Showing posts with label Pendamping Nakal. Show all posts
Showing posts with label Pendamping Nakal. Show all posts

Thursday, October 23, 2025

Pendamping Nakal Bab 3 : Senja yang Menyimpan Rahasia

 


Bab 3 – Senja yang Menyimpan Rahasia

Langit Balikpapan sore itu tampak seperti kanvas yang diusap dengan warna oranye lembut dan semburat ungu yang samar. Suara jangkrik mulai menggantikan tawa para siswa yang berangsur pulang. Di antara lalu lalang langkah kaki dan deru motor yang menyalakan mesin, Rania Handara Arthadipura menenteng tasnya dan berjalan menuju gerbang sekolah.

Sudah hampir dua minggu sejak ia keluar dari rumah sakit. Balutan di jarinya kini tinggal perban tipis. Luka fisik itu memang hampir sembuh, tapi di dalam dadanya masih ada sesuatu yang belum pulih sepenuhnya—rasa bersalah yang diam-diam menggigit di dasar pikirannya.

Berita tentang kematian Sarah perlahan hilang dari linimasa sekolah. Orang-orang sudah kembali tertawa di kantin, membicarakan hal-hal sepele seperti lomba 17-an dan rencana study tour. Hanya sesekali, ketika nama Sarah disebut, ada bisikan samar yang lewat, tapi cepat hilang ditelan kesibukan remaja yang mudah lupa.

Rania belajar tersenyum lagi. Ia berusaha terlihat seperti dulu. Tapi setiap kali melihat foto-foto kegiatan OSIS di papan mading, matanya sering berhenti di satu wajah—Sarah Rahmadina—dengan senyum yang kini tak mungkin ditemuinya lagi.

***

Sore itu, Rania kembali ke perpustakaan bersama tim mading. Ruangan itu kini tak lagi sesepi dulu. Lampu-lampu yang sempat redup sudah diganti, dan aroma kertas tua masih sama seperti kenangan yang enggan pergi.

Tia sedang mengetik naskah berita baru tentang lomba debat, Nanda merapikan kamera di atas meja, sementara Rido sibuk menyortir foto kegiatan. Rania sendiri duduk di pojok ruangan, mengetik pelan berita utama untuk edisi bulan depan: “Menulis dari Luka: Ketika Suara Kebenaran Tak Bisa Dibungkam.”

“Aduh, Ran,” ujar Tia sambil menatap layar laptop Rania. “Judulnya dalem banget. Kayak bukan majalah sekolah, tapi kayak tulisan buat koran nasional.”

Rania tersenyum kecil. “Justru itu yang mau aku buat. Sekolah kita harus punya standar tinggi.”

“Wah, kalau kayak gini bisa-bisa kamu direkrut jadi jurnalis beneran,” sahut Rido. “Eh, tapi kamu nggak trauma, kan, balik ke sini?”

“Trauma?” Rania menatap jari-jarinya sendiri yang sudah hampir pulih. “Kalau aku berhenti datang ke sini, berarti kejahatan dan kebohongan akan menang.”

Hening sejenak. Suara kipas angin di pojok ruangan menjadi satu-satunya bunyi yang terdengar.

Senja hadir perlahan. Cahaya jingga menyusup lewat jendela besar dan mengguratkan bayangan panjang di dinding rak buku. Rania membereskan berkas-berkas terakhir dan mematikan komputer sekolah. Teman-temannya sudah lebih dulu pulang karena hujan gerimis mulai turun.

“Ran, kamu yakin nggak mau aku anter?” tawar Rido sambil menenteng tas.

“Nggak usah. Rumahku deket, kok. Kamu langsung aja, nanti kehujanan,” jawab Rania.

“Ya udah. Hati-hati, ya!” pesan Rido sebelum melangkah pergi.

Rania tersenyum, lalu menunggu beberapa saat sampai suara langkah teman-temannya benar-benar hilang. Barulah ia keluar dari gedung perpustakaan. Di langit barat, matahari mulai tenggelam sempurna, menyisakan warna darah yang lembut di cakrawala.

Ia menyalakan motor bebek tuanya dan melaju perlahan keluar gerbang sekolah.

***

Hujan reda, tapi jalanan masih licin. Angin sore menampar lembut wajah Rania yang sedikit pucat. Ia mengendarai motornya hati-hati, melintasi gang kecil menuju jalan utama. Sesekali, genangan air memantulkan bayangan langit yang sudah berubah kelam.

Tikungan di depan kantor kelurahan tampak sepi. Saat Rania memutar gas sedikit lebih dalam, tiba-tiba seseorang menyeberang begitu saja dari balik mobil yang parkir di tepi jalan.

“ASTAGA!”

Rania menarik rem mendadak.

BRAK!

Suara benturan keras menggema. Motornya terguling, tubuh Rania terpental ke pinggir jalan beraspal. Suara logam bergesek dengan batu kerikil, disusul dengan ringisan seorang pemuda yang ikut terjatuh ke tanah.

“Aduh... gila kamu, ya!?” teriak pemuda itu sambil bangkit. Ia berseragam SMA dari sekolah lain, rambutnya sedikit berantakan, wajahnya keras dan penuh emosi. “Nabrak orang sembarangan, nggak pake liat jalan! Matamu taro di mana!?”

Rania menahan perih di lututnya yang tergores. “Maaf... aku nggak sengaja, tadi kamu tiba-tiba—”

“NGGAK SENGAJA!? Kamu kira motorku ini murah, hah!?” bentak cowok itu. Ia menendang bodi motornya sendiri yang kini tergores. Honda CBR 150 Facelift berwarna merah-hitam itu terlihat lecet sedikit di sisi kirinya. “Nih liat! Lecet semua! Ganti!”

Rania terdiam. Ia memejamkan mata sembari menarik napas perlahan, berusaha menenangkan dirinya. “Aku minta maaf. Aku ganti. Tapi tolong jangan marah di jalan kayak gini. Orang-orang ngeliatin.”

Cowok itu mendengus. “Ngapain malu? Emang kamu yang salah! Bayar sekarang!”

Rania membuka dompet kecilnya. Hanya ada selembar uang seratus ribuan dan beberapa lembar dua puluh ribu yang sudah lecek. Ia menyerahkan uang itu dengan tangan gemetar. “Cuma ini yang aku punya.” Ia terpaksa menyerahkan seluruh uang yang ia miliki meski ia tahu kalau itu adalah uang jajan untuk seminggu ke depan.

Cowok itu menatap uang di tangan Rania dengan sinis. “Seratus ribu buat lecet segini? Kamu  pikir ada bengkel dewa yang bisa benerin pakai doa?”

Rania menarik napas panjang, mencoba menahan amarah. “Aku udah minta maaf, aku udah ganti. Kalau kamu nggak puas, laporin aja aku ke polisi.”

Cowok itu tersenyum miring. “Berani juga kamu ngomong gitu.”

Rania berusaha menguatkan hatinya untuk menghadapi cowok yang ada di hadapannya itu. Matanya tertuju pada nama yang tertera di bajunya, Galang Wirasena.

Galang mendekat, menatap Rania dari dekat dengan senyum sinis. “Cantik-cantik, mulutmu tajem juga, ya?”

Rania menatapnya tanpa gentar. “Aku cuma nggak mau perpanjang masalah ini. Aku buru-buru harus pulang.”

"Kamu pikir bisa pulang seenaknya? Uang segini buat beli bensin motorku aja nggak cukup, apalagi buat baikin motor ini." Galang memperhatikan seragam sekolah Rania yang khas. Ia langsung tahu kalau Rania bersekolah di Smarihexa. Salah satu sekolah elite di kota ini.

"Rania H.A," ucap Galang sambil membaca nama yang tertera di baju Rania. "Besok aku bakal cari kamu buat ambil kekurangan ganti rugi. Kalau sampai kamu nggak kasih uangnya, aku bakal onar di sekolahmu."

Rania menghela napas kembali. "Nggak perlu datang ke sekolahku. Ini urusan pribadi antara kita berdua, nggak ada hubungannya dengan siapa pun, apalagi dengan pihak sekolah. Kamu mau aku ganti rugi berapa? Aku antarkan nanti malam. Aku pulang dan mandi dulu," ucapnya. Ia mencoba untuk bernegosiasi.

"Satu juta," jawab Galang.

"Kamu mau minta ganti rugi atau mau malak?" sahut Rania.

"Kamu mau ganti rugi atau semua orang di deketmu ikut nanggung?" sahut Galang.

"Terserah. Aku kasih kamu lima ratus ribu. Kalau nggak mau, kamu laporin aja aku ke polisi!" tegas Rania.

"Oke. Aku tunggu di Rumah Kopi Mantan jam delapan malam. Kalau sampai kamu nggak datang, aku pastikan pihak sekolah atau orang tuamu yang aku datangi buat tanggung jawab," ucap Galang.

Rania mengangguk. Ia membiarkan Galang pergi. Ia segera menyalakan mesin motornya dan pulang ke rumah. Di dalam dadanya, ada getaran aneh yang sulit dijelaskan. Kata-kata Galang tadi menggantung di udara, dingin, seperti kabut yang belum sepenuhnya pergi.

***

Rania terburu-buru masuk ke dalam kamar mandi begitu ia sampai rumah. Ia segera membersihkan diri, membalut luka di lututnya dan segera keluar kembali menuju Kedai Kopi Mantan untuk mengantarkan sisa uang ganti rugi yang harus ia bayarkan. Untungnya, ia masih memiliki uang tabungan karena ia selalu menyisihkan uang jajan hariannya.

Rania bukan takut terhadap ancaman Galang. Ia hanya tidak ingin terjadi keributan hanya karena masalah sepele, terlebih sampai melibatkan orang lain. Ia akan berusaha menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa merepotkan orang lain, bahkan orang tuanya sendiri. Baginya, ini bukan masalah besar yang harus dicampuri oleh tangan orang tua, apalagi pihak sekolah.

Pukul 20.15 WITA, Rania baru sampai di kedai kopi tempat ia dan Galang janjian bertemu. 

"Sorry, aku telat!" ucap Rania sambil menghampiri Galang begitu ia sudah menemukan pria itu.

Galang tersenyum sinis. "Aku pikir, kamu bakal bohongi aku. Aku udah siap-siap mau nyerang sekolahmu."

"Nggak perlu. Aku pasti penuhi janjiku," sahut Rania. Ia segera meletakkan amplop berisi uang ke atas meja, tepat di hadapan Galang. Ia langsung berbalik dan melangkah pergi, sebab ia tidak memiliki kepentingan lain selain memberikan uang itu pada Galang.

"Tunggu!" seru Galang.

Rania menghentikan langkah kakinya.

"Nggak mau minum es kopi dulu?" tanya Galang sambil menatap punggung Rania.

"Nggak perlu. Makasih," sahut Rania.

"Cantik-cantik jangan ketus gitu, dong!" ucap Galang. Ia bangkit sambil melangkah menghampiri Rania. "Gimana kalau kita santai dulu sambil ngobrol?" tanyanya. Ia mendekatkan wajahnya ke wajah Rania dengan senyum miring. "Ketua Mading Smarihexa," lanjutnya.

"Kamu dapet info dari mana?" tanya Rania sambil menatap serius ke arah Galang.

Galang tertawa kecil. "Nggak usah terlalu serius begitu! Apa yang aku nggak tahu? Dapetin informasi tentang kamu itu hal mudah."

Rania tak menggubris. Ia berusaha menerobos tubuh Galang agar ia bisa segera pergi. Ia sama sekali tidak berminat berinteraksi lama-lama dengan cowok itu.

"Bangsat nih, cewek!" batin Galang kesal karena Rania menolak ajakannya. Ia kembali menghadang tubuh Rania yang sudah menerobos tubuhnya.

"Mau kamu apa, sih!?" sentak Rania.

"Seumur hidupku, aku nggak pernah ditolak sama cewek. Kamu ini siapa, hah!? Berani-beraninya kamu nolak ajakanku?"

"Nggak penting aku siapa. Aku bukan cewek yang selama ini ketemu sama kamu. Jadi, jangan samakan aku sama mereka," sahut Rania ketus.

Galang mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia melirik beberapa temannya yang juga berada di kedai kopi tersebut. Kalau sampai ia tidak berhasil mengajak Rania makan bersama, ia akan ditertawakan oleh seisi sekolah dan jadi bahan lelucon.

"Kalau kamu nggak mau nemenin aku ngopi, aku bakal ajak satu sekolah nyerang sekolahmu," ancam Galang.

"Kamu ...!?" Rania menatap geram ke arah Galang sembari menahan api amarah di dadanya. "Mimpi apa aku sampai ketemu cowok kayak gini," batinnya. Ia tidak lupa jika Galang mengenakan seragam SMK yang terkenal sebagai sekolah preman karena sering terlibat tawuran antar sekolah setiap minggunya.

Rania tidak akan membiarkan Galang and the Gank menyentuh sekolahnya sedikitpun. Baginya, Smarihexa bukan sekedar tempat bersekolah, tapi juga martabat yang harus dijaga. Smarihexa dikenal sebagai sekolah yang berprestasi dan jauh dari pemberitaan buruk, apalagi tawuran yang kerap dilakukan oleh siswa antar sekolah di kota itu.

Rania tak bisa menolak lagi. Ia langsung melangkahkan kakinya kembali ke meja tempat Galang tadi duduk santai.

Galang memainkan mata ke arah teman-temannya yang duduk di meja berbeda dengannya. Ia tersenyum penuh kemenangan karena bisa membuktikan dirinya sebagai penakhluk wanita nomor satu di kota tersebut.

"Mau pesan apa?" tanya Galang.

"Cafe Latte," jawab Rania santai.

Galang langsung melangkah menuju meja barista dan memesan secangkir Cafe Latte, juga beberapa cemilan.

TING!

Pandangan mata Rania tertuju pada ponsel Galang yang tiba-tiba menyala. Matanya terbelalak lebar saat melihat foto Sarah dan Galang menjadi wallpaper handphone tersebut.

"Sarah sudah meninggal dua bulan lalu. Kenapa dia masih pajang foto Sarah di ponselnya? Apa hubungan Galang dan Sarah?" batin Rania penuh tanya. 

Rania ingin sekali mengetahui siapa Galang sebenarnya. Tapi ia tidak memiliki keberanian menyentuh ponsel pria itu. Ia memilih untuk mengeluarkan ponselnya dan mengirim pesan ke grup Mading Smarihexa.

Rania : "Kalian sudah dapet informasi tentang pacar Sarah?"

Tia : " Iih ... apaan, sih? Kenapa dibahas lagi orang yang sudah meninggal?"

Rania : "Aku baru aja nemuin sesuatu."

Rido : "Apa itu?"

Rania : "Posisi kalian di mana? Jangan jauh-jauh dari Kedai Kopi Mantan! Aku lagi di sini sama cowok yang nggak sengaja aku tabrak sore tadi. Sepertinya dia punya hubungan spesial sama Sarah."

Nanda : "Pentingnya kita tahu pacar Sarah itu apa? Toh, Sarah juga sudah meninggal."

Tia : "Penting dong, Nan. Soalnya sampai sekarang masih belum diketahui siapa pacar Sarah. Emang kamu nggak penasaran?"

Rania : "Sepertinya ada misteri di balik meninggalnya Sarah. Ponsel dia nggak ketemu sampai sekarang. Nggak mungkin menghilang begitu aja saat di TKP. Aku akan selidiki cowok ini, kalian jagain aku dari jauh. Karena cowok ini ketua geng dan aku yakin dia nggak mungkin sendirian di tempat seperti ini."

Rido : "OK."

Nanda : "OK"

Tia : "Aku nggak bisa keluar malam. Aku tunggu kabar dari kalian aja, ya! Hehehe."


"Kamu sudah punya pacar?" tanya Galang to the point. Ia cukup tertarik dengan wajah cantik Rania, juga sikapnya yang membuatnya penasaran.

"Belum," jawab Rania sambil menatap Galang.

"Kenapa nggak punya pacar?"

"Bukan urusan kamu."

"Nggak usah ketus gitu, dong!" pinta Galang. Ia tertegun sejenak saat layar ponselnya menyala karena ada notifikasi masuk. Ia lupa mengganti wallpaper ponselnya sehingga masih terpajang foto Sarah dan dirinya di sana. Ia buru-buru mengganti wallpaper tersebut. Ia tahu jika Rania adalah jurnalis sekolah dan pasti mengetahui berita viral yang beredar dua bulan lalu.

"Kamu kenal sama Sarah?" tanya Rania tanpa basa-basi.

Wajah Galang berubah ketika mendengar pertanyaan Rania. "Temen," jawabnya. Sebab, ia tahu jika keberadaannya sempat diincar oleh polisi. Ia adalah pria yang menghamili Sarah dan juga berusaha untuk menggugurkan bayi itu. Ia belum siap menjadi seorang ayah karena ia masih duduk di bangku SMK.

"Kalau kamu nggak bisa ngasih jawaban, waktu yang akan ngasih jawaban. Mungkin, jawabannya akan lebih pahit dari kenyataan yang sudah berlalu," ucap Rania.

Galang tetap bungkam. Ia berusaha mengalihkan perhatian agar Rania tidak membahas soal Sarah. Ia tidak ingin mengingatnya. Ia sangat mencintai Sarah, tapi ia tidak bisa bertanggung jawab atas apa yang telah terjadi. Ia tidak ingin ada satu orang pun yang mengetahui hal itu dan akan ia tutup rapat-rapat sampai akhir hidupnya.


***

Rania tak menyerah begitu saja. Urusannya masih belum selesai. Ia masih belum tenang jika belum bisa mengetahui dengan pasti apa hubungan Sarah dan Galang di masa lalu. Mungkinkah Galang yang menghamili Sarah? 

Hingga suatu hari, Rania tak sengaja melihat Galang masuk ke dalam sebuah perkebunan sawit yang berada di kawasan kilometer 24. Saat itu Rania baru saja pulang dari rumah saudaranya karena ada acara keluarga. 

Rania meminta supir yang mengantarnya untuk berhenti sejenak. Ia segera mengeluarkan lalat pengintai yang ia miliki dan mengendalikannya mengikuti langkah Galang. 

Galang terlihat sedang menggali tanah yang ada di sana dan mengeluarkan sebuah kotak kecil dari sana. 

"Syukurlah hape Sarah masih aman di sini. Aku harus musnahin hape ini sebelum ada orang lain yang nemuin," ucap Galang. Ia segera memasukkan kotak tersebut ke dalam ranselnya. 

Rania buru-buru menarik lalat pengintai kembali ke dalam mobil dan memerintahkan supir untuk bergegas pergi. Ia juga meminta teman-temannya untuk mencari cara mengambil ransel yang dibawa Galang saat ini karena ada rahasia besar di dalamnya tentang masa lalu Sarah. 



((Bersambung...))


Sunday, October 19, 2025

Pendamping Nakal Bab 2 : Doa yang Menyeret Nyawa

 


Bab 2 – Doa yang Menyeret Nyawa

 

Hujan mengguyur Balikpapan sejak sore. Airnya menetes pelan dari atap rumah sakit, menimbulkan bunyi ritmis yang mengiringi detak jam di dinding.
Rania terbaring di ranjang dengan tangan kanan terbalut perban tebal. Setiap denyut di jarinya seperti gema dari peristiwa kemarin.  Samar ... tapi perihnya menolak pergi.

Di sisi ranjang, ponselnya bergetar pelan. Sekali, dua kali, lalu terus menerus.
Ie meraih ponsel menggunakan tangan kirinya dan membuka pesan grup Whatsapp ”Mading Smarihexa”.

 

Rido: “Ran, kamu udah lihat berita?”
Tia: “Sarah... ketabrak mobil waktu pulang sekolah
😭😭😭
Nanda: “Gila, parah banget... badannya sebagian hancur.”

Rido : ”Motornya ringsek. Kebayang ’kan kondisinya gimana?”

Tia : ”Aku ngeri banget lihatnya. Perlu kita naikkan ke mading sekolah kita atau nggak, sih?”

Nanda : ”Naikkan aja nggak papa. Toh, udah viral juga di berita kota Balikpapan. Masa sekolah kita malah nggak angkat beritanya?”

Rido : ”Tapi ini berita duka. Kita buat beritanya, tapi jangan ditampilkan korban kecelakaannya. Cukup jadi arsip kita aja.”

Tia : ”Sementara kita buat postingan ’Rest in Peace’ aja dulu, deh. Sampai ada keputusan dari Rania mau dinaikkan beritanya atau nggak ke majalah sekolah.”

Rido : ”Nggak usah naif, deh! Sarah itu abis ngelukain Rania sampai jari tangannya Rania hancur kayak gitu. Masih aja jaga perasaannya. Keluarin aja kali, bikin dia malu.”

Tia : ”Orangnya udah meninggal. Nggak usah nambahin beban dosa orang, Do.”

Rido : ”Tangan Rania itu penting. Dia yang menuliskan semua kebenaran yang ada di sekolah kita. Kita ini kalau nggak ada tangan, nggak bisa nulis.”

Tia : ”Bisa pakai voice to text, ya. Nggak usah ngomporin Rania, deh!”

 

Rania membaca percakapan grup yang tiba-tiba ramai.  Ia membuka galeri dan melihat foto-foto yang dikirim oleh Tia. Ada beberapa potong gambar: jalanan kota yang basah, tubuh berlumur darah yang menetes di aspal, sepeda motor yang ringsek dan ada potongan tubuh yang tertinggal di sana, pita kuning polisi mengelilingi TKP, tepat di simpang empat Rapak yang basah hujan.

Rania meringis ngeri. Wajahnya memucat dan tangannya gemetaran. Isi perutnya bergejolak menemani perasaan hatinya yang tak karuan.
Samar-samar ia mendengar suaranya sendiri, suara yang dulu ia ucapkan di perpustakaan bergema kembali di kepalanya.

“Aku sumpahin kamu mati ketabrak mobil!”

Seketika, udara di ruang itu menipis. Rania terduduk lemah, napasnya memburu. Dadanya terasa berat, seperti ditindih oleh kata-katanya  sendiri.

Di luar jendela, kilat membelah langit. Suaranya seperti tamparan yang sedang mengingatkan bahwa sesuatu telah terjadi, dan mungkin ia bagian dari penyebabnya.

***

Keesokan paginya, aroma kopi dan suara televisi dari ruang tunggu rumah sakit memecah kesunyian.
Rania mendengar dengan samar suara pembawa berita dari TV kecil di pojok ruangan.

“Kecelakaan tragis menimpa siswi SMA ternama di Balikpapan. Korban meninggal di tempat dengan luka parah di bagian kepala, tangan dan dadanya.”

Kalimat berikutnya membuat tangan Rania berhenti bergerak.

“Hasil otopsi sementara menunjukkan bahwa korban tengah berbadan dua.”

Suara televisi seolah menjauh, berganti dengan dengung panjang di telinganya.
Bayangan wajah Sarah muncul. Senyum sinis, mata menyala, lalu darah yang mengalir di lantai perpustakaan.

Rania menggenggam selimut erat-erat. Tubuhnya gemetar. Ia masih tidak percaya jika hidup Sarah harus berakhir tragis seperti apa yang dia ucapkan. Ia tidak sungguh-sungguh ingin melukai Sarah. Ia hanya emosi sesaat dan tidak bisa mengendalikan emosinya saat itu.

Bagaimana bisa semuanya terasa kebetulan? Ia ingin percaya semua itu hanya kebetulan. Tapi di benaknya, kalimat doa itu terus menari seperti mantra yang menuntut balasan.

“Doa bukan hanya tentang harapan… kadang ia juga jadi pedang.”

***

Siang itu, tim mading datang menjenguk. Rido, Nanda, dan Tia berdiri di sisi ranjang membawa bucket bunga asoka yang mereka ambil dari taman sekolah. Maklum, mereka masih anak sekolah dan harus menghemat pengeluaran. Terlebih, Rania tidak senang jika mereka menghambur-hamburkan uang untuk hal-hal yang tidak terlalu penting.

“Ran,” ucap Rido pelan. ”Polisi udah datang ke sekolah. Mereka ambil rekaman CCTV. Katanya... terakhir kali Sarah keliatan, dia keluar dari gedung perpustakaan.”

Rania mengangkat kepala perlahan. Pandangan mereka saling bertaut, dan dalam tatapan itu, Rido menunduk, seolah kalimat barusan terlalu berat untuk diucapkan.

”Memang apa hubungannya sama Rania?” tanya Tia.

”Pasti ada hubungannya, dong. Pasti Rania dimintai keterangan buat jadi saksi apa yang dilakukan Sarah terakhir kalinya.”

”Trus, Rania bisa dipenjara, gitu?” tanya Nanda polos.

Rania menahan tawa mendengar pertanyaan Nanda. ”Emangnya aku yang nabrak Sarah.”

”Bukan, sih,” sahut Nanda pelan.

”Justru dia yang bikin tanganku hancur. Dia seharusnya jadi tersangka,” ucap Rania. ”Tadinya aku mau masukin laporan ke polisi supaya dia nggak semena-mena terus sama kita. Tapi karena ada berita dia meninggal, aku nggak jadi laporin.”

”Bener juga.” Nanda manggut-manggut.

”Terus, kenapa polisi nyariin siapa yang terakhir interaksi sama Sarah?” tanya Rido.

”Mungkin karena kehamilannya,” jawab Rania.

Rido, Nanda, dan Tia saling pandang.

”Bener juga, Ran. Kira-kira, siapa yang hamilin Sarah? Dia itu ketua OSIS yang harusnya jadi panutan, kan? Apa mungkin kalau keluarga Sarah nyari cowok yang hamilin dia? Bisa jadi, Sarah bawa motor dengan pikiran kacau karena dia MBA (Marriage Baby Accident),” cerocos Tia.

”Kita belum tahu sampai nanti kita temukan faktanya. Sementara, kita simpan dulu pertanyaan-pertanyaan itu. Karena aku tahu, isi kepala kita hari ini sama,” ucap Sarah.

Mereka semua mengangguk dan mulai membahas beberapa berita dan artikel yang akan mereka terbitkan dalam minggu ini.

***

 

Malamnya, hujan turun lagi.
Rania tak bisa tidur. Ia duduk menatap jendela, mendengarkan suara air yang jatuh ke genting.
Di luar sana, kota Balikpapan berkilau dalam cahaya lampu yang beku.

Pikirannya melayang-layang pada wajah Sarah, bunyi tulang retak, sirene ambulans, dan kata-kata yang tak bisa ditarik kembali.
Ia menarik selimut sampai ke dada, berusaha menenangkan diri. Namun sebelum matanya terpejam, terdengar ketukan pelan di pintu kamar.

Tok. Tok. Tok.
Tiga kali.
Pelan, tapi pasti.

Rania menoleh. Suara hujan seperti berhenti mendadak.

Pintu kamar itu terbuka sedikit. Dua pria berseragam coklat berdiri di ambang pintu, basah kuyup, topi mereka meneteskan air ke lantai putih rumah sakit.

“Permisi,” sapa salah satu dengan nada tenang namun tegas. “Rania Handara Arthadipura, ya?” tanya seorang pria muda berwajah tampan sembari menghampiri Rania.

Rania hanya bisa mengangguk. Suaranya tercekat di tenggorokan.

“Kami dari Polresta Balikpapan,” lanjutnya sambil menunjukkan kartu identitas.
“Ada beberapa hal yang perlu kami tanyakan... soal Sarah Rahmadina. Kamu tercatat sebagai orang terakhir yang berinteraksi dengannya sebelum kejadian.”

Rania mengangguk. “Ada apa, Pak?” tanyanya.

”Dari haril otopsi, korban diketahui sedang hamil. Sehingga pihak keluarga meminta kami untuk mencari tahu siapa yang telah menghamili korban.”

”Hamil?” Rania mengangkat sebelah alisnya.

Polisi itu mengangguk. ”Diperkirakan usia kandungannya sudah 3 bulan. Apa kamu tahu siapa cowok yang sedang dekat dengan korban?”

Rania menggeleng.

”Kamu jangan berbohong! Ini sangat penting untuk penyelidikan kami,” pinta polisi tersebut.

”Apa karena aku yang terakhir berinteraksi dengan Sarah, bikin aku tahu semua tentang dia?” tanya Rania.

Dua polisi itu saling pandang mendengar pertanyaan Rania. Rania tidak terlihat seperti anak SMA di mata mereka. Cara bicaranya seperti mahasiswa karena ucapannya runut dan pilihan diksinya cukup baik.

”Sarah menemuiku di perpustakaan hanya untuk menghancurkan jari tanganku,” ucap Rania sambil menunjukkan telapak tangan kanannya yang masih terbalut perban. ”Dia marah karena aku posting artikel tentang kesurupan yang ada foto dia. Interaksi kami cuma sebatas itu. Kami tidak begitu mengenal, apalagi sampai tahu urusan pribasi,” jelas Rania.

Dua polisi itu kembali saling pandang, kemudian menganggukkan kepala.

”Baiklah. Terima kasih atas keterangannya! Mohon maaf, kami sudah menganggu Mba Rania,” ucap salah seorang polisi. Kemudian, mereka pamit pergi.

Petir menyambar di luar jendela, menerangi ruangan sesaat dan di pantulan kaca jendela, Rania melihat dirinya sendiri tangan kanan yang masih dibalut perban.

Maafkan aku, Sarah! Semoga kamu bisa tidur dengan tenang. Aku tidak bermaksud melukaimu sedikitpun. Semoga kita tidak pernah bertemu lagi di kehidupan selanjutnya,” batin Rania.

((Bersambung...))

 


Thursday, October 9, 2025

Pendamping Nakal Bab 1 : Pertarungan Pena Rania

BRAK ...!

“Rania ...!”

Suara lantang Sarah menggelegar di seluruh ruang perpustakaan ketika gadis itu datang dan langsung menggebrak meja di hadapan Rania.

Rania terdiam menatap Sarah yang berdiri di depannya.

“Kamu ketua mading dan jurnalis sekolah, kan? Apa maksudnya kamu bikin berita kayak gini di majalah sekolah, hah!?” seru Sarah sambil menunjukkan lembar majalah yang ia maksud.

Rania melihat majalah itu sekilas dan langsung mengerti. Itu adalah artikel yang ditulis oleh timnya tentang fenomena kesurupan yang sering terjadi di sekolah akhir-akhir ini. Kebetulan Sarah juga sering kesurupan dan timnya mendapati foto Sarah yang paling bagus untuk dijadikan gambar pendukung artikel.

Rania dan timnya mempertimbangkan wajah Sarah yang cantik sebagai hal yang menarik. Selain itu, Sarah juga Ketua Osis yang cukup populer. Walau bagaimana pun, ia juga harus memikirkan strategi pasar dan bagaimana artikel-artikelnya bisa menarik lebih banyak pembaca.

“Bikin malu, aja. Tim ekskul kalian nggak punya bahan lain buat dijadikan berita? Ini berita kesurupan segala ditulis di sini. Kamu sengaja mau buka aib orang, hah!?” cerocos Sarah.

“Bukan begitu maksudnya, Kak. Berita ini dibuat berdasarkan fakta. Tanpa kami tulis pun, semua murid di sekolah ini tahu kalau Kak Sarah sering kesurupan,” sahut Rania.

“Terus, kalo semua orang sudah tahu ... kamu tulis di majalah? Biar apa? Biar kelihatan keren, gitu? Biar orang yang nggak tahu, jadi tahu semua? Senang kamu nyebarin aib orang, hah!?”

“Kak, kesurupan itu bukan aib. Aib itu kalau aku bikin berita tentang Kak Sarah hamil di luar nikah.”

PLAK ...!

Telapak tangan Sarah mendarat kencang di pipi Rania.

Rania langsung memegangi pipinya yang memanas. Air matanya otomatis menggenang menahan rasa sakit. Di sudut bibirnya, terlihat bercak darah yang keluar.

“Mau nangis!? Nangis aja!” sentak Sarah. “Hari ini aku cuma tampar kamu, ya! Kalau berani nyebarin rumor macem-macem lagi, aku nggak akan segan-segan bunuh kamu!” lanjutnya.

“Aku nggak akan nangis untuk sesuatu yang nggak salah!” sahut Rania.

“Kamu masih nggak sadar kalo salah, hah!? Kamu itu sudah melanggar privasi orang lain. Aku bisa tuntut kamu, ya!”

Rania tersenyum miring sambil menatap wajah Sarah. “Kamu paham atau nggak privasi itu apa? Semua hal yang sudah diketahui publik, itu namanya bukan privasi lagi. Privasi yang harus dijaga itu data diri kamu seperti kk, ktp, dan akun email. Karena bisa dipergunakan oleh oknum untuk mengambil keuntungan. Kalau Cuma kesurupan, itu bukan privasi. Kalau kamu nggak mau dilihat orang karena alasan privasi, kamu nggak perlu keluar rumah, nggak perlu ketemu manusia lain!”

“Kamu ...!?” Sarah makin geram melihat Rania yang melawannya. Ia langsung menarik rambut Rania hingga wajah gadis itu mendongak ke arahnya.

“Hari ini kamu masih punya kemampuan buat ngelawan aku, hah!? Aku pastikan posisimu sebagai ketua jurnalis sekolah cuma sampai hari ini aja!” ancam Sarah.

Rania tersenyum kecil. “Kamu pikir, bisa dengan mudah melengserkan posisiku? Kamu nggak takut kalau aku bikin berita tentang apa yang kamu lakuin ke aku hari ini?”

“Kamu ngancam aku!?”

“Siapa yang lebih dulu ngancam?” sambar Rania. “Aku berada di jalan kebenaran. Aku nggak akan gentar selama apa yang aku lakukan benar. Aku juga nggak akan ngebiarin orang seperti kamu mengendalikan aku. Kamu pikir, kamu siapa?”

“Aku ketua osis di sini. Ayahku juga donatur utama di sekolah ini. Aku bisa dengan mudah bikin kamu keluar dari sekolah ini!” jawab Sarah. Ia makin geram dengan Rania. Yang ia tahu, Rania adalah anak kutu buku yang jarang berbicara. Ia tidak menyangka jika Rania begitu berpendirian dan berani melawannya.

Rania tersenyum kecil. “Semua orang tahu itu. Tapi bukan berarti kamu bisa menindas orang seenaknya. Meskipun menyakitkan, kebenaran tetaplah kebenaran.”

“Nggak usah banyak bacot, ya! Kamu itu udah nyebar aib orang! Nggak usah mengalihkan pembicaraan!” sambar Sarah makin geram.

“Aku sudah bilang kalau itu bukan aib. Ada berapa banyak orang yang kesurupan di luar sana dan jadi bahan tontonan? Apa itu yang namanya aib? Kamu jangan membuat standar hidup sendiri! Hal biasa kamu anggap aib, sedangkan aib kamu anggap sebagai hal biasa,” ucap Rania yang tetap teguh pada pendiriannya.

“Kamu nggak boleh nulis apa pun tentang aku tanpa izin!” sentak Sarah makin geram. Ia semakin menarik keras rambut Rania hingga gadis itu tersungkur di lantai.

“Kita hidup di negara demokrasi. Semua orang bebas berbicara dan aku tahu sampai di mana batasannya. Kamu bukan siapa-siapa yang bisa membungkam mulutku dan menghentikan penaku begitu saja.”

Sarah langsung menginjak punggung tangan Rania yang berada di lantai dan menggilasnya. “Kamu masih nggak mau nyerah, hah!?” batinnya geram.

“Karena kamu menuduhku membuka aibmu ... bagaimana kalau aku sebarkan berita tentang kamu yang sering berada di kamar hotel bersama pria tua itu?” tanya Rania sambil menahan rasa sakit di punggung tangannya. “Supaya tuduhanmu itu bisa jadi kenyataan yang benar.”

Sarah makin menghentakkan kakinya. “Kamu jangam ngarang, ya! Aku ini anak orang paling kaya di sekolah ini. Mana mungkin aku jadi wanita simpanan, hah!?”

“Itu yang akan jadi berita paling besar, kan? Anak orang paling kaya di sekolah, yang setiap hari diantar pakai mobil mewah dengan semua barang-barang ber-merk, ternyata gadis simpanan oom-oom.”

Sarah kembali menjambak rambut Rania. “Kalau kamu berani fitnah aku, aku bakal kasih kamu pelajaran yang lebih sakit dari ini.”

“Fitnah? Kamu pikir, jurnalis sepertiku nggak punya bukti untuk membuktikan kebenarannya?” tanya Rania sambil menahan sakit di tangan dan kepalanya.

Sarah terdiam sejenak mendengar ucapan Rania. Jangan-iangan gadis culun ini sudah menguntitnya diam-diam? Gimana Rania bisa punya bukti kalau ia sering berada di hotel bersama Sugar Daddy yang selama ini memeliharanya?

Sarah tak peduli. Ia makin menjambak keras rambut Rania. Ia tahu tidak akan ada orang yang masuk ke perpustakaan tersebut. Sebab, tidak ada petugas khusus perpustakaan. Perpustakaan sekolah lebih banyak dikelola oleh tim mading sekolah dan menjadi markas bagi mereka. Satu-satunya orang yang sering berada di ruangan itu hanya Rania.

“Lepasin ...!” pinta Rania sambil memegangi rambut dengan salah satu tangannya.

“Aku bakal lepasin kamu kalau kamu berlutut minta maaf dan hapus semua konten tentang aku yang kesurupan!” pinta Sarah.

“Aku nggak punya alasan untuk menurunkan berita yang sudah timku rilis ke publik,” ucap Rania bersikukuh. “Apa kamu mau kalau aku menuliskan berita tentang kamu yang mengancamku?”

“Kalau kamu berani nulis berita jelek lagi tentang aku, aku nggak akan segan-segan buat bunuh kamu!” ancam Sarah. Ia langsung menghentakkan kakinya dengan keras di atas punggung tangan Rania dan menggilasnya.

“AARGH ...!” Suara Rania menggema di seluruh ruang perpustakaan yang sepi.

Sarah tak memperdulikan. Ia malah menikmati suara teriakan Rania. Ia tahu suara teriakan Rania tidak akan mudah didengar oleh orang di luar sana karena gedung perpustakaan terpisah jauh dengan kelas. Bahkan, masih harus melewati musholla sekolah tersebut. Sehingga gedung perpustakaan itu memang sangat sepi.

Meski banyak yang mendengar teriakan Rania, Sarah tetap tidak gentar untuk melukai gadis itu. Sebab, orang tuanya adalah donatur utama di sekolah tersebut. Tak ada satu pun yang berani melawan Sarah, sekalipun itu kepala sekolah.

Air mata Rania menetes deras sembari menahan rasa sakit di tangannya. Ia menatap tubuh Sarah yang perlahan menjauh darinya. Tepat di depan wajahnya, ia bisa melihat jemari-jemari tangannya tak lagi mulus seperti biasa. Kulit-kulitnya mengelupas. Dari sela-sela daging jemarinya, mengalir zat berwarna merah yang khas hingga menggenang di lantai keramik yang putih.

“Sialan kamu, Sarah. Cuma karena hal sekecil ini, kamu sampai menghancurkan jari-jari tanganku. Aku sumpahin kamu mati ketabrak mobil!” teriak Rania di sisa-sisa tenaganya yang hampir habis.

Rania merasa kepalanya sangat pening. Pandangannya memudar. Buku-buku yang berjejar rapi di rak, seolah terus bergerak hingga semuanya menghilang. Gelap!

 

 ((Bersambung...)) 

 

 

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas