Showing posts with label Then Love. Show all posts
Showing posts with label Then Love. Show all posts

Saturday, October 18, 2025

THEN LOVE BAB 57 : BUKAN SALAH WAKTU

 


Waktu begitu cepat berlalu. Banyak hal yang berubah dalam kehidupan. Seperti halnya yang terjadi pada Mahesa Adelfino. Kini, ia menjadi penerus perusahaan papanya.

Hari ini, Mahesa pergi ke salah satu perusahaan rekanannya untuk membicarakan suatu hal. Kamoga Corporation adalah salah satu perusahaan yang bekerjasama dengan Fino Group dalam berbagai bidang usaha.

“Paman Kamoga ada?” sapa Hesa begitu sampai di meja resepsionis.

“Maaf, Pak. Dengan Bapak siapa?” tanya resepsionis itu dengan ramah. Matanya berbinar melihat cowok muda dan tampan dengan setelan jas rapi.

“Mahesa dari Fino Group,” jawab Hesa sambil tersenyum manis menatap resepsionis yang cantik.

“Oke. Sebentar ya, Pak!” pinta resepsionis itu dan langsung menelepon sekretaris Presdir Kamoga Corporation. Ia memberitahukan soal kedatangan Mahesa lalu kembali menutup teleponnya.

“Bapak Kamoga ada di ruangannya di lantai enam,” tutur resepsionis itu pada Mahesa. “Perlu saya antar?” tanyanya sambil tersenyum manis.

“Nggak perlu. Saya bisa ke sana sendiri,” jawab Mahesa sambil mengedipkan matanya ke arah resepsionis itu.

Mahesa memang terkenal sebagai cowok playboy. Ia tak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk menggoda wanita cantik yang ia temui. Ia langsung bergegas menaiki lift menuju kantor Presdir yang ada di lantai enam.

“Bapak Hesa?” sapa sekretaris yang langsung berdiri dari tempat duduknya ketika Mahesa tiba.

Hesa tersenyum sambil menganggukkan kepala.

“Mari ikut saya!” pinta sekretaris tersebut sambil mengantar Mahesa masuk ke dalam ruangan Kamoga.

“Pagi, Paman Kam!” sapa Hesa sambil merangkul Kamoga.

“Pagi, gimana kabar kamu?” tanya Kamoga sambil menatap hangat anak laki-laki yang ada di hadapannya itu.

“Baik, Paman. Paman apa kabar?”

“Baik juga. Silakan duduk!” pinta Kamoga mempersilakan Mahesa untuk duduk di sofa yang ada di ruangannya.

Mahesa langsung duduk di sofa, berhadapan dengan Kamoga selaku Presiden Direktur dari Kamoga Corporation.

“Waktu cepat sekali berlalu. Rasanya, baru kemarin Paman lihat kamu bermain di taman. Sekarang, kamu sudah jadi penerus perusahaan papa kamu,” tutur Kamoga.

Mahesa tersenyum kecil menanggapi ucapan Kamoga.

“Paman, aku ke sini mau membicarakan masalah kerja sama kita untuk beberapa site yang ada di Kutai Barat dan Sangatta,” tutur Hesa serius.

“Ah, wajah kamu serius banget. Gimana kalo kita bicarain sambil ngopi?” tutur Kamoga.

“Boleh,” jawab Hesa sambil mengangguk-anggukkan kepala.

Kamoga mengajak Hesa ke kedai kopi yang tak jauh dari kantornya.

“Paman, aku butuh penambahan unit untuk site Sangatta dan Kubar,” tutur Hesa saat mereka sudah duduk di kedai kopi.

“Butuh berapa unit?” tanya Kamoga.

“Mmh ... tapi kali ini kami tidak akan melakukan transaksi pembelian,” tutur Hesa.

Kamoga mengernyitkan dahinya. “Maksud kamu?”

“Semuanya pakai sistem sewa,” jelas Hesa singkat.

“Oh ... ya, Paman ngerti. Ada masalah dengan unit kamu di sana?”

“Nggak ada. Hanya saja, sulit untuk melakukan maintenance setiap unit karena mekanik kami tidak begitu bagus. Aku rasa, mekanik Paman lebih banyak berpengalaman.”

Kamoga tertawa kecil. “Itu soal gampang. Jadi, mau sewa unit sekaligus perawatannya ditanggung perusahaan kami?”

Hesa menganggukkan kepala. “Operatornya juga dari Paman,” tuturnya.

“Bukannya kamu sudah punya banyak operator?”

“Iya. Tapi, mereka semua sudah pegang unit dan Site Manager menyarankan untuk bekerjasama dengan kontraktor.”

Kamoga mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Besok aku ke sini lagi bawa kontraknya,” tutur Hesa.

Kamoga mengangguk. “Gimana dengan pembangunan hotel?” tanya Kamoga.

“Eh!?”

“Paman dengar-dengar, Papa kamu sedang memulai bisnis hotel dan tempat hiburan?”

Hesa tersenyum mendengar pertanyaan Kamoga. “Semuanya berjalan dengan baik.”

“Bagus. Paman percaya, kamu bisa menangani semuanya dengan baik.”

“Masih dibantu papa,” sahut Hesa.

Kamoga tertawa kecil. “Paman tidak menyangka kalau bisnis papa kamu juga akan merambah ke bidang perhotelan dan hiburan. Dia memang pekerja keras.”

Hesa tersenyum. “Dia udah menyerahkan perusahaan kontruksi dan mining ke aku. Mungkin, beliau masih ingin menjalankan bisnis tanpa bersaing dengan anaknya sendiri.”

“Hahaha.” Kamoga tertawa mendengar ucapan Hesa.

Mereka sibuk membicarakan beberapa bisnis. Perusahaan Kamoga dan Fino group memiliki banyak kerjasama. Banyak hal yang mereka bicarakan ke depannya untuk kemajuan perusahaan mereka.

Hesa tidak hanya sekedar bertanya. Ia juga belajar banyak hal baru dari Paman Kamoga tentang perusahaan yang baru saja ia tangani.

***

Delana berbaring di atas ranjangnya sambil berselancar di internet. Entah kenapa ia merasa akhir-akhir ini terasa membosankan. Ia ingin pergi ke suatu tempat yang sedang hits di dunia maya. Hampir semua tempat wisata yang ada di sini adalah pantai karena kota Balikpapan berada di pesisir pantai.

Delana langsung terbangun saat membaca sebuah artikel yang menyebutkan destinasi wisata yang sedang hits di wilayah Samboja. Salah satu daerah yang berdampingan dengan kota Balikpapan.

“Batu Dinding? Kayaknya keren,” gumam Delana sambil mencari beberapa referensi di Youtube tentang salah satu lokasi wisata yang sedang hits beberapa hari terakhir.

“Wow! Gila! Ini keren!” seru Delana ketika melihat beberapa vlog yang menunjukkan keberadaan Batu Dinding. Batu Dinding terbentuk alami dari alam dengan ketinggian sekitar 150 meter dan panjang sekitar lima ratus meter.

Delana berpikir ulang. Lebar batu yang dipijak kurang dari lima meter, bahkan ada yang hanya berukuran satu meter saja. Kalau ia tergelincir dan jatuh, pasti hidupnya akan langsung berakhir hari itu juga.

Delana menghela napas. “Itu kan tempat wisata. Pastinya udah ada pemandu dan safety-nya juga. Ngapain sih aku khawatir?” tutur Delana pada dirinya sendiri.

“Tapi, kalo mau ke sana mana bisa pake mobil papa. Mobil papa terlalu rendah buat medan yang sulit dan terjal kayak gitu,” ucap Delana. Ia sibuk berdiskusi dengan dirinya sendiri.

Delana mengetuk-ngetuk dagunya. Ia terus berpikir agar bisa pergi ke Batu Dinding tanpa harus mengorbankan mobilnya sendiri. Ayahnya bisa berhenti mengirimkan uang saku kalau sampai ia membuat mobil pribadi ayahnya rusak.

“Aha ... Paman Kam kan punya mobil Strada. Aku pinjam mobilnya aja,” tutur Delana sambil tersenyum ceria.

Delana mengetik nama kontak Paman Kam dan langsung meneleponnya.

“Halo, cantik!” sapa Kamoga begitu panggilan telepon Delana tersambung.

“Halo, Paman. Paman lagi apa?” tanya Delana.

“Lagi di kantor. Tumben telepon Paman. Ada apa?”

“Hehehe. Ini, Paman ...” Delana meringis. Ia sangat berhati-hati membicarakan keinginannya.

“Ada apa? Ngomong aja, nggak usah sungkan begitu!” pinta Kamoga.

“Mmh ... aku mau pinjam mobil Paman, boleh?” tanya Delana pelan.

“Emang mobil kamu ke mana?”

“Mmh ... ada, sih. Tapi, aku pengen ke Batu Dinding. Kalo pake mobilku, nggak bisa masuk karena jalannya lumayan sulit,” tutur Delana dengan gaya manja.

“Oh ... mau pake mobil Paman yang Strada?”

Delana menganggukkan kepala. “Iya, Paman. Boleh?”

“Boleh. Kapan mau dipake?” tanya Kamoga.

“Besok bisa?” tanya Delana.

“Kamu mau jalan besok? Emangnya nggak kuliah?”

“Kuliah. Aku ke sana abis pulang kuliah.”

“Oh, gitu? Ambil aja di kantor besok ya!” perintah Kamoga.

Delana tersenyum senang. “Oke. Makasih banyak ya, Pamanku tercintah!” tutur Delana dengan gaya alay.

Kamoga tertawa kecil. “Kamu ini ada-ada aja.”

“Hehehe. Ya udah, dilanjut lagi kerjanya! Maaf mengganggu,” tutur Delana.

“Iya.”

Delana langsung menutup teleponnya. Ia merasa sangat senang karena akhirnya bisa pergi jalan-jalan ke suatu tempat yang belum pernah ia kunjungi.

“Mmh ... kalo ke sana sendirian, aman nggak ya? Aku kan cewek,” tutur Delana. Ia menghela napas dan mulai lesu. Sepertinya ia harus berpikir ulang untuk pergi sendiri mengingat medan yang harus dilalui sangat buruk dan juga berada di tengah hutan.

Delana melangkahkan kakinya keluar dari kamar. Ia mendengar suara ribut di lantai bawah. Suara itu tak asing lagi di telinga Delana. Ia langsung berlari menuruni anak tangga, menghampiri tiga cowok yang sedang asyik menonton televisi sambil menghambur cemilan di atas meja.

“Kalian udah lama di sini?” tanya Delana.

“Udah,” jawab Dhanuar. “Baru bangun tidur?”

Delana tersenyum sambil menatap Dhanuar. Ia kemudian ikut duduk di sofa sambil menatap televisi yang menyala. Delana menatap ketiga cowok itu satu persatu. Mereka sibuk dengan ponsel masing-masing. Lalu, apa gunanya televisi menyala? Ia menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah ketiga saudaranya itu.

“Lan, kamu tahu Batu Dinding nggak?” tanya Delana pada Alan.

“Batu Dinding?” Alan melirik ke langit-langit sebagai tanda berpikir. “Kayaknya pernah dengar.”

“Yang di kilo empat lima itu, Kak?” tanya Bryan.

“Iya,” jawab Delana sambil menganggukkan kepala.

“Oh ... yang katanya kayak Tembok Raksasa China itu ya?” tanya Dhanuar.

“Iya. Tapi, ini batu, Dan nggak sepanjang Tembok Raksasa China juga,” sahut Delana.

“Ya iya, lah. Tapi keren loh itu. Terbentuk alami jadi dinding gitu. Katanya, mahasiswa Geologi dari Pulau Jawa yang pertama kali nemuin tempat itu buat penelitian dan akhirnya terekspose ke luar,” tutur Dhanuar.

“Yang mana sih?” tanya Alan penasaran.

“Search aja di Youtube! Ntar muncul,” jawab Dhanuar.

Alan langsung membuka aplikasi Youtube dan mencari keyword ‘Batu Dinding’ seperti yang disarankan oleh Dhanuar.

“Mmh ... aku rasa bukan mereka yang pertama kali nemuin. Pasti ada warga sekitar yang udah tahu tempat itu lebih dulu. Tapi, mereka nggak ekspose ke dunia luar. Makanya baru terkenal sekarang,” tutur Delana.

“Iya, juga sih,” tutur Dhanuar sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Kakak senior aku, dia pecinta alam dan udah pernah ke Batu Dinding jauh sebelum tempat itu terkenal. Katanya, dulu tempat itu cuma bisa dimasukin sama pejalan kaki aja. Motor dan mobil nggak bisa masuk. Tapi, kayaknya sekarang udah bisa masuk ke sana,” tutur Bryan.

“Iya.”

“Kayaknya, di Kalimantan ini masih ada banyak surga tersembunyi di dalamnya. Secara, alamnya tuh masih asri karena belum banyak tersentuh sama manusia,” tutur Dhanuar.

“Iya. Ini keren!” seru Alan sambil melihat video Batu Dinding yang ada di Youtube. “Kayaknya asyik camping di sini.”

“Aku rencananya gitu. Kalian mau ikut?” tanya Delana menatap Dhanuar dan kedua adiknya.

Bryan, Dhanuar dan Alan saling pandang.

“Mau!” jawab Dhanuar dan Alan bersamaan.

“Kapan, Kak?” tanya Bryan.

“Besok gimana?”

“Emang nggak kuliah?”

“Kuliah. Abis pulang kuliah, kita ke sana. Gimana?”

“Mendadak banget, emang Kakak punya tenda buat camping?” tanya Bryan.

“Punya,” jawab Delana sambil tersenyum.

Bryan menatap Dhanuar dan Alan. “Mereka?”

“Kita satu tenda juga nggak papa,” sahut Alan sambil meringis.

“Huu ... maunya! Besok beli tenda, gih!” pinta Delana.

“Beli di mana?” tanya Alan.

“Di toko bangunan!” sahut Delana sambil melotot.

“Serius aku nanya. Aku nggak pernah beli tenda begituan. Mana tahu belinya di mana,” tutur Alan.

“Nanti aku pesenin sama temenku, Kak,” tutur Bryan.

“Temenmu ada yang jual?”

“Kakaknya temenku itu pecinta alam. Dan kayaknya jual alat-alat kayak gitu,” jawab Bryan.

“Oke. Cepet pesenin ya!” pinta Alan.

Bryan menganggukkan kepala.

“Kita bertiga satu tenda aja,” tutur Dhanuar.

“Aku nggak bisa ikut, Kak,” tutur Bryan.

“Loh? Kenapa? Bukannya besoknya hari minggu, libur kan?” tanya Alan.

“Iya. Tapi aku ada ujian karate hari Minggu,” jawab Bryan.

“Oh. Jadi, kamu nggak bisa ikut dong?” tanya Delana memasang wajah kecewa.

“Aku ikut lain kali, Kak. Lagian, aku juga udah pernah ke sana,” tutur Bryan.

“Hah!? Serius!? Kapan kamu perginya? Kenapa Kakak nggak tau?” tanya Delana.

“Ke sana cuma sebentar. Diajak mampir sama guruku waktu kami silaturahmi sama perguruan pencak silat yang ada di Samboja.”

“Oh ... yang waktu itu?” tanya Delana.

Bryan tersenyum sambil menganggukkan kepala.

“Ya udah. Kita bertiga aja ke sana. Gimana?” tanya Delana.

“Boleh,” jawab Alan dan Dhanuar sambil menganggukkan kepala.

“Besok aku ke kantor papa kamu buat pinjam mobil Strada,” tutur Delana menatap Dhanuar.

“Eh!? Pake Porsche aku nggak bisa?” tanyanya iseng.

“Mau pake itu? Kalo hancur, aku nggak nanggung,” sahut Delana.

“Hahaha.” Dhanuar dan Alan tertawa menanggapi ucapan Delana.

“Mau kuantar ke kantor Papa?” tanya Dhanuar.

“Nggak usah. Kalian siapin aja keperluan buat camping!” pinta Delana.

“Apa aja?” tanya Alan.

“Catet! Jangan sampe ada yang ketinggalan!” pinta Delana.

“Nggak ada buku sama pulpen!” protes Alan.

“Catet di hapemu kan bisa,” sahut Delana ketus.

Alan menghela napas. Ia langsung membuka aplikasi note di ponselnya dan bersiap mengetik catatan keperluan yang harus mereka siapkan.

“Yang pertama, tenda,” tutur Delana.

“Hmm ... terus?” tanya Alan sambil mengetik di ponselnya.

“Bantal, selimut, baju ganti.”

“Terus?”

“Panci kecil buat masak. Bawa beras sedikit aja sama mie instan.”

“Nggak bawa kompor?” tanya Alan.

“Nggak usah, ribet. Bikin api aja di sana pake kayu bakar,” sahut Delana.

“Hmm ... apa lagi?” tanya Alan.

“Cemilan yang banyak!” pinta Delana.

“Emang bisa bawa barang sebanyak ini?” tanya Dhanuar.

“Kita bawa mobil. Ngapain bingung sih!?”

“Hmm ... iya, iya.”

“Oh ya, jangan lupa bawa cabai, garam, bawang merah sama bawang putih. Gula, kopi sama teh juga jangan lupa!” tutur Delana.

Alan menghela napas. “Kayaknya yang ini wilayahmu, deh!” tuturnya sambil menatap Delana.

“Eh!?” Delana mengangkat kedua alisnya.

“Keperluan dapur kayak gini kan wilayahmu. Kita siapin yang lain yang kira-kira ribet. Kayak tenda, selimut, handuk dan yang berat-berat. Kalo soal bumbu-bumbu mah urusan kamu. Kita cowok mana ngerti,” cerocos Alan.

“Iih ... iya, nanti aku yang siapin. Tapi, kamu catet aja semuanya dulu. Biar akunya juga nggak lupa. Kamu juga harus ngingetin aku biar nggak ada barang yang ketinggalan pas udah sampe di sana,” sahut Delana.

“Oh gitu? Siap bos!” tutur Alan. “Ada lagi nggak, nih?” tanyanya lagi.

“Bentar. Aku masih mikir. Apa lagi ya, Dek?” tanya Delana pada Bryan.

“Gelas sama piringnya jangan lupa! Ntar makan sama minum pake apa?” sahut Bryan.

Delana tergelak. “Iya. Catet tuh, Lan!” perintah Delana pada Alan.

“Siap, Bu Bos!” sahut Alan.

Delana tersenyum senang karena akhirnya Dhanuar dan Alan bersedia menemaninya pergi ke Batu Dinding. Yah, setidaknya ia tak perlu khawatir karena ia tahu keduanya akan menjaganya dengan baik.

***

Sesuai dengan janjinya, hari ini Hesa datang ke perusahaan Paman Kam untuk melakukan penanda tanganan kontrak kerja baru.

“Pak Kam ada?” tanya Hesa pada petugas resepsionis.

“Sebentar, Pak.” Resepsionis itu langsung menelepon Sekretaris Presdir untuk memberitahukan kedatangan Hesa. Ia langsung mengenali cowok tampan yang datang di hari sebelumnya.

“Maaf, Pak. Bapak diminta untuk menunggu sebentar karena Pak Kam masih ada tamu,” tutur petugas resepsionis.

“Oke,” sahut Hesa sambil menyandarkan tubuhnya ke meja resepsionis.

Resepsionis cantik itu terus menatap Hesa. Ia sampai tak berkedip melihat cowok ganteng dan kaya yang ada di hadapannya.

Hesa tersenyum kecil sambil melirik resepsionis yang ada di sampingnya. Ia langsung memutar tubuhnya menghadap meja resepsionis dan tersenyum manis.

Resepsionis cantik itu terlihat salah tingkah ketika Hesa balas menatapnya. Sebagai seorang cowok playboy, naluri untuk menggoda selalu muncul setiap kali melihat perempuan cantik di dekatnya.

“Hai ...!” sapa Hesa. Ia mulai melancarkan aksinya karena bosan menunggu.

Resepsionis cantik itu hanya tersenyum.

“Udah lama kerja di sini?” tanya Hesa.

“Udah, Pak,” jawab resepsionis itu.

“Kok baru lihat ya?”

“Mmh ... baru dua tahun kerja, Pak.”

“Dua tahun? Lumayan lama juga. Dua tahun jadi resepsionis?” tanya Hesa.

Resepsionis cantik itu menganggukkan kepala.

“Mau sampe kapan jadi resepsionis?” tanya Hesa. “Jadi direktur mau nggak?” bisik Hesa pelan.

“Hah!? Maksudnya?”

“Jadi direktur,” tutur Hesa sambil memainkan alisnya.

“Ah, nggak mungkin, Pak. Saya cuma lulusan SMA,” sahut resepsionis itu sambil tersenyum malu.

“Mungkin aja. Asal kamu mau nikah sama Pak Direktur,” bisik Hesa sambil tersenyum.

“Ah, Bapak ada-ada aja.”

“Kok, panggil Bapak? Emang aku kelihatan kayak bapak-bapak?”

“Eh!? Anu, Pak.”

“Panggil Mas aja!” pinta Hesa.

“Maaf, Pak. Rasanya nggak sopan kalo panggil Bapak dengan sebutan itu.”

Hesa tertawa kecil. “Kalo nggak bisa panggil Mas atau Kak. Panggil sayang aja gimana?” tanya Hesa sambil memainkan alisnya. Ia mengedip centil pada cewek cantik yang ada di depannya.

Ucapan Hesa membuat hati resepsionis cantik itu berbunga-bunga. Tapi, ia sendiri tidak tahu apakah bos tampan ini serius atau hanya iseng menggodanya.

Hesa mengedarkan pandangannya. Ia tersenyum dan melambaikan tangan pada beberapa cewek cantik yang ia lihat.

“Paman Kam pinter banget cari karyawan cantik-cantik. Betah aku di sini kalo setiap hari bisa lihat cewek cantik kayak gini,” gumam Hesa.

Resepsionis cantik itu hanya tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah Chilton yang mulai menggoda karyawan lain yang ada di dekatnya.

“Mbaknya udah punya pacar?” tanya Hesa pada resepsionis itu lagi.

“Udah, Pak.”

“Ganteng mana sama saya?”

“Apanya?”

“Pacarnya?”

“Mmh ...”

“Jawab jujur!” pinta Hesa.

“Ganteng Pak Hesa, sih,” jawabnya lirih.

“Hahaha. Jelas, dong! Cuma aku cowok yang paling ganteng dan kaya di kota ini,” tutur Hesa dengan bangga. “Kalo aku suka sama kamu. Kamu mau putusin pacar kamu?” tanya Hesa.

“Ah, pertanyaan Bapak aneh!” celetuk resepsionis cantik itu.

“Semua cewek suka cowok ganteng dan kaya, kan? Emangnya saya kurang ganteng? Kurang kaya?” tanya Hesa.

“Udah semua, Pak,” jawab resepsionis itu sambil tersenyum malu.

“Mmh ... ada satu yang kurang dari aku,” tutur Hesa. “Kamu mau tahu nggak itu apa?” tanyanya sambil menatap resepsionis itu.

“Apa, Pak?”

Hesa menghela napas. “Aku kurang pasangan hidup,” tuturnya sambil tersenyum.

Resepsionis cantik itu menahan tawa. “Nggak mungkin laki-laki yang ganteng dan kaya seperti Bapak nggak punya pasangan.”

“Buktinya, sampe sekarang aku masih belum punya istri. Kalo pacar sih banyak. Tapi, nggak ada yang cocok buat dijadiin istri.”

Resepsionis itu mulai risih dengan kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Hesa. Ia sudah bisa merasakan kalau bos muda ini hanya sekedar menggodanya karena jenuh menunggu.

“Kamu mau nggak jalan sama aku? Siapa tahu kita cocok,” ajak Hesa.

“Eh!?”

“Aku minta nomer telepon, dong!” pinta Hesa sambil tersenyum genit.

“Telepon ke nomor kantor saja, Pak!”

“Masa mau ngajak jalan telepon ke nomor kantor? Minta nomor WA kamu dong!” pinta Hesa. Ia tersenyum manis pada resepsionis cantik itu. Ia berharap wanita cantik itu mau memberikan nomor telepon dan bisa diajak berkencan sesekali.

Resepsionis cantik itu tersenyum. Ia menuliskan nomor teleponnya pada secarik kertas dan memberikannya pada Mahesa. “Ini, Pak.”

“Nah, gitu dong cantik!” tutur Hesa gemas. Ia langsung menerima secarik kertas pemberian resepsionis cantik itu dan menyimpannya ke dalam saku jasnya.

Mata Hesa tiba-tiba tertuju pada gadis cantik yang baru saja melewati pintu masuk. Ia merasa gadis itu sangat cantik, menarik dan penampilannya sangat berkelas. Hesa terus menatap gadis yang kini berdiri di depan pintu lift. Tanpa pikir panjang, Hesa langsung melangkahkan kakinya menghampiri gadis itu, ia berdiri tepat di sisi gadis cantik itu.

Gadis itu menoleh ke arah Hesa. Ia tersenyum manis dan berhasil membuat jantung Hesa berdetak begitu kencang. Saat pintu lift terbuka, gadis itu langsung masuk. Hesa ikut masuk ke dalam lift. Hesa terus menatap gadis cantik itu lewat ekor matanya. Tapi, gadis itu terlalu cuek. Membuatnya semakin penasaran.

Beberapa kali Hesa menarik napas dan membenarkan jasnya yang sudah rapi. Ia ingin menyapa gadis itu, tapi entah kenapa bibirnya beku. Tak seperti biasanya saat ia menggoda gadis-gadis cantik.

Hesa sama sekali tak menyangka kalau gadis itu akan menuju ke lantai enam. Sama seperti ruangan Paman Kam. “Kebetulan banget,” bisiknya dalam hati.

Ia terus berjalan mengikuti langkah gadis itu.

“Paman Kam punya bidadari secantik ini di kantornya. Apa aku harus beli saham perusahaan Kamoga supaya bisa ketemu sama cewek cantik ini setiap hari?” tanya Hesa dalam hatinya.

Hesa terus memerhatikan gadis berambut cokelat itu. Ia terlihat sangat sempurna. Badannya tinggi, kulitnya putih berseri dan wajahnya juga sangat cantik.

Gadis yang ia perhatikan juga sangat berkelas. Hesa bisa melihat barang-barang mahal yang menempel di tubuhnya. Ia terbiasa membelikan barang bermerk untuk pacar-pacarnya. Sehingga, ia bisa tahu betul kalau gadis itu memakai barang-barang bermerk. Mulai dari sepatu, tas dan perhiasan yang dikenakan.


THEN LOVE BAB 56 : TRANSFORMASI DELANA

 



Semester baru dimulai ...

Delana mulai masuk kampus seperti biasa. Ia merasa harinya begitu aneh. Kini , ia tak bisa lagi melihat sosok cowok yang ia rindukan setiap harinya. Ia tahu, sampai saat ini ia masih gagal membenci Chilton. Bukannya benci, ia masih saja merindukannya.

Delana duduk di kursi taman. Tempat ia dan Chilton menghabiskan waktu bersama untuk sarapan. Semuanya kini hanya menjadi kenangan. Ia tak bisa berharap lagi bahkan ia berusaha untuk mengejarnya, tak kan pernah bisa ia temukan.

“Cowok ganteng cuma suka sama cewek cantik. Kalau penampilan kamu masih biasa aja. Sembilan puluh persennya kamu bakal ditolak sama dia,” tutur salah satu mahasiswi yang sedang mengobrol di dekat Delana.

“Aku harus gimana?” tanya mahasiswi yang diajak bicara.

“Kamu harus berubah. Harus tampil cantik. Memang sih, cantik itu mahal. Tapi itu nggak seberapa kalau untuk mendapatkan hati cowok yang kamu suka.”

Delana mendengarkan pembicaraan dua cewek yang ada di dekatnya. Ia menghela napas dan bangkit dari tempat duduknya.

Benar, ia terlalu sederhana untuk bisa menarik perhatian cowok yang ia sukai. Chilton lebih memilih Ratu karena ia sangat cantik, pandai berdandan dan cara berpakaiannya juga modern.

Mulai hari ini, ia memutuskan untuk melakukan sesuatu.

Ia mempercepat langkah kakinya mencari sahabat dekatnya, Belvina.

“Bel ...!” panggil Delana begitu ia menemukan Belvina yang sedang duduk di depan kelas.

“Ya, kenapa Del?” Belvina langsung menoleh ke arah Delana.

Delana duduk di samping Belvina. “Ivona mana, ya?”

“Belum dateng.”

“Dia udah di sini kan?”

“Udah. Lagi nggak ada jadwal syuting katanya.”

“Bagus. Pas banget.”

“Apanya?”

“Pulang kuliah, kalian ke rumahku ya! Ada yang mau aku bicarain sama kalian.”

“Oke,” sahut Belvina sambil tersenyum.

Mereka akhirnya masuk ke kelas karena materi kuliah akan segera dimulai. Ivona baru muncul setelah dosen masuk ke kelas. Sempat membuat suasana tegang karena dosen yang mengajar mulai memprotes kehadiran Ivona yang sering terlambat masuk kelas.

Sepulang kuliah, tiga sahabat itu langsung berjalan kaki menuju rumah Delana yang tak jauh dari kampus.

“Udah berapa lama aku nggak tidur di sini,” ucap Ivona sambil merentangkan tangan dan menjatuhkan tubuhnya ke ranjang Delana.

“Nginaplah!” pinta Delana.

Ivona tersenyum. “Kayaknya nggak bisa, deh. Aku udah ada janji makan malam bareng keluarga.”

“Hmm ... kamu gimana, Bel?”

“Aku sih lebih baik nginap di sini daripada harus ketemu sama nenek lampir itu.”

“Masih sensi aja sama dia?” tanya Ivona sambil tertawa kecil.

“Langsung naik tensiku gara-gara sekamar sama dia terus.”

“Pindah kamar aja gimana?” tanya Ivona.

“Yee ... enak aja! Dia malah merdeka kalo aku sampe pindah dari kamarku sendiri. Tambah songong aja tuh anak,” sahut Belvina.

Delana tertawa kecil menanggapi ucapan Belvina.

“Malah ketawa. Kamu mah enak, rumah sama kampus deket. Di asrama cuma tidur siang doang. Nggak harus ketemu terus sama cewek gila itu,”  tutur Belvina.

“Udahlah. Nggak usah cemberut terus! Jelek tau!” sahut Ivona.

“Iya. Ngapain sih ngomongin dia? Bikin rusak mood aja,” celetuk Delana.

Ivona dan Belvina saling pandang.

“Eh, aku butuh bantuan kalian,” tutur Delana sambil menatap kedua sahabatnya.

“Bantuan apa?” tanya Belvian dan Ivona berbarengan.

“Mmh ... aku pengen ngubah penampilanku,” ucap Delana.

“Berubah gimana lagi? Kamu udah terlihat lebih  feminim dibanding masa SMA kamu,” tutur Belvina.

Delana menghela napas. Ia langsung menarik Ivona untuk berdiri di sampingnya. “Bisa lihat perbedaannya?” tanya Delana pada Belvina.

Belvina menatap dua sahabatnya bergantian sambil berpikir. “Apa ya?” ucapnya sambil mengetuk-ngetuk dagunya.

Delana menghela napas. “Kamu masih nggak ngeh juga?” tanyanya.

“Apaan sih?” tanya Belvina sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Aku pengen bisa kayak Ivo, aku beneran mau berubah,” tutur Delana.

“Eh!? Serius?” tanya Ivona menatap Delana. Ia tahu, Delana tidak terlalu suka mengenakan pakaian seksi dan berdandan. Keputusan Delana tentu membuatnya heran sekaligus senang.

Delana tersenyum sambil mengangguk pasti. “Kita mulai dari mana?” tanyanya.

Ivona mengetuk-ngetuk dagunya sambil berpikir. Ia melangkahkan kakinya menghampiri lemari pakaian Delana. Ia langsung membuka semua pintunya lebar-lebar.

“Kita mulai dengan mengganti semua koleksi baju kamu ini,” tutur Ivona sambil tersenyum.

“Eh!?” Delana bingung dengan ucapan Ivona, Ia langsung menghampiri Ivona dan berdiri di sebelahnya. “Ada yang salah?”

“Koleksi baju kamu sebagian masih kelihatan kuno. Nggak modis banget,” tutur Ivona.

“Oh.” Delana mengangguk-anggukkan kepala.

Ivona tersenyum dan memilah baju Delana. Ia mengeluarkan semua baju Delana yang menurutnya tidak menarik sama sekali.

“Mau diapain baju sebanyak ini?” tanya Belvina saat melihat Ivona menghambur pakaian Delana di lantai.

“Mau dibuang,” sahut Ivona.

“What!? Baju Dela ini mahal-mahal gini mau dibuang? Ini loh masih bagus,” tutur Belvina.

“Del, ini dikemas dan kirim aja ke panti asuhan!” pinta Ivona.

Delana menganggukkan kepala. Ia langsung melipat pakaian miliknya yang tak akan pernah ia kenakan lagi. “Bantuin, Bel!” pinta Delana.

Belvina mencebik. Ia langsung membantu Delana melipat pakaian miliknya.

“Aku cari dus dulu, ya!” Delana bangkit dan keluar dari kamar.

“Vo, kamu yakin ini nggak bakal dipake lagi sama Delana?” tanya Belvina.

“Yakin. Dia sendiri yang bilang mau berubah.”

“Hmm ... iya, sih. Kenapa dia tiba-tiba mau berubah ya?” gumam Belvina.

“Mungkin karena udah ditinggalin sama cowok yang dia suka. Dua kali pula. Kamu tahu kan? Dulu, Delana pengen manjangin rambut waktu dia patah hati sama Aravin,” tutur Ivona sambil menatap Belvina.

“Iya, juga sih. Jadi menurut kamu, perubahan Dela ada hubungannya sama kepergian Chilton?” tanya Belvina.

“I think so,” jawab Ivona sambil tersenyum.

“Hmm ... aku kasihan sama Dela. Kapan dia bakal dapetin cinta sejatinya? Selama ini, dia disakiti terus sama cowok yang dia suka. Bahkan dua-duanya pergi ninggalin Dela,” tutur Belvina.

“Kita bantu doa. Semoga Delana cepat menemukan kebahagiaannya. Mungkin, dengan dia berubah, dia bisa lebih mudah mendapatkan cinta yang dia inginkan.” Sahut Ivona.

Belvina menganggukkan kepala. “Semoga ...” ucapnya lirih.

Tak lama kemudian, Delana kembali dengan membawa beberapa kardus kosong.

“Cepet banget. Cari di mana?” tanya Belvina.

“Ada di gudang,” jawab Delana.

“Oh.” Belvina mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Kalo ini udah kelar, kita mandi dan langsung berangkat,” tutur Ivona.

“Ke mana?” tanya Delana dan Belvina bersamaan.

Ivona tersenyum. “Ada, deh. Pokoknya, kalian nurut aja!” pintanya.

“Siap Bu Bos!” sahut Delana sambil memberi hormat.

“Apaan sih!?” celetuk Ivona.

Mereka bergegas membereskan pakaian Delana yang akan disumbangkan ke panti asuhan.

Setelah semuanya rapi, mereka bergegas mandi bergantian.

Delana berdiri terpaku cukup lama di depan pintu lemari pakaiannya saat ia sudah selesai mandi. Ia benar-benar bingung harus mengenakan pakaian yang mana. Semua kaos dan celana jeans yang biasa ia pakai, sudah dimasukkan ke dalam kardus. Hanya tersisa beberapa mini dress.

“Kenapa, Del?” tanya Ivona yang baru saja keluar dari kamar mandi.

Delana menghela napas. “Aku bingung harus pake yang mana,” tuturnya.

“Capek, deh. Ini baju kamu tinggal dikit.” Ivona melangkahkan kakinya perlahan dan melihat beberapa mini dress milik Delana. “Pake ini aja!” pinta Ivona sambil melemparkan dress warna mustard ke arah Delana.

Delana tak banyak bicara. Ia mengikuti semua yang diintruksikan oleh Ivona.

“Belvi belum naik?” tanya Ivona.

“Belum,” jawab Delana.

Belvina memilih untuk mandi di kamar mandi yang ada di bawah daripada harus bergantian kamar mandi karena akan memakan waktu yang lebih lama. Tapi, sampai Delana dan Ivona selesai mandi, dia belum juga kembali ke kamar Delana.

“Tumben banget sekarang mandinya lama,” celetuk Ivona sambil menatap pintu kamar Delana.

Delana mengedikkan bahunya. “Nggak tahu juga.”

“Jangan-jangan dia ketiduran di kamar mandi,” tutur Ivona sambil tertawa kecil. Ia mengambil salah satu dress milik Delana dan mengenakannya.

Setelah Delana memakai baju. Ivona langsung merias wajahnya agar Delana terlihat berbeda dan jauh lebih cantik.

“Wow ...! Cantik banget!” puji Belvina yang baru saja masuk ke dalam kamar.

Delana tersenyum. “Tapi, aku belum bisa dandan sendiri. Kalo nggak ada Ivo, aku nggak bisa pake-pake beginian,” tutur Delana sambil menunjuk alat-alat make-up yang ada di depannya.

“Belajar, dong!” tutur Belvina.

“Iya. Ini juga sambil belajar sama Ivo,” sahutnya.

“Del, kayaknya di sini masih ada bajuku ya?” tanya Belvina.

“Cari aja di lemari!” perintah Delana.

Belvina langsung membuka lemari Delana dan mencari pakaian miliknya yang sudah terlipat rapi di dalam lemari.

Delana terus memerhatikan cara Ivona merias wajahnya. Ia juga terus bertanya fungsi dan kegunaan setiap alat make-up yang dipakainya. Karena selama ini, ia hanya punya bedak dan lipstik.

“Nanti, aku pesenin satu paket make-up yang lengkap buat kamu,” tutur Ivona sambil menyisir rambut Delana.

Delana menganggukkan kepala sambil tersenyum menatap dirinya sendiri.

“Bulu matanya gimana? Nyaman?” tanya Ivona.

“Nyaman aja, kok,” jawab Delana.

“Ini bulu mata yang biasa aku pakai buat sehari-hari. Nggak terlalu tebal dan soft banget. Jadi, nyaman banget dipakenya.”

“Apa aku harus setiap hari keluar pakai bulu mata?” tanya Delana.

Ivona tersenyum. “Nggak juga. Senyamannya kamu aja. Kalo males pake bulu mata, pake maskara aja atau pasang eyelash.”

“Oh.” Delana mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Bel, kamu mau dandan juga?” tanya Ivona sambil menatap Belvina yang sedang mengenakan lipstik.

“Nggak,” jawabnya singkat. Ia cukup memakai bedak dan lipstik. Ia juga belum terbiasa dengan make-up yang menempel di wajahnya, seperti Delana.

Ivona tersenyum. Ia mulai merias wajahnya sendiri setelah selesai merias wajah Delana.

Tiga wanita itu sudah terlihat cantik seperti biadadari. Kini, mereka bersama-sama keluar dari rumah.

“Astaga! Aku nggak bawa mobil ke sini. Mobilku kutinggal di halaman kampus,” tutur Ivona sambil menepuk jidatnya. Ia baru ingat kalau mereka jalan kaki pergi ke rumah Delana dan meninggalkan mobilnya begitu saja.

“Pake mobil ayahku aja!” pinta Delana.

“Nggak usah. Aku ambil mobilnya, kalian tunggu di sini!” pinta Ivona.

Delana dan Belvina saling pandang. Kemudian memerhatikan Ivona yang sudah terlihat cantik.

“Lumayan jauh kalau kamu ke sana pakai high heels,” tutur Belvina.

“Eh, suruh Bryan aja ambil mobilmu,” sela Delana.

“Aha, boleh juga.”

Delana langsung masuk ke dalam rumah dan meneriaki Bryan yang ada di dalam kamarnya.

“Ada apa, Kak?” tanya Bryan.

“Tolong ambilkan mobil Kak Ivo di kampus!”

“Hah!?”

“Cepetan!” Delana langsung menarik lengan Bryan dan menyeretnya keluar dari rumah.

“Dek, tolong ambilkan mobil Kak Ivo ya! Di halaman kampus,” tutur Ivona sambil menyerahkan kunci mobilnya pada Bryan.

Bryan menganggukkan kepala. Ia mengambil kunci mobil Ivona dan bergegas keluar dari halaman rumahnya.

“Adik kamu memang manis dan bisa diandalkan,” gumam Ivona sambil menatap punggung Bryan yang sedang berjalan ke arah kampus.

“Adiknya siapa dulu?” tutur Delana bangga.

Beberapa menit kemudian, Bryan sudah datang mengantarkan mobil Ivona. Mereka bertiga langsung bergegas masuk ke dalam mobil.

“Kakak mau jalan. Mau nitip apa?” tanya Delana sambil menatap Bryan yang masih berdiri di samping mobil Ivona.

“Nggak ada. Jaga diri baik-baik!” pinta Bryan sambil tersenyum.

Delana tersenyum menatap adik laki-lakinya yang sudah semakin dewasa. Ia menganggukkan kepala dan langsung menutup kaca mobil.

 “Del, Bryan itu adik yang baik dan perhatian banget,” tutur Ivona.

“Iya. Kelihatan banget kalau dia sayang sama kamu,” sahut Belvina.

“Aku juga sayang sama dia. Namanya juga saudara,” ucap Delana.

“Tapi, kebanyakan saudara itu malah nggak akur.”

“Yah, itu kan tergantung orangnya.”

“Hmm ... iya juga, sih.”

Ivona bergegas melajukan mobilnya ke salah satu pusat perbelanjaan.

***

Delana bersama dua sahabatnya berkeliling mall dan butik untuk membeli pakaian baru. Mereka terlihat sangat bahagia dan ceria.

“Uangmu masih banyak kan?” bisik Ivona di telinga Delana.

“Apa aku kelihatan kayak orang susah?” sahut Delana.

Ivona meringis. Ia membawa beberapa tumpuk baju, begitu juga dengan Delana dan Belvina. Mereka langsung menuju kasir dan menumpuk pakaian mereka di atas meja kasir.

“Ini mau dibeli semua, Mbak?” tanya petugas kasir.

Ivona menganggukkan kepala.

“Bisa bayar pake credit card, kan?” tanya Delana.

“Bisa, Mbak.”

Delana langsung mengeluarkan kartu kredit dari dalam dompet dan memberikannya pada petugas kasir.

Delana, Belvina dan Ivona menunggu petugas kasir menghitung jumlah belanjaan mereka dan mengemas dengan baik.

“Abis ini, kita ke toko sepatu,” tutur Ivona.

“Hah!? Ini bawaannya udah banyak banget, Vo,” sahut Belvina sambil menunjukkan beberapa paper bag yang ada di tangannya.

“Kita taruh di mobil dulu,” sahut Ivona sambil mengedipkan tangannya.

Belvina menghela napas. “Kapan aku punya pacar yang bisa bawain belanjaan sebanyak ini,” celetuk Belvina.

“Loh? Bukannya waktu itu kamu bilang udah jadian sama someone?” dengus Ivona.

“Ah, kalian kan tahu aku LDR sama dia. Kalo urusan beginian, mana bisa bantuin,” keluh Belvina.

“Udahlah. Kita sama-sama jomlo, kok. Mendingan kita cepet-cepet bawa ini ke mobil dan kita cari sepatu yang bagus buat Dela,” tutur Ivona ceria. Ia melenggang penuh bahagia menuju ke parkiran untuk meletakkan belanjaan mereka terlebih dahulu.

“Vo, bukannya Delana udah punya banyak sepatu?” tanya Belvina sambil memasukkan beberapa paper bag ke dalam bagasi mobil Ivona.

“Sepatu punya dia itu flat shoes semua. Kita ganti sama high heels yang lebih berkelas,” jawab Ivona. “Gimana, Del?” tanya Ivona sambil menatap Delana.

“Terserah kamu. Aku nurut aja yang penting aku bisa kelihatan menarik,” jawab Delana.

“Emang bisa pake high heels?” tanya Belvina.

“Belajarlah,” jawab Delana.

“Hmm ... ayo buruan kita masuk lagi!” pinta Ivona.

Mereka akhirnya masuk kembali ke dalam pusat perbelanjaan untuk mencari beberapa pasang sepatu high heels untuk Delana.

Setelah puas berbelanja, mereka langsung kembali ke rumah masing-masing.

***

Sepulang kuliah, Ivona kembali mengajak Delana dan Belvina untuk pergi ke suatu tempat.

“Kita mau ke mana, Vo?” tanya Belvina saat sudah berada di dalam mobil Ivona.

“Udah, ikut aja! Nggak usah banyak nanya,” sahut Ivona.

Belvina dan Delana saling pandang. Delana mengedikkan bahunya sebagai tanda tidak tahu mereka akan pergi ke mana.

Beberapa menit kemudian, mobil Ivona berhenti di depan salah satu klinik kecantikan.

Mata Delana berbinar ketika Ivona mengajaknya ke klinik kecantikan. Ia memang senang sekali pergi ke salon untuk melakukan perawatan tubuh.

“Akhirnya, aku bisa rileks di sini,” gumam Delana. Ia langsung keluar dari dalam mobil diikuti oleh kedua sahabatnya.

“Aku mau spa,” tutur Belvina.

“Iya. Silakan!” sahut Ivona sambil tersenyum. Ia menarik tangan Delana. “Kita ketemu sama dokter dulu,” bisiknya.

“Eh!?” Delana mengernyitkan dahinya. Ia merasa akan melakukan perawatan tubuh, bukan untuk berobat. Kenapa harus bertemu dengan dokter?

“Ayo!” Ivona menarik lengan Delana. Ia langsung mengajak Delana naik ke lantai dua dan bertemu dengan dokter kecantikan untuk konsultasi masalah kulit dan perawatan wajah yang cocok untuk Delana.

“Kulit kamu bagus dan sehat. Tapi, tetap harus mendapat perawatan rutin karena usia kamu bukan usia remaja lagi,” tutur dokter setelah memeriksa wajah Delana.

“Kasih dia perawatan terbaik supaya bisa tetep cantik!” pinta Ivona.

Dokter tersebut tersenyum. “Pasti,” tuturnya.

Ivona dan Delana tersenyum.

Dokter itu memberikan secarik kertas berisi catatan kesehatan Delana dan perawatan yang harus ia jalani. “Bawa ini ke bagian pelayanan. Mereka akan memberikan perawatan yang terbaik untuk wajah dan tubuh kamu.”

“Makasih, Dok!” tutur Delana dan berpamitan pergi.

Delana menghentikan langkahnya dan kembali menoleh pada dokter. “Mmh ... Dok, apa aku perlu operasi plastik biar bisa jadi cantik?” tanya Delana.

Dokter kecantikan tersebut tertawa. “Kamu sudah cantik banget. Apa yang mau diubah?” tanyanya.

Delana menghela napas dan langsung keluar dari ruangan dokter.

“Apa kamu berniat mau oplas?” bisik Ivona.

“Kalo itu perlu,” jawab Delana.

“Semuanya udah perfect. Hidung kamu udah mancung, mata juga udah indo banget. Apa yang mau kamu ubah?” tanya Ivona.

Delana terdiam.

“Cukup rutin melakukan perawatan di sini dan kamu bakal berubah banyak,” tutur Ivona sambil mengedipkan mata.

Delana tersenyum menatap sahabatnya itu.

“Belvi di ruangan mana ya?” tanya Delana.

“Udah, biar aja dia menikmati perawatan yang dia pengen. Ntar juga WA kalo udah kelar,” tutur Ivona.

Mereka langsung menghampiri meja resepsionis dan mengambil paket perawatan wajah dan tubuh yang telah direkomendasikan oleh dokter.

***

Hampir setiap hari Delana berlatih merias dirinya. Tentunya, Ivona selalu menjadi guru yang baik. Bukan hanya membuat riasan wajah yang cantik, tapi juga mengajari Delana tentang bagaimana memilih model pakaian yang cocok untuk berbagai suasana.

Semakin hari, Delana semakin memesona dan menarik banyak pria mengaguminya. Tapi, ia sama sekali tidak tertarik pada semua pria yang menyapanya dengan rayuan gombal. Ia tetap memilih untuk sendiri dan tidak berkeinginan menjalin hubungan dengan siapa pun.

“Eh, Dela sekarang cantik banget ya?” tutur salah satu mahasiswa sambil menatap Delana yang sedang makan di kantin kampus.

“Iya. Berubah banget. Kayak bidadari. Si Ratu aja nggak ada apa-apanya sekarang,” sahut lainnya.

“Hahaha. Ratu? Dia cuma menang gaya doang.”

“Iya. Kalo Dela emang beneran cantik dan tajir. Ckckck, siapa cowok yang nggak mau sama dia. Udah gitu, dia juga baik.”

“Cuma cowok bego yang nggak mau sama dia!”

“Berarti si Chilton bego!?”

“Hahahaha.”

“Kalo dia lihat Dela yang sekarang, pasti bakal nyesel tujuh turunan karena udah nyia-nyiain Dela,” bisik salah satu mahasiswa yang sedang berkerumun sambil menikmati makan siang.

“Kalo Dela suka sama aku, nggak bakal mikir dua kali. Bakal langsung aku terima!” seru mahasiswa satunya lagi.

“Eh, suaramu jangan keras-keras!” tegur teman yang lainnya sambil menatap Delana dari kejauhan.

“Nggak denger, kok.” Mahasiswa yang berteriak tadi menurunkan volume suaranya.

“Coba aja aku ganteng dan kaya. Udah aku kejar dia.”

“Kenapa nggak nyoba? Cinta mana ada yang tahu.”

“Nggak pede buat deketin dia.”

“Hahaha. Bagus kalo nyadar!”

Semua teman-teman Delana membicarakan tentang perubahan dirinya yang begitu signifikan. Dari seorang gadis berpenampilan sederhana, kini ia berubah layaknya bidadari yang dipuja dan dipuji seisi sekolah.

“Vo, makasih banyak ya udah bantu aku sampe jadi kayak gini,” tutur Delana saat makan di kantin bersama Ivona dan Belvina.

Ivona tersenyum. “Aku seneng karena akhirnya kamu mau peduli sama diri kamu sendiri. Kecantikan itu aset buat perempuan, jadi harus dijaga dan dirawat dengan baik.”

Delana tersenyum manis menatap Ivona. Ia sendiri masih tak percaya kalau bisa membuat penampilannya jauh lebih baik dari sebelumnya. Membuat cowok yang tak pernah meliriknya sama sekali, kini berlomba untuk mendapatkan perhatian Delana.

“Lihat deh, cowok yang ngumpul di ujung sana! Mereka lagi bicarain kamu,” bisik Belvina.

“Masa sih?” tanya Delana tanpa menoleh ke arah kerumunan mahasiswa yang membicarakannya.

“Aku denger, ada yang teriak nyebutin nama kamu,” bisik Belvina.

“Telinga kamu jeli juga ya?” tanya Ivona.

“Hmm ... telinga aku tuh udah kayak telinga kelelawar, bisa menangkap suara paling kecil sekalipun,” bisik Belvina.

“Hadeh, gaya banget ngomongnya!” celetuk Ivona sambil melempar Belvina dengan kerupuk.

“Hehehe.” Belvina meringis. Ia bisa mendengar pembicaraan cowok-cowok di kantin karena kebetulan ia melintas untuk mengambil air minum dan para cowok itu tidak menyadarinya sama sekali.

“Eh, ngomong-ngomong, kabar si Ratu gimana setelah putus dari Chilton? Aku jarang lihat dia di kampus,” tanya Delana.

“Makin gila!”

“Makin gila gimana?”

“Makin gila aja cari cowok yang lebih ganteng dan kaya. Apalagi sekarang dia lihat kamu berubah banyak, Del. Kayaknya dia makin iri sama kamu,” tutur Belvina.

“Iri kenapa?”

“Semua cowok di kampus lebih perhatiin kamu daripada dia. Sekarang, kamu sepuluh tingkat lebih populer dari dia,” jelas Belvina.

“Ah, kamu mah berlebihan. Aku biasa aja, kok,” sahut Delana.

“Kamu tuh nggak berubah. Tetep aja rendah hati,” celetuk Ivona.

“Asal jangan rendah diri ya!” sahut Belvina.

Delana tertawa kecil menanggapi ucapan Belvina.

Hampir setiap sudut mata memerhatikan Delana diam-diam. Mereka baru menyadari kecantikan yang ada dalam diri Delana setelah gadis itu benar-benar berubah. Hampir dari setiap sudut, Delana selalu terlihat cantik. Ia kini begitu mengagumkan. Delana yang sekarang, bukan lagi Delana yang dulu suka berpenampilan sederhana. Ia kini terlihat sangat sexy dan elegan.

((Bersambung...))

THEN LOVE BAB 55 : GOES TO AUCKLAND

 



Chilton baru turun dari kamar saat mamanya sudah selesai menyiapkan sarapan pagi.

“Pagi, Ma!” sapa Chilton sambil mengucek-ngucek matanya. Ia langsung duduk di kursi meja makan.

“Eh, belum mandi udah mau sarapan aja,” celetuk Astria.

“Mmh ... aku lagi nggak kuliah, buat apa mandi. Laper!” tuturnya sambil memegangi perutnya.

“Mandi dulu baru makan!”

“Aku mau makan, terus tidur lagi.”

“Apa? Mau tidur lagi? Emangnya nggak ada yang bisa kamu kerjain?”

Chilton menggelengkan kepala.

“Berkas yang kamu perlukan buat berangkat ke Auckland udah lengkap?” tanya Astria.

“Udah.” Chilton langsung menyendok nasi dan mengambil beberapa lauk yang disiapkan oleh mamanya.

“Nggak mau jalan-jalan ke luar?”

Chilton menggelengkan kepala. Ia langsung menyuap nasi ke mulutnya.

“Sayang, kamu mau lanjut sekolah ke luar negeri. Kenapa kelihatan nggak bahagia? Masih ada yang memberatkanmu?” tanya Astria.

Chilton menggelengkan kepala, ia mempercepat makannya agar terhindar dari pertanyaan mamanya yang selalu bercabang dan berbunga.

Astria menghela napas. “Oom Erlan ngelamar Mama lagi. Menurut kamu, apakah Mama harus menerimanya atau nggak?”

Chilton mematung begitu mendengar nama Erlan. “Dia masih belum nyerah?” tanya Chilton.

“Ini lamaran yang ke sepuluh,” tutur Astria sambil menatap lekat wajah Chilton.

Chilton tertawa kecil. “Dia gigih banget.”

Astria menganggukkan kepalanya. “Setiap tahun dia selalu ngelamar Mama. Ini tahun ke sepuluh. Dia sama sekali nggak berubah dan masih terus membuktikan keseriusannya.”

Chilton menatap mamanya. Ia tahu, begitu banyak penderitaan yang telah dialami mamanya bahkan sejak ia belum lahir. Menjalani semuanya seorang diri. Jika bukan karena dirinya, Astria sudah menikah sejak sepuluh tahun lalu. Chilton selalu menolak jika Astria mengatakan ada seseorang yang melamarnya.

Ini tahun ke sepuluh Erlan menyatakan perasaannya kembali pada Astria. Chilton sendiri tahu bagaimana Erlan begitu menyayangi mamanya juga dirinya. Apakah selamanya ia akan terus menghalangi kebahagiaan mamanya?

Chilton tersenyum menatap mamanya. Sebentar lagi ia akan berangkat ke luar negeri. Astria butuh seseorang yang bisa menjaga dan membahagiakannya. Tak ada pria lain yang biasa ia percaya selain Erlan. Kegigihan cinta Erlan, membuat Chilton sadar kalau mamanya butuh seseorang di sampingnya.

“Terima aja, Ma!” pinta Chilton.

“Apa? Kamu serius?” tanya Astria.

“Oom Erlan baik, kaya dan sangat mencintai Mama. Kalau tidak, dia pasti sudah mencari wanita lain saat lamaran pertama kali ditolak sama Mama,” tutur Chilton sambil tersenyum.

“Kamu ...?”

“Aku bakal kuliah di luar negeri dalam waktu dekat. Aku nggak bisa jagain Mama. Mama butuh seseorang yang bisa menjaga Mama dan mencintai Mama.”

Astria tersenyum menatap puteranya. Ia bangkit dan langsung memeluk Chilton dengan penuh cinta. “Makasih ya, Sayang!” tutur Astria dengan berlinang air mata.

Chilton melepas pelukan mamanya. Ia menatap wajah Astria. “Kenapa nangis? Mama nggak bahagia?”

Astria tersenyum. “Ini air mata bahagia,” tuturnya sambil mengusap tetes air mata yang jatuh di pipinya.

“Beneran?”

Astria mengangguk. Ia menggenggam kedua tangan Chilton. “Kamu satu-satunya harta yang Mama punya. Kamu satu-satunya sumber kebahagiaan Mama. Kamu yang bikin Mama kuat sampai sekarang,” tutur Astria sambil terisak. “Mama harap, kamu ...”

Chilton langsung memeluk erat tubuh mamanya. Ia tak kan pernah sanggup melihat mamanya menangis sekalipun itu air mata bahagia. Hatinya begitu sakit melihat mata perempuan yang paling ia cintai seumur hidupnya itu basah.

“Aku sayang Mama,” bisik Chilton.

Astria menganggukkan kepala. Ia mengelus pundak anaknya yang kini jauh lebih besar dari sepuluh tahun lalu.

Chilton melepas pelukannya dan tersenyum menatap mamanya. “Kalo gitu, kapan kita makan malam bareng untuk membicarakan pernikahan Mama?” tanya Chilton.

Astria tertawa kecil. “Apa harus buru-buru?”

“Menikahlah sebelum aku berangkat ke Auckland!” pinta Chilton.

Astria terdiam. Ia sadar kalau anaknya kini sudah dewasa dan akan memilih jalan hidupnya sendiri. Tinggal jauh darinya agar bisa mencapai kesuksesannya. “Mama akan segera kabari Oom Erlan.”

Chilton tersenyum. Ia bisa melihat kebahagiaan yang tersirat dari wajah Mamanya. Andai ia lakukan ini sejak sepuluh tahun lalu, mungkin Mamanya sudah hidup bahagia tanpa harus bekerja keras setiap hari. Saat itu, Chilton masih remaja dan tidak bisa menerima orang lain masuk ke dalam kehidupan keluarganya.

***

Chilton menatap dirinya di depan cermin sambil tersenyum. Malam ini, ia dan mamanya akan pergi ke salah satu restoran untuk makan malam bersama Erlan dan puteranya.

“Udah siap?” tanya Astria yang tiba-tiba sudah masuk ke kamar Chilton.

“Udah, Ma,” jawab Chilton sambil menoleh ke arah mamanya.

Astria tersenyum menatap puteranya.

“Mama cantik banget,” puji Chilton melihat mamanya mengenakan gaun berwarna biru aqua.

“Nggak usah ngegombal! Mama sudah tua,” sahut Astria.

Chilton tertawa kecil. Ia langsung merangkul mamanya dan keluar dari kamar. Chilton bergegas melajukan mobilnya menuju Garden Restaurant BlueSky Balikpapan.

“Apa mereka sudah sampai?” tanya Chilton saat memarkirkan mobilnya.

“Mama rasa sudah. Erlan bukan tipe laki-laki yang membuat Mama menunggu,” jawab Astria. Ia membuka pintu mobil dan langsung keluar.

Chilton menggandeng mamanya masuk ke dalam restoran. Mereka mengedarkan pandangannya mencari sosok Erlan dan puteranya.

“Itu mereka!” Astria menunjuk dua pria yang sudah duduk bersama di salah satu meja yang berada di sudut ruangan.

Chilton tersenyum, mereka melangkahkan kaki menghampiri meja Erlan.

“Udah lama, Oom?” sapa Chilton sambil mengulurkan tangannya.

Erlan langsung bangkit dan menyambut uluran tangan Chilton. “Belum. Kami juga baru sampai,” jawab Erlan.

“Halo ... calon Mamaku!” sapa Hesa sambil merangkul Astria dengan ceria.

Astria tersipu mendengar ucapan Hesa.

“Calon adikku!” Hesa merangkul Chilton dan menepuk-nepuk pundaknya.

Erlan tersenyum senang karena puteranya menyambut baik calon keluarga barunya. “Nggak usah sungkan! Sebentar lagi kita akan menjadi keluarga. Mari duduk!” pinta Erlan mempersilakan Astria dan Chilton untuk duduk.

Astria dan Chilton menganggukkan kepala dan langsung duduk. Tak lama kemudian, hidangan spesial sudah tersaji di hadapan mereka. Erlan sudah memesan semua menu spesial yang ada di restoran ini.

“Chilton, terima kasih karena akhirnya kamu sudah mau menerima kami dalam kehidupan kamu,” tutur Erlan sambil menatap Chilton.

Chilton menganggukkan kepala sambil tersenyum.

“Kamu jahat banget, Chil! Bikin Papaku nunggu sampai sepuluh tahun,” tutur Hesa sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Erlan langsung menyikut lengan Hesa. “Ah, dia cuma bercanda. Jangan dimasukin ke hati!”

Chilton tertawa kecil. Ia sudah terbiasa dengan candaan Mahesa. “Oom, kenapa Oom Erlan pilih Mama? Bukannya masih banyak wanita di kota ini yang lebih cantik dan lebih muda?”

Astria menendang kaki Chilton. Ia tak menyangka kalau anaknya akan bertanya seperti itu pada calon papanya.

Erlan tersenyum mendengar pertanyaan Chilton. “Karena Mama kamu itu berbeda. Dia wanita yang kuat, lembut, penyayang dan ... selalu mengagumkan,” tutur Erlan sambil menatap wajah Astria.

Astria terseipu mendengar ucapan dari Erlan.

“Ehem! Bukannya kita ke sini untuk membicarakan soal pernikahan? Jadi, kapan kalian menikah?” tanya Hesa.

Erlan dan Astria saling pandang. Mereka sendiri belum bisa menentukan hari pernikahan yang akan mereka laksanakan.

“Kalau bisa, sebelum aku berangkat ke Auckland,” sahut Chilton.

“Kamu jadi berangkat ke Auckland?” tanya Hesa.

Chilton menganggukkan kepala.

“Kapan?” tanya Hesa lagi.

“Dua minggu lagi.”

“Ah, terlalu cepat!” keluh Hesa. “Dua minggu itu waktu yang terlalu singkat. Banyak yang harus dipersiapkan untuk sebuah acara pernikahan. Menyiapkan undangan, katering, gedung dan lain-lain. Belum lagi foto pre-wedding ...” Hesa menghentikan ucapannya karena ketiga pasang mata itu tiba-tiba menatapnya tajam. “Ada apa?” tanyanya heran.

“Kami bukan anak muda lagi. Nggak perlu bikin pesta mewah. Cukup acara keluarga saja,” tutur Astria.

Erlan mengangguk. “Bener. Cukup acara keluarga saja.”

Chilton tersenyum ke arah Hesa. “Denger? Acaranya mau besok pun bisa,” ucapnya sambil menatap Hesa.

“Yah ... terserah kalianlah,” tutur Hesa. “Tapi, bukannya semua wanita memimpikan pernikahan yang mewah. Yang nggak akan terlupakan seumur hidupnya?” tanya Hesa. “Papa pengusaha kaya. Apa kata dunia kalau cuma bikin pesta keluarga? Semua relasi bisnis Papa pasti bakal protes ketika mereka nggak diundang ke acara pernikahan Papa.”

“Hesa!” sentak Erlan. “Kami sudah memikirkan sebelumnya dan kami tetap melaksanakan pernikahan yang akan dihadiri keluarga saja. Nggak ada pesta besar!”

“Ya, ya, ya,” sahut Hesa sambil memutar bola matanya.

Mereka kembali melanjutkan menikmati makan malam bersama.

“Jadi, kapan kalian akan melangsungkan pernikahannya?” tanya Chilton.

“Minggu depan, gimana?” jawab Erlan.

“Hah!? Minggu depan? Nggak terlalu cepat?” sahut Hesa.

“Papa rasa, satu minggu cukup untuk mempersiapkan semuanya.”

“Oke.” Hesa mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Bagus. Setidaknya aku masih bisa menghadiri pernikahan kalian sebelum aku berangkat,” tutur Chilton.

“Oh ya, ngomong-ngomong soal sekolah kamu di Auckland, kamu bisa tinggal di rumah kami yang ada di sana, rumah yang dulu ditinggali Mahesa. Nggak perlu menyewa tempat tinggal lagi,” tutur Erlan.

“Siap, Oom!” sahut Chilton sambil menganggukkan kepala.

“Sepertinya kamu harus belajar manggil saya dengan kata lain selain Oom,” tutur Erlan.

“Kamu juga, dia akan jadi Mama kamu dan harus panggil dia dengan sebutan Mama!” pinta Erlan pada Hesa.

Hesa tersenyum dan menganggukkan kepala. “Aku nggak pernah keberatan punya mama seperti Mama Astria,” ucapnya.

“Hesa memang cowok yang selalu bersikap baik dan manis,” tutur Astria.

“Sama seperti papanya, kan?” sahut Erlan sambil tersenyum.

“Hahaha.” Semuanya tertawa.

“Tapi, dia bener-bener playboy,” tutur Erlan sambil menggelengkan kepalanya. “Aku nggak tahu dia nurun siapa. Padahal, papanya laki-laki yang sangat setia.”

“Ah, itu karena aku jauh lebih tampan dari Papa. Wajar aja kalau banyak cewek yang mau sama aku,” sahut Hesa.

“Lihat! Dia terlalu percaya diri!” tutur Erlan sambil tertawa kecil.

Astria tertawa. “Chilton, kamu harus belajar banyak sama Hesa. Gimana caranya biar cepet dapet pacar.”

“Eh!?” Chilton mengernyitkan dahinya.

“Bukannya dia sudah punya pacar?” tanya Hesa sambil menunjuk Chilton dengan dagunya.

“Oh ya? Kamu nggak pernah cerita kalau kamu sudah punya pacar,” sahut Astria.

“Nggak perlu cerita. Kami sudah putus.”

Mahesa tergelak. “Kalo gitu, kamu harus cepet-cepet cari gantinya. Di Auckland banyak banget cewek cantik. Aku rasa, tampangmu nggak terlalu buruk buat dapetin sepuluh cewek sekaligus.”

“Hmm ... aku ke sana mau belajar. Bukan cari cewek,” sahut Chilton.

“Sambil menyelam minum air. Belajar sambil bercinta. Biar semangat belajarnya!” tutur Hesa sambil memainkan alisnya.

Chilton hanya tersenyum kecil menanggapi ucapan Hesa.

Mereka menikmati makan malam sambil bercanda. Suasana makan malam yang begitu hangat karena mereka memang telah saling mengenal dalam jangka waktu yang lama.

***

Chilton dan Mahesa sama-sama bersemangat mempersiapkan pernikahan kedua orang tuanya.

“Chil, bunga dekorasinya yang asli, ya!” pinta Hesa.

“Susah, Hes. Di sini rata-rata pakai bunga artifisial.”

“Halah, kamu tuh males usaha. Ada yang bisa dekorasi bunga asli. Biar ruangannya tetep wangi alami dan romantis,” tutur Hesa.

“Kamu aja yang nyari kalo gitu!”

“Okelah. Biar aku yang nyari.”

“Hehehe. Kamu kan paling pintar soal nyari bunga,” sahut Chilton. “Live music biar aku yang nyari.”

“Jangan musik dangdut, ya!”

“Kenapa?”

“Nggak romantis.”

“Iya. Nanti aku carikan band rock.”

“Hahaha.” Hesa tergelak.

Sebentar lagi mereka akan menjadi keluarga. Mahesa terlihat bersemangat sekali karena ia tidak akan kesepian lagi. Ia akan memiliki seorang adik yang sudah dewasa. Mereka terlihat semakin akrab.

Tiba saatnya hari pernikahan ...

Chilton dan Hesa berdiri berdampingan. Mereka terlihat sangat tampan dan serasi dengan setelan jas berwarna biru langit.

Acara pernikahan berlangsung begitu sakral karena dilaksanakan di tempat tertutup, hanya dihadiri oleh keluarga dan sahabat dekat.

“Chil, apa pernikahan orang yang sudah tua juga bakal berbulan madu?” bisik Hesa di telinga Chilton.

Chilton tidak menggubris pertanyaan iseng Hesa. Ia tetap terlihat cool sambil merapatkan jasnya.

Hesa tersenyum kecil. Ia kini mempunyai seorang adik laki-laki yang begitu dingin. Untungnya wajah Chilton cukup tampan dan sebanding berdiri di sisinya.

Astria dan Erlan kini resmi menjadi suami istri. Semua keluarga mengucapkan selamat dan berbahagia. Acara diakhiri dengan makan bersama.

“Kalian punya dua anak yang sangat tampan,” ujar salah satu sahabat Erlan sambil menunjuk Chilton dan Hesa yang duduk berdampingan.

“Iya, mereka mirip. Seperti saudara kandung sungguhan,” sahut yang lainnya.

Astria dan Erlan saling pandang, kemudian tersenyum. Di mata mereka, Chilton dan Hesa jelas jauh berbeda. Tapi, semua orang yang hadir mengatakan kalau mereka mirip. Mungkin saja Tuhan memang menakdirkan mereka untuk berjodoh.

Chilton dan Hesa hanya tersenyum menanggapi pembicaraan keluarga dan sahabat dekat kedua orang tuanya soal kemiripan mereka.

***

Setelah resmi menjadi keluarga, Astria kini tinggal bersama di rumah Erlan. Mahesa sangat senang karena akan ada seorang ibu di dalam rumahnya. Posisi Astria tidak akan bisa menggantikan mendiang ibunya, tapi ia tidak menutup hati untuk kehadiran ibu baru dalam kehidupannya. Apalagi jika ibu itu adalah Astria. Wanita yang sudah lama ia kenal bersama ayahnya. 

Hanya saja, ia sedikit kecewa karena Chilton bersikeras tidak mau tinggal di rumah keluarga Mahesa.

“Kenapa nggak mau pindah ke sini?” tanya Erlan saat mereka menikmati makan malam bersama di rumah Erlan.

“Sebentar lagi aku bakal berangkat ke luar negeri. Aku nggak akan pindah, merepotkan,” sahut Chilton.

Erlan menghela napas. “Baiklah kalau memang itu keputusan kamu dan tidak ingin mengubahnya lagi. Sekarang, rumah ini juga rumah kamu. Kamu boleh datang kapan saja.”

“Iya, Oom,” sahut Chilton.

“Apa aku masih orang lain buat kamu?” tanya Erlan.

Chilton menggelengkan kepala.

“Kalau begitu, panggil dia ‘Papa’!” pinta Astria.

Chilton menganggukkan kepala.

“Ma, aku rasa dia masih terlalu kaku,” sahut Hesa.

Astria tersenyum kecil sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Jangan anggap kami orang lain! Sekarang kita menjadi keluarga. Kamu juga sudah menjadi anakku,” tutur Erlan sambil menatap Chilton.

“Iya, Pa,” sahut Chilton pelan sambil menganggukkan kepala.

Erlan tersenyum senang karena Chilton mau menerimanya sebagai ayahnya. Walau dia bukan ayah biologis dari Chilton, tapi ia menyayangi Chilton seperti ia menyayangi Mahesa.

“Kamu sekarang sudah menjadi bagian dari keluarga ini. Menjadi anak dari Erlan Anggoro Adelfino, adik dari Mahesa Adelfino. Kamu akan masuk ke dalam perusahaan Fino Group. Kamu tahu artinya apa?” tanya Erlan.

Chilton mengangkat kedua alisnya. Ia tidak mengerti maksud dari ucapan papanya itu.

Erlan menghela napasnya. “Kamu harus segera mengganti namamu dengan nama keluarga kami!” pinta Erlan.

“Eh!? Ganti nama?”

Erlan menganggukkan kepala.

“Aku baru aja selesai daftar kuliah. Aku harus ngurus pergantian namaku lagi?”

“Nanti bakal diurus sama Sekretaris Perusahaan,” tutur Erlan.

Chilton menganggukkan kepala. Masuk dalam keluarga baru yang kaya raya, pastinya banyak aturan baru yang harus ia ikuti. Termasuk mengganti nama keluarganya. Mungkin dengan ini, ia bisa memulai kehidupan barunya. Meninggalkan semua kenangan masa lalunya.

“Kira-kira nama apa yang bagus?” tanya Hesa.

“Kamu maunya apa?” tanya Erlan pada Chilton.

“Terserah Papa, aja.”

“Bejo! Bagus tuh kalo namanya Bejo!” seru Hesa sambil tertawa.

“Jangan bercanda! Nanti diurus sama Sekretaris Papa untuk proses pergantian nama kamu. Kamu bisa diskusi sama dia,” jelas Erlan.

Chilton menganggukkan kepala.

Erlan tersenyum. “Dia penurut sekali,” bisik Erlan di telinga Astria.

Astria ikut tersenyum menanggapi ucapan suaminya.

“Gimana, kalau kamu nginap di sini untuk malam ini?” tanya Erlan pada Chilton.

“Eh!? Nggak perlu, Pa. Masih banyak hal yang harus aku kerjain di rumah,” jawab Chilton.

“Dia lebih senang menyendiri,” tutur Astria.

“Aku aja yang nginap di sana, boleh nggak?” tanya Hesa.

“Boleh,” jawab Chilton.

“Adik yang baik,” tutur Hesa sambil merangkul Chilton.

“Tapi jangan tidur di kamarku!”

“Hah!?” Hesa melongo mendengar ucapan Chilton.

“Tidur di kamar Mama aja,” sahut Astria. Ia menatap Chilton dengan wajah masam karena tidak ingin berbagi dengan saudaranya.

“Aha, boleh juga,” tutur Hesa. Ia mendekatkan mulutnya ke telinga Chilton. “Aku boleh bawa cewek?” bisiknya.

“Nggak!” jawab Chilton tanpa pikir panjang.

Mahesa tertawa kecil. “Ayolah bersikap dewasa!”

“Kalo kamu tetap maksa, aku nggak ijinin kamu masuk ke rumah. Nggak ada tempat lain apa?” teriak Chilton.

“Kalian kenapa?” tanya Astria dan Erlan bersamaan.

“Oh ... eh, ini, Pa. Si Chilton ngajak fitnes bareng. Tapi, dia nggak mau tempat yang aku rekomendasiin,” tutur Hesa. Ia mengedipkan mata ke arah Chilton sambil menepuk-nepuk pundaknya.

Chilton mendengus kesal. Mahesa memang playboy, ia akan meniduri wanita mana saja yang ia sukai.

“Sudah-sudah. Selesaikan makannya!” perintah Erlan.

Mereka melanjutkan makan malam bersama.

“Aku pulang dulu, Ma!” pamit Chilton setelah selesai makan malam.

“Iya, hati-hati!” ucap Astria sambil tersenyum.

“Aku ikut!” seru Hesa.

“Ayo!”

Mahesa langsung mengikuti langkah Chilton keluar dari rumahnya.

“Aku rasa memang harus pergi karena mereka butuh waktu untuk berduaan. Maklum pengantin baru,” tutur Hesa sambil masuk ke dalam mobil Chilton.

Chilton tidak menanggapi ucapan Hesa. Ia langsung masuk ke dalam mobil. Menyalakan mesin dan melajukan mobilnya untuk pulang ke rumah.

“Ini seriusan aku nggak boleh bawa cewek?” tanya Hesa.

“Kamu mau aku turunin di sini!?” sentak Chilton.

“Ah, kamu nih sudah jadi adikku. Kenapa lebih galak dari kakaknya,” celetuk Hesa.

“Kayak nggak ada tempat lain aja. Ngapain coba main begituan di rumahku?” tanya Chilton kesal.

“Hehehe. Emangnya kamu belum pernah bercinta di rumah sendiri?”

Chilton bergeming. Berbicara dengan playboy memang tidak akan membahas hal lain selain cewek. Chilton sama sekali tidak tertarik untuk membahasnya.

“Jangan-jangan, kamu belum tidur sama pacar kamu sendiri?” tanya Hesa.

Chilton tak menjawab.

“Ah, ayolah bersikap dewasa!” pinta Hesa. “Kita udah dewasa. Kamu nggak pengen ngerasain nikmatnya bercinta? Aku bisa bawa panggil cewek sekaligus ke rumah malam ini juga. Gimana?” tanya Hesa sambil memainkan alisnya.

Chilton langsung menepikan mobilnya. “Mau turun di sini?”

Hesa tertawa kecil. “Kamu terlalu serius. Aku cuma bercanda. Ayo jalan lagi!” pinta Hesa sambil cengengesan.

Chilton langsung menginjak gas dan kembali melajukan mobilnya.

“Kenapa kamu putus sama pacar kamu?” tanya Hesa.

“Dia selingkuh.”

“Apa? Cowok sekeren kamu diselingkuhin? Ckckck.” Hesa menggeleng-gelengkan kepalanya.

Chilton tak menghiraukan. Ia tetap fokus menyetir. Sesampainya di rumah, Chilton langsung masuk kamar dan mengunci pintu. Ia tidak ingin kakaknya mengganggunya terlebih hanya membahas soal wanita.

***

Hari terus berganti. Chilton bersiap untuk berangkat ke Auckland dengan nama barunya sebagai keluarga bangsawan.

Alonzia Adelfino, ia memandang namanya yang tertera dalam tiket pesawat keberangkatan ke Auckland. Ia masih harus transit di Jakarta dan Melbourne terlebih dahulu sebelum sampai ke Auckland. Ia harus menghabiskan waktu setidaknya dua puluh lima jam di dalam pesawat. Untungnya,  ia kini menjadi bagian keluarga kaya sehingga bisa memilih kelas bisnis. Ia bisa beristirahat dengan nyaman di dalam pesawat.

Beberapa kali, Al melirik jam tangannya sambil menunggu di ruang tunggu pintu penerbangan. Ia memandang jauh ke luar, menatap langit yang terlihat cerah. Andai hubungannya dengan Delana masih baik, gadis itu pasti akan melepas kepergiannya dengan penuh kehangatan.

Saat pesawat mulai tinggal landas, Alonzia terus menatap keluar jendela. “Hidup ini tak seperti cerita dalam novel atau film,” gumamnya. Ia berharap, bisa melihat Delana melambaikan tangan sambil tersenyum ke arahnya. Seperti cerita yang ada dalam film-film romantis.

Al merapatkan jaketnya dan menyandarkan kepalanya ke kursi. Ia akan memulai kehidupan baru. Ia sendiri masih tidak yakin apakah ia bisa melupakan gadis itu. Al tersenyum kecil sambil menatap syal berwarna merah yang melingkar di lehernya. Ia tidak bisa benar-benar melupakan gadis itu sepenuhnya. Ia akan tetap membawanya ke manapun ia pergi.

Tanpa ia sadari, air mata jatuh ke pipinya. Ia akan terus merindukan kota ini. Bukan, bukan kotanya yang membuatnya rindu. Tapi penghuni kota yang kini menjadi penghuni hatinya. Sekalipun ia tak pernah menjalin hubungan cinta, tapi semua kisah antara mereka terlalu manis untuk dilupakan.

Al begitu menyesal. Ia baru tersadar kalau cinta Delana begitu tulus setelah berkali-kali ia menyakiti dan gadis itu kini memilih untuk membencinya.

((Bersambung...)) 

THEN LOVE BAB 54 : PERTEMUAN TERAKHIR

 


Gosip tentang berakhirnya hubungan Ratu dan Chilton langsung beredar di kampus dengan cepat.

“Kamu beneran putus sama Chilton?” tanya salah satu teman Ratu yang melihat Ratu duduk di kursi depan kelasnya sambil terisak.

Ratu menganggukkan kepala.

“Kok, bisa putus?”

“Delana bilang ke Chilton kalo aku selingkuh sama cowok lain. Padahal, aku nggak pernah selingkuh sama sekali,” tutur Ratu sambil terisak.

“Serius? Dela jahat banget sih?”

“Iya. Dia kelihatannya baik sama kamu. Tapi tega ngerusak hubungan kalian.”

“Mungkin, dia masih nggak rela kalo Chilton itu cintanya sama kamu.”

“Iya, dulu kan mereka pernah deket banget.”

“Sayangnya, Chilton nggak beneran suka sama dia.”

“Bisa jadi, karena itu dia mau balas dendam dan ngerusak hubungan kalian.”

Ratu terus terisak. Dalam hati, ia tersenyum senang karena hampir semua orang menyalahkan Delana. Ia berhasil membuat semua orang percaya dengannya.

“Eh, itu si Dela!” bisik salah satu mahasiswi yang sedang mengerumini Ratu.

Salah satu mahasiswi langsung menghampiri Delana. “Eh, perusak hubungan orang!” tuturnya sambil mendorong pundak Delana.

“Eh, apa-apaan sih kamu!?” Belvina langsung menyambar mahasiswi yang mendorong Delana.

“Nggak usah belain temen fake kamu ini!” sahut mahasiswi tersebut dengan ketus. “Pura-pura baik, sekalinya berani nusuk dari belakang,” lanjutnya.

“Eh, kalian kalo nggak tahu apa-apa nggak usah banyak omong!” seru Belvina.

“Kami semua udah tahu. Lihat! Ratu sampe nangis-nangis kayak gitu gara-gara kelakuan temen kamu yang sok baik itu!”

Belvina mengepalkan tangannya. Ia hampir saja menampar wajah mahasiswi itu kalau Delana tidak segera mencegahnya.

“Udah, Bel! Nggak usah dilayani!” pinta Delana sambil menarik Belvina pergi dari kerumunan mahasiswa yang terus menerus menyalahkan Delana soal putusnya hubungan Chilton dan Ratu.

“Kamu kenapa diam aja, sih!?” Belvina kesal dan langsung menepis tangan Delana. “Udah jelas-jelas dia yang ngerebut Chilton dari kamu. Kenapa sekarang malah nyalahin kamu kalo mereka putus?”

“Udahlah. Nggak usah dibahas. Aku juga nggak tahu kalo mereka putus,” tutur Delana.

“Hah!? Kamu nggak tahu mereka putus? Tapi kamu diem aja disalah-salahin sama mereka? Emangnya putusnya mereka ada hubungannya sama kamu?” Belvina mencecar banyak pertanyaan pada Delana.

Delana menghela napas. “Nanti aku ceritain. Nggak di sini,” tuturnya.

“Oke, pulang kuliah kamu langsung ke kamarku!” pinta Belvina.

“Ntar ada si Ratu,” sahut Delana.

“Kenapa? Bagus kan kalo ada dia sekalian? Biar dia nggak nyalah-nyalahin kamu terus!”

“Aku males berantem,” tutur Delana.

“Eh, kalo udah kayak gini, mending berantem sekalian!” Belvina melotot sambil berkacak pinggang di hadapan Delana.

Delana malah tertawa kecil melihat sikap Belvina.

“Kenapa malah ketawa!?” dengus Belvina.

“Kamu kayak emak-emak,” celetuk Delana.

“Del, aku nggak lagi bercanda!” seru Belvina.

“Iya, iya.” Delana tersenyum sambil menarik lengan Belvina masuk ke dalam kelasnya.

Sepulang kuliah, Delana dan Belvina langsung masuk ke dalam kamar. Kebetulan, Ratu belum datang dan mereka bisa bercerita banyak.

“Sekarang, cerita ke aku! Sebenarnya ada apa?” tanya Belvina.

“Nggak ada apa-apa,” jawab Delana sambil menahan senyum.

“Bohong! Kamu mulai main rahasia-rahasiaan sama aku!?” dengus Belvina.

Delana tertawa kecil. “Cuma salah paham aja.”

“Salah paham tapi bikin heboh seisi kampus?”

“Aku tuh nggak tahu kalo mereka putus. Waktu itu, Chilton langsung ngusir aku dari kamarnya dan aku nggak tahu apa yang terjadi sama mereka.”

“Kamar? Kamu ke kamar Chilton?”

Delana menganggukkan kepalanya.

“Gimana ceritanya kamu bisa masuk ke kamarnya dia?”

“Ratu yang nyuruh aku buat nemuin dia. Karena ada hal penting yang mau dia sampaikan ke Chilton sebelum Chilton berangkat ke luar negeri,” jawab Delana. “Aku sempat berantem sama Chilton waktu itu. Pas aku mau balik, aku lihat Ratu diantar sama cowok yang pakai mobil Chevrolet kuning itu. Ya udah, aku suruh aja si Chilton lihat sekalian.”

“Terus?”

“Aku bawa Ratu masuk ke kamar Chilton dan ngomongin semua kelakuan Ratu di belakang Chilton. Tapi, Chilton malah ngusir aku. Abis itu, aku nggak tahu lagi yang terjadi sama mereka.”

“Gila ya si Ratu. Jelas-jelas dia yang salah. Malah dia nyalahin kamu.”

“Udahlah biar aja. Suatu saat nanti, kebenaran bakal terungkap dengan sendirinya.”

“Del, jadi orang terlalu baik sama bodoh itu nggak ada bedanya,” celetuk Belvina.

Tiba-tiba, pintu kamar Belvina terbuka dan terlihat Ratu masuk ke dalam kamar.

“Hai ...!” sapa Ratu sambil tersenyum. “Kalian di sini?”

Belvina melipat kedua tangannya di depan dada sambil menatap sinis ke arah Ratu. Ratu pura-pura tidak tahu dan tidak menghiraukan Belvina sama sekali. Ratu langsung berbaring santai di atas ranjangnya.

Belvina tidak tahan melihat sikap Ratu, ia langsung menghampiri Ratu dan menarik tubuhnya bangkit dari ranjang.

“Apaan sih, Bel?” sentak Ratu sambil menepiskan tangan Belvina.

“Eh, cewek munafik! Serigala berbulu domba! Sok-sok manis di depan semua orang!” Belvina langsung mendorong pundak Ratu.

“Bel, jangan berantem!” Delana menengahi Belvina dan Ratu.

“Kamu nggak usah terlalu baik sama dia, Del!” sentak Belvina. “Dia ini kalo dibaikin malah ngelunjak!”

Ratu menatap sinis ke arah Belvina.

“Kamu sengaja kan manfaatin kebaikan Delana buat nyiptain image bidadari kamu itu!?” Belvina berteriak di depan wajah Ratu. “Kamu pikir aku nggak tahu otak licik kamu itu, hah!?”

Ratu tidak menanggapi sama sekali ucapan Belvina. Ia malah asyik memainkan kukunya, pura-pura tidak mendengarkan ucapan Belvina.

“Kamu punya satu tas branded aja udah dibawa dan dipamerkan terus di kampus setiap hari. Tasnya kena sentuh orang lain dikit aja udah teriak-teriak ‘ini tas mahal!’ ke semua orang. Orang kalo nggak kaya beneran tuh begitu, barangnya takut lecet karena nggak mampu beli lagi,” tutur Belvina.

Ratu langsung menoleh dan melotot ke arah Belvina.

“Apa? Mau marah?” tutur Belvina dengan wajah ketus. “Emang bener kan?”

“Lihat si Dela! Dia punya banyak tas yang harganya puluhan bahkan ratusan juta. Tapi, dia nggak pernah bawa ke kampus apalagi dipamer-pamerin ke anak-anak lainnya. Dia itu baru beneran orang kaya, nggak pamer kayak kamu yang cuma sok kaya!” Belvina mendelik ke arah Ratu.

Ratu memutar bola matanya dan langsung membalikkan tubuh.

Belvina semakin  emosi melihat tingkah Ratu yang sangat menyebalkan. Ia sudah mengomel dan memaki panjang lebar kali panjang kali luas tapi tidak dianggap sama sekali oleh Ratu. Karena kesal, ia langsung menarik rambut Ratu.

“Sakit, Bel!” teriak Ratu sambil menahan rambutnya. Karena Belvina tak segera melepaskan rambutnya, terjadi pergulatan di antara mereka.

Delana terkejut karena dua teman sekamarnya bergulat di atas ranjang. Ia tidak tahu harus bagaimana memisahkan keduanya. Berteriak saja tidak akan didengarkan oleh keduanya. Delana berusaha memisahkan dengan tangannya tapi ia malah terssungkur.

Delana menatap pintu kamar mandi dan langsung berlari masuk. Ia mengisi ember air, lalu membawanya keluar.

BYURR!!!

Ratu dan Belvina terdiam saat tubuhnya tiba-tiba basah kuyup. “DELA!” teriak mereka bersamaan.

Delana meringis melihat kedua temannya basah kuyup. Tempat tidur Ratu juga ikut basah kuyup.

“Del, ranjang aku basah! Aku tidur di mana?” teriak Ratu.

“Bodo amat! Tidur aja di lantai!” sahut Belvina sambil turun dari ranjang Ratu.

“Iih ... kalian berdua itu emang nyebelin banget ya!” umpat Ratu sambil memukul ranjangnya sendiri.

Belvina menjulurkan lidahnya ke arah Ratu. Ia langsung mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi.

Ratu menatap kesal ke arah Delana yang membuat tubuh dan kasurnya basah kuyup.

Delana meringis menatap Ratu. Perlahan-lahan tangannya meraih tas yang ia letakkan di atas ranjang Belvina. “Bel, aku pulang dulu!” teriak Delana sambil berlari keluar dari kamar.

Demi apa pun, Delana tidak suka berkelahi. Ia lebih memilih pergi daripada membuat masalah baru dengan kemarahan Ratu padanya. Melihat Ratu berkelahi dengan Belvina saja rasanya sudah muak, apalagi ia juga harus berkelahi dengan perempuan gila itu. Tidak ada gunanya sama sekali!

***

Delana melangkahkan kaki sambil mengayun-ayunkan tasnya. Ia merasa harinya mulai kacau. Ia bertengkar hebat dengan Chilton, membuatnya putus dengan Ratu. Seisi sekolah membicarakan hal buruk tentang Delana. Kini, ia harus melihat dua teman sekamarnya berkelahi karenanya.

Delana menghela napas. Ia merasa harinya semakin kacau setelah mengenal Chilton dalam hidupnya. Ia benar-benar harus membuang jauh-jauh cowok itu dari kehidupannya dan memulai hidupnya yang baru.

Delana merogoh tas dan mengambil ponsel di dalamnya. Ia mencari nama kontak seseorang yang bisa menemaninya melewati masa-masa sulitnya. Tapi, ia mengurungkan niatnya dan memasukkan kembali ponsel ke dalam tasnya. Ia tidak ingin merepotkan orang lain. Membuat orang lain terbebani karena masalahnya.

Delana menghentikan taksi yang kebetulan melintas.

Taksi itu berhenti, supir taksi membuka kaca mobil. “Mau ke mana, Mbak?” tanya supir itu.

Delana langsung menarik gagang pintu mobil dan masuk ke dalam taksi. “Jalan aja, Pak!” perintah Delana. Ia menyandarkan kepalanya ke kursi.

Taksi itu terus melaju tanpa tahu arah. Supir taksi beberapa kali bertanya pada Delana dan gadis itu menjawab dengan hal yang sama. Tapi, tak pernah ada ujung dari perjalanan mereka.

“Mbak, ke kanan atau kiri?” tanya supir itu saat tiba di persimpangan jalan yang keempat.

“Kanan,” jawab Delana tanpa melihat ke arah persimpangan jalan tersebut.

“Mbak, kita sudah lewat jalan ini dua kali,” tutur supir tersebut sambil melihat angka di layar cargo yang semakin membengkak. Ia khawatir kalau penumpangnya tak akan sanggup membayar biaya yang semakin banyak.

“Jalan aja, Pak!” pinta Delana.

Supir taksi itu menggelengkan kepala dan terus melajukan mobilnya. Hari mulai gelap dan Delana masih tidak tahu harus pergi ke mana.

“Mbak, mau turun di mana?” tanya supir taksi itu.

Delana tak menjawab.

“Kargonya udah lima ratus ribu lebih, Mbak.”

Delana menghela napas. “Apa aku kelihatan kayak orang nggak mampu?” tanyanya dalam hati.

“Berhenti di sini aja, Pak!” pinta Delana.

Supir taksi itu langsung menepikan mobilnya.

Delana mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribuan dan memberikannya pada supir itu. “Ambil aja kembaliannya, Pak!”

Supir itu menghitung uang dari Delana. “Nggak ada kembaliannya, Mbak. Ini uangnya kurang,” sahut supir taksi itu.

“Hehehe.” Delana meringis. “Kurang berapa?” tanya Delana.

“Kurang tujuh puluh ribu,” jawab supir taksi tersebut.

Delana kembali merogoh dompetnya dan mengeluarkan selembar uang seratus ribuan. “Ambil aja kembaliannya!” Delana menyodorkan uang tersebut pada supir.

Supir tersebut menerimanya dengan senang hati.

Delana langsung keluar dari mobil. Ia mengedarkan pandangannya mencoba mengenali tempat yang ia datangi saat ini. Tempat ini terasa asing bagi Delana. Sepertinya ia belum pernah menginjakkan kaki ke tempat ini.

Delana memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam. Ia melangkahkan kakinya perlahan menyusuri jalanan kota yang ramai. Ia baru menyadari kalau ia sudah berada di depan sebuah gedung berlantai enam yang merupakan kantor perusahaan milik pamannya.

Hari sudah malam, tidak ada aktivitas di dalam gedung tersebut. Semua lampu ruangan tidak ada yang menyala satupun. Hanya lampu halaman dan pos jaga yang masih menyala.

“Mbak Dela kok di sini malam-malam?” tanya satpam yang kebetulan mengenali Delana.

Delana meringis. “Lagi jalan-jalan aja, Pak. Cari angin,” jawab Delana dan langsung bergegas pergi.

“Hati-hati, Mbak! Ini sudah malam,” seru satpam tersebut.

“Iya,” sahut Delana sambil melambaikan tangannya.

Delana melangkahkan kaki dan masuk ke salah satu kafe yang tak jauh dari perusahaan pamannya.

“Mau pesan apa, Mbak?” Seorang pelayan menghampiri begitu Delana duduk di salah satu kursi kafe.

“Americano satu,” jawab Delana.

“Ada lagi?” tanya pelayan tersebut.

Delana menggelengkan kepalanya.

Pelayan kafe langsung beranjak meninggalkan Delana.

“Tunggu!” seru Delana. Ia melambaikan tangan memanggil pelayan tersebut kembali mendekatinya.

Pelayan itu langsung menghampiri Delana kembali.

“Kalian punya bir?” bisik Delana sambil tersenyum.

Pelayan itu menganggukkan kepala.

“Bawakan aku bir!”

“Berapa?”

“Lima.”

“Mmh ...” pelayan itu terlihat khawatir menatap Delana.

“Kenapa?” tanya Delana.

“Mbaknya sendirian ke sini?”

“Iya.”

“Minum bir terlalu banyak bisa mabuk. Kami khawatir ...”

“Cepet kasih ke mejaku! NGGAK USAH BANYAK OMONG!” Delana menggebrak meja.

Pelayan itu langsung menganggukkan kepala dan bergegas menyiapkan pesanan Delana.

Delana menghabiskan waktunya untuk menikmati bir sampai ia mabuk. Ia terus menceracau tak jelas. Membuat beberapa pelayan dan pemilik kafe mulai khawatir karena hari semakin larut dan mereka ingin menutup kafe.

“Mbak ...!” panggil salah satu pelayan sambil menggoyang-goyangkan pundak Delana. Ia sudah tergeletak tak di atas meja dan tidak sadarkan diri.

“Gimana, nih?” bisik karyawan yang lain.

“Dia ke sini naik apa?”

“Nggak bawa kendaraan. Mungkin naik taksi.”

“Terus gimana dia pulangnya?”

“Iya. Kita udah mau tutup. Nggak mungkin ngebiarin dia tidur di sini.”

“Coba cek handphone-nya!”pinta salah satu karyawan sambil menunjuk ponsel Delana yang tergeletak di atas meja.

“Buat apa?”

“Bodo jangan dipelihara! Telpon saudara atau temennya suruh jemput dia ke sini!”

“Aha, bener banget!” sahut karyawan lainnya dan langsung menyambar ponsel Delana.

Karyawan itu mencoba menelepon nomor yang tertera pada panggilan terakhir namun tak mendapat jawaban. Ia terus mencoba nomor lain sampai ada sesseorang yang mengangkat teleponnya.

“Halo ...!” sapa seseorang di seberang sana.

Karyawan lain terlihat sangat bahagia karena akhirnya ada yang menjawab telepon mereka.

“Halo, apakah Anda kenal dengan pemilik nomor telepon ini?”

“Ya.”

“Tolong jemput Mbak ini, karena dia mabuk parah dan nggak sadar.”

“Di mana?”

“Di Lotus.”

“Oke. Saya ke sana sekarang.”

Beberapa menit kemudian, seorang laki-laki menerobos masuk dan langsung menghampiri Delana.

“Hei, kamu pergi sendirian dan mabuk? Ngerepotin banget!” umpat Chilton sambil merangkul Delana keluar dari kafe.

“Mmh ... aku udah ngelewati banyak hari buruk. Aku membuat banyak masalah, membuat teman-temanku berkelahi dan aku juga harus berkelahi dengan cowok yang aku cintai.” Delana menceracau.

“Dia bakal pergi jauh. Aku sedang berusaha membencinya dan ingin melupakan secepatnya. Kamu tahu ... aku begitu bodoh karena sudah jatuh cinta sama cowok aneh itu!”

Chilton tak menghiraukan ucapan Delana. Ia langsung menggendong dan memasukkan tubuh Delana ke dalam mobilnya.  

“Kenapa kamu mabuk di luar malam-malam gini? Kalo ketemu sama orang jahat gimana?” celetuk Chilton. Ia memakaikan safety belt ke pinggang Delana. Memakai safety belt untuknya sendiri dan langsung menyalakan mesin mobilnya.

Sesampainya di depan rumah Delana, ia langsung mencari kunci rumah Delana di dalam tas yang Delana bawa.

Chilton langsung menggendong Delana masuk ke dalam rumah. Delana mabuk berat, sehingga ia sama sekali tidak mengenali Chilton. Chilton menidurkan Delana di dalam kamarnya. Perlahan Chilton melepas sepatu Delana dan menyelimutinya.  Ia menatap wajah Delana yang tertidur pulas.

Chilton tersenyum kecil menatap wajah polos Delana. “Del, mungkin ini hari terakhir aku bisa lihat wajah kamu. Jaga diri kamu baik-baik!”

Chilton mengecup kening Delana untuk terakhir kali dan bergegas keluar dari rumah Delana.

Chilton merebahkan tubuhnya begitu sampai di rumah. Ia masih tidak mengerti kenapa Delana melakukan hal bodoh di luar sana. Gadis itu benar-benar merepotkan. Membangunkannya tengah malam hanya untuk membawanya pulang karena dia mabuk berat.

Chilton bangkit dan duduk di ranjangnya. Pikirannya masih dipenuhi semua hal tentang Delana. Ia masih tidak mengerti kenapa gadis itu begitu mengganggu pikirannya. Setiap kali bertemu dengan Delana. Ia tidak bisa menahan diri untuk terus memikirkannya.

Chilton melangkahkan kakinya. Ia menurunkan koper dari atas lemari. Ia tidak bisa tidur dan memilih mengemasi barang yang akan ia bawa ke luar negeri.

“Aargh ...!” Chilton mengacak-ngacak rambutnya dan terduduk di lantai. Ia kesal karena sulit sekali menepis Delana dari pikirannya.

“Aku harus cepet-cepet pergi supaya aku nggak ketemu lagi.”

***

“Del, semalam kamu ada nelponin aku kenapa? Aku udah tidur,” tanya Belvina saat ia sudah bersama Delana di kampus.

“Eh!?”

“Malah plonga-plongo! Semalam nelpon ada apa?”

Delana mencoba mengingat sesuatu, tapi tak ada satu hal pun yang ia ingat semalam. Yang ia ingat, ia minum di kafe dan tiba-tiba sudah ada di dalam kamarnya saat bangun pagi. Delana mencoba memijat kepalanya agar ingatannya kembali.

“Kata Ivo, kamu juga nelpon dia semalam.”

Delana mengerutkan dahinya.

“Kamu nggak ingat apa-apa? Emang semalam kamu di mana?”

“Di kafe,” jawab Delana.

“Hah!? Ngapain?”

“Yang aku ingat cuma minum.”

“Minum apaan?”

“Minum bir.”

“Terus?”

Delana menggelengkan kepala. “Tiba-tiba aku sudah di kamar dan sudah pagi.”

“Ckckck.” Belvina menggelengkan kepala. “Jadi, kamu nggak tahu siapa yang ngantar kamu pulang?”

Delana menggelengkan kepala. “Mungkin supir taksi,” tuturnya.

“Hah!? Kamu santai banget bilang itu supir taksi. Bisa aja kan orang lain? Kalo itu supir taksi ngeraba-raba badan kamu, terus diciumin, terus ...” Belvina menakut-nakuti Delana.

“Hah!?” Delana langsung menyilangkan lengan di dadanya.

“Hayo ... diantar pulang sama siapa?”

“Aku nggak ingat!” seru Delana.

“Sama supir genit?” tanya Belvina sambil mengedipkan matanya.

“Nggak mungkin.”

“Why?”

Delana langsung merogoh ponsel di sakunya. “Kalo semalam ada yang nelpon kamu pake hapeku. Artinya, orang yang jemput aku juga pasti nerima telepon dari hpku. Karyawan kafe cukup kreatif buat mulangin aku dengan aman,” tutur Delana sambil memeriksa panggilan keluar pada ponselnya.

Delana terperangah ketika melihat panggilan keluar selama beberapa detik di ponselnya.

“Kenapa. Del?” tanya Belvina begitu melihat ekspresi wajah Delana.

“Lihat!” teriak Delana sambil menunjukkan layar ponselnya.

Belvina menahan tawa melihat nama yang tertera di layar ponsel Delana.

“Kok malah ngetawain sih!?” dengus Delana. “Haduh ...! Kiamat udah deket!” teriak Delana. Ia bangkit dan uring-uringan di depan meja belajarnya.

Belvina terus menahan tawa melihat Delana yang begitu gelisah.

“Kok bisa sih dia yang nganterin aku?”

Belvina tidak bisa mengatakan apa pun selain tertawa melihat sahabatnya itu.

“Kenapa harus dia? Dari sekian banyak kontak yang ada di hape-ku. Kenapa harus dia yang angkat dan jemput aku?” teriak Delana kesal.

“Masih untung dia yang antar kamu pulang. Dia nggak bakal macem-macemin kamu. Daripada kamu dibiarin tidur di jalanan.”

Delana mengerutkan hidungnya. Menatap kesal ke arah Belvina yang terus tertawa. Ia menghela napas dan duduk kembali di kursinya. Delana menjatuhkan kepalanya di atas meja.

“Kenapa dia masih peduli sama aku? Kenapa nggak dibiarin aku mati di jalanan?” Delana menceracau sambil memukul-mukul meja belajarnya.

“Del, kamu jangan kayak gini lagi, dong!” pinta Belvina sambil memeluk tubuh Delana.

“Aku mau lupain dia, Bel. Kalo masih kayak gini, yang ada aku gagal move on terus!” ucap Delana. Ia tak bisa membendung air matanya untuk jatuh.

“Del, kamu pasti bisa move on, kok. Sebentar lagi dia bakal pergi ke luar negeri. Seiring berjalannya waktu, kamu pasti bisa dapetin cowok yang lebih baik dari dia,” bisik Belvina sambil mengelus pundak Delana.

Delana membenamkan wajahnya dalam-dalam. Ia tak bisa menahan kesedihannya karena akhitnya harus berpisah dengan Chilton untuk selamanya. Ia tidak tahu bagaimana cara mengobati rindu pada cowok itu. Ia tak akan punya kesempatan untuk melihatnya lagi.

“Udah, Del! Jangan nangis! Ntar aku juga ikut nangis nih,” celetuk Belvina.

“Nangis aja!” sahut Delana.

Belvina menghela napas. “Ada dosen datang,” tutur Belvina.

Delana langsung bangkit dan mengusap air mata yang membasahi pipinya. Ia menoleh ke arah pintu kelas dan tidak ada dosen yang datang. Delana langsung menoleh ke arah Belvina yang menahan tawa.

“Kamu ngerjain aku!?” dengus Delana.

“Hahaha.”

Delana memukul bahu Belvina.

“Jangan cemberut terus! Jelek tau!” tutur Belvina sambil menyubit kedua pipi Delana.

“Sakit, Bel!”

“Makanya senyum!”

Delana tersenyum lebar sambil menatap wajah sahabatnya.

“Nah, gitu dong! Ini baru Delana!”

“Emangnya yang tadi bukan?”

“Bukan.”

“Siapa emangnya?”

“Hantu galau.”

Delana tertawa kecil. “Kamu tega ngatain aku hantu?”

Belvina tertawa kecil.

“Hmm ... aku baru berencana beliin kamu dompet keluaran terbaru. Kayaknya, harus aku batalin.”

Belvina langsung memeluk lengan Delana. “Ah, kamu kan hantu galau yang cantik,” puji Belvina.

Delana mencebik. “Kalo ada maunya aja sok manis.”

Belvina meringis.

Delana tersenyum menatap sahabatnya itu. Walau bagaimanapun, Belvina adalah salah satu orang yang selalu ada di sisinya saat ia sedang terluka.


((Bersambung...))


Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas