16 September 2025.
Hari itu, udara di Desa Rempanga terasa hangat dan bersahabat ketika kami tiba untuk melakukan kegiatan Read Aloud dan sosialisasi program Relima dari Perpustakaan Nasional RI. Langit masih biru pucat, angin berhembus lembut, dan anak-anak yang duduk bersila di ruang perpustakaan tampak antusias mendengarkan cerita yang kami bacakan. Suasana begitu hidup, penuh tawa, tepuk tangan, dan mata berbinar yang membuat lelah perjalanan terasa lenyap begitu saja.
Sesi Read Aloud menjadi pembuka yang menyenangkan. Kami berbagi kisah dari buku-buku pilihan yang sarat pesan moral dan semangat literasi. Di sela kegiatan, beberapa anak ikut menirukan suara tokoh dalam cerita, ada pula yang dengan polosnya bertanya hal-hal lucu yang membuat kami semua tertawa. Momen sederhana itu terasa istimewa, mengingatkan bahwa literasi bukan sekadar membaca, tetapi tentang menghidupkan imajinasi dan menumbuhkan rasa ingin tahu.
Usai sesi membaca bersama, kegiatan dilanjutkan dengan sosialisasi program Relima. Saya menjelaskan tujuan utama Relima — Revitalisasi Literasi Masyarakat — agar masyarakat desa memahami bahwa keberadaan perpustakaan bukan hanya tempat menyimpan buku, tetapi jantung pengetahuan yang bisa menggerakkan perubahan. Antusiasme warga begitu terasa. Ibu Kepala Desa Rempanga bahkan ikut menanggapi dengan semangat, bercerita tentang bagaimana anak-anak dan remaja di desanya mulai gemar membaca setelah kegiatan literasi sering diadakan.
Namun, begitu kegiatan selesai dan kami berkemas untuk pulang, langit tiba-tiba berubah. Awan gelap menggantung berat di atas atap balai desa, lalu hujan turun deras tanpa jeda. Jalanan desa yang tadinya berdebu seketika berubah menjadi aliran air kecil yang menari-nari di antara rerumputan. Kami semua terjebak di sana, menunggu reda sambil menyeruput teh hangat yang disuguhkan dengan ramah.
Tak lama kemudian, Ibu Kepala Desa datang menghampiri kami dengan senyum tulus. “Sudah hujan begini, jangan pulang dulu. Ayo makan siang,” ujarnya sembari membawakan beberapa bungkus nasi yang ia beli dari warung terdekat.
Ada sayur asam yang segar, ayam bakar, dan sambal terasi yang menggugah selera. Kami makan sambil berbagi cerita tentang literasi, tentang anak-anak desa, dan tentang hujan yang tak kunjung reda di luar sana.
Hujan di Rempanga sore itu meninggalkan kesan mendalam. Bukan hanya karena kami sempat terjebak cuaca, tetapi karena hangatnya sambutan dan keramahan yang kami terima. Di balik hujan deras dan sepiring nasi hangat, saya menyadari bahwa semangat literasi memang tumbuh dari hal-hal sederhana. Dari tawa anak-anak, dari dukungan pemerintah desa, dan dari kepedulian bersama untuk menyalakan api pengetahuan.
Kami pulang saat hujan mulai reda, dengan hati penuh syukur dan pikiran yang kembali segar. Rempanga memberi pelajaran bahwa literasi bukan hanya tentang buku—tetapi juga tentang hubungan antarmanusia, tentang berbagi, dan tentang kehangatan yang tumbuh dari setiap cerita yang kita bawa.


0 komentar:
Post a Comment