Showing posts with label Perfect Hero. Show all posts
Showing posts with label Perfect Hero. Show all posts

Saturday, October 18, 2025

Perfect Hero Bab 309 : Kemeja untuk Yeriko

 


“Yuna, ini ada apa?” tanya Adjie sambil menghampiri Yuna.

Yuna menghentakkan kaki sambil melepas kemeja dari tangannya. “Dia ngerebut kemeja aku!” jawab Yuna sambil menunjuk wajah Bellina.

Adjie menatap Bellina. “Mereka masih aja suka berebut seperti dua puluh tahun yang lalu,” batinnya.

“Yuna, masih banyak pakaian yang lain. Kamu pilih yang lain aja!” perintah Adjie.

Yuna mengerutkan hidungnya. Ia sangat kesal dengan sikap Bellina. Ia benar-benar tidak terima karena ia ingin membeli kemeja itu untuk Yeriko. Ia terus membuka deretan pakaian yang tergantung di hanger stand dengan kasar.

“Mbak, ada kemeja yang khusus buat suami saya?” tanya Yuna pada pelayan toko yang mendampinginya dari belakang.

“Pak Yeriko ya?”

Yuna menganggukkan kepala sambil melirik ke arah Bellina dengan kesal.

“Sebentar, saya tanyakan.”

“Oke.” Yuna akhirnya tersenyum ke arah Bellina. Ia berharap, kemeja yang dipesan khusus untuk suaminya sudah selesai dan ia bisa dengan mudahnya membuat hati Bellina semakin panas.

“Bu Fristi, ini kemeja pesanan Ibu. Kebetulan, baru aja sampai.” Pegawai toko tersebut menyodorkan sebuah kemeja berwarna maroon ke arah Yuna.

Yuna tersenyum menerimanya. Ia langsung menoleh ke arah Bellina yang berdiri tak jauh darinya. “Kenapa? Mau ngerebut lagi?” tanya Yuna.

Bellina mengunci mulutnya rapat-rapat. Tapi, dalam hati ia terus memaki Yuna tanpa ampun.

Yuna tersenyum sambil menghampiri Bellina. “Look at this!” pintanya sambil menyodorkan kemeja itu ke wajah Bellina. “Udah ada nama Yeriko di kemeja ini. Kalau kamu mau rebutan lagi sama aku. Pesan khusus buat suami kamu itu!” pinta Yuna. “Murah, kok. Cuma lima juta,” lanjutnya sambil tersenyum.

Melan dan Bellina membelalakkan matanya mendengar harga kemeja yang dibeli Yuna.

“Yang ini harganya berapa?” tanya Melan sambil menunjuk kemeja yang ada di tangan Bellina.

“Itu sih murah. Nggak nyampe dua juta. Satu juta sembilan ratus sembilan puluh sembilan!” sahut Yuna sambil menatap Bellina dan Melan yang terlihat khawatir.

“Kemeja ini mahal banget?” gumam Bellina. Ia segera memperbaiki ekspresi wajahnya saat menyadari ada Yuna di antara mereka.

Yuna tersenyum sinis. “Bukannya, kamu itu istrinya orang kaya? Kenapa beli baju masih harus mikir-mikir? Kamu belanja kayak gini harus izin ke Lian dulu? Hahaha.”

Bellina semakin kesal mendengar ucapan Yuna.

“Kamu jangan asal kalau ngomong!” sentak Melan.

“Aku nggak ngasal, Tante. Tante lihat aja! Anak Tante yang cantik ini, yang katanya sudah menjadi menantu keluarga kaya. Masih takut menghabiskan uang suaminya.”

Yuna tersenyum menatap Bellina. “Kenapa? Lian ngasih ke kamu kartu kredit yang limit. Kalo Yeriko sih, ngasih aku kartu tanpa batas alias unlimited buat aku bersenang-senang.”

Bellina semakin iri dengan apa yang sudah didapatkan Yuna. Yuna, selalu mendapatkan kebahagiaan. Sementara, ia tidak pernah mendapatkan cinta dari  seorang suami dan mama mertuanya.

“Nggak usah pamer!” seru Melan. “Kamu bisa nikah sama Yeriko juga hasil dari jual diri.”

Yuna membelalakkan matanya. “Tante nggak ingat apa yang udah Tante lakuin ke aku?” tanyanya sambil melirik Adjie. Ia tidak ingin perdebatan antara dirinya dan saudaranya itu membuat Adjie menjadi tertekan.

Yuna menarik napas panjang, ia segera melangkahkan kakinya menuju kasir.

“Mereka itu sebenarnya siapa? Kenapa  hubungan kalian terlihat sangat buruk?” tanya Adjie.

“Bukan siapa-siapa, Yah. Orang yang nggak penting sama sekali.”

Adjie terdiam sambil menoleh ke arah Bellina dan Melan. Yuna selalu bilang kalau keluarganya merawatnya dengan baik. Namun, melihat perseteruan Yuna dan tantenya. Adjie bisa melihat kalau Melan memperlakukan Yuna sangat buruk.

 

Dari kejauhan, Bellina terus memikirkan cara untuk melawan dan memperlakukan Yuna. Ia melangkah mendekati Yuna penuh kekesalan. Ia langsung menjambak rambut Yuna tanpa alasan.

 

“Kamu udah gila ya, Bel!?” sentak Yuna sambil berbalik menatap Bellina.

Bellina menatap geram ke arah Yuna. “Kamu itu nggak pantes buat dapetin ini semua.”

“Terus, kamu ngerasa ini semua pantesnya cuma buat kamu?” tanya Yuna sambil tertawa kecil. “Aku kasihan sama kamu, Bel. Kamu itu cuma dimanfaatin sama mama kamu buat menghasilkan uang.”

Melan naik pitam mendengar ucapan Yuna. “Anak nggak tahu diri. Kamu udah Tante besarkan selama ini. Sekarang, malah ngata-ngatain Tante, hah!? Kamu nggak ingat kamu yang dulu seperti apa?”

Yuna tersenyum sinis. “Aku nggak akan pernah lupa gimana Tante memperlakukan aku selama sebelas tahun ini. Aku juga nggak akan pernah lupa kalau Tante pernah mau ngejual aku ke Oom-Oom hidung belang itu!”

Melan mendelik ke arah Yuna. Ia melayangkan telapak tangannya ke wajah Yuna. Namun, tindakannya itu terhenti saat sebuah tangan kekar mencengkeram pergelangan tangannya.

“Yeriko?” Yuna terkejut dengan kehadiran Yeriko yang muncul secara tiba-tiba seperti jin.

“Kamu!?” Melan melotot ke arah Yeriko. Ia berusaha melepaskan tangannya.

Yeriko tersenyum sinis. Ia menepis tangan Melan, kemudian merangkul pinggang Yuna agar merapat ke tubuhnya. “Kalian nyerang istriku cuma karena rebutan pakaian?”

“Istri kamu ini yang cari gara-gara duluan!” sahut Melan.

Yeriko tersenyum sambil menatap Melan. “Oh ya? Kalau gitu, kalian boleh pilih pakaian mana aja yang kalian mau. Aku akan bayarin semuanya.”

Yuna mengerutkan dahi. Ia tak menyangka kalau Yeriko justru memberikan hadiah untuk dua wanita itu.

Yeriko menatap wajah Yuna. Ia bisa melihat dengan jelas kesedihan yang tergambar dari wajah Yuna. Namun, ia tidak berniat menjelaskan apa pun.

Melan tersenyum bahagia karena Yeriko kali ini tidak membela istrinya. Ia hanya perlu menunggu Yuna dipermalukan di depan semua orang oleh suaminya sendiri.

Di sebelah Melan, Bellina menatap wajah Yeriko penuh cinta. Ia merasa, hanya pria sempurna seperti Yeriko yang layak bersanding dengan dirinya. Ia mulai membayangkan kehidupan bahagianya kelak bersama dengan Yeriko.

Yuna menatap Bellina dengan mata berapi-api. Ia sangat mengetahui kalau Bellina menginginkan Yeriko. Tatapan mata Bellina benar-benar mengganggunya.

“Ayah nggak kekurangan pakaian. Kamu nggak perlu berebut untuk Ayah!” pinta Adjie sambil menatap Yuna.

“Dia yang ngerebut semua barang-barangku lebih dulu, Yah.” Yuna menatap wajah ayahnya. Kemudian beralih ke wajah Yuna yang masih murung.

 “Tante, Bellina ... kalian nggak mau belanja pakaian hari ini? Aku akan bayarin semua pakaian yang kamu ambil.”

Bellina dan Melan tersenyum penuh kemenangan. Mereka sangat bahagia mendapatkan kesempatan untuk berbelanja sepuasnya.

Yeriko tersenyum kecil. Ia merogoh ponsel dari saku celananya dan menelepon seseorang. “Lakukan sekarang!” perintahnya.

 

Beberapa menit kemudian, Melan dan Bellina mengetahui dari penjaga toko kalau brand toko tersebut sudah selesai diakuisisi oleh Galaxy Group.

“Apa!?” Melan dan Bellina membelalakkan matanya. Mereka tidak percaya kalau Yeriko bisa mengambil alih dalam waktu singkat. Mereka tidak punya pilihan lain selain menerima kenyataan bahwa brand toko  tersebut sudah sudah dimiliki oleh Yeriko.

Yuna juga tak kalah tercengang. Ia masih tidak percaya kalau Yeriko bisa mengakuisisi sebuah brand hanya dengan satu panggilan saja. “Oh, My God! Ini bukan mimpi, kan?” batin Yuna sambil mengerjap-ngerjapkan matanya.

Yeriko tersenyum kecil. Ia ingin melihat  apa yang akan dilakukan oleh Melan dan Bellina selanjutnya.

 

(( Bersambung ... ))

 

Thanks for Big support, you’re my booster.

 

Big Love,

@vellanine.tjahjadi

 


Tuesday, October 7, 2025

Perfect Hero Bab 308 : Pakaian Baru untuk Ayah

 




“Yun, suami kamu itu baik banget.”

Yuna tersenyum menanggapi ucapan ayahnya. “Iya, Yah. Mama mertua aku juga baik banget.”

“Oh ya?”

Yuna mengangguk. Ia menceritakan kehidupannya selama berumah tangga sembari membawa ayahnya ke salah satu toko pakaian langganannya.

Sesampainya di toko pakaian, Yuna membantu ayahnya memilih pakaian yang pas.

“Yah, ini bagus!” tutur Yuna sambil mengambil sebuah kemeja dengan motif batik.

Adjie menganggukkan kepala dan menerima pakaian yang diberikan Yuna.

Yuna terus mengajak ayahnya berkeliling di toko tersebut untuk mendapatkan baju yang pas. Yuna menghentikan langkahnya saat melihat Melan dan Bellina juga berada di toko tersebut.

“Astaga! Kenapa harus ketemu sama mereka di sini?” batin Yuna.

Sementara, Adjie tidak menunjukkan reaksi apa pun. Ia berusaha sebisa mungkin menyembunyikan ingatannya. Ia ingin mengetahui bagaimana reaksi Melan saat bertemu dengannya.

Melan dan Bellina terkejut melihat Adjie yang berdiri di samping Yuna.

“Ma, itu Pak Adjie?” tanya Bellina sambil memegang lengan ibunya.

Melan menggelengkan kepala. “Nggak mungkin. Bukannya dia masih koma dan lumpuh? Nggak mungkin dia bisa sembuh secepat ini!” balas Melan berbisik.

“Gimana kalau itu memang Pak Adjie?” tanya Bellina. Sejak kecil, ia memang sangat takut dengan Adjie.

“Kalau itu Adjie, harusnya dia mengenal kita. Dari gerak-geriknya, dia nggak mengenal kita.” Melan langsung melangkah mendekati Yuna dan ayahnya. “Jangan-jangan, dia bayar orang buat nakut-nakutin kita?” bisiknya.

“Hai, Yuna ...! Apa kabar?” sapa Melan.

Yuna tersenyum manis. Ia tidak ingin bertengkar dengan dua wanita ini di hadapan ayahnya.

“Mereka siapa?” tanya Adjie sambil menatap Yuna.

Melan tertawa saat mendengar pertanyaan Adjie. “Oh, ternyata bener dugaanku. Kamu sengaja bayar orang buat nakut-nakutin kami?”

Yuna mengernyitkan dahinya. “Nakut-nakutin? Oh ... jadi, kalian takut sama orang yang ada di samping aku ini? Takut kenapa? Kalian bikin kesalahan?”

Melan dan Bellina membelalakkan matanya mendengar pertanyaan Yuna.

“Ma, dia mau cari gara-gara sama kita.”

Melan tersenyum sinis. “Mama nggak takut. Dia sekarang bergaya kayak gini karena jadi istri orang kaya.” Ia menatap tajam ke arah Yuna. “Mentang-mentang kamu sudah kaya raya, kamu lupa sama orang yang sudah merawat dan membesarkan kamu selama ini?”

“Nggak usah mengalihkan pembicaraan, Tante!” sahut Yuna kesal.

Melan tersenyum sinis. “Yuna, kamu tahu kalau Bellina dari kecil takut sama ayah kamu. Kamu sengaja bayar orang buat nakut-nakutin dia, hah!?”

Yuna tak menghiraukan ucapan Melan. Ia menarik lengan ayahnya menjauh dari dua wanita tersebut. “Nggak usah hiraukan mereka, Yah!” bisiknya.

“Mereka siapa?” tanya Adjie lagi.

“Bukan siapa-siapa,” jawab Yuna. “Ayah cobain ini!” pinta Yuna sambil memberikan beberapa pakaian kepada Adjie dan memintanya mencoba di kamar ganti.

Adjie mengangguk. Ia bergegas masuk ke kamar ganti untuk mencoba pakaian yang sudah dipilihkan oleh Yuna.

Yuna melirik ke arah Melan dan Bellina. Ia langsung melangkah kembali mendekati mereka. “Tante, kenapa takut ketemu sama ayah? Tante takut kalau ayah tahu semuanya?”

“Tahu apa?” tanya Melan.

“Tante nggak usah pura-pura!” sentak Yuna. “Tante pasti ketakutan kalau ayahku bakal ngambil alih perusahaan lagi kan?”

Melan mengernyitkan dahi. Jantungnya berdebar sangat kencang, namun ia berusaha untuk menutupinya dengan bersikap santai.

“Tante pikir aku nggak tahu kalau selama ini kalian udah menipu ayahku untuk menandatangani surat pemindahan saham?”

Melan membelalakkan matanya. “Kamu tahu dari mana?”

Yuna tersenyum menatap Melan. “Aku udah tahu semuanya. Aku bukan orang bodoh kayak kalian.”

“Apa kamu bilang!?” sentak Bellina.

“Bodoh!” sahut Yuna makin menjadi.

“Kamu ...!?” Bellina berusaha mendorong tubuh Yuna, namun tangan Melan menahannya.

Yuna tersenyum menatap Bellina. “Kenapa marah? Ngerasa kalau kamu bodoh? Kamu bukan cuma bodoh, Bel. Tapi nggak waras juga. Heran deh, kenapa orang kayak kamu masih berkeliaran di tempat kayak gini. Harusnya, kamu itu duduk santai di rumah sakit jiwa!”

“Jangan sembarangan kalo ngomong, Yun!” sahut Bellina kesal.

Yuna tersenyum sinis. “Kamu pikir aku nggak tahu kalo sekarang kamu mulai tertarik sama suamiku? Sayangnya, suamiku itu nggak bego kayak Lian. Jadi, dia nggak akan tergoda sama perempuan murahan kayak kamu.”

“Berani-beraninya kamu ngatain aku murahan!?” sentak Bellina sambil berusaha mendorong tubuh Yuna.

Dengan cepat, Yuna menghindari tangan Bellina dan tersenyum sinis.

“Kamu juga, berani-beraninya mau godain suami orang. Apalagi kalau bukan perempuan murahan? Masih kurang puas ngambil Lian dari aku? Aku udah ikhlasin si Lian buat kamu. So, kamu jangan coba-coba ngerebut Yeriko dari aku. Ngimpi!”

Bellina menatap tajam ke arah Yuna. Ia semakin membenci Yuna karena Yuna selalu saja lebih unggul darinya. Sampai saat ini, Lian masih saja memikirkan Yuna walau merek telah menikah. Hal ini, membuat Bellina semakin tersiksa.

“Kenapa lihatin aku kayak gitu? Suami kamu itu nggak beneran sayang sama kamu? Masih aja godain istri orang lain.”

“Maksud kamu?”

“Kamu pura-pura bego atau bego beneran? Suami istri kelakuannya sama aja. Yang satu, godain istri orang. Satunya lagi godain suami orang. Kamu pikir-pikir lagi kalau mau godain Yeriko. Bisa-bisa, kamu kehilangan Lian dan nggak dapet Yeriko sama sekali!”

Bellina menatap tajam ke arah Yuna. Kali ini, ia ingin sekali mencabik-cabik wajah Yuna.

“Kamu sekarang berani sama kami, hah!?” sahut Melan.

“Kenapa nggak berani? Dulu, aku nurut sama kalian karena ayah. Sekarang, ayahku udah sembuh dan nggak ada di tangan kalian lagi. Kalian nggak punya alat buat nindas aku lagi!” seru Yuna.

Bellina ingin memaki Yuna, namun mulutnya terhenti saat melihat Adjie keluar dari kamar ganti dan menghampiri Yuna.

“Udah, Yah?” tanya Yuna.

Adjie menganggukkan kepala.

Yuna tersenyum, ia melangkahkan kakinya menuju kasir.

“Ayah tunggu di sini, ya!” pinta Yuna sambil memberikan beberapa pakaian untuk ayahnya ke meja kasir. “Aku cari kemeja dulu buat Yeriko.”

Adjie menganggukkan kepala.

“Mbak, tolong bungkus ini semua ya! Saya cari yang lain dulu,” pinta Yuna sambil menyodorkan sebuah kartu ke penjaga kasir.

“Iya, Mbak!” Petugas kasir tersebut tersenyum sambil menganggukkan kepala.

Yuna kembali melangkah. Ia melihat-lihat beberapa kemeja yang cocok untuk Yeriko. Ia mengambil satu kemeja berwarna krem dengan list hitam di bagian kerah dan lengannya. Yuna tersenyum, ia langsung mengambil kemeja tersebut.

Baru saja ingin melangkah, Bellina tiba-tiba merebut kemeja dari tangan Yuna.

Yuna langsung berbalik, ia menatap Bellina yang sudah memegang kemeja yang ingin ia beli.

“Kamu ngapain ngerebut kemejaku!?” sentak Yuna sambil merebut kemeja itu kembali.

“Aku suka,” jawab Bellina santai sambil merebut kemeja itu kembali dari tangan Yuna.

“Kenapa sih kamu selalu aja mau ngerebut apa yang aku punya? Kalian bahkan sudah punya semua yang kalian mau. Masih aja gangguin aku terus,” tutur Yuna kesal.

Bellina tersenyum senang. “Aku nggak akan puas sebelum lihat hidup kamu menderita!” tegas Bellina.

Yuna mendelik ke arah Bellina. Ia berusaha menarik kembali kemeja dari tangan Bellina. Hal ini membuat beberapa orang menatap ke arah mereka. Pegawai toko pun kewalahan  melerai  mereka karena keduanya pelanggan VIP mereka.

 

(( Bersambung ... ))

Thanks for support, you’re my booster.

 

Big Love,


 

 

 

 

 

 

 

 

 

Friday, August 15, 2025

Perfect Hero Bab 307 : Dua Pria Kesayangan Yuna

 


“Hari ini, pasien sudah boleh pulang. Jika ada keluhan, langsung bawa ke rumah sakit!” tutur Profesor Santoso setelah selesai memeriksa kondisi kesehatan Adjie.

“Baik. Terima kasih, Prof.” Yeriko menyalami tangan Profesor Santoso. “Terima kasih, sudah memberikan perawatan terbaik untuk ayah mertua saya.”

Profesor Santoso menganggukkan kepala. “Sudah menjadi tugas kami sebagai dokter.” Ia menoleh ke arah Adjie. “Semoga sehat selalu, Pak Adjie!”

“Terima kasih, Prof!” tutur Adjie dengan perasaan bahagia. Akhirnya, ia bisa menghirup udara segar setelah sebelas tahun terbaring di rumah sakit.

Yuna tersenyum dengan mata berkaca-kaca. “Makasih, Prof!”

Profesor Santoso tersenyum. “Saya ikut bahagia. Akhirnya, kamu bisa berkumpul kembali dengan ayah kamu.”

Yuna menganggukkan kepala.

“Oke. Saya pergi dulu!” pamit Profesor Santoso.  “Masih ada pasien lain yang harus saya tangani,” lanjutnya sambil melangkahkan kakinya keluar dari kamar rawat tersebut.

Yuna langsung memeluk tubuh ayahnya. “Ayah, akhirnya bisa pulang juga!” serunya sambil melompat kegirangan.

Adjie tersenyum sambil mengelus punggung Yuna. “Terima kasih, sudah membuat Ayah kembali bersama kamu,” ucapnya sembari menatap Yeriko yang berdiri di belakang Yuna.

Yeriko tersenyum melihat kebahagiaan ayah dan anaknya ini. Ia sangat iri kepada Yuna karena memiliki seorang ayah yang baik dan sangat menyayangi anaknya.

Yuna melepas pelukannya perelahan. Ia menoleh ke arah Yeriko dan menghampirinya. “Makasih, ya!” tuturnya lirih dengan mata berkaca-kaca.

Yeriko mengangguk sambil tersenyum.

Yuna langsung memeluk tubuh Yeriko. “Kalau bukan karena kamu, aku nggak mungkin bisa berkumpul dengan ayah secepat ini. Aku nggak tahu harus membalas kebaikan kamu dengan apa. Kamu sudah melakukan banyak hal buat aku, sementara aku nggak pernah ngasih apa-apa buat kamu.”

Yeriko tersenyum sambil mengusap lembut rambut Yuna. “Cukup kasih hati kamu aja ke aku!” pinta Yeriko.

Yuna menengadahkan kepalanya menatap Yeriko. “Semuanya buat kamu. Hati aku, jantung, paru-paru, ginjal, semuanya buat kamu.”

Yeriko tersenyum, ia langsung mengecup bibir Yuna.

Yuna tersenyum sambil meninju dada Yeriko. “Ada Ayah, malu tahu,” ucapnya sambil menggigit bibir.

 

“Malu kenapa?” tanya Yeriko sambil melirik ayah mertuanya.

Yuna menyembunyikan bibirnya sambil menahan senyum. Pipinya menghangat hingga mengeluarkan rona merah.

“Yah, kami udah siapin apartemen yang ada di dekat rumah kami.”

“Nggak perlu repot-repot! Ayah sudah kembali sehat seperti ini, sangat berterima kasih sama Nak Yeri. Ayah  bisa cari tempat tinggal sendiri.”

“Ayah …!?” sentak Yuna. “Ayah nggak mau tinggal di rumah kami. Nggak mau tinggal di apartemen!?”

“Kalau Ayah nggak mau tinggal di apartemen sendirian, bisa tinggal di rumah besar keluarga saya,” sela Yeriko.

“Nggak perlu. Kamu terlalu baik sama kami. Ayah nggak bisa  terus-menerus kebaikan kamu. Ayah berterima kasih karena kamu sudah melakukan banyak hal untuk saya dan Yuna,” tutur Adjie.

“Ayah nggak perlu sungkan. Kewajiban saya sebagai suami memang harus menyayangi dan melindungi Yuna. Kewajiban saya sebagai menantu adalah berbakti. Jadi, jangan menolak niat baik dari saya!” pinta Yeriko setengah membungkuk.

Yuna menghela napas menatap ayahnya. “Yah, ikut ke rumah kami atay tinggal di apartemen?”

Adjie terdiam. Ia gelisah dengan pilihan yang diajukan oleh Yuna. Ia tidak ingin mengganggu kebahagiaan anaknya.

“Yah …!” panggil Yuna karena ayahnya masih saja bergeming di tempatnya.

Adjie menatap Yuna. “Yuna lagi hamil, alangkah baiknya kalau aku bisa tinggal di apartemen yang tidak jauh dari rumahnya. Aku bisa menjaga Yuna tanpa mengganggu kebahagiaan rumah tangganya,” batinnya.

“Gimana, Yah?”

“Mmh … Ayah tinggal di apartemen aja.”

Yuna tersenyum riang. Ia sangat senang karena ayahnya menerima tawarannya. “Gitu, dong! Ayo, kita pulang!” tuturnya penuh semangat.

Yeriko tersenyum, ia segera membawa Yuna dan ayah mertuanya menuju apartemen yang sudah ia beli sebelumnya.

 

Beberapa menit kemudian, mereka sampai di salah satu pintu apartemen.

Yeriko langsung membuka pintu, mengajak Yuna dan ayah mertuanya masuk ke dalam.

Yuna melongo melihat isi apartemen yang sudah lengkap. “Kamu udah lengkapi semuanya?” tanya Yuna.

Yeriko menganggukkan kepala. Ia langsung menunjukkan kamar untuk ayah mertuanya.

“Ayah nggak perlu merasa sungkan!” pinta Yeriko. “Ini sudah menjadi rumah kalian. Anggap aja, ini hadiah dari aku.”

“Hadiah?” Adjie mengernyitkan dahinya.

Yeriko mengangguk.

“Hadiah ini terlalu mewah,” tutur Adjie.

“Kalian bukan orang lain buat aku. Aku harap, kalian bisa menerimanya dengan senang hati. Kecuali, kalau kalian menganggap aku orang lain.”

“Jangan seperti itu!” pinta Yeriko. “Ayah senang menerimanya. Terima kasih untuk semua ini,” lanjutnya sambil merangkul Yeriko penuh kehangatan.

Yeriko tersenyum menatap Adjie. Sosok ayah yang baru ia temui seumur hidupnya. Menyambutnya penuh kehangatan. “Andai itu dia, apa dia …?” batin Yeriko, pandangannya menerawang jauh pada bayangan ayah yang tak pernah ia temui lagi.

“Makasih ya, Yer! Kamu selalu bikin …”

“Hmm … kamu udah ratusan kali ngucapin makasih dan maaf ke aku. Kenapa jauh lebih banyak ngucapin kata makasih daripada I Love you?”

“Eh!?” Yuna tersenyum sambil menatap Yeriko.

“Aku mau kasih kamu sesuatu. Tapi, aku nggak mau kalau kamu ngomong terima kasih. Aku maunya, kamu ngomong I Love you ke aku!” pinta Yeriko.

“Idih, kok maksa?”

Yeriko melipat kedua tangan sambil membuang pandangannya. “Oke. Kalau nggak mau, berarti kamu nggak cinta sama aku.”

“Aku cinta sama kamu …” Yuna bergelayut manja di dada Yeriko.

“Kalo gitu, kamu penuhi permintaan aku!”

“Siap, Bos!”

Yeriko tersenyum. Ia mengeluarkan map dari laci meja dan memberikannya pada Yuna.

Yuna tersenyum menerima map tersebut dan langsung membukanya. Ia terperangah begitu membaca isi map tersebut. Baru saja ingin membuka mulut, ia langsung dicegah oleh Yeriko.

“Aku nggak mau dengar kata lain selain yang aku minta tadi!”

Yuna tertawa kecil sambil memeluk tubuh Yeriko. “I Love you …”

Adjie tersenyum melihat kebahagiaan anak gadisnya itu.

“Gitu, dong. Istri yang baik harus nurut kata suami.” Yeriko mengecup ujung kepala Yuna.

Yuna mengangguk sambil tersenyum. Ia menatap wajah Yeriko. “Udah boleh ngomong yang lain?”

Yeriko mengangguk.

“Kenapa kamu beli apartemen ini atas namaku?”

“Karena kamu istri aku.”

“Minggu kemarin aku baru aja menolak pengalihan aset pribadi kamu. Kenapa malah beli apartemen atas namaku.”

“Mmh..  setelah dipikir-pikir. Akan lebih baik kalau aset pribadi dikelola sama istriku. Aku cukup mengurusi aset perusahaan. Kalau kamu mau berterima kasih ke aku. Bantu aku menjaga semua aset pribadiku!” Yeriko langsung merogoh ponselnya yang tiba-tiba berdering.

Mulut Yuna menganga lebar. Ia tidak bisa lagi menolak keinginan suaminya. Mungkin, ini salah satu cara untuk membalas kebaikan suaminya itu.

“Halo …!” Yeriko langsung menjawab telepon. “Harus sekarang? Oke. Aku ke sana.”

Yuna menatap wajah Yeriko.

Yeriko tersenyum sambil mematikan panggilan teleponnya. “Ada hal penting yang harus aku tanda tangani secepatnya. Aku tinggal kamu di sini, nggak papa?”

Yuna mengangguk. “Itu … suaranya Lian?”

“Masih hafal aja sama suara mantan pacar,” celetuk Yeriko sambil tersenyum kecil.

Yuna memonyongkan bibirnya. “Tujuh tahun pacaran, gimana nggak hafal?” dengus Yuna. “Dokumen apa yang harus kamu urus sama dia?”

“Pembelian tanah yang waktu itu.”

Yuna mengernyitkan dahinya. “Kamu yakin kalau Lian bakal ngasih tanah itu ke kamu gitu aja?”

Yeriko menganggukkan kepala.

“Aku nggak yakin. Aku takut kalau dia cuma mau jebak kamu aja.”

Yeriko tersenyum kecil. “Nggak perlu khawatir. Kamu doain aja suami kamu ini selalu baik-baik aja dan pulang membawa kesuksesan!”

Yuna mengangguk sambil tersenyum. Ia berharap, hubungan antara Yeriko dan Lian tidak memburuk. Ia sudah sangat lelah dengan sikap Bellina. Ia tidak ingin suaminya menghadapi Lian juga.

“Aku pergi dulu, kamu ajak Ayah beli pakaian baru!” pamit Yeriko sambil mengecup kening Yuna.

Yuna mengangguk sambil tersenyum. “Hati-hati ya!”

Yeriko mengangguk. Ia tak lupa berpamitan dengan ayah mertuanya dan bergegas pergi meninggalkan apartemen.

 

(( Bersambung ... ))

Thanks for Big Support, you are my booster.

 

Big Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Perfect Hero Bab 306 : Cinta 100%

 


“Oom ...!” seru Yuna saat Tarudi melangkah perlahan meninggalkan rumah sakit.

Tarudi langsung tersenyum lebar mendengar suara yang ada di belakangnya. Ia berbalik dan menatap Yuna yang berdiri di sana. “Oom boleh jenguk ayah kamu?”

Yuna menggelengkan kepala.

“Kenapa?”

“Aku ke sini, bukan karena mau izinkan Oom jenguk ayah. Aku ... cuma minta satu hal sama Oom.”

“Apa itu?”

“Jangan ganggu hidup kami lagi!” pinta Yuna.

Tarudi tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. “Oke. Oom tidak akan menganggu kalian lagi. Asalkan ... kalian tidak mengambil kembali kekuasaan kalian di perusahaan.”

Yuna tertawa kecil. “Oh, jadi Oom ke sini nggak tulus mau jenguk ayah? Cuma mau mastikan ayah masih hidup atau nggak? Mau mastikan kalau perusahaan yang udah Oom rebut, nggak kembali ke tangan kami lagi?” tanya Yuna.

“Yuna, kamu nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Di saat perusahaan lagi krisis, Oom sudah berjuang mati-matian mempertahankan perusahaan. Kalau sampai perusahaan diurus sama Adjie yang lupa ingatan itu. Perusahaan pasti akan langsung bangkrut.”

Yuna tersenyum sinis. “Oom, kami nggak menginginkan perusahaan itu kembali.”

“Beneran?” tanya Tarudi dengan wajah berbinar.

Yuna menganggukkan kepala.

“Gimana caranya supaya aku percaya, kamu dan ayah kamu nggak akan mengambil alih perusahaan itu kembali?”

“Menurut, Oom?”

Tarudi mengeluarkan ponsel dari sakunya. “Kamu ucapkan sekali lagi!” pintanya sambil membuka rekaman di ponselnya. “Kamu harus menjamin kalau kamu tidak akan mengambil alih perusahaan itu.”

Yuna menganggukkan kepala. “Oom, kami nggak menginginkan perusahaan itu kembali. Kami hanya ingin hidup tenang dan aman tanpa gangguan siapa pun. Asalkan Oom bisa menjamin keselamatan ayah, aku akan menjamin kalau ayah tidak akan membuat aku merebut kembali perusahaan kamu,” ucapnya sambil tersenyum sinis.

“Baiklah. Oom akan penuhi permintaan kamu.” Tarudi tersenyum sambil memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku.

Yuna mengangguk-anggukkan kepalanya. “Tapi, persaingan bisnis nggak pernah ada yang tahu gimana ke depannya. Bisa aja, perusahaan itu berpindah tangan ke aku dengan sendirinya,” lanjut Yuna sambil tersenyum sinis.

Tarudi menatap wajah Yuna. Ia berusaha menyembunyikan tangannya yang gemetar ke di saku jaketnya. “Kamu mau gunain suami kamu buat menghancurkan kami?” tanyanya dengan bibir bergetar.

Yuna tersenyum menatap Tarudi. Ia melangkah perlahan mendekati pria paruh baya itu. Membuat Tarudi melangkah mundur seiring dengan langkah kaki Yuna.

“Aku nggak perlu gunain suamiku buat ngambil alih perusahaan kalian kalau aku mau. Seharusnya, Oom sudah menyadari dari awal kenapa aku memilih untuk ngambil jurusan bisnis di Melbourne.” Yuna menatap tajam ke arah Tarudi.

“Kamu ngancam saya?”

“Aku nggak ngancam, Oom. Aku cuma mau ingatin aja. Oom sudah semakin tua. Seharusnya, lebih memikirkan pesaing bisnis lain yang usianya jauh lebih muda dan lebih kreatif.”

“Aku nggak akan kalah gitu aja.”

“Oke. Aku akan lihat, sampai mana perusahaan Oom itu bertahan dalam persaingan pasar.” Yuna tersenyum sinis. Ia berbalik dan meninggalkan Tarudi.

Tarudi menatap tubuh Yuna penuh khawatir. Jika memang Yuna ingin membuktikan ucapannya. Ia bisa dengan mudahnya hancur di tangan suami Yuna. Ia harap, Yuna tidak mengambil perusahaan yang sudah ia kuasai.

 

“Huft ...!” Yuna mengipas-ngipas wajahnya menggunakan kelima jarinya saat ia masuk ke dalam ruang rawat ayahnya.

“Kenapa?” tanya Yeriko.

Yuna langsung duduk di sofa. Ia meraih botol mineral yang ada di atas meja, membuka dan meminumnya. “Aku nggak nangka kalau aku bisa ngadepin orang itu,” tutur Yuna sambil tertawa.

“Nangka atau nyangka?” Yeriko mengernyitkan dahinya.

“Yang bener nyangka, aku plesetin. Protes mulu, ih!” dengus Yuna.

Yeriko dan Adjie tertawa kecil menanggapi ucapan Yuna.

“Kamu ini, ada-ada aja,” tutur Adjie sambil menggeleng-gelengkan kepala.

“Gimana sama paman kamu itu?” tanya Yeriko.

“Mmh ... kalo dilihat dari ekspresinya ... kayaknya aku lebih serem dari valak.”

“Hahaha.” Yeriko langsung tergelak mendengar ucapan Yuna.

Adjie menatap Yuna dan Yeriko yang terbahak bersama-sama. “Valak siapa?”

 Yuna tertawa tanpa suara sambil meletakkan dagunya di bahu Yeriko. “Ayah kan nggak tahu Valak,” bisik Yuna.

Yeriko tertawa kecil. “Kamu ini, ada-ada aja.” Yeriko menatap ayahnya. “Valak itu, tokoh hantu di film horor, Yah.”

“Owalah ... kalian suka nonton film horor?”

Yuna menganggukkan kepala. “Dia yang suka, tapi suka ketakutan doang. Hahaha.”

Yeriko langsung menjepit kepala Yuna di ketiaknya. “Kamu ngomong apa?”

“Nggak. Aku nggak ngomong apa-apa!” seru Yuna sambil tertawa.

“Kamu mau buka aibku, hah!?”

“Nggak. Mr. Ye kan pemberani,” tutur Yuna sambil menepuk-nepuk dada Yeriko.

“Aku emang pemberani,” sahut Yeriko sambil melepas kepala Yuna.

“Iya, pemberani banget tapi takut sama pocong. Gimana kalau pas kamu lembur malam dan tiba-tiba ada pocong di ruang kerja kamu?” goda Yuna.

“Nggak usah nakutin!” dengus Yuna.

“Aku nggak nakutin. Aku nanya, kamu takut nggak?”

“Nggak takut.”

“Serius?”

Yeriko menggelengkan kepala.

“Aku mau bayar dukun biar datangkan pocong-pocong ke kantor kamu.”

“What the hell!?” Yeriko mendelik ke arah Yuna.

Yuna tergelak.

Adjie ikut tertawa bahagia melihat kebahagiaan anaknya. Ia bisa merasakan kalau selama ini Yuna sangat mencintai Yeriko, begitu juga sebaliknya.

“Yah, lihat anak Ayah!” tutur Yeriko sambil tertawa. “Setiap hari dia selalu menindas aku.”

“Kamu yang nindas aku!” sahut Yuna sambil mengerutkan hidungnya.

“Sudah, sudah. Jangan berdebat lagi!” Adjie menengahi.

“Ayah, dia yang nggak mau ngalah sama istrinya. Suami kan harusnya ngalah.”

“Iya, aku pasrah,” sahut Yeriko.

“Hehehe. Gitu dong!”

“Yah, kalau udah bisa keluar dari sini. Ayah tinggal di rumah kami aja ya!” pinta Yeriko.

“Nggak perlu. Ayah bisa cari tempat tinggal sendiri. Ayah nggak mau ngerepotin kalian.”

“Kami nggak merasa repot sama sekali. Kami senang kalau Ayah mau tinggal sama kami.”

“Ayah ... tinggal sama kami ya!”

Adjie terdiam. Ia merasa kurang baik jika harus tinggal di rumah menantunya. Terlebih, Yuna sedang mengandung. Akan lebih merepotkan kalau ia juga tinggal di rumah itu.

“Yah ...?”

“Mmh, nanti Ayah pikir-pikir lagi. Kalian sudah makan?” tanya Adjie.

“Sudah, Yah. Ayah makan ya!” pinta Yuna sambil membuka kotak bekal untuk ayahnya. “Keasyikan bercanda, jadi lupa.”

“Sudah punya yang lain, jadi lupa sama ayahnya.”

Yuna membelalakkan matanya sambil menatap Adjie. “Ayah cemburu?”

Adjie menganggukkan kepala. “Sangat cemburu. Andai Ayah tidak terlalu lama berbaring di rumah sakit. Kasih sayang anak Ayah tidak akan dicuri oleh pria lain.”

Yuna tertawa kecil. “Ayah, cintaku ke Ayah nggak pernah berkurang dari dulu. Tetap seratus persen.”

“Kalau Ayah seratus persen, aku kebagian berapa?” tanya Yeriko.

“Seratus persen juga.”

“Kok gitu?”

“Karena aku punya seribu persen. Hahaha.”

Yeriko langsung menatap serius wajah Yuna yang masih tertawa.

“Jangan terlalu serius!” pinta Yuna. “Sesungguhnya, perasaan cinta itu nggak bisa diukur.”

Adjie tersenyum menatap Yuna dan Yeriko.

Yuna menatap dua pria yang bersamanya bergantian. “Cintaku ke ayah dan ke kamu itu sama besarnya. Jadi, nggak perlu dipermasalahkan lagi! Oke!?”

Yeriko dan Adjie saling pandang. Kemudian tertawa bersama.

“Kalau aku sama ayah sama-sama mau masuk sumur. Siapa yang kamu tolongin duluan?” tanya Yeriko.

“Aku ikut nyemplung aja. Sumurnya dalem nggak?” tanya Yuna balik.

Yeriko mengerjap-ngerjapkan matanya. “Yun, ini pertanyaan serius,” ucapnya geram.

“Aku juga serius. Lagian, zaman sekarang udah jarang ada sumur. Ngapain juga main-main ke sumur segala? Kamu bisa berenang, ayah bisa berenang dan aku juga bisa berenang. Nyemplung sumur bareng-bareng lebih asyik kan? Hihihi.”

Adjie menggeleng-gelengkan kepala mendengar ucapan Yuna. “Ada-ada aja.”

Yuna tersenyum. “Apa pun yang akan terjadi di masa depan, aku tetap ingin bersama kalian. Sesulit apa pun itu, aku tidak akan menghindarinya.”

Yeriko langsung menarik tubuh Yuna ke pelukannya.

“Eh!? Kenapa? Malu sama ayah,” bisik Yuna.

“Malu kenapa?”

Adjie tertawa kecil. Ia merasa bahagia melihat kemesraan rumah tangga anaknya itu. Ia sangat berharap kalau Yuna bisa mendapatkan kehidupan  yang baik di masa depan.

 

(( Bersambung ... ))

 

Thanks udah dukung cerita ini terus. Semoga bisa bikin ceritanya makin bermanfaat.

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Perfect Hero Bab 305 : Paman yang Licik

 


Tarudi mondar-mandir di dalam rumahnya sembari menggenggam ponsel. Ia tak menyangka kalau Yuna menolak untuk memberitahukan rumah sakit tempat kakaknya mendapat perawatan. Ia harus memastikan kebenarannya. Apakah kakaknya itu sudah sembuh atau masih terbaring di rumah sakit.

 

“Papa kenapa?” tanya Melan yang melihat suaminya sangat gelisah.

 

“Mama tahu di mana Adjie dirawat?”

 

Melan mengedikkan bahunya. “Aku nggak peduli dia di rumah sakit mana. Setidaknya, nggak perlu menghabiskan uang buat bayar perawatannya dia.”

 

“Gimana kalau dia sembuh?”

 

“Hahaha. Dia udah lumpuh sebelas tahun. Tinggal tunggu matinya aja. Nggak mungkin dia bisa bangun secepat ini.”

 

“Kita nggak pernah tahu dia dirawat di mana. Suami Yuna itu bukan orang sembarangan. Dia punya uang banyak buat ngobatin Adjie.”

 

Melan mengangguk-anggukkan kepalanya. “Masuk akal. Bisa aja dia bawa mertuanya itu ke luar negeri.”

 

“Luar negeri? Aku rasa, Adjie masih di dalam kota ini.”

 

“Kalau Adjie sadar, apa dia bakal ngambil lagi saham perusahaan kita?”

 

“Aku khawatir itu terjadi.”

 

“Pa, kita nggak boleh jatuh miskin. Jangan sampai, Adjie mengambil alih kembali perusahaan kita!”

 

Tarudi menganggukkan kepala. “Papa akan pikirkan caranya.” Ia bergegas melangkah keluar dari rumahnya.

Tarudi terus mengawasi rumah Yuna dari kejauhan untuk mencari tahu ke mana saja Yuna pergi. Ia pasti bisa menemukan keberadaan kakak kandungnya itu.

 

Benar saja, setelah dua jam menunggu, ia melihat mobil Yeriko keluar dari rumahnya. Ia bergegas mengikuti mobil Yuna menggunakan sepeda motor yang ia sewa agar Yuna tak menyadari kehadirannya.

 

Saat sampai di rumah sakit, Yuna terus menoleh ke belakang. Ia merasa ada seseorang yang mengikuti langkahnya.

 

“Kenapa?” tanya Yeriko. Ia tak menyangka kalau istrinya memiliki kepekaan terhadap orang-orang di sekitarnya.

 

“Kayaknya, ada orang yang ngikutin kita.”

 

Yeriko menoleh ke belakang. “Siapa? Suster? Mereka biasa …” Yeriko menghentikan ucapannya saat Yuna menarik lengannya saat mereka berbelok ke koridor lain.

 

Yuna mengajak Yeriko masuk ke dalam bangsal.

 

“Kenapa sih?” tanya Yeriko.

 

“Sst …!” Yuna mengacungkan jari telunjuk di bibirnya. Ia mengajak Yeriko bersembunyi di dalam bangsal tersebut.

 

Beberapa saat kemudian, seorang pria payuh baya terlihat celingukan di koridor tersebut.

 

“Nah, kan … bener dugaanku,” gumam Yuna. Ia langsung membuka pintu tersebut dan keluar dari bangsal.

 

“Hai, Oom …! Cari aku ya?” tanya Yuna tanpa basa-basi.

“Yuna? Ayah kamu di ruangan ini?” tanya Tarudi penuh semangat.

 

Yuna menggelengkan kepala. “Aku nggak akan kasih tahu di mana ayahku dirawat.”

 

“Yun, niat Oom datang ke sini itu baik. Pengen ketemu sama ayah kamu. Aku ini adiknya, Yun. Kenapa kamu ngelarang aku ketemu sama kakakku sendiri?”

 

Yuna tersenyum sinis. “Mau nyelakain ayah lagi?” tanyanya.

 

Tarudi menggelengkan kepala. “Aku cuma mau tahu keadaan ayah kamu.”

 

“Ayahku lagi sakit, Oom. Dia nggak bisa ditemui sama sembarang orang. Oom lebih baik pergi dari sini. Jangan ganggu ayah lagi!” pinta Yuna.

 

“Yuna … Oom ini cuma mau lihat keadaan ayah kamu. Itu aja.”

 

“Kenapa? Oom mau jahatin dia lagi?”

 

“Gimana bisa Oom ini jahatin kakak sendiri?”

 

“Nggak usah sok baik. Aku tahu banget cara licik yang Oom pakai. Menggunakan cara licik untuk mengambil semuanya dan mencelakai ayah.”

 

“Yun, Oom nggak ngelakuin apa-apa. Semuanya terjadi secara kebetulan.”

 

“Kebetulan? Oom ambil alih perusahaan ayah itu kebetulan, hah!?”

 

“Kamu nggak ngerti, Yun. Kami melakukan transaksi pengalihan saham karena harus menyelamatkan perusahaan dari kirsis.”

 

“Oom, aku nggak mau dengar pembelaan apa pun dari Oom. Kalau  emang mau menyelamatkan perusahaan, kenapa harus celakai kedua orang tua aku? Dapetin semua harta mereka masih belum cukup?”

 

“Yun, kenapa kamu selalu berpikir buruk tentang Oom? Dia itu kakak Oom sendiri. Apa iya aku harus mencelakai kakakku sendiri?”

 

“Kenyataannya memang seperti itu, Oom. Aku nggak akan pernah lupa gimana kalian memperlakukan aku.”

 

Tarudi menghela napas. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi untuk membuat Yuna mengizinkannya bertemu dengan kakaknya.

 

Yuna menatap sengit ke arah pamannya. Ia tidak ingin pamannya tahu kalau ayahnya sudah membaik dan menggunakan cara licik untuk mencelakai ayahnya kembali.

 

“Maaf, Oom! Sebaiknya, Oom pergi dari sini,” pinta Yeriko.

 

“Aku cuma mau lihat keadaan kakak aku sendiri. Kamu itu orang luar, kenapa tega memisahkan kami yang masih saudara?”

 

Yeriko terdiam. Ucapan Tarudi memang benar. Ia tidak seharusnya memisahkan hubungan persaudaraan antara Yuna dan keluarga Tarudi. Namun ia tetap harus menyelamatkan Adjie dan Yuna dari saudara yang jahat dan licik seperti pamannya ini.

 

“Oom, andai Oom adalah orang yang selalu memperlakukan Yuna dengan baik. Oom adalah orang yang paling saya hargai. Hanya saja, saya tidak bisa bersikap baik pada orang yang sudah mencelakai istri dan ayah mertua saya.”

 

Tarudi terdiam mendapati tatapan mata Yeriko. Ia tahu kalau Yeriko anak muda yang sangat berbahaya. Ia tidak tahu lagi harus bagaimana untuk bisa memastikan keadaan Adjie yang sebenarnya.

 

Di saat yang sama, Adjie melangkah keluar dari bangsal. Tarudi yang melihatnya langsung tercengang. Ia masih tidak percaya kalau Adjie sudah membaik, bahkan bisa berjalan seperti orang normal.

 

“Kak Adjie ...?”

 

Yuna dan Yeriko langsung memutar kepalanya ke belakang, mereka langsung menghalau Tarudi agar tidak menghampiri Adjie.

 

“Kak ...!” seru Tarudi sambil berusaha menerobos Yeriko.

 

Adjie melangkah perlahan mendekati Yuna dan Yeriko. “Kalian, ngapain di sini?”

 

Yuna tersenyum. “Aku bawain sup ayam buat Ayah. Kita makan, yuk!”

 

“Kak Adjie, apa kabar?” tanya Tarudi.

 

“Dia siapa?” tanya Adjie pada Yuna.

 

“Bukan siapa-siapa,” jawab Yuna.

 

“Kak, aku Rudi. Adik kamu. Adik kandung kamu.” Tarudi tak mau kalah bicara.

 

Adjie mengernyitkan dahi sambil menatap Tarudi. “Aku nggak punya adik.”

 

“Kak!? Aku adik kamu. Kita sering bermain sejak kecil. Apa kamu lupa?”

 

Adjie memejamkan mata sambil memijat keningnya.

 

“Ayah, kita istirahat yuk!” ajak Yuna. “Nggak usah hiraukan omongan dia. Dia bukan siapa-siapa. Cuma orang yang ngaku-ngaku aja.”

 

Adjie menganggukkan kepala. Ia menuruti Yuna yang memapahnya kembali masuk ke dalam bangsal.

 

“Oom, Ayah Adjie nggak ingat apa pun selain Yuna. Sebaiknya, Oom pulang aja karena dia masih perlu banyak istirahat!” pinta Yeriko. Ia melangkah mengikuti Yuna dan Adjie.

 

Tarudi masih terpaku di tempatnya. Ia benar-benar tak percaya kalau kakaknya yang sudah terbaring di rumah sakit selama sebelas tahun ini bisa bangun dan terlihat sehat seperti dulu. Ia sangat takut jika Adjie akan mengambil alih perusahaan itu kembali.

 

Meski ia bukan pemilik saham terbesar di Wijaya Group. Namun, ia adalah pemilik utama salah satu anak perusahaan Wijaya Group. Ia tidak ingin perusahaan itu kembali jatuh ke tangan Adjie. Terlebih, kakaknya itu sangat pandai dalam berbisnis. Ia berharap, ingatan kakaknya tak pernah pulih dan tidak menginginkan perusahaannya kembali.

 

Tarudi begitu berat melangkahkan kakinya meninggalkan rumah sakit. Perasaannya berkecamuk karena Adjie benar-benar masih hidup. Bisa berjalan normal, bisa berbicara. Amnesia yang dialami Adjie bisa saja hanya sementara dan akan mengancam hidupnya saat Adjie berhasil mengingat semuanya.

 

(( Bersambung ...))

Apa yang akan dilakukan Tarudi selanjutnya ya?

 

Baca terus ceritanya biar nggak penasaran.

Big thanks for support this story.

 

Big Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

 

 

 

 

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas