Monday, October 6, 2025

Mengejar Pagi di Antara Gotong Royong dan Gelombang Siaran Radio IDC Kota Balikpapan

 


Balikpapan, 20 September 2025


Pagi itu aku bangun lebih cepat dari biasanya. Udara Samboja masih basah oleh embun, tapi di kepala sudah ramai daftar kegiatan hari ini. Sebagai ketua RT, aku harus ikut gotong-royong di lingkungan RT 3. Ibu-ibu kelompok Dasawisma Kantil mengajak untuk bergotong-royong membersihkan arena tanam karena ingin memulai kembali menanam sayuran. Di sisi lain, aku juga punya jadwal penting, yaknu mengisi siaran di Radio IDC Balikpapan, mewakili Relima Perpusnas RI lokus Kutai Kartanegara, bersama sahabat Relima Balikpapan (Budi Utomo). Aku tidak boleh terlambat karena jam tayang siaran tidak mungkin diubah. 

Dua peran di hari yang sama, sebagai pemimpin lingkungan dan relawan literasi. 

Aku tersenyum sendiri membayangkannya. Rasanya seperti hidup yang berlari dengan double sepatu. Satu untuk tanggung jawab sosial, satu lagi untuk panggilan jiwa.

Begitu gotong royong selesai, aku langsung bergegas berganti baju, membawa berkas kecil yang berisi catatan tentang program literasi. Suamiku sudah menunggu di depan rumah dengan kendaraan yang mesinnya berderum pelan.
“Sudah siap?” tanyanya.
Aku hanya mengangguk sambil menarik napas dalam. “Siap, asalkan kamu ngebutnya jangan keterlaluan,” kataku setengah bercanda.

Dia tertawa kecil, dan dalam sekejap kami sudah melaju meninggalkan Samboja. Biasanya aku butuh satu jam tiga puluh menit untuk sampai ke Balikpapan jika membawa motor sendiri. Tapi pagi itu, berkat suamiku yang lihai di jalan, kami tiba dalam empat puluh lima menit saja. Aku merasa seperti sedang berpacu dengan waktu, tapi kali ini waktu berpihak padaku.


Pukul 10.00 WITA, siaran dimulai. Suasana studio Radio IDC Balikpapan terasa hangat, penuh antusiasme. Aku duduk di hadapan mikrofon, bersama perwakilan Relima dari Balikpapan, membahas hal yang paling aku cintai, yakni literasi dan gerakan Relima di dua wilayah yang berbeda namun sejiwa, Balikpapan dan Kutai Kartanegara.

Kami bercerita tentang bagaimana Relima hadir sebagai jembatan antara masyarakat dan perpustakaan, tentang semangat relawan yang mendirikan pojok baca di musholla, di rumah pribadi, bahkan di warung kopi. Tentang tantangan menghadirkan buku ke tempat-tempat yang jauh dari pusat kota, dan tentang rasa bahagia ketika melihat anak-anak mulai jatuh cinta pada buku pertama mereka.

Ada satu momen yang paling aku ingat ketika penyiar bertanya, “Apa yang membuat Ibu Rin terus bertahan di dunia literasi, padahal sibuk juga mengurus lingkungan?”
Aku sempat diam beberapa detik, lalu menjawab pelan tapi mantap,
“Karena aku ingin menjadi orang yang bermanfaat seperti pesan Buya Hamka. Aku tidak ingin menjadi orang yang sekedar hidup. Aku ingin punya arti melalui literasi.”

Ruang siaran terasa hening sesaat, lalu tepuk tangan kecil terdengar. Aku tahu, bukan karena kalimatku luar biasa, tapi karena semua orang di ruangan itu merasakannya juga. Kami sama-sama percaya, literasi adalah kerja hati, bukan hanya kerja tangan.




Siaran berakhir sekitar tengah hari. Aku keluar studio dengan rasa lega dan bahagia yang sulit dijelaskan. Suamiku sudah menunggu di luar dengan senyum tenangnya. 

"Tadi dengerin aku siaran, nggak?" tanyaku dengan senyum manja seperti biasa. 

"Nggak," jawab suamiku. 

Aku mengerucutkan bibirku. Sedikit kecewa karena tidak ada komentar dari suami tercinta. 

"Nggak tahu frekuensinya," ucap suamiku lagi. 

Ya sudahlah. Tidak apa-apa. Ada bagusnya juga tidak mendengarkan dan tidak tahu apa yang aku lakukan. Jadi, tidak perlu memikirkan banyak komentar. 

Kami sepakat untuk tidak langsung pulang, tapi beristirahat sejenak di Lapangan Merdeka Balikpapan.

Angin kota berhembus lembut, membawa aroma khas Balikpapan yang selalu kukenal sejak masih remaja. Campuran antara laut, minyak, dan kenangan masa remajaku. 

Aku berjalan menyusuri para pedagang UMKM. Tidak ada yang menarik perhatianku. Sampai kemudian, aku melihat penjual gado-gado yang khas. Aku langsung mengajak suamiku untuk makan gado-gado. Kebetulan, itu makanan kesukaannya juga. 

Kami duduk di bawah pohon rindang sambil menunggu racikan gado-gado datang. Kami berbincang banyak hal, termasuk hal receh yang tidak begitu penting, tapi mampu mengundang tawa bagi kami berdua. 

Dari tempat itu, aku menatap sekitar. Anak-anak berlarian, beberapa keluarga duduk di tepi taman, dan di kejauhan gedung-gedung tinggi Balikpapan berdiri anggun dan penuh ketenangan. Entah kenapa, suasana itu mengembalikan ingatanku ke masa SMA, ketika aku masih bersekolah di SMA Negeri 6 Balikpapan.

Di masa itu, aku mulai jatuh cinta pada dunia tulis-menulis. Aku menulis puisi buku diary, menulis cerita pendek di belakang buku matematika, dan bermimpi suatu hari bisa punya buku sendiri.
Dan kini, bertahun-tahun kemudian, aku kembali ke kota ini, bukan lagi sebagai siswi pemimpi, tapi sebagai perempuan yang masih menjaga mimpinya tetap hidup, lewat tulisan, lewat siaran, lewat kegiatan literasi.

 

Dalam perjalanan pulang, aku berpikir betapa hidup ini seperti buku yang halamannya ditulis dengan berbagai warna. Ada hari-hari penuh tanggung jawab, ada hari-hari penuh mimpi, tapi semuanya tetap saling terhubung.

Menjadi ketua RT, aktif di Relima, menulis, mengisi siaran, dan lain-lain. Semua itu mungkin terdengar melelahkan. Tapi bagiku, itulah caraku menghidupkan literasi, bukan hanya lewat kata, tapi lewat tindakan kecil setiap hari.

Dan tentu, di balik semua langkah itu, ada satu sosok yang selalu setia di sampingku, suamiku. Tanpanya, aku mungkin akan selalu terlambat datang ke setiap acara penting. Tapi dia selalu ada, dengan tawa yang menenangkan dan cara mengemudi yang cepat namun penuh perhatian.


Sore itu, ketika kami meninggalkan Balikpapan, aku menatap langit yang mulai berubah jingga. Ada rasa syukur yang meluap dalam dada. Syukur karena diberi waktu, kekuatan, dan kesempatan untuk terus berbuat baik.

Literasi bukan hanya tentang membaca buku. Ia tentang menulis kehidupan dengan cara yang lebih bermakna. Tentang berbagi cerita, tentang menyalakan cahaya di tempat yang gelap, dan tentang mencintai setiap proses, sekecil apa pun itu.

Aku tersenyum sambil berbisik pada diri sendiri,
“Aku ingin suatu hari nanti punya nama besar seperti Kang Maman atau Najwa Shihab. Supaya aku punya kekuatan besar untuk 
menggerakkan literasi di negeri ini. Aku tidak ingin hanya menunggu dan semuanya jadi hancur karena tak ada satu pun yang bertindak.”

Dan perjalanan hari itu, dari RT 3 Beringin Agung Samboja ke Radio IDC Balikpapan, lalu ke Lapangan Merdeka, menjadi satu bab baru dalam buku panjang bernama kehidupan.

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas