlu memikirkan yang lain. Bahkan, kita bisa sekaligus membunuh keduanya,” jawab bos mafia tersebut.

Semua orang yang ada di sana mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka terus mendiskusikan rencana-rencana jahat dan kerjasama dengan berbagai pihak yang memerlukan jasa mereka.

Lion yang sedang memasak di dapur, berusaha memasang telinganya dengan baik agar ia bisa menangkap semua pembicaraan. Bibirnya menyunggingkan senyum halus ketika mengetahui jika para pembunuh bayaran itu memilih untuk melepaskan Chessy daripada membunuhnya.

Lion menatap semangkuk bubur yang telah ia siapkan khusus untuk Chessy. Ia segera melangkah menuju kamar di mana Chessy disekap oleh penjahat-penjahat itu. Ia tidak bisa melakukan apa pun selain membantu Chessy bertahan hidup di tengah hutan belantara tersebut.

”Nona ...!” panggil Lion lirih sembari melangkah ke dalam kamar Chessy.

Chessy bergeming. Matanya menatap ke arah luar lewat jendela kecil berukuran 40x40cm yang posisinya lebih tinggi dari tubuhnya.

”Makan dulu, ya!” pinta Lion. Ia segera menutup pintu kamar tersebut agar penjaga di luar tidak bisa mendengarkan pembicaraan mereka. Ia berusaha untuk berbicara selirih mungkin agar tidak ada yang mencurigai dirinya.

Chessy menggeleng. ”Gue nggak laper.”

”Lo belum makan dari pagi tadi. Gue telat masakin buat lo karena ...”

”Sudah empat malam gue di tempat ini. Iya, kan?” Belum selesai Lion bicara, Chessy sudah memangkasnya dengan pertanyaan.

Chessy memutar tubuhnya menatap Lion. ”Apa yang orang-orang itu inginkan dari gue?”

Lion melangkah lebih dekat ke tubuh Chessy. ”Makanlah! Gue ceritain sambil lo makan.”

Chessy menatap semangkuk bubur yang kini sudah ada di hadapannya. ”Apa mereka minta tebusan sama suami gue, Li?”

Lion mengangguk. Ia segera mengajak Chessy untuk duduk agar bisa menikmati bubur sembari bercerita bersamanya.

”Ada orang yang memerintahkan mereka buat bunuh lo,” ucap Lion berbisik. ”Mereka sindikat pembunuh bayaran.”

Mata Chessy terbelalak mendengar ucapan Lion. ”Artinya ... gue bakal tetap mati di tempat ini?”

Lion menggeleng. ”Lo masih punya kesempatan buat hidup kalo suami lo mau ngasih uang tebusan sesuai dengan permintaan mereka.”

”Jadi, sebenarnya mereka ini pembunuh bayaran atau penculik?” tanya Chessy lirih.

”Dua-duanya.”

Chessy memejamkan mata sembari menarik napasnya dalam-dalam. Ia sadar jika ia bukanlah siapa-siapa. Mungkinkah Cakra akan mengeluarkan sejumlah uang hanya demi dirinya? Bukankah akan lebih mudah memperistri wanita lain lagi daripada harus kehilangan uang banyak?

Chessy membuka matanya perlahan dan menatap wajah Lion dengan serius. ”Apa lo tahu berapa nilai yang mereka minta?”

”Gue nggak tahu persis. Yang gue denger … nilainya milyaran.”

Chessy tertunduk lesu mendengar jawaban Lion. ”Cowok gila mana yang mau ngeluarin duit milyaran buat cewek? Meskipun gue istrinya, lebih baik dia nikah lagi daripada harus kehilangan banyak uang. Uang milyaran itu nggak gampang nyarinya. Itu bisa dipake bikin satu perusahaan lagi.”

”Sst ...! Pelanin suaramu!” pinta Lion berbisik.

Chessy mengangguk. ”Lo tahu kalau gue bukan siapa-siapa, Li. Apa gue layak diperjuangkan sama Cakra? Ini sudah empat hari, dia belum muncul juga buat nyelamatin gue. Gue pikir, dia bakal jadi hero kayak di film-film gitu. Nyatanya, gue nggak tahu nasib gue bakal gimana.”

”Status kita kalau dibandingkan sama dia, emang jauh banget. Lo beruntung bisa jadi istrinya. Tapi ... jarak status yang terlalu jauh, bakal bikin lo kesulitan buat ngimbangi dia, Chess.”

”Trus gue harus gimana?”

”Gue juga nggak bisa ngasih saran apa pun. Kalau lo pengen denger ego gue, gue pengen semuanya balik kayak dulu lagi, Chess. Kita nggak punya banyak uang, tapi kita happy. Kita punya kebebasan. Kita bisa pergi ke mana pun tanpa rasa takut. Nggak ada yang mau culik kita karena kita nggak punya apa-apa buat dipertaruhkan,” ucap Lion sambil menatap wajah Chessy.

Chessy terdiam. Bayangan masa lalunya bersama Lion berkelebat di pelupuk matanya. Memang semuanya sangat indah dan menjadi momen yang sangat ia rindukan. Ia bisa melenggang bebas. Tertawa bersama Lion, Adit, dan Arabella. Entah kenapa ... hidupnya tiba-tiba berubah drastis setelah ia pergi berlibur ke Faroe Island dan bertemu dengan Cakra.

”Chess, gue kangen lihat muka ceria lo. Lo yang selalu energik ngerjain apa pun. Lo yang tetap semangat meski banyak masalah. Lo yang selalu optimis bakal ngedapatin apa yang lo mau.”

”Sekarang ... lo murung terus kayak gini, gue nggak tega lihatnya, Chess.”

”Lo bisa keluarin gue dari tempat ini?” tanya Chessy.

Lion menggeleng. ”Mereka semua bersenjata. Terlalu berisiko, Chess. Gue nggak bisa ngebantu lo buat pergi dari tempat ini. Tapi gue bisa bantu lo untuk tetap bertahan hidup sampai suami lo datang buat selamatin lo, Chess.”

“Apa dia bakal datang, Li?” tanya Chessy dengan mata berkaca-kaca.

Lion tersenyum. ”Kita berdoa, ya!”

”Kalau dia nggak bisa nemuin gue dan gue harus mati, gimana?”

Lion terdiam sambil memegangi kepalanya. “Gue juga bingung, Chess. Gue nggak bisa gegabah buat bantu lo. Gue nggak mau kalo lo mati dibunuh sama mereka semua karena kabur dari tempat ini.”

”Bukannya gue juga bakalan mati meski nggak kabur dari mereka?” tanya Chessy.

Lion menggeleng, ”Nggak, Chess. Lo nggak akan mati. Gue yang bakal jagain lo. Sekarang, lo harus makan! Lo harus bertahan hidup. Lo harus sehat! Lo nggak pengen tahu siapa dalang di balik ini semua?”

”Siapa pun itu, gue nggak bakal maafin dia dan gue bakal bikin perhitungan!” ucap Chessy geram.

”Bener! Kalau gitu. Lo harus makan! Supaya energi lo tetep terjaga.”

Chessy menatap bubur yang ada di hadapannya. Ia segera melahap bubur itu perlahan. Ingin sekali ia melahapnya dengan cepat, tapi hatinya masih saja terganggu dengan keadaan. Setiap malam ia hanya memikirkan Cakra. Apa Cakra akan datang menolongnya? Sedang ia berada di tengah hutan belantara yang sangat jauh dari kota Jakarta.

”Li, kalo nanti gue mati … lo pesenin ke Cakra buat nikah lagi, ya! Gue nggak mau dia sendirian di dunia ini,” pinta Chessy.

“Lo gila, ya! Di mana-mana perempuan pengen suaminya nggak nikah lagi meski dia udah mati.”

”Dulu gue mikirnya gitu, Li. Tapi sekarang ... gue jauh lebih sedih kalau lihat dia harus menjalani semuanya sendirian. Nggak ada satu orang pun yang tahu dia yang sebenarnya. Meski dia bisa pegang dunia dan seisinya, dia tetap selalu kesepian,” jawab Chessy dengan mata berkaca-kaca.

Lion menghela napas mendengar ucapan Chessy. ”Berhenti buat mikirin orang lain terus, Chess! Lo juga harus mikirin diri lo sendiri.”

”Nggak bisa, Li. Gue kepikiran dia terus. Gue nggak bisa mikirin diri gue sendiri kalau dia …”

“Kalau dia kesusahan?”

Chessy mengangguk.

“Lo yakin kalau dia bakal kesusahan? Saat ini, kita yang lagi dalam keadaan susah, Chess. Kita lagi bertaruh nyawa di sini. Kalau mereka tahu gue kenal sama lo, mereka bakal bunuh gue duluan.”

Chessy terdiam mendengar ucapan tegas Lion kali ini. Sepertinya, Lion sudah benar-benar kesal dengan dirinya.

”Gue heran sama lo, Chess. Nggak sama Adit, nggak sama Cakra, lo tuh bucinnya keterlaluan! Lo ingat gimana dulu lo ngorbanin semuanya demi Adit? Apa balasan dia ke elo? Nggak menutup kemungkinan kalau Cakra juga bakal ngelakuin hal yang sama karena mereka sama-sama cowok berduit!”

”Lo boleh hina Adit, tapi nggak dengan Cakra! Dia itu beda, Li!” sentak Chessy.

Lion langsung bangkit dari tempat duduknya dan menjauh dari Chessy. Ia sadar jika suara keras Chessy akan mengundang para penjaga di luar sana dan membuat semua orang menjadi curiga.

Klek!

”TERSERAH KALAU NGGAK MAU MAKAN! MATI AJA KAMU! CEPET MATI LEBIH BAGUS! AKU NGGAK USAH CAPEK-CAPEK MASAK BUAT KAMUS SETIAP HARI” seru Lion dengan nada tinggi ketika menyadari kalau penjaga pintu sedang membuka pintu kamar tersebut untuk mengecek ia dan Chessy.

Chessy menatap geram ke arah Lion. Ia tahu kalau Lion sedang berakting dan ia juga harus meladeninya dengan baik. ”LEBIH BAIK AKU MATI DARIPADA HARUS NURUTI APA MAU KALIAN! AKU PASTIKAN KALAU KALIAN NGGAK AKAN DAPAT APA-APA DARI SUAMIKU!”

Penjaga yang ada di sana hanya memperhatikan pertengkaran antara Lion dan Chessy. ”Tinggalkan saja makanannya di dalam! Tidak perlu ditemani! Kamu terlalu baik.”

Lion mengangguk. ”Sorry!” ucapnya pada Chessy tanpa suara. Ia segera berbalik dan melangkah keluar dari pintu.

Gue harus gimana, Ya Tuhan! Gue nggak bisa nyelamatin Chessy sendirian. Gue nggak bisa lihat dia menderita terlalu lama di tempat ini. Gue harus cari cara buat hubungi Cakra supaya dia bisa selamatin Chessy. Gimana caranya gue bisa keluar dari tempat ini tanpa bikin mereka curiga? Di sini nggak ada sinyal sama sekali,” batin Lion sambil terus melangkahkan kakinya.

 

((Bersambung...))

 

 

 

 

 

 

 

The Cakra Bab 123 - Menelusuri Kejujuran

 


“Sus, lukaku udah ditangani, apa aku udah bisa pulang?” tanya Arabella sambil menatap perawat yang baru saja selesai memasangkan perban di lukanya.

Perawat yang ditanya tak menyahut. Matanya hanya menatap beberapa bodyguard yang ada di dalam ruangan itu.

Arabella ikut menatap kesal bodyguard Cakra yang ada di sana. “Kenapa gue ditahan kayak tawanan gini, sih? Apa Cakra curiga sama gue? Gue harus gimana?” batin Arabella.

Arabella bergegas mencari tas dan ponselnya untuk menghubungi seseorang agar ia bisa segera mendapatkan pertolongan. Namun, ia tidak menemukan barang yang ia cari.

“Kalian ambil hape gue?” tanya Arabla pada semua bodyguard yang berjaga.

“Nona adalah tawanan Tuan Cakra. Tidak diizinkan berkomunikasi dengan siapa pun sampai Nona memberitahukan di mana keberadaan nyonya muda kami,” jawab salah seorang bodyguard yang ada di sana.

“WHAT!? Tawanan? Kalian nggak salah? Gue nggak tahu sama sekali keberadaan Chessy. Kalian lihat sendiri kalau gue juga korban di sini!” seru Arabella sambil memperlihatkan luka di tangannya yang telah diperban.

Semua bodyguard yang ada di sana memilih untuk bergeming.

Shit! Sialan kalian semua. Gue tahu siapa yang culik Chessy, tapi gue nggak tahu juga dia dibawa ke mana karena semua yang urus Nona Mang,” batin Arabella.

“Gue harus gimana?” gumamnya.

Arabella langsung teringat pada pembicaraannya dengan Nona Mang beberapa waktu lalu.

“Aku menemukan rumor langka tentang Presdir Galaxy itu. Dia punya penyakit sejak kecil. Seharusnya dia buta sejak lahir. Sepertinya, keluarganya sudah mengobati matanya sehingga dia bisa melihat dengan normal. Hanya saja, ada satu penyakit yang tidak bisa diobati. Dia bisa mendengarkan isi hati orang lain. Jadi, kamu harus berhati-hati!” ucap Nona Mang.

“Hah!? Serius?” tanya Arabella dengan mata terbelalak. “Itu bukan penyakit, tapi kelebihan seseorang.”

“Sebagian orang menyebutnya penyakit,” sahut Nona Mang.

“Terus, aku harus gimana?” tanya Arabella lagi.

“Kamu hanya perlu diam dan menghapus kejadian sesungguhnya dari memorimu. Jika tertangkap basah, jangan coba-coba libatkan aku! Karena aku nggak bakal bisa menolong kamu dan aku bakal habisi semua keluarga kamu di kampung!” pinta Nona Mang.

Arabella terdiam sambil menggigir bibir bawahnya. Perasaannya tak karuan setiap kali ia merasa terancam.

“Kamu Cuma perlu membawa Chessy ke rooftop. Setelahnya, akan ada orang lain yang mengurus Chessy. Kamu tidak perlu lagi berurusan dengan Chessy dan aku. Aku yang akan menentukan mau aku apain wanita jalang satu itu!” perintah Nona Mang dengan tegas.

“Satu lagi. Jangan sampai kamu berdialog dengan dirimu sendiri saat dekat dengan Cakra karena itu membahayakan!” imbuh Nona Mang.

Arabella mengangguk tanda mengerti. Ia menjalankan semua perintah Nona Mang dan berusaha tidak memikirkan kejadian yang terjadi antara ia dan Chessy. Semua harus sesuai dengan skenario yang telah mereka rancang.

Arabella kembali menatap bodyguard yang ada di sana. Ia terus memikirkan cara agar ia bisa terlepas dari cengkeraman anak buah Cakra.

Belum sampai mendapatkan ide, Arabella dikejutkan dengan kedatangan seorang pria muda berseragam polisi. Tubuhnya gemetar dan ia terlihat sangat gusar.

 Nona Mang bilang bakal back-up gue. Kenapa ada polisi ke sini? Kalo gue dipenjara gimana? Kalau gue jujur, gimana nasib keluarga gue?” batin Arabella.

“Selamat siang, Nona!” sapa pria muda berseragam polisi sambil menghampiri Arabella.

“S-si-siang ...,” balas Arabella terbata.

“Gimana kondisi luka Nona? Sudah membaik?” tanya pria itu sambil tersenyum.

“Astaga ...! Ini polisi manis banget!” batinnya. “Tapi tetep aja bikin gue takut.”

“Nona ...!” panggil polisi itu lagi sambil melambaikan tangannya di depan wajah Arabella yang sedang terpaku.

Arabella mengerjapkan matanya. Ia tersadar dari lamunan tentang kekagumannya terhadap ketampanan pria yang ada di hadapannya itu. “Sa-sa-saya ba-baik-baik aja.”

“Baguslah kalau begitu,” ucap pria itu sambil mengeluarkan ponsel dari saku bajunya. “Perkenalkan, nama saya Dani, saya asisten Pak Alvaro,” lanjutnya.

“Alvaro? Bukannya dia asisten pribadinya Cakra? Asisten bisa punya asisten juga?” tanya Arabella dengan kening beekerut.

Dani hanya tersenyum menanggapi pertanyaan Arabella. “Pak Alvaro bukan asisten, tapi dia kakak dari Tuan Cakra. Beliau seorang polisi yang perusahaan di bidang jasa keamanan. Dia punya puluhan bodyguard terlatih di setiap kota besar di Indonesia. Beliau memang sangat sederhana dan jabatannya tidak tinggi. Kalau beliau mau, menjadi jenderal polisi adalah hal yang mudah. Tapi tidak dia lakukan karena dia punya pasukan tentara swasta yang terhubung dengan pemerintah,” jelasnya.

Arabella menelan salivanya dengan susah payah. Ia pikir, Alvaro adalah bodyguard biasa karena setiap hari selalu mendampingi Chessy. Ternyata, masih punya ikatan darah dengan Cakra. Artinya, Chessy dikelilingi oleh banyak pria kaya di dalam hidupnya.

Kenapa sih Chessy selalu dikelilingi sama cowok tajir? Buat gue, Adit tuh udah tajir banget. Ternyata, Cakra dan keluarganya jauh lebih tajir. Kalo gue bisa masuk ke keluarga Hadikusuma, hidup gue pasti bakal seenak Chessy juga,” batinnya. “Gue nggak harus jadi jongosnya Nona Mang, kan?” lanjutnya dalam hati.

“Nona, ada beberapa hal yang perlu kami tanyakan terkait laporan hilangnya nona muda Hadikusuma,” ucap Dhani sambil mencoba menghubungi Alvaro via telepon, sesuai dengan permintaan atasannya itu. Alvaro meminta untuk melakukan wawancara yang harus terhubung langsung dengan ia dan Cakra meski dari kejauhan.

“Aku nggak tahu apa-apa,” jawab Arabella.

“Iya. Tapi orang yang terakhir bersama Nona Hadikusuma adalah Anda. Setidaknya, Anda tahu apa yang terjadi sesungguhnya.”

“Aku juga korban. Nggak tahu apa-apa. Aku Cuma lagi ngobrol sama Chessy selayaknya teman dekat. Tiba-tiba ada segerombolan orang yang datangi kami dan dia culik Chessy. Aku udah berusaha buat nolongin Chessy, tapi mereka ngelukain aku,” jawab Arabella.

“Cuma itu?” tanya Dani lagi.

Arabella mengangguk.

Kalau dari kejauhan gini, Cakra nggak akan bisa baca isi hatiku, kan? Semuanya bakal aman, kan?” batin Arabella. Ia khawatir kalau Cakra juga ada di rumah sakit tersebut.

“Apa Nona ingat ciri-ciri orang yang membawa Nona Hadikusuma?”

Arabella menggeleng. “Di rooftop agak gelap. Yang aku ingat, mereka pakai pakaian serba hitam,” jawabnya.

“Ada berapa orang yang Nona lihat?”

“Banyak banget. Aku nggak ingat.”

Aku nggak boleh bilang kalau yang culik Chessy itu cuma tiga orang,” batinnya.

“Baiklah. Apa benar kalau sebelumnya Anda yang mengirimkan undangan ke Nona Hadikusuma?”

Arabella mengangguk. “Nona Mang yang perintahkan aku karena aku karyawan dia.”

“Sudah berapa lama kerja dengan Nona Mang?”

“Udah lama, sekitar 3 tahunan,” jawab Arabella lagi.

Dani mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mencocokkan beberapa jawaban Arabella dengan wawancara yang dilakukan oleh Alvaro dan tim yang lain. Semuanya terlihat konsisten dan tidak ada informasi yang berubah.

Dani mendengarkan intruksi dari Alvaro lewat earphone yang ia pakai dan kembali melemparkan pertanyaan kepada Arabella.

“Kami sudah melakukan wawancara dengan Nona Mang selaku tuan rumah dalam perjamuan bisnis itu. Dia sudah mengaku bahwa kamu adalah dalang di balik penculikan ini karena butuh uang banyak,” ucap Dani mengikuti instruksi Alvaro. Padahal, mereka tidak mendapatkan informasi apa pun dari Nona Mang karena wanita itu sudah terbang ke luar negeri beberapa jam setelah perjamuan bisnis.

Mata Arabella terbelalak lebar mendengar ucapan Dani. “Nggak mungkin! Nggak mungkin Nona Mang bohongi dan jebak aku!” serunya histeris. “Aku nggak tahu apa-apa.” Lanjutnya sambil menggelengkan kepalanya.

Dani langsung menangkap wajah ketakutan dari Arabella. Manik matanya yang tadi terlihat menderita, kini berubah menjadi penuh rasa takut.

“Nona Mang pemilik perusahaan. Uang dia sudah banyak. Tidak mungkin dia menyuruh orang untuk menculik nona kami. Dia tidak terlihat seperti orang yang kekurangan uang. Semua bukti dan petunjuk menjurus ke kamu,” ucap Dani lagi.

Arabella terdiam sambil meremas selimut yang menyelimuti tubuhnya. “Gue nggak mau dipenjara.  Gue nggak mau! Dit, lo di mana? Tolongin gue, Dit!” batinnya sembari menahan rasa takut.

Dani menaikkan kedua alis sambil menyunggingkan sedikit senyum di bibirnya. Meski Arabella tidak mau bicara, ia bisa menafsirkan setiap reaksi tubuh dari wanita itu. Sebagai polisi sekaligus psikolog forensik, ia kerap dipercaya oleh Alvaro untuk mengungkap kasus-kasus tersembunyi yang terjadi di kota ini.

“Tuan Cakra bukan orang yang tidak berbelas kasih. Dia sangat menyukai orang yang jujur dan mudah untuk memaafkan. Tapi dia juga bisa menjadi iblis tak punya hati jika dibohongi dan dikhianati. Kamu yang menentukan sendiri bagaimana nasibmu di tangan keluarga Hadikusuma,” ucap Dani sambil mematikan sambungan teleponnya dengan Alvaro, kemudian bergegas pergi setelah berhasil menarik kesimpulan untuk ia laporkan pada Alvaro.

 

((Bersambung...))

 

 

Sunday, February 16, 2025

The Cakra Bab 122 : Hasil Pengecekkan CCTV || a Romance Novel by Vella Nine

 


“Jangan sampai mamaku tahu kalau Chessy menghilang!” perintah Cakra pada Fikri dan Alvaro saat mereka semua sudah masuk ke dalam rumah apartemen milik Cakra.

“Tapi, gimana kita bisa dapetin Chessy kalau nggak pakai media? Kamu aja nggak tahu di mana posisi Chessy meski kamu bisa dengar suara dari kejauhan,” sahut Alvaro.

Cakra langsung menatap tajam ke arah Alvaro. “Aku beri kamu dua pilihan, bantu atau pergi?”

Alvaro menelan ludah sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Iya, bantu. Aku bantu!” ucapnya.

“Ngopo aku nduwe dulur koyok ngene iki, cah?” batinnya. “Kalo bukan adekku, wes tak pites ndase!” lanjutnya sambil menahan gemas di dalam pikirannya.

Cakra memilih untuk diam. Membiarkan Alvaro mengutuknya dalam hati seperti biasa. Ia sudah terbiasa mendengarkan isi hati Alvaro dan semua kemelut hatinya, termasuk semua kekesalannya. Ia tidak pernah tersinggung dengan caci-maki Alvaro saat sedang emosi. Karena ia tahu jika jauh di dalam lubuk hati Alvaro sangat menyayanginya. Jika tidak, mana mungkin Alvaro rela mengabdikan diri untuk menemaninya setiap saat.

Alvaro mengeluarkan laptop dari tas ransel yang ia bawa dan mengecek semua laporan anak buahnya yang sudah masuk.

“Ada perkembangan, Mas?” tanya Fikri lirih sambil menghampiri Alvaro yang sudah duduk di sofa.

Alvaro tak langsung menyahut. “Bikinkan aku kopi dulu, Fik! Raiso mikir aku kalo nggak ngopi sek,” perintahnya.

“Siap, Mas!” sahut Fikri sambil memberi hormat dan segera ke dapur untuk membuatkan secangkir kopi pesanan Alvaro.

Alvaro terus mengamati beberapa video rekaman  CCTV di sekitar gedung yang telah berhasil dikumpulkan oleh anak buahnya.

“Mmh ... semua mobil yang masuk adalah mobil-mobil elite. Mana yang paling mencurigakan?” batin Alvaro. Ia segera mengeluarkan ipad yang ia miliki dan mencatat setiap sudut peristiwa berdasarkan waktu agar ia bisa mencocokkan dengan semua waktu CCTV yang ada.

“Jam 7.30, Chessy dan Cakra masuk gedung. Chessy menghilang di jam 10.30. CCTV di dalam gedung bisa mati semua karena diretas di jam 9.00. Oke, ini bukan penculik biasa. Mereka pasti sudah merencanakannya dengan baik,” batin Alvaro sambil mengamati data yang ia terima.

Cakra terdiam sambil menyimak isi hati Alvaro. Ia terlihat sangat tenang, tapi dalam hatinya sedang bergejolak hebat. Ia ingin marah pada dirinya sendiri karena tak mampu mengetahui keberadaan Chessy, bahkan dengan indera keenam yang ia miliki. Ia juga kecewa pada dirinya sendiri karena terlalu percaya pada sahabat Chessy dan ia lalai dalam menjaga istrinya itu.

“ Artinya ... para penculik itu beraksi di jam 9.00 sampai jam 10.30. Ini bukan waktu yang cepet banget. Aku harus cek pergerakan kendaraan sekitar di jam ini,” batin Alvaro lagi.

TING!

“Bang, gue nemuin CCTV dari arah belakang gedung. Udah gue kirim ke email lo, Bang.” Sebuah pesan singkat masuk ke ponsel Alvaro.

Alvaro segera mengecek email masuk dan mengunduh video berdurasi dua menit yang baru saja dikirimkan oleh salah satu anak buahnya asal Jakarta. Tak membutuhkan waktu lama, Alvaro langsung bisa melihat rekaman mobil box yang keluar dari dalam gedung pada jam 10.00 malam.

“Kenapa mobil es batu gini dikasihkan ke aku? Goblok!” umpat Alvaro kesal karena anak buahnya mengirimkan video mobil box bertuliskan merk es batu kristal yang kemungkinan dikirimkan ke dalam gedung untuk jamuan makan malam tersebut.

Cakra yang duduk di hadapan Alvaro, langsung bangkit begitu mendengar umpatan Alvaro. Ia segera menghampiri Alvaro, merebut laptop milik sepupunya itu dan mengamati video yang baru saja dikirim oleh anak buah mereka.

“Cuma ini kendaraan yang keluar dari gedung sebelum jam 10.30?” tanya Cakra.

“Iya. Semua tamu keluar dari gedung di atas jam 11.30. Cuma kita aja yang keluar duluan dan ...?” Ucapan Alvaro tiba-tiba terhenti dan menatap wajah Cakra.

“Periksa mobil ini!” perintah Cakra.

Alvaro mengangguk. Ia segera melakukan panggilan grup ke beberapa anak buahnya untuk mendapatkan lebih banyak rekaman CCTV di waktu yang sama agar ia bisa melihat sampai di mana pergerakan mobil box tersebut.

Beberapa jam kemudian, semua anak buah Alvaro berhasil mengumpulkan rekaman CCTV lalu lintas di waktu yang bersamaan sesuai dengan waktu pergerakan mobil box itu sejak keluar dari dalam gedung.

“DJANCOK ...!” maki Alvaro begitu mengetahui kalau mobil box es batu kristal itu masuk ke dalam area bandara. “Mereka mau ngelabuhi kita, cok! Masa iya, mobil box malah ke bandara? Bukan pulang ke perusahaan mereka?”

 “Kita cari ke sana!” ajak Cakra.

“Bentar, Cak! Nggak bisa gegabah nyarinya. Airport bukan tempat sembarangan. Keamanan di sana juga cukup tinggi. Kalau mereka bawa Chessy ke bandara, pasti sudah menyiapkan banyak hal. Kita nggak tahu gimana cara mereka bawa Chessy. Aku harus koordinasi dengan polisi bandara dulu,” ucap Alvaro.

“Bisa koordinasi di mobil sambil jalan. Kita tidak bisa berdiam diri di sini. Bagaimana keadaan istriku di tangan orang lain? Aku tidak ingin dia terluka lebih banyak,” pinta Cakra.

“Ini jam sibuk, bos. Jalanan kota Jakarta lagi macet parah. Aku siapkan pilot dulu. Kita naik helikopter saja ke bandara,” ucap Fikri sambil menatap layar televisi yang menunjukkan hasil pemantauan lalu lintas terkini dari NTMC Polri.

“Cepat!” sambar Cakra tak sabar. Waktu sudah menunjukkan pukul 08.00 WIB. Artinya, sudah lebih sembilan jam ia kehilangan Chessy dan ia sudah tak bisa lagi menahan rasa sabar.

Fikri mengangguk. Ia segera menghubungi pilot pribadi keluarga Hadikusuma. Untungnya, pilot itu tinggal di apartemen yang sama dengan mereka. Sehingga tak perlu menunggu lama untuk menyiapkan helikopter yang juga selalu standby di atap gedung apartemen tersebut.

Beberapa menit kemudian, Fikri mendapat kabar bahwa helikopter telah siap dan mereka semua bisa segera terbang menuju  Soekarno-Hatta International Airport.

“Cak, aku pake motor aja ke bandara,” pinta Alvaro sambil mengemasi barang-barang ke dalam ranselnya.

“Kenapa?” tanya Cakra.

“Nggak papa. Lebih leluasa bergerak kalau pakai motor,” jawab Alvaro.

“Banyak kendaraan yang disediakan oleh bandara. Kamu bawa kendaraan sendiri, bukankah akan lebih menyulitkan?” tanya Cakra lagi.

“Nggaklah. Aku kan polisi,” sahut Alvaro sambil menunjukkan seragam polisi yang ia kenakan. “Aku juga mau ambil surat tugas dari atasanku. Tanpa surat tugas, aku nggak bisa intervensi ke bandara,” lanjutnya.

Cakra menatap Alvaro selama beberapa saat. “Al, kenapa kamu masih bertahan menjadi bintara? Bukankah kamu bisa dengan mudahnya menjadi seorang jenderal?” tanyanya dengan wajah serius. Ia merasa miris dengan pilihan hidup Alvaro yang masih berada di bawah perintah orang lain.

“Males, Cak. Jadi jenderal tanggung jawabnya besar. Banyak yang harus diurusi. Kalau kayak gini, aku Cuma ngurus diriku sendiri aja. Bisa sambil ngurus perusahaanku juga. Kalau jadi jenderal, harus ngurusin ratusan ribu anak buah. Anak buahku yang baru dua puluh biji aja aku sudah pusing sama kelakuan mereka,” jawab Alvaro.

Cakra tersenyum kecil. “Baiklah. Jika kamu kesulitan, jangan sungkan untuk bicara padaku!”

Alvaro mengangguk sambil merapikan sepatu miliknya. Ia segera bangkit dari tempat duduk dan menepuk pundak Cakra. “Amanlah. Hidupku nggak akan lengkap kalau nggak ngerepotin kamu,” ucapnya. Ia segera beranjak keluar lebih dulu agar bisa mengejar waktu dan bisa sama-sama sampai ke bandara meski ia hanya menggunakan sepeda motor.

 

((Bersambung ...))

 

Monday, February 10, 2025

The Cakra Bab 121 : Sandiwara Lion || a Romance Novel by Vella Nine

 

BAB 121

SANDIWARA LION

 


Lion menarik napas dalam-dalam sambil menatap bubur ayam yang baru saja selesai ia masak. Jauh di dalam hatinya ia berharap jika tawanan yang dimaksud oleh para mafia ini bukanlah Chessy yang ada dalam bayangan masa depannya.

“Cepat!” bentak salah seorang sambil menatap Lion yang masih bergeming. “Bawa makannnya ke kamar di lantai 2!” perintahnya.

Lion mengangguk cepat dan melangkah menuju anak tangga kayu yang berada tak jauh dari pintu dapur. Ia terus melangkah dengan perasaan tak karuan hingga ia mendapati dua orang pria bertubuh kekar sedang berjaga di depan pintu.

“Kamu tukang masaknya? Lama banget!” sentak salah satu pria yang ada di sana.

“Ma-maaf, Bang. Saya masih baru kerja di sini. Belum hafal tempat bahan dan peralatan masak,” jawab Lion lirih sambil menundukkan kepala. Matanya tertuju pada sarung pistol yang melekat di tubuh pria itu.

“Gawat, mereka semua bersenjata,” batin Lion.

“Cepat masuk! Dia harus dikasih makan yang banyak! Jangan sampai mati! Kalau sampai dia mati, dia hanya akan jadi mayat yang nggak ada harganya. Kamu juga harus ikut mati!”

Lion mengangguk lagi. Ia segera melangkah masuk ke dalam kamar yang ada di sana. Ia segera menghampiri seorang wanita yang berbaring di atas dipan.

“Beneran Chessy,” batinnya dengan perasaan tak karuan. Wajahnya ikut pucat pasi saat melihat wajah Chessy yang sudah sangat pucat dan tubuhnya lemah. Entah berapa lama wanita itu tak sadarkan diri. Membuat Lion sangat ketakutan dibuatnya.

Lion segera memeriksa denyut nadi di tangan kanan Chessy. “Masih ada,” gumamnya  meski ia menyadari jika denyut nadi Chessy sudah sangat lemah.

“Woi, bangun!” sentak salah satu pria berpakaian preman yang ada di sana sambil menggebrak tempat tidur Chessy.

“Bang, jangan kasar begini!” pinta Lion dengan nada rendah. “Dia bisa mati lebih cepat karena jantungan. Nadinya sudah lemah banget. Biar saya yang urus!” pintanya.

“Kamu bisa?” tanya preman itu sambil menatap Lion dari ujung kepala sampai ke ujung kaki.

“Bisa, Bang. Aku pernah belajar ilmu medis dari keluargaku,” jawab Lion. “Dia hsrus dalam keadaan tenang. Jadi, biarkan aku yang mengurusnya sendiri. Abang keluar dulu!” pintanya.

“Kau nyuruh aku keluar?” sentak pria bertubuh kekar yang berdiri di dekat Lion.

“Maaf, Bang! Denyut nadi wanita tawanan ini sudah sangat lemah. Kalau tidak segera ditolong, dia bisa mati beneran.”

“Okelah. Jangan sampai dia kabur!” pinta pria itu. “Kalau sampai perempuan ini kabur, kau yang kutembak duluan!”

“I-iya, Bang.” Lion mengangguk sambil menggetarkan jemari tangannya agar ia terlihat ketakutan. Ia terus melirik pergerakan preman itu hingga keluar. Kemudian, ia segera menutup pintu kamar tersebut dan menguncinya.

“Hei, kenapa dikunci!?” sentak preman yang baru saja keluar kamar.

“Demi keamanan dan kenyamanan bersama, Bang. Biar nggak ada yang ganggu saya melakukan perawatan. Dia nggak mungkin bisa kabur dari lantai dua ini,” sahut Lion.

“Bener juga, ya?” gumam preman itu. Ia segera memerintahkan beberapa temannya untuk berjaga di luar bangunan villa tersebut.

Lion segera menghampiri Chessy yang sudah terbaring lemas tak berdaya. “Chessy ...!” panggilnya lirih sambil mengangkat kepala Chessy agar lebih tinggi dari tubuhnya.

Chessy bergeming. Ia bisa mendengarkan suara di sekitarnya, tapi ia tidak bisa melakukan apa-apa. Ia merasa jika dirinya sudah tidak ada di dunia lagi. Ia takut saat ia bangun, ia sudah berada di langit dan tak bisa lagi bertemu dengan Cakra.

“Chess ...! Chessy ...! Ini gue, Lion!” bisik Lion. Ia segera menyandarkan tubuh Chessy ke tubuhnya agar bisa duduk. Kemudian mengambil segelas air putih hangat yang ia bawa bersama bubur buatannya.

Chessy membuka matanya perlahan. Tapi ia tidak bisa melihat sosok Lion yang berada di belakangnya.

“Minum dulu!” pinta Lion saat menyadari kalau tubuh Chessy bereaksi. Ia segera memasukkan minuman itu ke dalam mulut Chessy secara perlahan agar wanita itu bisa memiliki kekuatan dan kesadarannya kembali.

“Kenapa lo ada di sini? Lo yang culik gue, Li?” tanya Chessy begitu ia sudah menghabiskan setengah gelas air hangat.

Lion spontan menggeleng sambil mengayunkan kedua telapak tangannya. “Nggak, Chess! Lo jangan suudzon sama gue!” pintanya. “Gue ke sini buat nolongin lo.”

“Beneran?” tanya Chessy sambil menatap lemas wajah Lion.

Lion mengangguk. “Lo makan dulu, ya! Supaya ada tenaga buat bertahan. Kita ada di tempat yang sulit dan berbahaya.”

“Berbahaya?” tanya Chessy penasaran.

Lion mengangguk. “Gue bakal cerita ke lo. Tapi sambil makan bubur ini, y!”

Chessy mengangguk perlahan. Ia seger menggeser tubuhnya agar tidak lagi bersandar pada tubuh Lion.

“Apa lo masih inget terakhir kali lo ada di mana sebelum diculik ke sini?

“Di acara perjamuan bisnis perusahaan  Nona Mang,” jawab Chessy.

Persis kayak gambaran masa depan yang aku lihat,” batin Lion.

“Lo tahu, nggak, sekarang ada di mana?” tanya Lion.

Chessy menggeleng.

“Kita ada di wilayah hutan Sangkulirang,” jelas Lion.

“Sangkulirang? Apa kita sudah ada di luar Indonesia?” tanya Chessy.

“Masih di Indonesia. Tapi ini daerah Pulau Kalimantan,” jawab Lion.

Chessy terbelalak mendengar jawaban Lion. “Lo serius? Gue nggak lagi di kota Jakarta?”

Lion mengangguk. “Nggak usah banyak omong, dulu! Makan dulu supaya lo punya banyak energi!” pintanya sembari mendekatkan semangkuk bubur ke hadapan Chessy.

Chessy terdiam sambil menatap semangkuk bubur yang disuguhkan oleh Lion. Ia benar-benar tidak mengerti kenapa dia dibawa sejauh ini. Ia bahkan tak pernah mendengar nama Sangkulirang seumur hidupnya. Apakah dia bisa kembali ke Jakarta lagi?

“Nggak usah takut! Ada gue. Gue nggak akan biarkan mereka ngelukain lo.”

“Gue harus pulang, Li. Cakra pasti nyariin gue,” pinta Chessy.

“Kita nggak bisa keluar dari sini dengan mudah. Yang jaga di rumah ini ada banyak banget dan mereka pegang senjata api. Kita nggak bisa gegabah. Jalan satu-satunya buat gue adalah menjadi bagian dari mereka. Seenggaknya ini bisa menjamin kalau lo bakal aman.”

“Lo tahu dari mana kalau gue ada di sini?” tanya Chessy.

Lion tersenyum kecil dan menyuapkan bubur ke mulut Chessy. “Gue udah lama di sini, Chess. Gue lagi therapy dan banyak belajar spiritual,” jawabnya. “Gue nggak sengaja lihat lo dibawa ke tempat ini. Awalnya, gue pikir orang lain. Nggak nyangka kalau ternyata perempuan yang mereka sekap itu lo.”

“Kenapa gue nggak tahu kalau lo udah lama keluar dari kota Jakarta? Lo nggak pernah ngabarin gue, Li.”

“Lo udah sibuk sama kehidupan baru lo, Chess. Gue nggak mau ganggu kalau Cuma buat hal-hal kecil kayak gini,” jawab Lion. Ia tersenyum saat melihat Chessy mau memakan bubur buatannya dengan lahap.

“Untuk sementara, lo ikuti skenario orang-orang yang nyulik lo ini. Gue bakal nyari celah supaya kita bisa keluar dari tempat ini,” pinta Lion.

Chessy mengangguk. “Lo yakin kalau semua bakal aman?”

Lion mengangguk. “Gue yang bakal jagain lo, Ches. Gue yang bakal pastiin kalau mereka nggak akan ngelukai lo sedikitpun. Karena mereka mau duit suami lo.”

“Mereka minta tebusan?” tanya Chessy.

Lion mengangguk. “Kayaknya mereka minta nilai yang fantastis. Biar gimana pun, suami lo adalah orang paling kaya di negeri ini. Mana mungkin mereka minta uang recehan 200 atau 300 juta aja. Mereka juga bilang kalo lo berharga. Jadi, nggak akan berani bikin lo luka.”

Chessy menarik napas dalam-dalam dan bulir-bulir air mata mulai menghiasi mata indahnya.

“Kenapa nangis? Ada gue di sini. Lo bakal aman.”

“Gue kepikiran Cakra. Kasihan dia. Dia bakal kesusahan gara-gara gue, Li,” jawab Chessy lirih. Air mata yang sedari tadi ia tahan, akhirnya tumpah juga.

“Chess, suami lo bukan orang biasa. Dia nggak mungkin kesusahan. Dia punya segalanya, Chess. Dia bisa ngelakuin apa aja yang dia mau pake uang yang dia punya. Bahkan buat cari banyak istri baru yang bakal gantiin posisi lo,” ucap Lion sambil menahan emosi melihat Chessy sedang menangisi suaminya.

PLAK!

Telapak tangan Chessy refleks menampar pipi Lion. “Jangan ngomong sembarangan, ya!” sentaknya.

Lion menatap tajam ke arah Chessy sambil memegangi pipinya yang memanas. Seumur hidupnya, Chessy tak pernah menamparnya meski ia kerap marah dan berkata kasar. Hatinya tiba-tiba merasa sakit karena perubahan sikap Chessy terhadap dirinya.

“Lo nampar gue demi laki-laki yang baru lo kenal, Chess?” tanya Lion sambil tersenyum sinis. “Dua puluh tahun kita hidup bareng, gue masih kalah sama cowok yang baru lo kenal setahun belakangan ini. Gue nggak nyangka kalo lo bakal berubah secepat ini, Chess,” ucap Lion penuh kekecewaan. Ia segera meletakkan mangkuk bubur yang isinya sisa dua sendok, kemudian bangkit dan melangkah keluar dari kamar tersebut dengan lunglai.

Chessy tertegun menatap telapak tangannya sendiri. Air matanya jatuh perlahan ketika ia dihadapkan oleh dua hal yang sangat penting dalam hidupnya, tapi ia harus memilih salah satunya.

“Kenapa? Kenapa gue bisa semarah ini sama Lion? Nggak seharusnya gue nampar dia,” lirih Chessy. Meski begitu, jauh di dalam lubuk hatinya ia tidak bisa menerima perkataan Lion yang menganggap remeh Cakra dan segala hal negatif tentang suaminya itu. Ia tidak mengerti kenapa rasanya begitu sakit saat Lion mengatakan kalau Cakra bisa dengan mudahnya bersama wanita lain di luar sana.

“Cak, kamu nggak akan nyakitin aku, kan?” ucap Chessy lirih sambil berlinang air mata. Semua kenangan antara ia dan Cakra, tiba-tiba muncul di pikirannya. Meski belum lama mengenal Cakra, ia merasa ada banyam memori indah yang memenuhi isi kepalanya, juga membahagiakan hatinya.

“Apa yang membuat rasanya berbeda? Kenapa kenanganku dengan Lion selama dua puluh tahun tidak lebih banyak dari kenanganku bersama Cakra selama satu tahun belakangan ini? Apa ini yang namanya cinta?” gumam Chessy. Ia terus sibuk berperang dengan hati dan pikirannya. Ia harap, ia bisa menjalani lebih banyak kebahagiaab bersama Cakra, meski orang lain mengatakan bahwa itu adalah penderitaan.


((Bersambung ...))

Terima kasih yang sudah setia mengikuti cerita ini sampai ke sini. Mohon banget kalau author udah bikin para pembaca kebingungan. Author juga jauh lebih bingung karena kontrak di platform F itu tidak menghasilkan apa-apa. Hanya menghasilkan lelah tak berujung yang bikin authornya kehilangan mood dan semangat buat nulis. Semoga kalian bisa mengerti bahwa tidak semua rumah bisa nyaman ditinggali oleh para penulis. 


Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas