Monday, November 3, 2025

Menemukan Damai di Tengah Sibuknya Aktivitas



Menemukan Damai di Tengah Sibuknya Aktivitas
Oleh: Rin Muna

Ada masa di mana aku merasa hidup ini berlari terlalu cepat. Seakan waktu memiliki sayap, dan aku hanya berusaha mengejar agar tak tertinggal. Setiap hari penuh dengan to-do list, agenda, rapat, target, dan tumpukan pekerjaan yang seolah tak pernah selesai. Dalam kesibukan itu, ada satu hal yang sering terlupa — keheningan yang menenangkan hati.

Aku pernah berpikir, produktivitas adalah segalanya. Bahwa sibuk berarti berguna, bahwa lelah berarti berharga. Tapi ternyata, di tengah hiruk-pikuk kesibukan, aku justru kehilangan sesuatu yang lebih dalam: kedamaian.

Suatu sore di taman baca kecilku, saat anak-anak mulai pulang dan suara mereka mereda, aku duduk sendiri sambil menatap langit yang mulai berwarna jingga. Ada desir lembut angin yang menyinggung wajah, ada aroma tanah yang baru saja disiram air. Di sanalah aku tersadar — bahwa ketenangan tidak datang dari berhentinya aktivitas, tapi dari kemampuan kita untuk tetap hening di tengah gerak yang ramai.

Dalam pandangan filsafat Islam, hati manusia adalah pusat keseimbangan. Al-Ghazali pernah berkata, “Jika hati itu baik, maka baiklah seluruh jasad.” Maka, segala kesibukan, pencapaian, dan usaha duniawi kita sebenarnya akan kehilangan makna jika hati kita terus bergejolak. Islam mengajarkan bahwa dzikir — mengingat Allah — bukan hanya aktivitas ritual, tapi juga ruang batin untuk menenangkan diri. Saat lidah berzikir, hati belajar pasrah; dan di situlah kedamaian sejati tumbuh.

Damai bukan berarti berhenti bekerja, tapi bekerja dengan niat yang lurus. Sibuk bukan berarti tersesat, asal langkah kita tetap terarah kepada tujuan yang benar. Dalam konsep ihsan, setiap aktivitas, sekecil apapun, bisa menjadi ibadah jika dilakukan dengan kesadaran bahwa Allah selalu bersama kita. Mungkin di sinilah letak rahasia ketenangan para sufi — mereka tetap bergerak, tetap berjuang, tapi hatinya tenang seperti air yang jernih.

Aku belajar, bahwa menemukan damai bukan tentang melarikan diri dari keramaian, tapi tentang menyelaraskan diri dengan irama hidup. Bahwa sesekali menatap langit, menghela napas panjang, atau hanya sekadar diam di antara tumpukan kesibukan, bukan tanda kemalasan — tapi bentuk penghormatan pada jiwa yang juga butuh istirahat.

Kini, setiap kali hari terasa padat, aku mencoba untuk berhenti sejenak. Menutup mata, mengucap Alhamdulillah, dan membiarkan hatiku berbicara. Karena sering kali, kedamaian itu sudah ada di dalam diri, hanya tertimbun oleh kebisingan dunia.

Dan pada akhirnya, aku menyadari — hidup yang sibuk tetap bisa damai, asal hati tahu ke mana ia pulang.

Mungkin kita tak bisa menghindari kesibukan, tapi kita bisa memilih bagaimana menjalaninya. Jadikan setiap langkah, setiap helaan napas, sebagai bentuk ibadah kecil yang menenangkan jiwa. Ketika hati mampu berdamai dengan waktu, dunia yang berisik pun terasa lembut. Mari belajar untuk berhenti sejenak hari ini — bukan karena kita lelah, tapi karena kita ingin kembali mengingat siapa diri kita, dan kepada siapa semua ini akan kembali.

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas