Monday, November 3, 2025

Benang yang Mengikat Cerita: Desain Kebaya Pertamaku di Bulan November

 


Benang yang Mengikat Cerita: Desain Kebaya Pertamaku di Bulan November
Oleh: Rin Muna

Bulan November datang seperti benang yang perlahan menjahit ulang hidupku. Setiap helainya membawa kisah tentang waktu, tanggung jawab, dan cinta yang ditenun dengan kesabaran. Di bulan ini, aku memutuskan membuat kebaya pertamaku — bukan sekadar pakaian, tapi simbol perjalanan yang kusulam di antara tumpukan kesibukan dan kelelahan.

Siang hari, aku duduk di depan meja jahit. Jarum dan benang menari di atas kain, sementara pikiranku berkelana di antara kalimat sastra Inggris yang harus kuterjemahkan untuk tugas kuliah. Kadang, aku berhenti sejenak hanya untuk menarik napas panjang, menatap payet-payet kecil yang menunggu untuk dijahit satu per satu. Ada rasa lelah yang mengendap, tapi juga kehangatan yang tumbuh di sela kerja tangan.

Malam hari, ketika warga lain sudah mulai beristirahat, aku masih harus memastikan jadwal ronda malam berjalan. Sebagai ketua RT, aku memegang tanggung jawab untuk menjaga rasa aman di lingkungan. Dua kelompok dasawisma — Kenanga dan Kantil — pun menjadi bagian dari keseharian yang tak pernah jauh dari urusan koordinasi, data, dan kegiatan sosial. Kadang aku tertawa sendiri, betapa lucunya hidup ini: pagi membahas morfologi bahasa Inggris, sore memeriksa hasil kegiatan dasawisma, malam menjahit kebaya sambil mendengar suara tongkat ronda di kejauhan.

Namun justru di situlah letak indahnya hidup. Di antara tumpukan peran yang harus dijalani, aku menemukan keseimbangan yang halus — seperti garis jahitan yang rapi di tepi kebaya. Hidup tidak selalu tentang memilih satu peran dan meninggalkan yang lain, tapi tentang menemukan irama agar semuanya bisa berjalan berdampingan.

Setiap payet yang kutambahkan di kebaya itu seperti doa kecil. Ada yang melambangkan ketekunan, ada yang menyiratkan rasa syukur. Aku teringat pesan dalam filsafat Islam tentang ihsan — melakukan sesuatu sebaik-baiknya seolah kita melihat Allah, dan jika kita tidak mampu melihat-Nya, yakinlah bahwa Dia melihat kita. Maka setiap jahitan pun kutanam dengan niat yang tulus, agar hasilnya tidak hanya indah di mata, tapi juga membawa ketenangan di hati.

Kebaya itu akhirnya selesai di akhir pekan, di tengah hujan November yang turun perlahan. Aku menatap hasil karyaku dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. Bukan karena lelah, tapi karena ada rasa bangga yang lembut — bahwa dari segala kesibukan dan tanggung jawab, aku masih bisa menciptakan sesuatu yang lahir dari cinta dan ketekunan.

Kini, setiap kali melihat kebaya itu tergantung di lemari, aku tak hanya melihat hasil karya tangan. Aku melihat perjalanan — perjuangan seorang perempuan yang terus belajar menyeimbangkan hidupnya antara seni, ilmu, dan pengabdian sosial. Aku melihat benang-benang kecil yang mengikat banyak cerita: tentang waktu yang terbatas, tentang sabar yang diuji, dan tentang cinta yang tumbuh dalam kesibukan.

Hidup ini, seperti menjahit kebaya, membutuhkan kesabaran dan keberanian untuk tidak menyerah di tengah detail yang rumit. Kadang kita harus menjahit ulang, mengurai benang yang salah arah, atau menambahkan payet baru agar hasilnya sempurna. Namun yang terpenting bukan seberapa cepat kita menyelesaikannya, melainkan seberapa tulus kita menenunnya. Karena pada akhirnya, setiap benang yang kita ikat dengan cinta akan menjelma menjadi cerita — dan setiap cerita yang lahir dari ketulusan akan selalu abadi, bahkan setelah waktu berlalu.

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas