Tuesday, November 4, 2025

Cerita dari Sudut Taman Baca





Cerita dari Sudut Taman Baca

Karya: Rin Muna


Ada aroma buku tua di udara sore itu. Debu yang menempel di sampul-sampul lusuh terasa seperti catatan waktu — bahwa hari-hari di taman baca terus berlalu, meninggalkan jejak cerita kecil yang tak semua orang sempat membaca. Di sudut rak yang mulai miring, aku melihat tulisan tangan seorang anak di kertas bekas: “Aku ingin jadi guru bahasa Inggris.” Tulisan itu sudah pudar, tapi maknanya masih menyala di hatiku setiap kali aku merasa lelah.

Taman baca ini mungkin tampak sederhana. Dindingnya tidak dilapisi cat baru, beberapa meja kayu mulai goyah, dan buku-buku yang dulu datang dengan aroma kertas segar kini tertutup lapisan debu tipis. Tapi di balik kesederhanaan itu, ada kehidupan yang terus berdenyut. Setiap minggu, anak-anak datang — kadang dengan sandal penuh lumpur, kadang dengan tawa yang menutupi rasa malu mereka. Mereka datang bukan sekadar membaca, tapi mencari ruang untuk bermimpi.

Kelas Bahasa Inggris menjadi bagian paling riuh di taman baca kami. Suara anak-anak yang mempraktikkan dialog sederhana seperti, “Hello, my name is Haifa!” atau “This is my brother!” sering bercampur dengan tawa karena pelafalan yang lucu. Tapi di sanalah letak keindahannya — proses belajar yang tidak menakutkan, yang tumbuh dari rasa ingin tahu, bukan dari tekanan. Kadang, papan tulis kami hanya berupa potongan triplek bekas, dan kapur tulisnya tinggal separuh, tapi semangat anak-anak itu tak pernah separuh. Mereka mengajarkan padaku arti kesungguhan dalam bentuk paling polosnya.

Rak-rak buku di taman baca ini sudah mulai renta. Beberapa sisi lapuk karena terlalu sering disentuh tangan-tangan mungil yang penasaran. Ada coretan kecil di ujungnya, ada sudut buku yang terlipat, tapi aku tidak tega menegurnya. Bagiku, setiap lipatan itu adalah tanda kehidupan — bukti bahwa buku-buku ini pernah dicintai. Bahwa di tengah derasnya gawai dan gim digital, masih ada anak-anak yang rela duduk bersila, membuka halaman demi halaman dengan mata berbinar.

Namun, aku juga tahu taman baca ini sedang menanti sesuatu. Menanti pembaca baru yang mungkin sudah lama lupa caranya mencium bau buku. Menanti relawan yang mau duduk sebentar, membacakan dongeng, atau sekadar bertanya, “Apa yang kamu baca hari ini?” Karena di tempat kecil seperti ini, setiap kunjungan adalah bentuk cinta.

Aku sering berpikir, taman baca ini bukan sekadar ruang penuh buku, melainkan cermin dari cara kita menghargai pengetahuan. Ia bukan bangunan yang megah, tapi tempat di mana nilai-nilai gotong royong, kesederhanaan, dan kasih sayang tumbuh dalam bentuk paling nyata. Di sini, tidak ada pembaca yang lebih tinggi dari yang lain. Semua duduk di lantai yang sama, berbagi tawa yang sama, belajar dari halaman yang sama.

Dan di setiap sore yang sepi, ketika tak ada langkah kaki yang masuk, aku biasanya berdiri di depan rak yang mulai berdebu itu. Aku sapu perlahan permukaan buku, seolah membangunkan mereka dari tidur panjang. “Sabar ya,” bisikku, “pembaca barumu akan datang.” Karena aku percaya, selama masih ada satu hati yang mau membaca, taman baca ini akan terus hidup.


0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas