Tuesday, September 2, 2025

Sosialisasi Relima Kukar di Desa Santan Ilir: Menyalakan Cahaya Literasi dari Ruang Rapat Desa

 


Sosialisasi Relima Kukar di Desa Santan Ilir: Menyalakan Cahaya dari Ruang Rapat Desa

📅 27 Agustus 2025
📍 Desa Santan Ilir, Kecamatan Marang Kayu, Kutai Kartanegara


Langit Santan Ilir siang itu tampak cerah dan tenang. Dari lantai dua kantor desa, aku bisa melihat pemandangan desa yang tenang, pepohonan yang rimbun seolah menjadi peneduh dalam menjalankan semangat literasi yang hendak kami bawa hari itu.

Setelah kegiatan Read Aloud pagi di Perpustakaan Desa Pustaka Terang milik Desa Santan Ilir, langkahku berlanjut ke ruang rapat lantai dua Kantor Kepala Desa Santan Ilir, tempat sosialisasi Relima akan digelar.

Ruang rapat itu sederhana, namun penuh kehangatan. Di sana telah hadir Kepala Desa Santan Ilir, lembaga desa, tokoh masyarakat, akademisi, serta masyarakat yang aktif di kegiatan perpustakaan. Beberapa dari mereka masih menenteng buku bacaan anak yang tadi digunakan untuk kegiatan membaca nyaring.

Di tengah tumpukan dokumen, gelas kopi, dan kipas angin yang berputar pelan, kami membicarakan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar tumpukan buku, yakni tentang masa depan literasi di desa.


Kenapa Ada Relima di Santan Ilir?

Pertanyaan itu kembali kuucapkan, seperti yang pernah kutulis di blog sebelumnya.

“Kenapa ada Relima di Kutai Kartanegara?”
“Apa sebenarnya tujuan Relima datang ke desa-desa seperti Santan Ilir ini?”

Aku lalu menjelaskan bahwa Relima (Relawan Literasi Masyarakat) adalah bagian dari upaya Perpustakaan Nasional RI untuk memastikan bantuan buku dan sarana baca benar-benar dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat.
Relima bukan hanya mengirimkan buku, tapi menghidupkan buku-buku itu, menjadikannya bagian dari denyut kehidupan sehari-hari.

Kehadiran kami di Santan Ilir bukan sekadar menjalankan program, tapi menyambung tali silaturahmi pengetahuan antara pemerintah, masyarakat, dan para penjaga kecil literasi yang bekerja diam-diam di perpustakaan desa.

Diskusi berlangsung hangat. Kepala desa bercerita tentang rencana memperluas jangkauan perpustakaan agar bisa melayani lebih banyak warga. Sekretaris Desa juga terlihat bersemangat dan antusias untuk menyalakan api literasi di desa ini. Kurasa, desa ini akan segera menjadi desa yang maju dan penuh prestasi lewat peningkatan kemampuan literasi.

Aku ingin di tempat ini buku-buku bisa hidup. Ia tidak berdiam di rak buku, tapi berdenyut di antara percakapan warga dan secangkir kopi.


Menjelang sore, sinar matahari masuk lembut dari jendela besar. Cahayanya jatuh ke meja, menyinari wajah-wajah lelah tapi bahagia.
Di bawah sana, anak-anak masih berlarian di sekitar perpustakaan desa, membawa buku yang mereka pinjam pagi tadi. Suara mereka bercampur dengan desir angin, menciptakan harmoni yang menenangkan.

Sebelum acara berakhir, Kepala Desa menyalamiku sambil tersenyum.

“Terima kasih sudah datang jauh-jauh untuk berbagi semangat,” katanya.
“Kadang kami hanya butuh diingatkan bahwa membaca itu penting.”

Aku mengangguk, menahan haru.
“Dan saya datang untuk itu, Pak,” jawabku, “mengingatkan, bukan dengan kata-kata besar, tapi lewat langkah kecil.”

Ketika kegiatan selesai, aku langsung berpamitan untuk pulang. Desa ini tampak tenang, tapi aku tahu di dalamnya ada semangat yang baru saja menyala.
Semangat untuk membaca, menulis, dan terus belajar.

Dalam perjalanan pulang, suara mesin motor berpadu dengan desir angin sore. Di kepalaku, terulang percakapan tadi. Tentang perpustakaan, anak-anak, dan masa depan. Dan aku tahu, perjalanan hari itu bukan hanya tentang sosialisasi, tapi tentang keyakinan.

Keyakinan bahwa literasi bisa mengubah arah hidup banyak orang, sejauh mana pun mereka dari kota.

Desa Santan Ilir hari itu bukan hanya lokasi kegiatan, tapi cermin kecil dari impian besar bangsa ini. Di ruang rapat yang hangat itu, aku belajar bahwa literasi tak akan pernah mati selama masih ada orang-orang yang mau menjaga nyalanya.

Karena sesungguhnya, literasi bukan hanya tentang membaca buku.
Ia adalah tentang membaca kehidupan, memahami manusia, dan berani menulis ulang masa depan dengan pena harapan.

Dan hari itu, di Santan Ilir, aku melihat sendiri, cahaya kecil itu telah menyala.





Suatu hari nanti aku akan kembali ke desa ini dan mendengarkan cerita-cerita luar biasa dari masyarakatnya.

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas