Tuesday, December 9, 2025

Puisi Akrostik | Gajah Sumatera | Aku Bukan Hama

Puisi "Aku Bukan Hama"
Akrostik: Gajah Sumatera
Oleh Rin Muna



Gas air mata dan kantong-kantong molotov dilemparkan pada kami
Aku sudah berteriak kesakitan
Juga anak dan saudara-saudaraku
Aku tidak mengerti kenapa manusia panggil kami 'Hama'
Hama yang merusak lahan pertanian mereka

Sesungguhnya, mereka yang merusak rumah-rumah kami
Usai pohon-pohon leluhur ditebang
Mengubah mereka jadi lahan pertanian dan perkebunan
Aku menangis pilu bersama saudara-saudara gajahku
Tak ada lagi rumah untuk kami berteduh
Entah berapa lama kami harus menahan lapar karena berkah Tuhan tak lagi tumbuh
Rasanya kami ingin marah, tapi kami tak punya senjata. 
Aku hanya bisa menunggu ...Tuhan membalas ketidakberdayaanku. 




Kutai Kartanegara, 09 Desember 2025

Puisi Akrostik | Kementerian Kehutanan | Cukup Tanda Tangan


Puisi " Cukup Tanda Tangan"
Akrostik: Kementerian Kehutanan
oleh Rin Muna




Kalau hutan tinggal nama, apa lagi yang bisa kita wariskan?
Eyang bilang ... kami selalu menanam daun, tapi yang tumbuh justru pabrik dan tambang.
Mungkin alam yang salah, ia terlalu baik pada manusia.
Ekologi hadir sebatas teori.
Nakalnya tangan-tangan manusia,
Tak menghargai warisan leluhur.
Ekonomi memang butuh tumbuh, tapi manusia juga butuh berteduh.
Rasanya lucu, satu goresan tinta  mampu membunuh pohon ratusan ribu hektar.
Itu pohon warisan para leluhur,
Agar alam tetap seimbang, manusia hidup aman dalam kesejahteraan .
Namun tangan-tangan serakah telah merenggut semuanya.

Kayu-kayu gelondongan tiba-tiba bergandengan dengan air bah.
Elitis bilang: bencana adalah ujian, padahal itu kemarahan Tuhan.
Hebat, bukan? Alam ikut berpendapat, tapi suaranya tidak pernah dimasukkan risalah.
Untuk apa bicara konservasi kalau ekspansi lebih memanjakan mata?
Tidak ada hutan yang benar-benar diam, ia bergerak dan runtuh pelan-pelan.
Apakah kita menunggu sungai berubah jadi pasar kayu gelondongan dulu?
Nanti kalau ada proyek baru, tetap goreskan pena dulu.
Agar perut penguasa tetap aman, beritanya dikendalikan dulu.
Namanya juga kebijakan… tak perlu logis, cukup tanda tangan.



Kutai Kartanegara, 09 Desember 2025




Puisi Akrostik | Marga Mahesa Yudistira | Obat Putus Asa

Puisi Akrostik
"Obat Putus Asa"
oleh Rin Muna



Malam tanpa bintang tak selalu kelam
Awan-awan menggantung jadi pelindung
Rintik hujan yang jatuh beri kehangatan
Gelapnya jalan yang kutempuh, tak hentikan langkahku
Air mata yang jatuh jadi pengingat hidupku

Makna hidup sulit dimengerti
Aku sudah melangkah tiada henti
Hanya berbekal cinta dan ketulusan
Esok akan ada atau tiada
Semua sudah digariskan
Angin yang kupeluk jadi kantong-kantong syukur

Yakinkan hati yang sedang terombang-ambing
Ukirkan rasa yang sedang menimbang asa
Dari nadi sampai ke pucuk hati
Izinkan aku lahirkan satu gumpal darah
Sebagai tanda bila luka tak akan buatku penjamkan mata
Tetaplah berjalan meski hati sedang patah asa
Itulah alasan kenapa masih menghirup udara dunia
Raga dan jiwa tidak akan tercerai berai
Aku lahirkan satu lagi ... obat putus asa. 




Kutai Kartanegara, 09 Desember 2025



Wednesday, December 3, 2025

Ketentuan dan Keuntungan Menjadi Anggota Perpustakaan Rumah Literasi Kreatif

 

KETENTUAN MENJADI ANGGOTA PERPUSTAKAAN

RUMAH LITERASI KREATIF

 

1. Pendaftaran Anggota

  • Mengisi formulir pendaftaran (online atau offline).
  • Menyerahkan 1 lembar foto diri.
  • Menyertakan kontak aktif (WA).
  • Membayar biaya administrasi Rp. 5000 (berlaku seumur hidup)
  • Mendapat kartu anggota setelah data terverifikasi.

 

2. Hak dan Kewajiban Anggota

Hak Anggota

  • Meminjam koleksi buku sesuai ketentuan.
  • Mengikuti program Rulika: kelas literasi, kelas bahasa Inggris, workshop/pelatihan, mendongeng, Read Aloud, pelatihan menulis, dll.
  • Mengakses fasilitas taman baca (ruang baca, permainan edukasi, kegiatan kreatif).
  • Mengajukan permintaan judul buku yang ingin ditambahkan ke koleksi.

 

Kewajiban Anggota

  • Menjaga buku agar tetap bersih dan tidak rusak.
  • Mengembalikan buku tepat waktu.
  • Menjaga ketertiban dan kebersihan perpustakaan.
  • Menggunakan kartu anggota secara pribadi, tidak boleh dipinjamkan.
  • Melaporkan jika kartu anggota hilang.

 

3. Ketentuan Peminjaman Buku

  • Lama peminjaman: 7–14 hari per buku.
  • Maksimal peminjaman: 2–3 buku dalam satu waktu.
  • Perpanjangan peminjaman bisa dilakukan maksimal 1× selama buku tidak sedang dipesan anggota lain.
  • Buku yang hilang atau rusak diganti sesuai nilai buku atau dengan buku baru yang setara.
  • Buku yang boleh dipinjamkan hanya buku bacaan/sastra. Buku keterampilan (resep masakan, menjahit, kerajinan tangan, dsb.) hanya boleh baca di tempat atau tidak diperkenankan dibawa keluar dari gedung perpustakaan.

 

4. Ketentuan Pengembalian

  • Pengembalian dilakukan pada jam layanan Rulika.
  • Keterlambatan pengembalian dikenai sanksi ringan berupa:
    • Tugas sosial literasi, atau
    • Denda untuk perawatan buku Rp 500,-/hari.

5. Penertiban & Sanksi

Anggota dapat dikenai pembatasan peminjaman apabila:

  • Tercatat terlambat lebih dari 3 kali.
  • Merusak atau menghilangkan buku.
  • Tidak mengikuti aturan ruang baca.

 

 

 

 

KEUNTUNGAN MENJADI ANGGOTA

PERPUSTAKAAN RUMAH LITERASI KREATIF

 

1. Akses Buku yang Beragam

  • Koleksi fiksi, nonfiksi, cerita anak, edukasi, motivasi, hingga buku lokal Kalimantan.
  • Koleksi selalu bertambah dari donasi penulis seluruh Indonesia, Dinas Perpustakaan daerah, dan Perpustakaan Nasional RI.

 

2. Prioritas Mengikuti Kegiatan Rulika

  • Kelas menulis & kelas membaca
  • Kelas Bahasa Inggris
  • Dongeng / Read Aloud mingguan
  • Workshop kreatif (mewarnai, kerajinan, literasi digital, dll.)
  • Pelatihan kecil seperti public speaking, jurnalistik anak, dll.

 

3. Mendapat Kartu Anggota Eksklusif

  • Bisa dipakai sebagai identitas komunitas literasi.
  • Akses program khusus anggota seperti:
    • “Anggota Teraktif Bulanan”
    • “Tukang Baca Minggu Ini”
    • Tantangan membaca (Reading Challenge)

4. Mendukung Gerakan Literasi Daerah

  • Dengan menjadi anggota, kamu ikut menjaga taman baca Bunga Kertas / Rulika tetap hidup.
  • Anggota turut berkontribusi meningkatkan minat baca anak-anak di Kutai Kartanegara.

5. Ruang Belajar Aman & Nyaman

  • Tempat membaca yang ramah anak.
  • Fasilitas mewarnai, permainan edukatif, dan suasana komunitas yang hangat.
  • Cocok untuk keluarga, pelajar, mahasiswa, dan warga umum.

6. Kesempatan Menjadi Relawan Literasi

  • Anggota bisa bergabung sebagai relawan kegiatan, pendamping anak baca, atau tim kreatif Rulika.
  • Mendapat pengalaman berharga sekaligus jejaring sesama pegiat literasi.
  • Mendapatkan rekomendasi langsung dari Yayasan Rumah Literasi Kreatif sebagai relawan/pegiat literasi daerah.

Tuesday, November 18, 2025

Memory of Yupa || Memory of The World : Peradaban Nusantara yang Perlu Dijaga

 

Muara Kaman, 17 November 2025


Muara Kaman dan Museum (Situs) Lesung Batu (Lesong Batu) punya peran penting dalam sejarah kuno Kalimantan / Indonesia. Muara Kaman adalah kecamatan di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Luas wilayahnya sangat besar (sekitar 3.410 km²) dengan banyak desa.

Muara Kaman dianggap sebagai pusat kerajaan Kutai Martadipura, yang merupakan salah satu kerajaan Hindu tertua di Indonesia. Raja terkenal dari kerajaan ini adalah Maharaja Mulawarman. Lokasi Muara Kaman juga strategis karena berada di pertemuan sungai (Mahakam dan anak sungainya), menjadikannya jalur perdagangan penting di masa kuno.

Ada museum purbakala di Muara Kaman yang mengabadikan situs sejarah kerajaan Kutai. Museum ini menyimpan replika dari prasasti Yupa, benda pusaka purbakala, serta makam raja-raja Islam di wilayah itu. Sejak 2022, pengelolaan museum ini diambil alih oleh pemerintah kecamatan Muara Kaman, dengan rencana pembenahan dan pengembangan wisata sejarah. 

Prasasti Yupa adalah tiang batu yang ditulisi dengan aksara Pallawa dan bahasa Sansekerta. Ada 7 buah yupa yang ditemukan di area Muara Kaman. I si yupa menceritakan silsilah kerajaan (misalnya Raja Kudungga, Aswawarman, Mulawarman) dan kedermawanan Raja Mulawarman — misalnya memberi ribuan sapi sebagai persembahan. Dari kajian etimologi tertentu, meskipun dikenal sebagai “Kerajaan Kutai”, ada argumen bahwa nama sebenarnya kerajaan kuno ini adalah Martapura, bukan “Kutai”. Penelitian cagar budaya menyatakan bahwa situs Muara Kaman — yang meliputi Lesong Batu / yupa, makam, dan batu Lembu Ngeram — adalah “zona inti” penting yang harus dilestarikan.


Saya tidak pernah terpikir kalau akan menjadi bagian dari saksi sejarah Yupa bagi masa depan negeri ini. Sebagai Relima Perpusnas RI, tentu saya akan dilibatkan dalam beberapa kegiatan yang digagas oleh perpustakaan daerah maupun perpustakaan provinsi. Sehingga, saya bisa menjadi bagian dari festival Memory of Yupa yang baru dilaksanakan pertama kalinya di Kecamatan Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara. 

Setelah menempuh perjalanan sekitar 6 jam menyusuri jalur Sungai Mahakam, akhirnya kami sampai di Muara Kaman. Tempat di mana situs peradaban tertua di Indonesia ada dan masih dijaga kelestariannya. 

Tubuhku belum benar-benar pulih setelah berkegiatan selama 4 hari di Kota Bogor dan Jakarta. Tapi, aku tidak ingin melewatkan momen yang sangat langka ini. Jadi, aku berusaha sampai ke tujuan meski kondisiku tidak baik-baik saja. Selama masih bisa bergerak dan aku kuat untuk berdiri, maka aku tidak akan menyerah. 


Berangkat pukul 11.30 WITA, rombongan kami sampai saat menjelang magrib. Kami disambut oleh tetua adat dengan ritual 'Sawai', sebuah ritual untuk membersihkan diri dan jiwa sebelum kami memasuki tanah leluhur Muara Kaman. 
Kami dibawa ke sebuah 'Homestay' milik warga Muara Kaman. Entah rumah siapa, yang jelas bukan orang biasa karena rumahnya sangat besar dan cukup menampung sekitar 50 orang. Rumahnya juga dilengkapi dengan 3 kamar mandi. Sehingga, kami tidak terlalu lama bergantian untuk mandi. 
Usai makan mandi, makan malam dan bersiap, kami segera bergeser ke Museum Lesung Batu Kecamatan Muara Kaman. Letaknya tidak terlalu jauh dari tempat kami menginap. Jadi, kami bisa berjalan kaki menuju ke sana. 
Saat sampai, acara langsung dimulai dan dibuka oleh Wakil Bupati Kutai Kartanegara (Rendi Solihin, S.M). 
Opening Ceremony Memory of Yupa berlangsung meriah. Acara diramaikan oleh band asal kota Samarinda, Valdiyandi. 
Begitu acara usai, kami bergegas kembali ke penginapan. Mengistirahatkan tubuh karena esok hari kita akan disibukkan dengan agenda kegiatan yang lebih padat lagi. 
Semoga ada banyak ilmu yang bisa kita dapatkan dan prasasti Yupa benar-benar menjadi salah satu warisan dunia versi Unesco. Aku tak sabar menunggunya... 
Semoga anak-anak Kecamatan Muara Kaman juga memiliki kesadaran tinggi untuk menjaga prasasti berharga ini dan terus melestarikan kebudayaan asli Kutai. 



Sunday, November 9, 2025

Tips for Teaching English to Kids: Make It Fun and Simple

 


Tips for Teaching English to Kids

"Make It Fun and Simple"

Teaching English to children can be quite a challenge—but at Rumah Literasi Kreatif, it’s always filled with laughter, color, and creativity. The secret lies in two simple words: fun and simple.

1. Connect Lessons with Their Everyday World

Children learn faster when lessons relate to things they already know. In our classes, teachers often use “Show and Tell” with objects around the reading garden—like books, colored pencils, or dolls. Through these familiar items, kids learn new vocabulary and gain confidence to speak in front of others.

2. Sing and Move Together

Music is a magical bridge to language learning. Songs like Head, Shoulders, Knees, and Toes or If You’re Happy and You Know It are always favorites here. When kids sing and move along, they remember words more naturally. It feels more like playing than studying—and that’s exactly the point.

3. Use Visuals and Colors

In every class, teachers use colorful flashcards, word cards, and pictures. Visuals help children connect words with images and meanings. Sometimes, the kids even create their own flashcards! This creative process strengthens memory and sparks imagination.

4. Tell Stories and Act Them Out

Storytime is one of the best ways to teach English. At Rumah Literasi Kreatif, we often do short drama plays based on simple stories like The Hungry Caterpillar or Little Red Riding Hood. Role-playing helps children practice pronunciation, teamwork, and comprehension—all while having fun.

5. Give Praise and Positive Support

Children learn best when they feel appreciated. Every time a student says a new word or forms a sentence, we celebrate with claps or a little star sticker. Positive feedback builds confidence and teaches them that making mistakes is part of learning.

At Rumah Literasi Kreatif, our English class is more than just a place to learn a language—it’s a joyful space for creativity, curiosity, and growth.
Here, children discover that English isn’t something to be afraid of—it’s a bridge to explore a bigger, brighter world.

Because learning is always beautiful when it comes from a happy heart.

Thursday, November 6, 2025

Menyulam Waktu di Tengah Keceriaan Jambore PAUD Kecamatan Samboja




Menyulam Waktu di Tengah Keceriaan Jambore PAUD Kecamatan Samboja
oleh Rin Muna

Pagi itu, Kamis 6 November 2025, udara di halaman Balai Pertemuan Umum (BPU) Kecamatan Samboja terasa lebih semarak dari biasanya. Jam menunjukkan pukul 09.00 WITA ketika anak-anak kecil dengan seragam berwarna-warni mulai memasuki aula dengan wajah berseri. Ada yang membawa peralatan mewarnai, ada yang menenteng alat peraga buatan tangan, dan ada pula yang sibuk menepuk-nepuk kostum senam agar terlihat rapi di atas panggung.

Di tengah hiruk-pikuk itu, Camat Samboja, Damsik, S.H., M.Si, bersama Bunda PAUD Kecamatan Samboja, Rusdiana Damsik, S.Hut, berdiri di depan panggung utama. Senyum mereka mengiringi pembukaan resmi Jambore PAUD Kecamatan Samboja Tahun 2025, yang tahun ini mengusung tema:
“Ceria, Cerdas, dan Berkarakter – Membangun Generasi Emas Sejak Dini.”

Dalam sambutannya, Camat Damsik menyampaikan bahwa pendidikan anak usia dini adalah pondasi bagi lahirnya generasi yang kuat dan berkarakter. Ia berharap kegiatan ini menjadi wadah pembelajaran yang menyenangkan, penuh tawa, dan bermakna bagi semua peserta. Sementara Bunda PAUD Rusdiana menekankan pentingnya dukungan bersama antara guru, orang tua, dan masyarakat untuk menciptakan lingkungan belajar yang hangat dan inspiratif bagi anak-anak Samboja.

Begitu pembukaan selesai, suasana aula seketika berubah menjadi lautan warna dan tawa. Lomba mewarnai tingkat PAUD dan KB se-Kecamatan Samboja menjadi ajang pembuka. Anak-anak duduk berbaris rapi di atas tikar, menggoreskan warna-warna cerah dengan jemari mungil mereka. Ada yang menatap serius, ada pula yang sesekali tersenyum kecil saat melihat hasil goresannya tampak indah di atas kertas.

Di sudut lain ruangan, para guru PAUD memamerkan karya kreatif mereka dalam Lomba APE (Alat Peraga Edukasi). Dari bahan sederhana seperti kardus bekas, stik es krim, hingga kain perca, mereka menciptakan alat belajar yang menarik. Beberapa alat mengajarkan huruf, sebagian mengenalkan bentuk dan warna, sementara yang lain menumbuhkan rasa ingin tahu anak tentang lingkungan sekitar. Kreativitas para pendidik itu menjadi bukti bahwa semangat belajar bisa tumbuh dari hal-hal kecil yang sederhana.

Menjelang tengah hari, lantunan musik ceria menggema. Saatnya Lomba Senam Anak Indonesia Hebat. Di panggung, anak-anak berbaris dengan percaya diri. Gerakan tangan dan kaki mereka mengikuti irama lagu penuh semangat, disambut tepuk tangan para penonton. Ada yang sedikit terlambat mengikuti irama, ada pula yang menari terlalu cepat, tapi justru di situlah letak keindahannya — ketulusan dan keceriaan tanpa beban.

Sore menjelang, suasana aula menjadi lebih tenang. Kali ini giliran para Bunda PAUD tampil dalam Lomba Mendongeng. Satu per satu naik ke panggung, membawa kisah yang mereka rangkai sendiri. Ada yang bercerita tentang persahabatan, tentang pentingnya kejujuran, hingga tentang keberanian. Dengan ekspresi lembut dan suara yang penuh kasih, para bunda menyampaikan pesan moral yang menyentuh hati. Anak-anak yang duduk di barisan depan tampak terpukau, sesekali ikut menirukan tokoh-tokoh dalam cerita.

Jam dinding menunjukkan pukul 15.30 WITA ketika acara Jambore akhirnya ditutup. Di wajah setiap peserta, baik anak-anak, guru, maupun panitia, terpancar rasa lelah yang bercampur bahagia. Aula yang semula ramai kini perlahan lengang, namun gema tawa kecil dan warna-warna cerah di atas meja lomba seolah masih menempel di udara.

Jambore PAUD Kecamatan Samboja tahun ini bukan hanya tentang siapa yang menjadi juara, melainkan tentang bagaimana keceriaan, kreativitas, dan semangat belajar bisa menyatu dalam satu ruang waktu. Di antara warna krayon, alat peraga sederhana, dan kisah dongeng yang hangat, tersulam harapan besar — bahwa dari sinilah, dari tawa kecil anak-anak Samboja, generasi emas masa depan sedang tumbuh dengan indah.


Wednesday, November 5, 2025

Persiapan Jambore PAUD Kecamatan Samboja Tahun 2025




Persiapan Jambore PAUD Kecamatan Samboja


Hari ini, udara sore di Samboja terasa hangat dan penuh semangat. Di Balai Pertemuan Umum (BPU) Kecamatan Samboja, panitia Jambore PAUD Kecamatan Samboja sudah berkumpul sejak pukul dua siang. Mereka datang dengan senyum dan semangat gotong-royong yang khas — menyapu ruangan, menghias panggung, menata kursi, hingga menyiapkan sound system untuk kegiatan besar: Jambore PAUD Kecamatan Samboja.

Aku tahu betul bahwa jadwal gotong-royong dimulai pukul 14.00 WITA. Namun, sebelum berangkat, ada satu tanggung jawab kecil yang harus kuselesaikan — menjahit pesanan dress yang sudah dijanjikan sejak beberapa hari lalu. Mesin jahit di sudut ruang kerja masih berputar saat jarum jam hampir menyentuh angka dua. Setiap tarikan benang seolah menjadi simbol antara dua tanggung jawab yang sama penting: profesi dan pengabdian.

Setelah benang terakhir terkunci rapi, aku segera bergegas. Dengan tangan masih berbau kain dan jarum pentul terselip di ujung jilbab, aku melangkah cepat menuju BPU. Rumahku cukup jauh dari Kantor Camat. Aku harus menempuh perjalanan setidaknya 30 menit untuk bisa sampai ke sana. 

Saat tiba, suara riuh tawa sudah terdengar dari kejauhan. Para panitia gotong-royong tampak sibuk namun bahagia. Beberapa sedang membersihkan lantai aula, sementara sekelompok ibu-ibu tengah menata meja dan mempersiapkan sound. Meskipun aku datang sedikit terlambat, kehangatan mereka membuatku tidak merasa canggung. 

Aku tersenyum, mengangguk, dan langsung ikut menata kursi. Di tengah kegiatan itu, aku menyadari bahwa gotong-royong bukan sekadar tentang bekerja bersama, tetapi tentang merangkai kebersamaan dari waktu-waktu kecil yang kita sisihkan untuk kepentingan bersama. Tidak ada yang menghitung siapa datang lebih dulu atau siapa paling banyak berbuat — semua hanya bergerak dalam satu irama: ikhlas.

Sore itu, di antara canda dan tawa, aku merasa bahwa kehadiran meskipun sedikit terlambat tetap berarti. Sebab dalam setiap upaya, yang paling penting bukan waktu kedatangan, tetapi niat yang menyertai langkah.

Menjelang magrib, kami semua menatap hasil kerja bersama — aula yang semula tampak biasa kini berubah meriah. Di sanalah besok guru-guru dan anak-anak PAUD akan berlomba dan tertawa bahagia. Dan aku, yang datang setelah menyelesaikan jahitan, merasa telah menyulam satu lagi kenangan indah: kenangan tentang kebersamaan yang dijahit dengan benang niat baik dan cinta terhadap dunia pendidikan.

Setelah memastikan semua kebutuhan acara telah siap, aku pun berpamitan pulang. Beberapa teman juga sudah berpamitan lebih dahulu karena rumah mereka juga cukup jauh. 

Terima kasih untuk Pokja PAUD Kecamatan Samboja yang telah mengukir cerita bersamaku. Meski posisiku sederhana, tapi aku sangat bahagia menjadi saksi keceriaan dan kebersamaan bunda-bunda PAUD Kecamatan Samboja. 

Tuesday, November 4, 2025

Cerita dari Sudut Taman Baca





Cerita dari Sudut Taman Baca

Karya: Rin Muna


Ada aroma buku tua di udara sore itu. Debu yang menempel di sampul-sampul lusuh terasa seperti catatan waktu — bahwa hari-hari di taman baca terus berlalu, meninggalkan jejak cerita kecil yang tak semua orang sempat membaca. Di sudut rak yang mulai miring, aku melihat tulisan tangan seorang anak di kertas bekas: “Aku ingin jadi guru bahasa Inggris.” Tulisan itu sudah pudar, tapi maknanya masih menyala di hatiku setiap kali aku merasa lelah.

Taman baca ini mungkin tampak sederhana. Dindingnya tidak dilapisi cat baru, beberapa meja kayu mulai goyah, dan buku-buku yang dulu datang dengan aroma kertas segar kini tertutup lapisan debu tipis. Tapi di balik kesederhanaan itu, ada kehidupan yang terus berdenyut. Setiap minggu, anak-anak datang — kadang dengan sandal penuh lumpur, kadang dengan tawa yang menutupi rasa malu mereka. Mereka datang bukan sekadar membaca, tapi mencari ruang untuk bermimpi.

Kelas Bahasa Inggris menjadi bagian paling riuh di taman baca kami. Suara anak-anak yang mempraktikkan dialog sederhana seperti, “Hello, my name is Haifa!” atau “This is my brother!” sering bercampur dengan tawa karena pelafalan yang lucu. Tapi di sanalah letak keindahannya — proses belajar yang tidak menakutkan, yang tumbuh dari rasa ingin tahu, bukan dari tekanan. Kadang, papan tulis kami hanya berupa potongan triplek bekas, dan kapur tulisnya tinggal separuh, tapi semangat anak-anak itu tak pernah separuh. Mereka mengajarkan padaku arti kesungguhan dalam bentuk paling polosnya.

Rak-rak buku di taman baca ini sudah mulai renta. Beberapa sisi lapuk karena terlalu sering disentuh tangan-tangan mungil yang penasaran. Ada coretan kecil di ujungnya, ada sudut buku yang terlipat, tapi aku tidak tega menegurnya. Bagiku, setiap lipatan itu adalah tanda kehidupan — bukti bahwa buku-buku ini pernah dicintai. Bahwa di tengah derasnya gawai dan gim digital, masih ada anak-anak yang rela duduk bersila, membuka halaman demi halaman dengan mata berbinar.

Namun, aku juga tahu taman baca ini sedang menanti sesuatu. Menanti pembaca baru yang mungkin sudah lama lupa caranya mencium bau buku. Menanti relawan yang mau duduk sebentar, membacakan dongeng, atau sekadar bertanya, “Apa yang kamu baca hari ini?” Karena di tempat kecil seperti ini, setiap kunjungan adalah bentuk cinta.

Aku sering berpikir, taman baca ini bukan sekadar ruang penuh buku, melainkan cermin dari cara kita menghargai pengetahuan. Ia bukan bangunan yang megah, tapi tempat di mana nilai-nilai gotong royong, kesederhanaan, dan kasih sayang tumbuh dalam bentuk paling nyata. Di sini, tidak ada pembaca yang lebih tinggi dari yang lain. Semua duduk di lantai yang sama, berbagi tawa yang sama, belajar dari halaman yang sama.

Dan di setiap sore yang sepi, ketika tak ada langkah kaki yang masuk, aku biasanya berdiri di depan rak yang mulai berdebu itu. Aku sapu perlahan permukaan buku, seolah membangunkan mereka dari tidur panjang. “Sabar ya,” bisikku, “pembaca barumu akan datang.” Karena aku percaya, selama masih ada satu hati yang mau membaca, taman baca ini akan terus hidup.


Semangat yang Tak Pernah Padam



Semangat yang Tak Pernah Padam

Karya: Rin Muna


Setiap Minggu pagi, ketika matahari belum begitu tinggi, suara sapu lidi dan cangkul mulai terdengar di sepanjang gang kecil RT 03. Ada aroma tanah basah yang berpadu dengan semangat kebersamaan, seolah setiap ayunan tangan yang mengangkat sampah adalah tanda cinta terhadap tempat kami berpijak. Gotong-royong membersihkan lingkungan bukan sekadar rutinitas; ia adalah napas kehidupan yang meneguhkan bahwa kami masih peduli, masih ingin hidup dalam ruang yang layak, bersih, dan manusiawi.

Namun, seperti daun kering yang tertinggal di sudut jalan, selalu ada yang absen dari pemandangan itu. Beberapa warga memilih menutup pintu rumah rapat-rapat, berpura-pura tidak mendengar suara sapu yang menggesek jalan atau tumpukan daun yang menunggu dikumpulkan. Barangkali mereka lelah. Barangkali mereka sibuk. Atau barangkali, mereka lupa — bahwa setiap rumah yang berdiri di tanah RT 03 membawa konsekuensi: menambah beban energi, air, dan tentu saja, sampah.

Lingkungan adalah cermin dari penghuni di dalamnya. Sampah yang berserakan bukan semata soal kebersihan, melainkan juga soal kesadaran. Di balik kantong plastik yang terbang tertiup angin, terselip pesan sunyi: bahwa sebagian dari kita masih menunda tanggung jawab bersama. Kita menunggu orang lain bergerak lebih dulu, padahal perubahan selalu dimulai dari langkah paling kecil — satu tangan yang rela menyapu, satu hati yang mau peduli.

Gotong-royong bukan tentang siapa yang datang dan siapa yang absen. Ia tentang semangat yang tak pernah padam meski jumlah tangan yang bekerja tak seimbang dengan jumlah kepala yang menghuni. Selalu ada wajah-wajah yang tersenyum di tengah peluh, ada tawa yang menutupi lelah, dan ada rasa syukur yang tumbuh setiap kali selokan bersih kembali mengalir.

Saya percaya, gotong-royong bukan sekadar warisan budaya; ia adalah bentuk perlawanan terhadap sikap individualis yang semakin kuat menggenggam masyarakat modern. Di tengah dunia yang sibuk menghitung keuntungan pribadi, warga RT 03 yang masih turun ke jalan dengan sapu di tangan adalah pahlawan kecil yang menjaga denyut sosial agar tak padam.

Barangkali suatu hari nanti, mereka yang kini bersembunyi di balik alasan dan waktu akan menyadari bahwa rumah yang bersih tidak lahir dari tangan petugas kebersihan, melainkan dari kesadaran kolektif. Karena sejatinya, setiap warga yang bermukim di sini — termasuk yang diam — turut meninggalkan jejak energi dan sampah bagi lingkungannya. Maka, tidakkah adil jika beban itu juga dibagi dalam bentuk kerja bersama?

Gotong-royong adalah cermin jiwa kita sebagai bangsa. Ia mungkin tak lagi seramai dulu, tapi di RT 03, semangat itu masih menyala. Tak sebesar nyala obor, mungkin hanya seberkas cahaya kecil di ujung gang, tapi cukup untuk mengingatkan kita bahwa kepedulian — sekecil apa pun — adalah tanda bahwa hati kita belum mati.



Saat Hujan Menyapa Kelas Bahasa Inggris


 

Saat Hujan Menyapa Kelas Bahasa Inggris

Karya: Rin Muna

Hujan deras turun sejak siang, membasahi halaman kecil Rumah Literasi Kreatif di Beringin Agung. Biasanya, pada pukul dua siang aku sudah duduk di antara meja-meja kecil berisi tumpukan buku dan alat tulis warna-warni, menyambut anak-anak yang datang dengan semangat untuk belajar Bahasa Inggris. Namun hari itu, 4 November 2025, langkahku tertahan oleh urusan dunia nyata yang tak bisa ditunda — mengurus beasiswa puteriku di bank sejak pagi hingga menjelang sore.

Kelas yang biasanya dimulai pukul 14.00 WITA terpaksa bergeser. Aku sempat merasa bersalah — seolah menunda tawa dan semangat kecil mereka yang sudah menunggu hari Selasa, hari di mana ruang baca sederhana itu berubah menjadi kelas Bahasa Inggris penuh keceriaan. Tapi, hidup memang sering kali berjalan di antara jeda dan tanggung jawab, bukan?

Ketika akhirnya aku tiba di Rumah Literasi Kreatif menjelang sore, langit masih menitikkan sisa hujan. Lantai semen di teras lembap, tapi suara anak-anak sudah terdengar dari dalam ruangan. 

“Ayo, Miss! Hari ini belajar apa?” tanya Florence, sambil menepuk-nepuk tas yang ia bawa.

Aku tersenyum. “Hari ini kita belajar percakapan tentang Introducing My Sibling — memperkenalkan saudara kandungku dalam Bahasa Inggris.”

Beberapa anak langsung membuka buku catatannya. Namun, sebagian kursi tampak kosong. Seperti biasa, beberapa teman mereka harus pergi ke sekolah ngaji atau sekolah sore yang dimulai pukul empat sore. Ada rasa kehilangan kecil ketika melihat kursi-kursi kosong itu, tapi aku tahu setiap anak sedang menunaikan kewajibannya di tempat lain — dan itu juga bagian dari belajar, bukan hanya dari buku, tapi dari kehidupan.

Kami pun memulai pelajaran dengan sederhana. Aku menulis di papan tulis kecil:


Anak-anak menirukan dengan suara lantang, lalu tertawa ketika satu sama lain salah menyebut kata brother. Ada yang berani maju memperkenalkan saudaranya dengan percaya diri, ada pula yang masih malu-malu, menggenggam pensil erat-erat. Namun, di tengah derasnya hujan di luar, aku merasakan kehangatan yang tumbuh di dalam ruangan itu — sebuah kehangatan yang lahir dari keberanian kecil untuk mencoba.

Kegiatan hari itu mungkin sederhana. Tidak ada proyektor, tidak ada papan tulis besar, tidak ada fasilitas modern. Tapi ada semangat yang menular. Ada tawa yang menjadi cahaya di antara rintik hujan. Dan aku menyadari, bahwa mengajar bukan sekadar menyampaikan materi, melainkan juga membagi harapan — bahwa setiap kata baru yang mereka ucapkan adalah jembatan menuju dunia yang lebih luas.



Ketika kelas usai, beberapa anak menatapku sambil berkata,
“Miss, minggu depan belajar tentang apa lagi?”

Aku menjawab pelan, “Kita lihat nanti, ya! Kalian hafalin dulu percakapan yang ini dan percakapan sebelumnya. Nanti Miss tes percakapan kalian."

Mereka tertawa, sebagian ada yang menghela napas karena menganggap belajar Bahasa Inggris masih sulit. Mereka menutup buku, lalu bersiap menjawab pertanyaan yang selalu aku ajukan sebelum mereka pulang. 



Kemudian, mereka berlarian pulang di bawah gerimis yang mulai reda. Aku menatap mereka satu per satu dan merasa bersyukur. Meski jadwal bergeser, meski kursi tidak penuh, semangat mereka tidak pernah absen.

Rumah Literasi Kreatif, sekali lagi, menjadi saksi bahwa belajar bisa tumbuh di mana saja — bahkan di bawah atap yang bocor sedikit dan di antara waktu yang sempit. Karena sejatinya, pendidikan bukan hanya tentang waktu dan tempat, tapi tentang hati yang mau memberi dan jiwa yang terus haus akan ilmu.

 


Referensi:

  • Dokumentasi kegiatan Kelas Bahasa Inggris Rumah Literasi Kreatif, Beringin Agung, 4 November 2025.

  • Materi pembelajaran: Daily Conversation – Introducing My Sibling, disusun oleh Rin Muna, Rumah Literasi Kreatif.

  • Catatan reflektif pribadi penulis, Rumah Literasi Kreatif Kutai Kartanegara (2025).

Aroma Kopi dan Ide yang Menyala



 Aroma Kopi dan Ide yang Menyala

Oleh: Rin Muna

Ada sesuatu yang magis setiap kali aroma kopi menyeruak dari cangkir. Seolah-olah waktu berhenti sejenak, dan ruang menjadi tempat yang lebih hangat untuk berbagi cerita. Di meja kayu sederhana Teman Diskusi Coffee — unit usaha kecil yang tumbuh dari semangat Rumah Literasi Kreatif — setiap tegukan kopi bukan hanya minuman, melainkan percikan ide yang menyala dari obrolan ringan hingga diskusi yang mendalam.

Aku sering berpikir, bahwa kopi dan literasi memiliki jiwa yang serupa. Keduanya sama-sama menuntut waktu, kesabaran, dan ketulusan untuk menghasilkan rasa yang berkesan. Tak bisa terburu-buru. Seperti membaca buku, meracik kopi pun butuh perhatian pada detail kecil — suhu air, takaran bubuk, bahkan cara menuang yang menentukan aroma terakhir di permukaannya.

Teman Diskusi Coffee lahir bukan sekadar sebagai tempat nongkrong atau menikmati kopi lokal, melainkan ruang bertemunya pikiran. Di sinilah para pegiat literasi, mahasiswa, guru, ibu rumah tangga, dan siapa pun yang mencintai percakapan datang untuk mencari makna di balik setiap kalimat dan cangkir. Kadang kita membicarakan buku, kadang tentang rencana kegiatan literasi, dan tak jarang tentang kehidupan itu sendiri.

Ada hari-hari di mana aku melihat meja penuh dengan kertas coretan ide. Ada yang menulis puisi sambil menyeruput kopi tubruk, ada yang menggambar desain kaos literasi di sudut ruangan, dan ada pula yang hanya diam, menatap uap yang naik dari cangkir sambil berpikir. Suasana seperti itu mengingatkanku pada pandangan filsafat Islam tentang tafakkur — merenung sebagai jalan menemukan makna hidup. Bahwa berpikir bukan sekadar aktivitas intelektual, tetapi juga bentuk ibadah yang mendekatkan manusia pada Sang Pencipta.

Maka, di setiap percakapan yang lahir di kedai kecil ini, selalu ada makna yang lebih besar dari sekadar kata-kata. Kadang, ide besar lahir dari hal sederhana — dari sepotong kalimat yang tak sengaja terucap, atau dari tawa ringan di antara percakapan sore. Seperti halnya api yang menyala dari percikan kecil, inspirasi pun sering datang dari momen-momen yang tak direncanakan.

Teman Diskusi Coffee mengajarkan satu hal penting: bahwa ruang untuk berbagi tak selalu harus megah. Cukup ada meja kayu, kopi hangat, dan niat baik untuk saling mendengarkan. Karena ide-ide besar tak butuh tempat mewah untuk tumbuh, tapi butuh suasana yang memberi ruang bagi kejujuran dan ketulusan.

Setiap kali aku menatap papan nama kecil bertuliskan Teman Diskusi Coffee, aku merasa sedang menyaksikan semangat literasi yang bertransformasi menjadi kehidupan nyata. Dari buku menuju gelas kopi, dari kata menuju tindakan. Ini bukan sekadar bisnis, tapi wujud nyata dari kolaborasi — antara rasa, ide, dan gerakan.


Aroma kopi selalu mengingatkanku bahwa inspirasi bisa datang dari mana saja — dari kesederhanaan, dari percakapan, bahkan dari keheningan. Di Teman Diskusi Coffee, kami belajar bahwa berbagi gagasan bukan tentang siapa yang paling pintar, tapi siapa yang paling tulus mendengarkan. Karena di balik setiap cangkir kopi, selalu ada cerita yang menunggu untuk diseduh, dan di balik setiap cerita, selalu ada api kecil yang siap menyala — menerangi langkah kita dalam perjalanan literasi yang panjang.




Kutai Kartanegara, 04 November 2025

Monday, November 3, 2025

Benang yang Mengikat Cerita: Desain Kebaya Pertamaku di Bulan November

 


Benang yang Mengikat Cerita: Desain Kebaya Pertamaku di Bulan November
Oleh: Rin Muna

Bulan November datang seperti benang yang perlahan menjahit ulang hidupku. Setiap helainya membawa kisah tentang waktu, tanggung jawab, dan cinta yang ditenun dengan kesabaran. Di bulan ini, aku memutuskan membuat kebaya pertamaku — bukan sekadar pakaian, tapi simbol perjalanan yang kusulam di antara tumpukan kesibukan dan kelelahan.

Siang hari, aku duduk di depan meja jahit. Jarum dan benang menari di atas kain, sementara pikiranku berkelana di antara kalimat sastra Inggris yang harus kuterjemahkan untuk tugas kuliah. Kadang, aku berhenti sejenak hanya untuk menarik napas panjang, menatap payet-payet kecil yang menunggu untuk dijahit satu per satu. Ada rasa lelah yang mengendap, tapi juga kehangatan yang tumbuh di sela kerja tangan.

Malam hari, ketika warga lain sudah mulai beristirahat, aku masih harus memastikan jadwal ronda malam berjalan. Sebagai ketua RT, aku memegang tanggung jawab untuk menjaga rasa aman di lingkungan. Dua kelompok dasawisma — Kenanga dan Kantil — pun menjadi bagian dari keseharian yang tak pernah jauh dari urusan koordinasi, data, dan kegiatan sosial. Kadang aku tertawa sendiri, betapa lucunya hidup ini: pagi membahas morfologi bahasa Inggris, sore memeriksa hasil kegiatan dasawisma, malam menjahit kebaya sambil mendengar suara tongkat ronda di kejauhan.

Namun justru di situlah letak indahnya hidup. Di antara tumpukan peran yang harus dijalani, aku menemukan keseimbangan yang halus — seperti garis jahitan yang rapi di tepi kebaya. Hidup tidak selalu tentang memilih satu peran dan meninggalkan yang lain, tapi tentang menemukan irama agar semuanya bisa berjalan berdampingan.

Setiap payet yang kutambahkan di kebaya itu seperti doa kecil. Ada yang melambangkan ketekunan, ada yang menyiratkan rasa syukur. Aku teringat pesan dalam filsafat Islam tentang ihsan — melakukan sesuatu sebaik-baiknya seolah kita melihat Allah, dan jika kita tidak mampu melihat-Nya, yakinlah bahwa Dia melihat kita. Maka setiap jahitan pun kutanam dengan niat yang tulus, agar hasilnya tidak hanya indah di mata, tapi juga membawa ketenangan di hati.

Kebaya itu akhirnya selesai di akhir pekan, di tengah hujan November yang turun perlahan. Aku menatap hasil karyaku dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. Bukan karena lelah, tapi karena ada rasa bangga yang lembut — bahwa dari segala kesibukan dan tanggung jawab, aku masih bisa menciptakan sesuatu yang lahir dari cinta dan ketekunan.

Kini, setiap kali melihat kebaya itu tergantung di lemari, aku tak hanya melihat hasil karya tangan. Aku melihat perjalanan — perjuangan seorang perempuan yang terus belajar menyeimbangkan hidupnya antara seni, ilmu, dan pengabdian sosial. Aku melihat benang-benang kecil yang mengikat banyak cerita: tentang waktu yang terbatas, tentang sabar yang diuji, dan tentang cinta yang tumbuh dalam kesibukan.

Hidup ini, seperti menjahit kebaya, membutuhkan kesabaran dan keberanian untuk tidak menyerah di tengah detail yang rumit. Kadang kita harus menjahit ulang, mengurai benang yang salah arah, atau menambahkan payet baru agar hasilnya sempurna. Namun yang terpenting bukan seberapa cepat kita menyelesaikannya, melainkan seberapa tulus kita menenunnya. Karena pada akhirnya, setiap benang yang kita ikat dengan cinta akan menjelma menjadi cerita — dan setiap cerita yang lahir dari ketulusan akan selalu abadi, bahkan setelah waktu berlalu.

Menemukan Damai di Tengah Sibuknya Aktivitas



Menemukan Damai di Tengah Sibuknya Aktivitas
Oleh: Rin Muna

Ada masa di mana aku merasa hidup ini berlari terlalu cepat. Seakan waktu memiliki sayap, dan aku hanya berusaha mengejar agar tak tertinggal. Setiap hari penuh dengan to-do list, agenda, rapat, target, dan tumpukan pekerjaan yang seolah tak pernah selesai. Dalam kesibukan itu, ada satu hal yang sering terlupa — keheningan yang menenangkan hati.

Aku pernah berpikir, produktivitas adalah segalanya. Bahwa sibuk berarti berguna, bahwa lelah berarti berharga. Tapi ternyata, di tengah hiruk-pikuk kesibukan, aku justru kehilangan sesuatu yang lebih dalam: kedamaian.

Suatu sore di taman baca kecilku, saat anak-anak mulai pulang dan suara mereka mereda, aku duduk sendiri sambil menatap langit yang mulai berwarna jingga. Ada desir lembut angin yang menyinggung wajah, ada aroma tanah yang baru saja disiram air. Di sanalah aku tersadar — bahwa ketenangan tidak datang dari berhentinya aktivitas, tapi dari kemampuan kita untuk tetap hening di tengah gerak yang ramai.

Dalam pandangan filsafat Islam, hati manusia adalah pusat keseimbangan. Al-Ghazali pernah berkata, “Jika hati itu baik, maka baiklah seluruh jasad.” Maka, segala kesibukan, pencapaian, dan usaha duniawi kita sebenarnya akan kehilangan makna jika hati kita terus bergejolak. Islam mengajarkan bahwa dzikir — mengingat Allah — bukan hanya aktivitas ritual, tapi juga ruang batin untuk menenangkan diri. Saat lidah berzikir, hati belajar pasrah; dan di situlah kedamaian sejati tumbuh.

Damai bukan berarti berhenti bekerja, tapi bekerja dengan niat yang lurus. Sibuk bukan berarti tersesat, asal langkah kita tetap terarah kepada tujuan yang benar. Dalam konsep ihsan, setiap aktivitas, sekecil apapun, bisa menjadi ibadah jika dilakukan dengan kesadaran bahwa Allah selalu bersama kita. Mungkin di sinilah letak rahasia ketenangan para sufi — mereka tetap bergerak, tetap berjuang, tapi hatinya tenang seperti air yang jernih.

Aku belajar, bahwa menemukan damai bukan tentang melarikan diri dari keramaian, tapi tentang menyelaraskan diri dengan irama hidup. Bahwa sesekali menatap langit, menghela napas panjang, atau hanya sekadar diam di antara tumpukan kesibukan, bukan tanda kemalasan — tapi bentuk penghormatan pada jiwa yang juga butuh istirahat.

Kini, setiap kali hari terasa padat, aku mencoba untuk berhenti sejenak. Menutup mata, mengucap Alhamdulillah, dan membiarkan hatiku berbicara. Karena sering kali, kedamaian itu sudah ada di dalam diri, hanya tertimbun oleh kebisingan dunia.

Dan pada akhirnya, aku menyadari — hidup yang sibuk tetap bisa damai, asal hati tahu ke mana ia pulang.

Mungkin kita tak bisa menghindari kesibukan, tapi kita bisa memilih bagaimana menjalaninya. Jadikan setiap langkah, setiap helaan napas, sebagai bentuk ibadah kecil yang menenangkan jiwa. Ketika hati mampu berdamai dengan waktu, dunia yang berisik pun terasa lembut. Mari belajar untuk berhenti sejenak hari ini — bukan karena kita lelah, tapi karena kita ingin kembali mengingat siapa diri kita, dan kepada siapa semua ini akan kembali.

Saturday, November 1, 2025

My Journey as an English Literature Student in a Small Village

 


My Journey as an English Literature Student in a Small Village

by Rin Muna


Dreams sometimes bloom late — just like wildflowers that wait for the right season to show their colors. My journey as an English Literature student began not in my teenage years, but at the age of thirty. It wasn't because I lacked passion or interest, but because life had a different plan for me.

Growing up in a small village, opportunities often felt far away. Education was something to be grateful for, but also something that depended on how much we could afford. For years, I carried my dream quietly — the dream of studying English, of reading Shakespeare’s words and understanding them without translation, of writing stories that could travel beyond the borders of my village.

When I finally became a student of English Literature, I felt both excitement and fear. Excitement, because it was a dream finally taking shape. Fear, because I realized how limited my environment was. I lived far from people who were fluent in English. There were no cafés filled with writers discussing novels, no clubs for English debate, and no native speakers to practice with. Most of my conversations about English happened in my own head — or sometimes, with my students.

Yes, I decided to open a small, free English class in my village. It started with only a few children, curious about the sounds of new words: apple, book, star. Their eyes would light up when they managed to say a full sentence in English. For me, it was not just about teaching — it was about keeping my own flame alive. Every lesson I gave was also a reminder for myself to never stop learning.

Sometimes, I study late at night when the village is silent. I read poetry by Emily Dickinson under a dim light, or try to translate short stories into English while sipping coffee from my own small shop, Teman Diskusi Coffee. My learning process is slow, but it is steady. Every word I understand feels like a small victory. Every essay I write reminds me that dreams do not expire with age.

My goal is simple yet big — one day, I want to publish a book written fully in English. Not because I want to prove something, but because I want to show that even from a small village, a voice can reach the world.

This journey has taught me that limitations can be powerful teachers. They push us to be creative, to find new paths where none existed before. I may not have all the resources that big-city students have, but I have determination, and that is enough to keep me going.

So, as I walk this path — as a woman, a student, a teacher, and a dreamer — I carry one belief close to my heart: it’s never too late to begin, and it’s never too small to dream big.

Thursday, October 30, 2025

Stick Nanas: Dari Dapur Mamuja untuk Rasa Manis Desa Beringin Agung




Stick Nanas: Dari Dapur Mamuja untuk Rasa Manis Desa Beringin Agung


Di sebuah sudut Desa Beringin Agung, aroma nanas yang manis pernah menjadi saksi lahirnya sebuah ide sederhana namun bernilai besar. Tahun 2019, sekelompok ibu rumah tangga yang tergabung dalam Mamuja—singkatan dari Mama Muda Samboja—memutuskan untuk memanfaatkan hasil kebun lokal yang sering kali berlimpah namun mudah busuk: nanas. Dari tangan-tangan terampil mereka, lahirlah camilan renyah bernama Stick Nanas, produk unggulan yang kini menjadi ikon kecil dari semangat perempuan desa.


Stick Nanas bukan sekadar camilan. Ia adalah kisah tentang kemandirian, kebersamaan, dan inovasi dari dapur-dapur sederhana. Proses pembuatannya pun dilakukan dengan penuh ketelitian. Nanas segar dikupas, dilumatkan, lalu diolah dengan campuran tepung dan sedikit bumbu manis gurih. Setelah melalui proses penggorengan dan pengeringan, jadilah camilan yang renyah di luar namun masih menyimpan rasa nanas yang khas di dalam. Setiap gigitan menghadirkan rasa segar tropis yang seolah membawa kita ke tengah hamparan kebun nanas di bawah matahari sore.


Bagi para ibu di Mamuja, Stick Nanas bukan hanya tentang rasa, tetapi juga tentang peluang. Mereka belajar bersama di bawah pendampingan Rumah Literasi Kreatif (Rulika) — mulai dari teknik produksi, pengemasan, hingga cara memasarkan produk secara mandiri. Tak jarang, kegiatan mereka menjadi tempat belajar bersama anak-anak muda desa atau peserta magang yang tertarik dengan dunia wirausaha rumahan.


Dalam perjalanan usahanya, Stick Nanas juga mempertemukan para ibu Mamuja dengan banyak pihak yang peduli pada ekonomi kreatif lokal. Mereka mengikuti bazar, pameran UMKM, hingga pelatihan pengembangan produk. Semua itu dilakukan dengan semangat gotong royong — karena mereka percaya, hasil kecil dari kebersamaan akan selalu lebih berarti daripada usaha besar yang berjalan sendiri.


Kini, Stick Nanas telah menjadi oleh-oleh khas yang banyak dicari saat ada acara literasi, kunjungan komunitas, atau sekadar buah tangan dari Samboja. Kemasan yang sederhana namun menarik, isi yang gurih dan manis seimbang, membuat produk ini mudah diterima berbagai kalangan. Lebih dari itu, produk ini menjadi bukti nyata bahwa perempuan desa bisa berdaya tanpa harus meninggalkan rumah — cukup dengan mengolah potensi yang ada di sekeliling mereka.


Setiap kali seseorang membuka bungkus Stick Nanas, di sanalah tersimpan cerita: tentang tangan-tangan gigih ibu-ibu Mamuja, tentang semangat Rulika yang menyalakan api kreatif, dan tentang manisnya perjuangan kecil yang tumbuh dari tanah Desa Beringin Agung.


Dari nanas, mereka belajar arti kesabaran. Dari stik kecil yang renyah itu, mereka membangun mimpi besar — agar nama Mamuja, Rulika, dan Desa Beringin Agung selalu harum, sama manisnya dengan rasa Stick Nanas yang mereka ciptakan.


Sebuah Langkah Kecil Menuju Cahaya Literasi di Kalimantan Timur

 

Sebuah Langkah Kecil Menuju Cahaya Literasi di Kalimantan Timur

Senin, 27 Oktober 2025 menjadi hari yang tak akan mudah kulupakan. Pagi itu, aku melangkah dari Kota Tenggarong menuju Samarinda untuk menghadiri acara Gebyar Anugerah Literasi dan Talkshow di Gedung Olah Bebaya, Pendopo Lamin Etam. Sebuah kegiatan besar yang mengusung tema “Membumikan Literasi, Menumbuhkan Generasi Emas”, dihadiri oleh berbagai tokoh penting—termasuk Gubernur Kalimantan Timur dan Bunda Literasi Kaltim.

Perjalanan yang kutempuh terasa panjang, namun setiap kilometer adalah jejak semangat. Aku datang sebagai bagian dari Relima (Relawan Literasi Masyarakat) Kutai Kartanegara, membawa harapan sederhana: ingin menjadi saksi bahwa gerakan literasi di Kalimantan Timur benar-benar hidup dan dihargai.

Setibanya di Pendopo Lamin Etam, suasana terasa hangat dan penuh semangat. Para pegiat literasi dari berbagai kabupaten hadir dengan wajah berseri. Panggung acara dihiasi dengan nuansa budaya khas Kalimantan Timur, lengkap dengan tarian selamat datang dari siswa SMP Negeri 3 Tenggarong yang menambah suasana megah dan membanggakan.

Bagian paling mengharukan dalam acara ini adalah penganugerahan penghargaan peningkatan kepustakawanan dan literasi masyarakat, yang meliputi tujuh kategori lomba—mulai dari Lomba Perpustakaan SD, SMP, SMA/SMK, Perpustakaan Desa, Lomba Resensi, Mewarnai, hingga Lomba Puisi. Satu per satu nama penerima penghargaan dipanggil, disambut tepuk tangan hangat dari seluruh hadirin. Di antara mereka ada pustakawan, siswa, guru, dan pegiat literasi yang telah berjuang dalam diam untuk menyalakan api baca di lingkungannya masing-masing.

Melihat wajah-wajah penuh haru di atas panggung membuatku teringat pada semua perjuangan kecil di daerah—di rumah baca sederhana, di taman bacaan swadaya, di desa-desa yang jauh dari hiruk pikuk kota. Ternyata, perjuangan mereka tidak sia-sia. Pemerintah Provinsi Kaltim benar-benar memberikan ruang dan apresiasi bagi setiap insan yang mencintai dunia literasi.


Momen paling berkesan adalah ketika aku berkesempatan berjabat tangan langsung dengan Bapak Gubernur Kalimantan Timur. Rasanya luar biasa—campuran antara haru, bangga, dan syukur. Dalam genggaman singkat itu, aku seperti menemukan kembali makna perjuangan kecil yang selama ini kulakukan di komunitas literasi. Bahwa sekecil apa pun upaya kita, ketika dilakukan dengan tulus, akan selalu memiliki arti di mata orang lain.

Aku juga merasa bahagia bisa menyapa Bunda Literasi Kaltim, sosok yang begitu anggun dalam balutan pakaian yang khas dan nyentrik. Ciri khas beliau memang seperti itu dan aku sangat suka melihatnya karena beliau sangat fashionable dan selalu tampil bak ratu kerajaan.

Meski harus mengorbankan acara penutupan pelatihan PKT Jospol di SMK Negeri 2 Tenggarong, aku tidak menyesal sedikit pun. Sebab hari itu aku belajar bahwa perjuangan literasi bukan hanya tentang hadir di tempat yang mudah, tapi tentang berani menempuh jarak demi menyampaikan pesan kebaikan.

Sore harinya aku kembali ke Samboja dengan rasa lelah yang indah. Di jalan, angin sore menampar lembut wajahku, seolah berbisik, “Langkahmu hari ini bukan akhir, tapi awal dari perjalanan panjang menuju terang.”

Dan aku tahu, perjuangan ini belum selesai—karena setiap pertemuan, setiap jabatan tangan, dan setiap cerita yang dibawa pulang… adalah bagian dari sejarah kecil gerakan literasi Kalimantan Timur.








Jejak Senja di Perpustakaan Musholla Al-Fattah, Oleh: Rin Muna

 




Jejak Senja di Perpustakaan Musholla Al-Fattah
Oleh: Rin Muna


Kutai Kartanegara, 23 Oktober 2025



Perjalanan kali ini terasa seperti menulis bab baru dalam buku hidupku—penuh debu jalanan, tawa yang menular, dan rasa syukur yang hangat. Pukul lima sore, langit di Kelurahan Maluhu, Tenggarong, mulai menua. Aku baru saja tiba di Perpustakaan Musholla Al-Fattah, tempat yang sederhana namun berkilau oleh semangat ilmu dan kebersihan yang nyaris menenangkan hati. Tapi sebelum sampai ke sana, perjalanan panjang dari pagi masih membekas di badan.

Pagi itu, aku berangkat lebih awal karena harus mengisi sosialisasi di Perpustakaan Gema Loa Duri Ilir. Selesai kegiatan, aku menunggu waktu makan siang sambil menanti rombongan anggota UMKM Mamuja (Mama Muda Samboja)—Rety, Anis, Eni, dan Alfia—yang masih menempuh perjalanan tiga jam dari Samboja menuju Tenggarong. Mereka semua naik motor, dengan semangat yang tak kalah dari embusan angin jalanan. Aku sempat menjemput mereka di sekitar Desa Purwajaya, lalu kami bersama-sama melanjutkan perjalanan.

Tentu, hidup tak pernah lurus seperti jalan tol—kami sempat mampir dulu ke Desa Rapak Lambur untuk menyimpan barang-barang. Barulah selepas itu, kami melaju menuju Perpustakaan Musholla Al-Fattah.



Saat tiba menjelang magrib, suasana musholla dan perpustakaan itu benar-benar membuat kami terdiam. Lantai yang bersih berkilau, rak-rak buku tertata rapi, dan jamaah yang ramai datang bersahutan dengan azan magrib. Ada kesederhanaan yang menenangkan di sana—seolah setiap halaman buku dan setiap sajadah menyimpan doa tentang keberkahan ilmu.

Kami disambut hangat oleh Bapak Muhammad, pengelola perpustakaan yang begitu ramah dan rendah hati. Beliau bercerita banyak tentang bagaimana musholla ini bukan hanya tempat beribadah, tapi juga tempat menumbuhkan minat baca anak-anak di sekitar. “Ilmu dan iman harus berjalan seiring,” katanya, dengan senyum yang menular.
Pak Muhammad langsung mengajak kami berkeliling. Di pojok kiri bangunan musholla, terdapat Ronda Baca yang tempatnya sangat mewah dan estetik meski ukurannya kecil. Dinding pembatas musholla dipenuhi dengan literasi yang menggugah jiwa. Terdapat tempat bersantai/berdiskusi yang cozy. 
Di belakang bangunan musholla, terdapat ruang mungil berukuran sekitar 2x2meter yang dijadikan sebagai ruang penyimpanan buku-buku. Tepat di sebelah ruangan itu adalah tempat berwudhu untuk pria dan wanita. Tempat wudhu wanita sendiri dibatasi oleh tirai. Sehingga, meski ruangan mungil, tapi para wanita tetap memiliki privasi untuk tidak memperlihatkan aurat mereka pada lawan jenis. 

Bangunan itu terlihat sangat sederhana, tapi terkesan mewah dan rapi. 
Pak Muhammad mengajak kami menaiki tangga yang berada di sisi kanan bangunan musholla. Ah, ternyata itu adalah ruang baca dan ruang belajar untuk anak-anak. Tidak hanya sebagai tempat untuk membaca buku, ruangan itu juga dijadikan pusat belajar untuk mengaji, kelas bahasa Inggris, dll. 


Tak lama, azan berkumandang, dan kami ikut shalat berjamaah. Ada perasaan tenteram yang sulit dijelaskan—mungkin karena di tempat itu, antara buku dan ibadah seolah berdialog dalam diam. Setelah shalat, kami berbincang panjang dengan Bapak Muhammad tentang berbagai kegiatan literasi di Maluhu. Dari obrolan itu, aku belajar satu hal: perpustakaan kecil bisa memiliki jiwa sebesar dunia, asalkan dikelola dengan cinta dan ketulusan.

Malamnya, kami menginap di rumah Ibu Siti, kakak yang sekaligus menjadi teman perjalanan baru kami. Rumahnya sederhana tapi penuh kehangatan. Kami menutup hari dengan obrolan ringan, tawa, dan rencana kecil untuk berkolaborasi suatu saat nanti.

Perjalanan panjang ini membuatku semakin yakin bahwa literasi bukan hanya soal membaca dan menulis, tapi tentang menghidupkan nilai-nilai—tentang bagaimana sebuah musholla bisa menjadi taman ilmu, dan bagaimana komunitas kecil bisa melahirkan inspirasi besar.

Seperti kata Ki Hadjar Dewantara, “Setiap tempat adalah sekolah, dan setiap orang adalah guru.” Maka, hari itu aku merasa telah belajar banyak dari jalan, dari teman seperjalanan, dari buku-buku di rak Musholla Al-Fattah, dan dari keikhlasan orang-orang yang menjaganya.

Perjalanan ini mungkin sederhana, tapi di dalamnya ada makna yang tak sederhana—tentang persaudaraan, perjuangan, dan keyakinan bahwa cahaya literasi bisa tumbuh di mana pun, bahkan di antara sajadah dan rak buku.




Referensi:

1. Ki Hadjar Dewantara. (1935). Pendidikan: Pengaruhnya bagi Kemajuan Bangsa. Taman Siswa Press.


2. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. (2024). Gerakan Literasi Nasional: Panduan Implementasi di Komunitas. Jakarta.


3. Data lapangan pribadi penulis dalam kunjungan ke Perpustakaan Musholla Al-Fattah, Kelurahan Maluhu, Tenggarong (Oktober 2025).




Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas