Desa Ponoragan, 15 September 2025
Langit Kalimantan masih basah oleh embun pagi ketika aku ... Relima Perpusnas RI baru keluar dari rumah untuk menuju ke Perpustakaan Cerdas Desa Ponoragan. Kali ini aku tidak pergi sendiri karena kebetulan suami sedang libur bekerja. Jadi, dia punya waktu untuk mengantar dan menemaniku.
Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih 3 jam, kami sampai juga di Desa Ponoragan. Awalnya, aku berhenti di depan kantor desa karena aku pikir kalau gedung perpustakaan tidak jauh dari kantor Kepala Desa seperti perpustakaan yang lain. Ternyata, ada Ketua BPD yang menyambut kedatangan kami dan mengarahkan kami ke gedung Perpustakaan Cerdas Desa Ponoragan yang letaknya sekitar 1,5 kilometer dari Kantor Kepala Desa.
Sesampainya di depan gedung perpustakaan, aku sangat terkejut karena sudah ada barisan kursi yang tersusun rapi dan cantik, lengkap dengan spanduk bertuliskan "Audiensi Relima". Padahal, aku berniat datang sendiri tanpa pendampingan dari Perpustakaan Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara karena jaraknya masih dekat dan cukup terjangkau oleh sepeda motor.
Bangunan gedung Perpustakaan Cerdas Desa Ponoragan sangat menarik dan penuh warna. Anak-anak yang datang ke sini juga pasti sangat senang. Terlebih fasilitas di perpustakaan juga sudah sangat baik. Sebab, Perpustakaan Cerdas Desa Ponoragan adalah salah satu juara perpustakaan dan telah terakreditasi.
Di sana sudah berkumpul sejumlah warga, petugas perpustakaan desa, dan unsur pemerintahan desa — kepala desa, sekretaris, bahkan Ketua RT dan perangkat desa. Saat itu, udara penuh kehangatan yang mungkin tidak bisa digambarkan dari huruf-huruf di layar.
Aku ingat satu momen: ketika kami membuka sesi sambutan, Kepala Desa Ponoragan Pak Sarmin berdiri di depan mikrofon, menatap kami dan berkata bahwa perpustakaan itu bukan sekadar tempat menyimpan buku, tapi ruang hidup desa. Ruang di mana warga bisa belajar, berdiskusi, dan membuka jendela dunia. Ia juga mengatakan bahwa perpustakaan kadang juga dipakai sebagai ruang posyandu, pertemuan PKK atau ruang publik lain karena fungsinya yang fleksibel dan vital bagi masyarakat .
Sambutan itu membekas. Aku merasa seperti disambut ke “rumah besar” di mana Relima hanya tamu yang diijinkan meminjam ruang untuk menabur semangat literasi.
Aku menjelaskan apa itu Relima—gerakan literasi mobile dari Perpusnas yang bertujuan menjangkau wilayah-wilayah yang belum terlayani perpustakaan di tingkat desa. Warga menyimak dengan penuh antusias; beberapa menuliskan pertanyaan di kertas kecil, lalu aku ajak mereka berdiskusi.
Diskusi dengan Pengelola Perpustakaan & Pemerintah Desa sangat menguras emosiku. Pengelola perpustakaan desa menceritakan perjalanan panjang mereka: dari rak buku yang berdebu, sapu pinjaman yang belum teratur, hingga bagaimana mereka menggalang dana kecil dari warga agar perpustakaan tetap hidup. Pemerintah desa juga hadir mendukung penuh. Mereka siap menyisihkan anggaran desa untuk pemeliharaan perpustakaan agar tidak menjadi “projek sekali lalu mati”. Peran Pemerintah Desa tentunya menjadi salah satu hal penting dalam keberlanjutan kegiatan di perpustakaan. Selain pemerintah desa, dukungan dari pemerintah daerah juga mampu membuat fasilitas di Perpustakaan Cerdas Desa Ponoragan menjadi lebih baik dari perpustakaan-perpustakaan lain.
Terkadang kita sebagai pihak luar (Relima, Perpusnas) merasa “kami datang menyelamatkan”. Tapi di Ponoragan aku menyadari jika semangat itu ada di warga sejak lama. Kami datang hanya sebagai pemantik. Sambutan hangat dari pengelola perpustakaan dan pemerintah desa membuktikan bahwa mereka mau, mereka siap. Tanpa itu, program apa pun akan sulit lestari.
Sejak acara sosialisasi sampai diskusi, kami melihat bagaimana perpustakaan desa itu menjadi ruang multifungsi, ruang belajar, ruang komunitas, ruang kecil perubahan. Media lokal menyebut bahwa perpustakaan desa Ponoragan dirancang menjadi ruang multifungsi, memberi pelayanan literasi digital bagi masyarakat desa .
Inisiatif Relima harus dibarengi kerjasama dengan perangkat desa, pengelola perpustakaan lokal, komunitas, dan masyarakat luas. Di Ponoragan, perhatian pemerintah desa terhadap literasi dan dukungan logistik menjadi faktor penting agar sosialisasi itu tidak berhenti di “moment”, tapi bisa terus tumbuh.
Saat aku meninggalkan Ponoragan, sesosok cahaya kecil menyala di hatiku: bahwa desa-desa lain pun bisa seperti ini. Bahwa literasi bisa menjangkau tempat paling pinggiran. Bahwa Relima dan Perpustakaan Desa tak lagi menjadi istilah abstrak, tapi jalan konkret memperkuat masyarakat.




0 komentar:
Post a Comment