Thursday, October 30, 2025

Jejak Senja di Perpustakaan Musholla Al-Fattah, Oleh: Rin Muna

 




Jejak Senja di Perpustakaan Musholla Al-Fattah
Oleh: Rin Muna


Kutai Kartanegara, 23 Oktober 2025



Perjalanan kali ini terasa seperti menulis bab baru dalam buku hidupku—penuh debu jalanan, tawa yang menular, dan rasa syukur yang hangat. Pukul lima sore, langit di Kelurahan Maluhu, Tenggarong, mulai menua. Aku baru saja tiba di Perpustakaan Musholla Al-Fattah, tempat yang sederhana namun berkilau oleh semangat ilmu dan kebersihan yang nyaris menenangkan hati. Tapi sebelum sampai ke sana, perjalanan panjang dari pagi masih membekas di badan.

Pagi itu, aku berangkat lebih awal karena harus mengisi sosialisasi di Perpustakaan Gema Loa Duri Ilir. Selesai kegiatan, aku menunggu waktu makan siang sambil menanti rombongan anggota UMKM Mamuja (Mama Muda Samboja)—Rety, Anis, Eni, dan Alfia—yang masih menempuh perjalanan tiga jam dari Samboja menuju Tenggarong. Mereka semua naik motor, dengan semangat yang tak kalah dari embusan angin jalanan. Aku sempat menjemput mereka di sekitar Desa Purwajaya, lalu kami bersama-sama melanjutkan perjalanan.

Tentu, hidup tak pernah lurus seperti jalan tol—kami sempat mampir dulu ke Desa Rapak Lambur untuk menyimpan barang-barang. Barulah selepas itu, kami melaju menuju Perpustakaan Musholla Al-Fattah.



Saat tiba menjelang magrib, suasana musholla dan perpustakaan itu benar-benar membuat kami terdiam. Lantai yang bersih berkilau, rak-rak buku tertata rapi, dan jamaah yang ramai datang bersahutan dengan azan magrib. Ada kesederhanaan yang menenangkan di sana—seolah setiap halaman buku dan setiap sajadah menyimpan doa tentang keberkahan ilmu.

Kami disambut hangat oleh Bapak Muhammad, pengelola perpustakaan yang begitu ramah dan rendah hati. Beliau bercerita banyak tentang bagaimana musholla ini bukan hanya tempat beribadah, tapi juga tempat menumbuhkan minat baca anak-anak di sekitar. “Ilmu dan iman harus berjalan seiring,” katanya, dengan senyum yang menular.
Pak Muhammad langsung mengajak kami berkeliling. Di pojok kiri bangunan musholla, terdapat Ronda Baca yang tempatnya sangat mewah dan estetik meski ukurannya kecil. Dinding pembatas musholla dipenuhi dengan literasi yang menggugah jiwa. Terdapat tempat bersantai/berdiskusi yang cozy. 
Di belakang bangunan musholla, terdapat ruang mungil berukuran sekitar 2x2meter yang dijadikan sebagai ruang penyimpanan buku-buku. Tepat di sebelah ruangan itu adalah tempat berwudhu untuk pria dan wanita. Tempat wudhu wanita sendiri dibatasi oleh tirai. Sehingga, meski ruangan mungil, tapi para wanita tetap memiliki privasi untuk tidak memperlihatkan aurat mereka pada lawan jenis. 

Bangunan itu terlihat sangat sederhana, tapi terkesan mewah dan rapi. 
Pak Muhammad mengajak kami menaiki tangga yang berada di sisi kanan bangunan musholla. Ah, ternyata itu adalah ruang baca dan ruang belajar untuk anak-anak. Tidak hanya sebagai tempat untuk membaca buku, ruangan itu juga dijadikan pusat belajar untuk mengaji, kelas bahasa Inggris, dll. 


Tak lama, azan berkumandang, dan kami ikut shalat berjamaah. Ada perasaan tenteram yang sulit dijelaskan—mungkin karena di tempat itu, antara buku dan ibadah seolah berdialog dalam diam. Setelah shalat, kami berbincang panjang dengan Bapak Muhammad tentang berbagai kegiatan literasi di Maluhu. Dari obrolan itu, aku belajar satu hal: perpustakaan kecil bisa memiliki jiwa sebesar dunia, asalkan dikelola dengan cinta dan ketulusan.

Malamnya, kami menginap di rumah Ibu Siti, kakak yang sekaligus menjadi teman perjalanan baru kami. Rumahnya sederhana tapi penuh kehangatan. Kami menutup hari dengan obrolan ringan, tawa, dan rencana kecil untuk berkolaborasi suatu saat nanti.

Perjalanan panjang ini membuatku semakin yakin bahwa literasi bukan hanya soal membaca dan menulis, tapi tentang menghidupkan nilai-nilai—tentang bagaimana sebuah musholla bisa menjadi taman ilmu, dan bagaimana komunitas kecil bisa melahirkan inspirasi besar.

Seperti kata Ki Hadjar Dewantara, “Setiap tempat adalah sekolah, dan setiap orang adalah guru.” Maka, hari itu aku merasa telah belajar banyak dari jalan, dari teman seperjalanan, dari buku-buku di rak Musholla Al-Fattah, dan dari keikhlasan orang-orang yang menjaganya.

Perjalanan ini mungkin sederhana, tapi di dalamnya ada makna yang tak sederhana—tentang persaudaraan, perjuangan, dan keyakinan bahwa cahaya literasi bisa tumbuh di mana pun, bahkan di antara sajadah dan rak buku.




Referensi:

1. Ki Hadjar Dewantara. (1935). Pendidikan: Pengaruhnya bagi Kemajuan Bangsa. Taman Siswa Press.


2. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. (2024). Gerakan Literasi Nasional: Panduan Implementasi di Komunitas. Jakarta.


3. Data lapangan pribadi penulis dalam kunjungan ke Perpustakaan Musholla Al-Fattah, Kelurahan Maluhu, Tenggarong (Oktober 2025).




0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas